Jadi, inikah balasan atas kesetiaan mereka yang begitu panjang? Apakah selama ini bagi lelaki itu dia dan Ibunya tidak lebih dari sekedar lelucon? "Malam itu kondisi Ibu langsung saja memburuk dan keesokan harinya beliau menghembuskan napas terakhirnya." Detik setelah pemakaman Ibunya usai, maka pada saat yang sama pula Raka mengubur semua perasaannya. Tidak ada gunanya untuk terus berusaha bertahan dalam kesetiaan kepada orang lain. Tidak ada gunanya untuk terlalu dalam mencintai orang lain. Tidak ada gunanya untuk menaruh kepercayaan terhadap orang lain. Hal yang paling penting adalah dirinya, dirinya, dan dirinya. Itu saja. Kalau saja selama bertahun-tahun lalu Ibunya berpikiran seperti itu, maka fisik beliau tidak akan selemah itu. Paling tidak Ibunya itu tidak akan jatuh sakit dan meninggal dalam kondisi patah hati. Namun pada mulanya, Raka tidak benar-benar memiliki niat buruk. Saat berhubungan dengan Lidia, dia benar-benar serius. Mereka bahkan sudah sampai bertunangan
"Selamat siang, Pak Sandira. Saya harap Anda baik-baik saja." Tidak ada reaksi. Raka hanya berdiri dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi. Dalam hati sebenarnya dia sudah begitu ingin menonjok lelaki yang ada sekarang sedang tersenyum di hadapannya ini. Entah mengapa, Raka merasa seolah senyuman itu tengah mengejeknya. Lagi pula, kenapa lelaki ini datang bersama Angel? Kalau hanya sekedar datang bersama sih, masih tidak masalah bagi Raka. Namun lelaki itu dengan terang-terangan memeluk Angel, membuatnya nyaris tidak dapat menahan amarah. "Pak Sandira," panggil Adam dengan sorot mata jenaka. "Saya sedang menyapa Anda, lho. Apakah Anda tidak berkeinginan membalas sapaan saya?" "Oh!" Raka mengerjap. "Maafkan saya. Pikiran saya tadi sempat teralihkan." "Saya harap pikiran Anda tidak teralih kepada kekasih saya ini." "Kekasih Anda? Siapa?" "Pak Sandira, kenapa Anda masih bertanya? Apakah Anda tidak bisa melihat, siapa yang sekarang sedang saya peluk ini?" Sontak saja ada kema
Adam sama sekali tidak memberinya waktu untuk berlama-lama di sana. Setelah Angel meletakkan buket bunga tulip putih di atas pusara Kharisma dan berdoa sejenak, lelaki itu segera memeluk pinggangnya dan membawanya pergi. Di luar pemakaman, mobil sedan Adam sudah menunggu. "Apakah ada sesuatu yang membuat Anda sampai harus terburu-buru, Pak?" tanya Angel dengan bingung, sementara mobil mereka mulai bergerak. "Tidak ada. Aku hanya tidak ingin terlalu lama berada di sana." "Apa itu maksudnya Anda tidak suka berada di pemakaman? Jangan katakan kalau Anda takut, Pak." Angel tertawa kecil. Pemikiran kalau seseorang seperti Adam ternyata takut dengan area pemakaman, terasa cukup lucu baginya. "Iya, memang aku takut." "Serius? Anda hanya bercanda kan, Pak?" "Aku takut kalau kamu akan berubah pikiran, Angel. Aku takut kalau akan memilih lelaki itu." Hening seketika. Sementara Angel bingung hendak menjawab apa, Adam malah terlihat begitu sibuk menyetir sekarang. Lehernya begitu tegak
Adam keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggang. Tubuhnya setengah basah, bahkan air pun masih menetes dari rambut. Dia berjalan sambil mengusap-usapkan selembar handuk lain ke rambut agar kering, lalu tanpa sengaja menoleh ke arah tempat tidur. Di sana, pandangannya terbentur ke seseorang yang masih tertidur pulas dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai sebatas dada. Secara reflek Adam tersenyum. Dia tidak memungkiri perasaan hangat yang kini membanjir dan memenuhi dirinya. Rasa-rasanya dia bisa saja meledak karena saking bahagianya. Lelaki itu urung menuju lemari pakaiannya dan malah berjalan ke arah tempat tidur. Adam lantas duduk di tepi tempat tidur dengan perlahan dan berhati-hati. Dia seakan tidak ingin membangunkan perempuan yang masih terbuai dalam mimpi itu."Eve," gumamnya, mengecup sekilas bibir yang sedikit terbuka. Sesaat Adam terdiam. Dia lalu menjilat dan menggigit bibirnya sendiri.Ah, sial. Satu kecupan singkat tadi ras
