Adam keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggang. Tubuhnya setengah basah, bahkan air pun masih menetes dari rambut. Dia berjalan sambil mengusap-usapkan selembar handuk lain ke rambut agar kering, lalu tanpa sengaja menoleh ke arah tempat tidur. Di sana, pandangannya terbentur ke seseorang yang masih tertidur pulas dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai sebatas dada. Secara reflek Adam tersenyum. Dia tidak memungkiri perasaan hangat yang kini membanjir dan memenuhi dirinya. Rasa-rasanya dia bisa saja meledak karena saking bahagianya. Lelaki itu urung menuju lemari pakaiannya dan malah berjalan ke arah tempat tidur. Adam lantas duduk di tepi tempat tidur dengan perlahan dan berhati-hati. Dia seakan tidak ingin membangunkan perempuan yang masih terbuai dalam mimpi itu."Eve," gumamnya, mengecup sekilas bibir yang sedikit terbuka. Sesaat Adam terdiam. Dia lalu menjilat dan menggigit bibirnya sendiri.Ah, sial. Satu kecupan singkat tadi ras
Suasana di dalam mobil terasa lengang. Sejak meninggalkan apartemen tadi, tidak ada sedikit pun pembicaraan di antara kedua orang itu. "Berhenti di sini saja," ujar Angel tiba-tiba, saat mobil Adam berada di belokan terakhir menuju gedung kantor mereka."Kenapa? Apakah ada sesuatu yang tertinggal?" tanya Adam sembari memelankan laju mobilnya. "Bukan." Angel menggeleng. "Aku akan turun di sini."Kali ini, sepasang alis Adam pun menyatu. "Apakah kamu ingin membeli sesuatu? Atau apakah kamu ingin mampir ke suatu tempat? Kalau iya, biar aku antar dan temani saj—""Aku akan turun dan berjalan ke kantor dari sini, Adam.""Kenapa? Eve, kita sudah berangkat kerja bersama seperti ini. Lalu, kenapa kamu malah tiba-tiba saja ingin turun dan—""Sebab aku tidak ingin ada gosip yang nantinya bisa tersebar gara-gara ini.""Gosip?" ulang Adam. Dia jelas tidak mengerti. "Maksudnya? Gosip apa yang kamu maksud?"Angel menghela napas panjang. Dia lalu memandang Adam dengan wajah cemberut nya yang mengg
Tidak perlu untuk menjadi jenius untuk bisa mengerti betapa berbahayanya situasi saat ini. Angel segera mengambil inisiatif. Dia menggenggam tangan Adam, tepat pada saat lelaki itu berjalan di dekatnya. Tentu saja langkah Adam seketika terhenti.Sesaat dia mematung. Adam tidak bisa menampik perasaan hangat yang menyebar saat Angel menggenggam tangannya. "Maaf," ujar Angel sembari memasang senyumannya yang mempesona. "Tapi kami sudah harus pergi ke lantai tempat kami bekerja."Seolah tanpa dosa, Angel menyibak kerumunan dan berjalan memasuki lift yang kebetulan baru saja tiba. Tentu dengan dia yang tetap menggandeng tangan Adam. "Oh, iya. Satu hal lagi," imbuhnya, sewaktu dia dan Adam sudah berada di dalam lift. "Meskipun kami belum menikah, tapi kami sedang berada di tahap saling mengenal dengan serius. Jadi, jangan salah paham seenaknya."Pintu lift perlahan bergeser tertutup. Namun, mereka masih sempat melihat sepasang mata berlainan warna yang memandang mereka dengan begitu taja
"Jadi?" "Jadi? Apanya yang jadi?" Yasmin mendengus. Dia melotot, sampai-sampai kedua bola matanya terlihat seperti hendak meloncat keluar. Sementara Angel yang duduk di depannya malah tersenyum-senyum, membuat Yasmin semakin jengkel saja. "Evangeline Callista!" bentaknya kesal, nyaris menggebrak meja. "Iya, Yasmin." Seolah tidak terpengaruh dengan sikap temannya sedikit pun, Angel menjawab dengan begitu kalem. "Ada apa? Tidak perlu teriak-teriak memanggilku seperti itu. Aku tidak budek, lho. Jadi, bicara seperti orang normal saja, ya. Oke?" Satu. Dua. Tiga. Total ada tujuh puluh tiga detik waktu yang berlalu bagi Yasmin, untuk berusaha mengatur napas. Perempuan itu sebisa mungkin mencoba agar tidak meledak, mengingat betapa kesalnya dia saat ini. "Aku cantik. Aku baik. Aku sabar," gumam Yasmin pelan, tapi rupanya masih bisa terdengar oleh Aldi. Dahi lelaki itu seketika berkerut dan ada ekspresi tidak percaya di wajahnya. Namun pada akhirnya, dia tetap tidak berkomentar apa-
