"Pesannya sudah kamu kirimkan?""Iya.""Pasti si brengsek itu sudah langsung membacanya."Adam menghembuskan napas panjang. Lelaki itu lantas menunduk, menumpukan dahinya di bahu Angel. Saat ini mereka berdua tengah berada di atas tempat tidur. Angel duduk sambil bersandar pada Adam, yang juga memeluknya dari belakang. Pakaian keduanya berantakan. Kalau Adam masih mengenakan kemejanya meski dengan semua kancing yang terbuka, maka blouse yang tadi Angel kenakan sudah teronggok begitu saja dalam keadaan robek. Tadi mereka nyaris saja khilaf. Adam bahkan sudah meremas kedua buah dadanya, sehingga membuat Angel mendesah-desah. Namun sewaktu tangan lelaki itu bergerak ke bawah dan merayap menuju pangkal pahanya, Angel terkesiap. Dia reflek mendorong dada Adam dan menjerit kaget. "Maafkan saya, Pak," bisiknya dengan gugup. "Tadi saya—""Tidak perlu minta maaf." Adam segera memotong ucapannya. Lelaki itu lantas mengeratkan pelukan dan membawa Angel lebih merapat dengannya. "Tidak perlu m
Malam sudah cukup larut. Meski begitu, Lidia belum juga tidur dan masih harus menerima sebuah panggilan telepon. "Iya, Bu. Aku akan segera mengabari begitu mendapatkan informasi. Iya. Pasti."Dia terdiam sejenak, mendengarkan ucapan Ibunya dari ujung telepon. "Ibu tenang saja, ya. Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin saja kan, kalau Lina hanya sekedar asyik keluar bersama teman kampusnya sampai lupa waktu. Tenanglah, Bu. Tidak akan terjadi sesuatu kok."Kali ini Lidia terdiam lebih lama lagi. Rupanya, kekhawatiran Ibunya terasa semakin menjadi saja. "Bu," ujarnya kemudian, menyela Ibunya. "Peristiwa dulu terjadi karena kecerobohan Lina. Dia yang terlalu gegabah karena merayakan kelulusan SMA-nya dengan berpesta di klub malam. Akhirnya dia mabuk dan peristiwa naas itu terjadi kan? Padahal waktu itu Mas Raka sampai bersusah payah menjemput dan mencari-carinya. Berkat Mas Raka juga Lina bisa lebih cepat ditemukan dan ditolong. Ibu masih ingat kan?"Dari sambungan telepon, Lidia masih bi
Keesokan harinya, segala-galanya terasa begitu membahagiakan bagi Lidia. Dia memang tidak bisa mengingat dengan baik soal kejadian semalam. Namun kalau melihat kamar tidurnya yang berantakan, Lidia bisa menebak dengan mudah hal apa yang sudah dia dan suaminya lakukan. "Kami pasti bercinta habis-habisan," gumamnya, sambil tersenyum-senyum sendiri. "Ah, Mas Raka ternyata benar-benar mencintaiku.""Sepertinya hari ini Anda terlihat begitu bahagia, Bu Lidia."Lidia yang semula sedang menyirami bunga pun terkejut. Secara reflek dia berbalik dan langsung menyemprot orang tiba-tiba menyapanya itu dengan selang air yang memang tengah dia gunakan. "Ya, ampun. Maafkan aku!" serunya. Dia panik karena sudah membuat Joni, supir pribadinya, basah kuyup. "Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja.""Tidak apa-apa, Bu.""Kamu yang salah! Kenapa tiba-tiba saja datang dan mengagetkan aku.""Iya. Saya yang salah, Bu. Tapi bagaimana kalau Bu Lidia mematikan dulu keran airnya? Lihat. Sekarang kita berd
"Apa maksudmu dengan tetangga? Itu apa maksudnya?" