Tempat tidur yang sebenarnya cukup kokoh itu terlihat bergoyang-goyang. Suara deritan pun kerap kali terdengar, menjadi selingan dari desahan dan erangan yang memenuhi kamar tidur. "Ah, sudah. Aku sudah tidak sanggup." Suara bisikan keluar dari sepasang bibir yang sudah terlihat sedikit bengkak. Tidak lama kemudian, dia kembali mendesah-desah. "Katanya sudah tidak sanggup, tapi nyatanya masih saja keenakan seperti itu," balas lelaki yang tengah menindihnya, dengan nada sedikit mengejek. Seolah tanpa ampun, lelaki itu lantas mengangkat lebih tinggi kedua kaki lawan mainnya. Dengan begitu, dia bisa lebih dalam menghujam dan leluasa bergerak. Gerakannya itu tak ayal membuat perempuan yang tengah dia pacu menjadi semakin blingsatan. Dari gerakan yang semakin liar dan tubuh yang kian menegang, lelaki itu tahu bahwa lawan mainnya ini sebentar lagi tidak akan bertahan. "Ak—aku— sedikit lagi— Ah!" Selama beberapa saat, tubuh perempuan itu mengejang, sebelum kemudian terkulai lemas. Bu
"Pesannya sudah kamu kirimkan?""Iya.""Pasti si brengsek itu sudah langsung membacanya."Adam menghembuskan napas panjang. Lelaki itu lantas menunduk, menumpukan dahinya di bahu Angel. Saat ini mereka berdua tengah berada di atas tempat tidur. Angel duduk sambil bersandar pada Adam, yang juga memeluknya dari belakang. Pakaian keduanya berantakan. Kalau Adam masih mengenakan kemejanya meski dengan semua kancing yang terbuka, maka blouse yang tadi Angel kenakan sudah teronggok begitu saja dalam keadaan robek. Tadi mereka nyaris saja khilaf. Adam bahkan sudah meremas kedua buah dadanya, sehingga membuat Angel mendesah-desah. Namun sewaktu tangan lelaki itu bergerak ke bawah dan merayap menuju pangkal pahanya, Angel terkesiap. Dia reflek mendorong dada Adam dan menjerit kaget. "Maafkan saya, Pak," bisiknya dengan gugup. "Tadi saya—""Tidak perlu minta maaf." Adam segera memotong ucapannya. Lelaki itu lantas mengeratkan pelukan dan membawa Angel lebih merapat dengannya. "Tidak perlu m
Malam sudah cukup larut. Meski begitu, Lidia belum juga tidur dan masih harus menerima sebuah panggilan telepon. "Iya, Bu. Aku akan segera mengabari begitu mendapatkan informasi. Iya. Pasti."Dia terdiam sejenak, mendengarkan ucapan Ibunya dari ujung telepon. "Ibu tenang saja, ya. Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin saja kan, kalau Lina hanya sekedar asyik keluar bersama teman kampusnya sampai lupa waktu. Tenanglah, Bu. Tidak akan terjadi sesuatu kok."Kali ini Lidia terdiam lebih lama lagi. Rupanya, kekhawatiran Ibunya terasa semakin menjadi saja. "Bu," ujarnya kemudian, menyela Ibunya. "Peristiwa dulu terjadi karena kecerobohan Lina. Dia yang terlalu gegabah karena merayakan kelulusan SMA-nya dengan berpesta di klub malam. Akhirnya dia mabuk dan peristiwa naas itu terjadi kan? Padahal waktu itu Mas Raka sampai bersusah payah menjemput dan mencari-carinya. Berkat Mas Raka juga Lina bisa lebih cepat ditemukan dan ditolong. Ibu masih ingat kan?"Dari sambungan telepon, Lidia masih bi
Keesokan harinya, segala-galanya terasa begitu membahagiakan bagi Lidia. Dia memang tidak bisa mengingat dengan baik soal kejadian semalam. Namun kalau melihat kamar tidurnya yang berantakan, Lidia bisa menebak dengan mudah hal apa yang sudah dia dan suaminya lakukan. "Kami pasti bercinta habis-habisan," gumamnya, sambil tersenyum-senyum sendiri. "Ah, Mas Raka ternyata benar-benar mencintaiku.""Sepertinya hari ini Anda terlihat begitu bahagia, Bu Lidia."Lidia yang semula sedang menyirami bunga pun terkejut. Secara reflek dia berbalik dan langsung menyemprot orang tiba-tiba menyapanya itu dengan selang air yang memang tengah dia gunakan. "Ya, ampun. Maafkan aku!" serunya. Dia panik karena sudah membuat Joni, supir pribadinya, basah kuyup. "Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja.""Tidak apa-apa, Bu.""Kamu yang salah! Kenapa tiba-tiba saja datang dan mengagetkan aku.""Iya. Saya yang salah, Bu. Tapi bagaimana kalau Bu Lidia mematikan dulu keran airnya? Lihat. Sekarang kita berd
