Di depan banyak orang, Lidia menamparnya. "Dasar adik tidak tahu diuntung!" bentak Lidia. "Lihat! Apa yang sudah kamu lakukan!" Lina memegang pipinya yang kini terasa panas dan nyeri. Dia merasa kebingungan. "Mbak? Kenapa Mbak Lidia tiba-tiba menamparku?" "Itu karena kamu memang pantas untuk ditampar!" Lidia berseru emosi dan kembali menghadiahi satu tamparan di pipi Lina yang lain. "Semua ini gara-gara kamu, Lin! Kalau saja kamu bisa bersikap sedikit saja tahu diri, maka hal ini tidak akan terjadi!" "Maksud Mbak apa sih? Aku tidak mengerti, Mbak. Apa Mbak tidak bisa bicara baik-baik denganku?" "Tidak bisa! Jelas aku tidak bisa bicara baik-baik dengan orang semacam kamu! Aku menyesal memiliki adik yang tidak tahu berterima kasih seperti dirimu!" "Mbak! Ini ada apa sebenarnya? Paling tidak jelaskan dulu, jangan terus marah-marah!" "Apa kamu tidak mengerti juga? Gara-gara kamu Ibu mening—" "Ada apa ini?" Raka menyela ucapan Lidia. Lelaki itu menyeruak dan mendekati istrinya. "K
Lina nyaris saja menjerit karena kaget, tapi orang itu sudah langsung membekap mulutnya. "Ini aku," bisik orang itu. Napas panasnya menerpa tengkuk Lina, membi perempuan itu merinding.Lina akhirnya menyadari siapa lelaki yang kini tengah memeluknya ini. Namun, bukan berarti dia akan diam saja. "Lepaskan aku!""Aku hanya ingin memberimu ucapan selamat, sebab sepertinya Tuan Togar sangat puas dengan pelayanan darimu."Rasanya benar-benar muak. Bagaimana mungkin Lina merasa senang karena mendapatkan ucapan selamat untuk hal yang menjijikkan semacam itu. "Lepaskan aku!""Setelah ini, kamu bisa beristirahat untuk beberapa saat. Jangan khawatir, aku juga akan memberimu tambahan bonus atas kerja kerasmu kali ini.""Lepaskan aku! Sudah kukatakan, lepaskan aku!""Diamlah. Jangan memberontak dan sok jual mahal. Ah, aku tahu. Bagaimana kalau kita pergi berdua selama beberapa hari? Nanti selama waktu tersebut, aku bisa memuaskan dan memanjakanmu. Ide yang bagus kan? Bagaimana menurutmu?"Lina
Sementara Lina sedang mandi, Raka belum beranjak keluar meninggalkan kamarnya. Ucapan yang Lina lontarkan tadi ternyata masih mengganggu pikirannya. Benarkah kalau adik iparnya sekarang berani melawan? "Tidak mungkin," gumamnya, menggeleng sendiri. "Dia pasti hanya menggertakku. Toh, tidak mungkin juga dia bisa berbuat senekat itu. Bagaimana pun, aku masih memiliki Lidia yang bisa aku gunakan untuk memberinya ancaman. Tidak mungkin kalau dia akan bersikap masa bodoh."Setelah yakin kalau Lina tidak akan bisa berbuat macam-macam terhadap dirinya, kini Raka beralih memikirkan sesuatu yang lain.Pemberitaan mengenai Lidia itu jelas harus segera dibereskan, tapi bagaimana caranya? "Aku membutuhkan sebuah pengecohan." Dia bergumam sendiri. "Harus ada sesuatu yang bisa aku gunakan sebagai pengalih perhatian."Masalahnya, apa? Selama beberapa saat, Raka masih terlihat sibuk berpikir. Namun, segaris senyuman tiba-tiba saja menghiasi wajah tampan lelaki itu. "Ah, dasar bodoh," ujarnya. "K
Prosesi pemakaman berjalan dengan lancar. Ada begitu banyak orang yang mengucapkan bela sungkawa. Rasanya Raka tidak ada henti-hentinya mengangguk, sambil tersenyum ramah kepada setiap pelayat yang menemuinya. Rasanya melelahkan untuk terus berpura-pura seperti ini. Namun, Raka juga menyadari bahwa dia tidak memiliki banyak pilihan. Dia tidak lupa bahwa saat ini ada beberapa wartawan yang juga turut hadir ke area pemakaman."Tadi saja aku sudah nyaris apes," gumamnya, teringat dengan saat Lidia memergokinya tengah berada di dalam kamar tidur Lina. "Untung saja Lidia percaya, sewaktu aku katakan kalau aku datang sekedar untuk mengecek karena khawatir dengan keadaan Lina."Raka sudah berkali-kali membohongi istrinya. Dia bahkan sudah tidak bisa menghitung seberapa sering Lidia termakan kebohongannya. Namun herannya, Lidia selalu saja percaya. "Sebenarnya dia itu apakah memang bodoh atau apa sih?" Raka melirik ke arah istrinya yang kini menangis dalam pelukan seorang perempuan baya. Ke