Suasana di dalam mobil terasa lengang. Sejak meninggalkan apartemen tadi, tidak ada sedikit pun pembicaraan di antara kedua orang itu. "Berhenti di sini saja," ujar Angel tiba-tiba, saat mobil Adam berada di belokan terakhir menuju gedung kantor mereka."Kenapa? Apakah ada sesuatu yang tertinggal?" tanya Adam sembari memelankan laju mobilnya. "Bukan." Angel menggeleng. "Aku akan turun di sini."Kali ini, sepasang alis Adam pun menyatu. "Apakah kamu ingin membeli sesuatu? Atau apakah kamu ingin mampir ke suatu tempat? Kalau iya, biar aku antar dan temani saj—""Aku akan turun dan berjalan ke kantor dari sini, Adam.""Kenapa? Eve, kita sudah berangkat kerja bersama seperti ini. Lalu, kenapa kamu malah tiba-tiba saja ingin turun dan—""Sebab aku tidak ingin ada gosip yang nantinya bisa tersebar gara-gara ini.""Gosip?" ulang Adam. Dia jelas tidak mengerti. "Maksudnya? Gosip apa yang kamu maksud?"Angel menghela napas panjang. Dia lalu memandang Adam dengan wajah cemberut nya yang mengg
Tidak perlu untuk menjadi jenius untuk bisa mengerti betapa berbahayanya situasi saat ini. Angel segera mengambil inisiatif. Dia menggenggam tangan Adam, tepat pada saat lelaki itu berjalan di dekatnya. Tentu saja langkah Adam seketika terhenti.Sesaat dia mematung. Adam tidak bisa menampik perasaan hangat yang menyebar saat Angel menggenggam tangannya. "Maaf," ujar Angel sembari memasang senyumannya yang mempesona. "Tapi kami sudah harus pergi ke lantai tempat kami bekerja."Seolah tanpa dosa, Angel menyibak kerumunan dan berjalan memasuki lift yang kebetulan baru saja tiba. Tentu dengan dia yang tetap menggandeng tangan Adam. "Oh, iya. Satu hal lagi," imbuhnya, sewaktu dia dan Adam sudah berada di dalam lift. "Meskipun kami belum menikah, tapi kami sedang berada di tahap saling mengenal dengan serius. Jadi, jangan salah paham seenaknya."Pintu lift perlahan bergeser tertutup. Namun, mereka masih sempat melihat sepasang mata berlainan warna yang memandang mereka dengan begitu taja
"Jadi?" "Jadi? Apanya yang jadi?" Yasmin mendengus. Dia melotot, sampai-sampai kedua bola matanya terlihat seperti hendak meloncat keluar. Sementara Angel yang duduk di depannya malah tersenyum-senyum, membuat Yasmin semakin jengkel saja. "Evangeline Callista!" bentaknya kesal, nyaris menggebrak meja. "Iya, Yasmin." Seolah tidak terpengaruh dengan sikap temannya sedikit pun, Angel menjawab dengan begitu kalem. "Ada apa? Tidak perlu teriak-teriak memanggilku seperti itu. Aku tidak budek, lho. Jadi, bicara seperti orang normal saja, ya. Oke?" Satu. Dua. Tiga. Total ada tujuh puluh tiga detik waktu yang berlalu bagi Yasmin, untuk berusaha mengatur napas. Perempuan itu sebisa mungkin mencoba agar tidak meledak, mengingat betapa kesalnya dia saat ini. "Aku cantik. Aku baik. Aku sabar," gumam Yasmin pelan, tapi rupanya masih bisa terdengar oleh Aldi. Dahi lelaki itu seketika berkerut dan ada ekspresi tidak percaya di wajahnya. Namun pada akhirnya, dia tetap tidak berkomentar apa-
Tumpukan dokumen-dokumen yang dibanting ke atas meja terdengar cukup keras. Apalagi ditambah dengan suara meja yang digebrak dengan kuat. Raka menggeram, sementara kedua tangannya terkepal kuat. Lelaki itu menahan diri agar tidak lepas kendali dan membalik meja kerja yang ada di hadapannya. "Brengsek!" Dia berteriak. "Kenapa jadi seperti ini? Semuanya kacau! Sial! Benar-benar sial!" Lelaki itu memejam. "Sebenarnya, segala kekacauan ini bermula dari mana?" bisiknya. "Kenapa tiba-tiba saja semuanya jadi seperti ini?" Raka memutar ingatannya kembali. Dia berusaha untuk mengingat ulang segala hal yang terjadi dalam waktu dekat ini. "Sial," gumamnya. "Sejak kematian ibu Lidia, segala-galanya jadi tidak karuan. Lina menghilang entah ke mana, Baby tiba-tiba saja tidak bisa aku hubungi, lalu sekarang... ini!" Tiga puluh menit yang lalu Raka menerima laporan soal nilai harga saham perusahaannya yang anjlok. Tidak main-main, penurunannya bahkan nyaris menembus angka lebih dari lima pul