Tidak perlu untuk menjadi jenius untuk bisa mengerti betapa berbahayanya situasi saat ini. Angel segera mengambil inisiatif. Dia menggenggam tangan Adam, tepat pada saat lelaki itu berjalan di dekatnya. Tentu saja langkah Adam seketika terhenti.Sesaat dia mematung. Adam tidak bisa menampik perasaan hangat yang menyebar saat Angel menggenggam tangannya. "Maaf," ujar Angel sembari memasang senyumannya yang mempesona. "Tapi kami sudah harus pergi ke lantai tempat kami bekerja."Seolah tanpa dosa, Angel menyibak kerumunan dan berjalan memasuki lift yang kebetulan baru saja tiba. Tentu dengan dia yang tetap menggandeng tangan Adam. "Oh, iya. Satu hal lagi," imbuhnya, sewaktu dia dan Adam sudah berada di dalam lift. "Meskipun kami belum menikah, tapi kami sedang berada di tahap saling mengenal dengan serius. Jadi, jangan salah paham seenaknya."Pintu lift perlahan bergeser tertutup. Namun, mereka masih sempat melihat sepasang mata berlainan warna yang memandang mereka dengan begitu taja
"Jadi?" "Jadi? Apanya yang jadi?" Yasmin mendengus. Dia melotot, sampai-sampai kedua bola matanya terlihat seperti hendak meloncat keluar. Sementara Angel yang duduk di depannya malah tersenyum-senyum, membuat Yasmin semakin jengkel saja. "Evangeline Callista!" bentaknya kesal, nyaris menggebrak meja. "Iya, Yasmin." Seolah tidak terpengaruh dengan sikap temannya sedikit pun, Angel menjawab dengan begitu kalem. "Ada apa? Tidak perlu teriak-teriak memanggilku seperti itu. Aku tidak budek, lho. Jadi, bicara seperti orang normal saja, ya. Oke?" Satu. Dua. Tiga. Total ada tujuh puluh tiga detik waktu yang berlalu bagi Yasmin, untuk berusaha mengatur napas. Perempuan itu sebisa mungkin mencoba agar tidak meledak, mengingat betapa kesalnya dia saat ini. "Aku cantik. Aku baik. Aku sabar," gumam Yasmin pelan, tapi rupanya masih bisa terdengar oleh Aldi. Dahi lelaki itu seketika berkerut dan ada ekspresi tidak percaya di wajahnya. Namun pada akhirnya, dia tetap tidak berkomentar apa-
Tumpukan dokumen-dokumen yang dibanting ke atas meja terdengar cukup keras. Apalagi ditambah dengan suara meja yang digebrak dengan kuat. Raka menggeram, sementara kedua tangannya terkepal kuat. Lelaki itu menahan diri agar tidak lepas kendali dan membalik meja kerja yang ada di hadapannya. "Brengsek!" Dia berteriak. "Kenapa jadi seperti ini? Semuanya kacau! Sial! Benar-benar sial!" Lelaki itu memejam. "Sebenarnya, segala kekacauan ini bermula dari mana?" bisiknya. "Kenapa tiba-tiba saja semuanya jadi seperti ini?" Raka memutar ingatannya kembali. Dia berusaha untuk mengingat ulang segala hal yang terjadi dalam waktu dekat ini. "Sial," gumamnya. "Sejak kematian ibu Lidia, segala-galanya jadi tidak karuan. Lina menghilang entah ke mana, Baby tiba-tiba saja tidak bisa aku hubungi, lalu sekarang... ini!" Tiga puluh menit yang lalu Raka menerima laporan soal nilai harga saham perusahaannya yang anjlok. Tidak main-main, penurunannya bahkan nyaris menembus angka lebih dari lima pul
"Apa kamu yakin?"Angel tidak segera menjawab. Perempuan itu memang terlihat tenang, tapi sebenarnya tidak juga. Sebaliknya, dia merasa sedikit tegang dan gugup. "Tidak perlu memaksakan kalau kamu tidak ingin." Adam kembali berkata. "Atau bagaimana kalau aku juga ikut menemanimu? Paling tidak, aku bisa berada di sisimu.""Tidak perlu," jawab Angel sembari tersenyum. "Tenang saja. Aku tidak apa-apa kok, Adam. Lagi pula, ada Ayah juga di sana. Jadi, tidak akan ada hal buruk yang terjadi."Adam menghela napas panjang. Lelaki itu memandangi wajah Angel selama beberapa saat. Jelas sekali kalau dia masih belum merasa rela sepenuhnya. "Oke," sahutnya dengan berat hati. "Baiklah kalau keputusanmu sudah seperti itu.""Tidak apa-apa." Angel meraih tangan Adam dan meremasnya. "Sebentar lagi, semua ini akan berakhir kok.""Semoga bisa berakhir dengan baik."."Iya. Jadi, apakah aku bisa turun sekarang? Lihat, sepertinya Ayah sudah nyaris tidak sabar."Dengan terpaksa Adam mengangguk. Dia bisa me
Tubuh Lidia menegang. Sejak tadi perempuan itu sebenarnya sudah begitu gelisah. Bahkan bisa dikata kalau sampai satu detik yang lalu pun dia masih merasa ragu. Apakah pilihannya untuk bersedia datang dan bertemu dengan Angel sudah tepat? Bagaimana kalau yang perempuan itu sampaikan kepadanya melalui telepon sebenarnya merupakan omong kosong belaka?Namun di sisi lain, Lidia juga tidak bisa menahan rasa penasarannya.Bagaimana kalau yang terjadi justru sebaliknya dan Angel memang mengatakan yang sebenarnya? Bagaimana kalau perempuan itu benar-benar memiliki bukti atas perbuatannya dan Raka?"Tenanglah." Lidia bergumam. "Kita lihat saja dulu. Belum tentu juga kalau yang dia katakan itu benar. Bisa jadi dia hanya menggertak. Tenanglah, Lidia."Sebenarnya dia ingin memberi tahu Raka soal ini dan mereka bisa datang bersama. Lagi pula, dengan begitu Lidia yakin suaminya nanti akhirnya akan mengetahui soal bagaimana sikap Angel yang sebenarnya.Namun, suasana hati Raka sedang sangat buruk k
Angel sama sekali tidak percaya dengan hal yang baru saja didengarnya. "Jangan berbohong!" serunya. "Kakakku tidak mungkin melakukan hal yang semacam itu!""Apa kamu kira Kakakmu itu perempuan baik-baik, ha?" Lidia membalas disertai tawa. "Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja langsung kepada Raka. Yang terlebih dulu merebut Raka itu adalah Erin! Jadi, tidak salah kan, kalau aku mengambil kembali apa yang menjadi milikku?"Angel memegang kepalanya yang mendadak pusing. Hal yang diceritakan Lidia ini benar-benar di luar dugaannya. "Aku dan Raka sudah bertunangan dan sebentar lagi kami akan menikah," ujar Lidia lagi. "Lalu Kakakmu tiba-tiba datang dan merusak semuanya. Dia memaksa Raka memutuskan pertunangan kami dan otomatis pernikahan kami pun batal. Saat mendengar soal itu, penyakit jantung Ayahku kumat dan beliau meninggal seketika itu juga. Harta keluargaku habis, sampai aku pun terpaksa melakukan pekerjaan haram demi menghidupi Ibu dan adikku. Keluarga dan kebahagiaanku hancur
"Ayah, sudah aku katakan kalau aku baik-baik saja!"Angel merajuk. Dia terlihat sebal dan merasa tidak suka dengan segala hal yang sekarang terpaksa dia jalani. "Lagi pula, apa-apaan sih, semua ini?""Ini untuk berjaga-jaga, Angel," ujar Jalu, dengan sabar mencoba membujuk putrinya. "Jadi, sabar dulu, ya?""Berjaga-jaga bagaimana? Lidia yang pingsan, kenapa aku juga ikut-ikutan diperiksa seperti ini?""Tetap saja, Ayah khawatir, Angel. Apalagi setelah hasil pemeriksaan Lidia akhirnya keluar. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?"Angel memukul dahinya. Perempuan itu sekarang sedikit menyesali pertemuannya dengan Lidia tadi siang. Tidak berselang lama setelah Lidia melihat bukti yang disodorkan Adam kepadanya, perempuan itu tiba-tiba saja pingsan. Entah apa yang dia lihat, tapi apa pun itu yang pasti cukup membuat Lidia shok.Mereka tentu merasa panik. Jalu dengan segera membawa Lidia ke rumah sakit terdekat, diikuti oleh Angel dan juga Adam. Sampai kemudian hasil pemeriksaan Lidi
Rupanya, Adam yang menelepon. Lelaki itu memberi kabar bahwa Lidia telah memasukkan tuntutan kepada Rama ke meja hijau. Ternyata Lidia memaksa pulang paksa dari rumah sakit adalah demi mencari barang bukti. Hasilnya, dia menemukan beberapa bungkus permen aneh yang seperti beberapa kali pernah dia konsumsi, serta sebotol kecil obat pil yang bisa larut dalam air dengan cepat. "Lalu?" tanya Angel dengan hati berdebar. Berita yang disampaikan Adam kepadanya ini cukup membuatnya tegang. "Dia menghubungiku dan meminta tolong agar semua temuannya itu diperiksa. Hasilnya—" Dari ujung telepon, tarikan napas Adam terdengar begitu jelas. "Apa?" desak Angel. "Hasilnya bagaimana, Adam?" Adam masih sempat menyergah napas, sebelum menjawab, "Permen itu mengandung sejenis zat adiktif, yang apabila dikonsumsi maka akan memberikan efek ketagihan. Namun, ada beberapa zat lain yang juga terdapat di dalamnya. Untuk singkatnya, permen itu bisa dikatakan sebagai obat perangsang." "Obat, apa?" Angel