Tumpukan dokumen-dokumen yang dibanting ke atas meja terdengar cukup keras. Apalagi ditambah dengan suara meja yang digebrak dengan kuat. Raka menggeram, sementara kedua tangannya terkepal kuat. Lelaki itu menahan diri agar tidak lepas kendali dan membalik meja kerja yang ada di hadapannya. "Brengsek!" Dia berteriak. "Kenapa jadi seperti ini? Semuanya kacau! Sial! Benar-benar sial!" Lelaki itu memejam. "Sebenarnya, segala kekacauan ini bermula dari mana?" bisiknya. "Kenapa tiba-tiba saja semuanya jadi seperti ini?" Raka memutar ingatannya kembali. Dia berusaha untuk mengingat ulang segala hal yang terjadi dalam waktu dekat ini. "Sial," gumamnya. "Sejak kematian ibu Lidia, segala-galanya jadi tidak karuan. Lina menghilang entah ke mana, Baby tiba-tiba saja tidak bisa aku hubungi, lalu sekarang... ini!" Tiga puluh menit yang lalu Raka menerima laporan soal nilai harga saham perusahaannya yang anjlok. Tidak main-main, penurunannya bahkan nyaris menembus angka lebih dari lima pul
"Apa kamu yakin?"Angel tidak segera menjawab. Perempuan itu memang terlihat tenang, tapi sebenarnya tidak juga. Sebaliknya, dia merasa sedikit tegang dan gugup. "Tidak perlu memaksakan kalau kamu tidak ingin." Adam kembali berkata. "Atau bagaimana kalau aku juga ikut menemanimu? Paling tidak, aku bisa berada di sisimu.""Tidak perlu," jawab Angel sembari tersenyum. "Tenang saja. Aku tidak apa-apa kok, Adam. Lagi pula, ada Ayah juga di sana. Jadi, tidak akan ada hal buruk yang terjadi."Adam menghela napas panjang. Lelaki itu memandangi wajah Angel selama beberapa saat. Jelas sekali kalau dia masih belum merasa rela sepenuhnya. "Oke," sahutnya dengan berat hati. "Baiklah kalau keputusanmu sudah seperti itu.""Tidak apa-apa." Angel meraih tangan Adam dan meremasnya. "Sebentar lagi, semua ini akan berakhir kok.""Semoga bisa berakhir dengan baik."."Iya. Jadi, apakah aku bisa turun sekarang? Lihat, sepertinya Ayah sudah nyaris tidak sabar."Dengan terpaksa Adam mengangguk. Dia bisa me
Tubuh Lidia menegang. Sejak tadi perempuan itu sebenarnya sudah begitu gelisah. Bahkan bisa dikata kalau sampai satu detik yang lalu pun dia masih merasa ragu. Apakah pilihannya untuk bersedia datang dan bertemu dengan Angel sudah tepat? Bagaimana kalau yang perempuan itu sampaikan kepadanya melalui telepon sebenarnya merupakan omong kosong belaka?Namun di sisi lain, Lidia juga tidak bisa menahan rasa penasarannya.Bagaimana kalau yang terjadi justru sebaliknya dan Angel memang mengatakan yang sebenarnya? Bagaimana kalau perempuan itu benar-benar memiliki bukti atas perbuatannya dan Raka?"Tenanglah." Lidia bergumam. "Kita lihat saja dulu. Belum tentu juga kalau yang dia katakan itu benar. Bisa jadi dia hanya menggertak. Tenanglah, Lidia."Sebenarnya dia ingin memberi tahu Raka soal ini dan mereka bisa datang bersama. Lagi pula, dengan begitu Lidia yakin suaminya nanti akhirnya akan mengetahui soal bagaimana sikap Angel yang sebenarnya.Namun, suasana hati Raka sedang sangat buruk k
Angel sama sekali tidak percaya dengan hal yang baru saja didengarnya. "Jangan berbohong!" serunya. "Kakakku tidak mungkin melakukan hal yang semacam itu!""Apa kamu kira Kakakmu itu perempuan baik-baik, ha?" Lidia membalas disertai tawa. "Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja langsung kepada Raka. Yang terlebih dulu merebut Raka itu adalah Erin! Jadi, tidak salah kan, kalau aku mengambil kembali apa yang menjadi milikku?"Angel memegang kepalanya yang mendadak pusing. Hal yang diceritakan Lidia ini benar-benar di luar dugaannya. "Aku dan Raka sudah bertunangan dan sebentar lagi kami akan menikah," ujar Lidia lagi. "Lalu Kakakmu tiba-tiba datang dan merusak semuanya. Dia memaksa Raka memutuskan pertunangan kami dan otomatis pernikahan kami pun batal. Saat mendengar soal itu, penyakit jantung Ayahku kumat dan beliau meninggal seketika itu juga. Harta keluargaku habis, sampai aku pun terpaksa melakukan pekerjaan haram demi menghidupi Ibu dan adikku. Keluarga dan kebahagiaanku hancur