"Apa maksudmu dengan tetangga? Itu apa maksudnya?" Lidia terlihat begitu bingung, tapi Angel malah tertawa kecil menanggapinya. "Ya ampun. Masa soal begitu saja Ibu tidak paham sih? Yang namanya tetangga itu adalah orang yang tinggal berdekatan. Dalam hal ini, saya tinggal di rumah sebelah Ibu persis lho. Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya Bu Lidia ini memang benar tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu?" Lidia memandang Angel dengan gelombang rasa tidak suka yang tidak bisa dia jelaskan. Entah ada apa dengan perempuan cantik yang ada di hadapannya ini. Namun yang jelas, dia mulai merasakan adanya bahaya. "Bagaimana?" "Ya?" "Bagaimana kamu bisa memiliki rumah di sini? Ini adalah kawasan perumahan elit. Harga rumah di sini jelas tidak akan bisa terjangkau oleh pegawai biasa sepertimu!" "Kenapa tidak bisa?" Angel balas bertanya. "Nyatanya, ada seorang perempuan yang tidak jelas memiliki pekerjaan apa, yang bisa menempati rumah di kompleks ini kok. Lagi pula, apa tadi yang A
"Ra— ehm, bagaimana, ya? Enaknya, diberi tahu atau tidak, ya?" "Ha?" "Bu Lidia, mau tahu atau mau tahu banget?" Lidia melongo mendengarnya. "Ah, tapi sepertinya akan jadi kurang menarik kalau diberi tahu begitu saja." Angel bergumam sendiri, sambil bersikap seolah sedang berpikir-pikir. "Jadi, Bu Lidia tebak sendiri saja, ya? Bagaimana? Mudah kok. Petunjuknya, dia adalah orang yang dekat dengan Anda dengan inisial nama depannya berawalan 'Ra'. Pasti tidak sulit untuk menebaknya dong. Bu Lidia ini bukan orang bodoh kan?" Sekarang Lidia menatap Angel dengan ekspresi wajah yang semakin bingung. Terlebih ketika Angel malah berbalik, lalu melenggang meninggalkan mereka begitu saja seakan tanpa dosa. Apa-apaan ini sebenarnya? Apakah dia sedang dipermainkan? "Apa yang—" gumamnya, masih tidak mengerti. "Dia itu maunya apa, sih? Kenapa sekarang malah pergi seenaknya?" "Mas!" seru Lidia, kali ini menoleh ke suaminya. "Itu tadi maksudnya apa? Sebenarnya ada hubungan apa antara kamu sama
Sementara itu pada waktu yang hampir bersamaan, Lina sedang meringkuk sendiri di dalam kamar mandi. Entah sudah berapa lama perempuan itu duduk sembari memeluk dirinya. Lina terlihat bagai anak bayi yang tengah bergelung mencari perlindungan. Lantai kamar mandi yang dingin serta air yang terus mengguyur dari shower pun seakan tidak dia hiraukan. Tidak ada suara lain yang terdengar, kecuali gemericik air. Meski begitu, jelas sudah kalau perempuan yang masih berusia dua puluh satu itu sedang menangis. Lina mengusap sekujur tubuhnya berkali-kali menggunakan shower puff. Rasanya seolah ada kotoran yang menempel di tubuh yang hendak dia singkirkan, tapi tidak bisa. Kotoran itu terasa begitu melekat, bagai sudah menyatu dengannya. "Kenapa?" bisiknya, sambil menggosok kulitnya kuat-kuat. "Kenapa tidak hilang-hilang juga sih? Kenapa tubuhku tidak kunjung bersih? Kenapa?" Kulit kedua lengan Lina terlihat memerah, begitu pun dengan kaki dan beberapa bagian tubuhnya. Rupanya sudah sejak t
"Hancur semuanya, Lid! Hancur! Semuanya hancur dan itu gara-gara kamu!"Lidia terkejut dengan kedatangan Raka yang tiba-tiba. Sekilas dia melirik ke arah jam dinding dan melihat bahwa sekarang masih pukul tujuh malam. Waktu yang masih terlalu awal bagi Raka untuk pulang, sebab lelaki itu biasanya baru pulang menjelang tengah malam. Seharusnya dia merasa senang karena suaminya pulang lebih awal. Namun, raut wajah Raka jelas menandakan kalau lelaki itu tengah murka dan Lidia tidak tahu penyebabnya. "Mas? Ada apa, sih?" tanya Lidia. "Kenapa Mas Raka datang dan langsung saja marah-marah?""Kenapa, katamu? Setelah semua yang sudah kamu lakukan, kamu masih bisa bertanya kenapa, Lid? Apa kamu masih waras?"Tentu saja Lidia menjadi semakin bingung. Dia bertanya karena memang tidak tahu. Namun, suaminya itu malah melontarkan balik pertanyaan dan bahkan mengata-ngatainya. "Ini sebenarnya ada apa sih, Mas? Aku benar-benar tidak mengerti. Bagaimana kalau Mas Raka memberi tahuku dulu?""Oke," t