Jadi, inikah balasan atas kesetiaan mereka yang begitu panjang? Apakah selama ini bagi lelaki itu dia dan Ibunya tidak lebih dari sekedar lelucon? "Malam itu kondisi Ibu langsung saja memburuk dan keesokan harinya beliau menghembuskan napas terakhirnya." Detik setelah pemakaman Ibunya usai, maka pada saat yang sama pula Raka mengubur semua perasaannya. Tidak ada gunanya untuk terus berusaha bertahan dalam kesetiaan kepada orang lain. Tidak ada gunanya untuk terlalu dalam mencintai orang lain. Tidak ada gunanya untuk menaruh kepercayaan terhadap orang lain. Hal yang paling penting adalah dirinya, dirinya, dan dirinya. Itu saja. Kalau saja selama bertahun-tahun lalu Ibunya berpikiran seperti itu, maka fisik beliau tidak akan selemah itu. Paling tidak Ibunya itu tidak akan jatuh sakit dan meninggal dalam kondisi patah hati. Namun pada mulanya, Raka tidak benar-benar memiliki niat buruk. Saat berhubungan dengan Lidia, dia benar-benar serius. Mereka bahkan sudah sampai bertunangan
"Selamat siang, Pak Sandira. Saya harap Anda baik-baik saja." Tidak ada reaksi. Raka hanya berdiri dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi. Dalam hati sebenarnya dia sudah begitu ingin menonjok lelaki yang ada sekarang sedang tersenyum di hadapannya ini. Entah mengapa, Raka merasa seolah senyuman itu tengah mengejeknya. Lagi pula, kenapa lelaki ini datang bersama Angel? Kalau hanya sekedar datang bersama sih, masih tidak masalah bagi Raka. Namun lelaki itu dengan terang-terangan memeluk Angel, membuatnya nyaris tidak dapat menahan amarah. "Pak Sandira," panggil Adam dengan sorot mata jenaka. "Saya sedang menyapa Anda, lho. Apakah Anda tidak berkeinginan membalas sapaan saya?" "Oh!" Raka mengerjap. "Maafkan saya. Pikiran saya tadi sempat teralihkan." "Saya harap pikiran Anda tidak teralih kepada kekasih saya ini." "Kekasih Anda? Siapa?" "Pak Sandira, kenapa Anda masih bertanya? Apakah Anda tidak bisa melihat, siapa yang sekarang sedang saya peluk ini?" Sontak saja ada kema
Adam sama sekali tidak memberinya waktu untuk berlama-lama di sana. Setelah Angel meletakkan buket bunga tulip putih di atas pusara Kharisma dan berdoa sejenak, lelaki itu segera memeluk pinggangnya dan membawanya pergi. Di luar pemakaman, mobil sedan Adam sudah menunggu. "Apakah ada sesuatu yang membuat Anda sampai harus terburu-buru, Pak?" tanya Angel dengan bingung, sementara mobil mereka mulai bergerak. "Tidak ada. Aku hanya tidak ingin terlalu lama berada di sana." "Apa itu maksudnya Anda tidak suka berada di pemakaman? Jangan katakan kalau Anda takut, Pak." Angel tertawa kecil. Pemikiran kalau seseorang seperti Adam ternyata takut dengan area pemakaman, terasa cukup lucu baginya. "Iya, memang aku takut." "Serius? Anda hanya bercanda kan, Pak?" "Aku takut kalau kamu akan berubah pikiran, Angel. Aku takut kalau akan memilih lelaki itu." Hening seketika. Sementara Angel bingung hendak menjawab apa, Adam malah terlihat begitu sibuk menyetir sekarang. Lehernya begitu tegak
Adam keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggang. Tubuhnya setengah basah, bahkan air pun masih menetes dari rambut. Dia berjalan sambil mengusap-usapkan selembar handuk lain ke rambut agar kering, lalu tanpa sengaja menoleh ke arah tempat tidur. Di sana, pandangannya terbentur ke seseorang yang masih tertidur pulas dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai sebatas dada. Secara reflek Adam tersenyum. Dia tidak memungkiri perasaan hangat yang kini membanjir dan memenuhi dirinya. Rasa-rasanya dia bisa saja meledak karena saking bahagianya. Lelaki itu urung menuju lemari pakaiannya dan malah berjalan ke arah tempat tidur. Adam lantas duduk di tepi tempat tidur dengan perlahan dan berhati-hati. Dia seakan tidak ingin membangunkan perempuan yang masih terbuai dalam mimpi itu."Eve," gumamnya, mengecup sekilas bibir yang sedikit terbuka. Sesaat Adam terdiam. Dia lalu menjilat dan menggigit bibirnya sendiri.Ah, sial. Satu kecupan singkat tadi ras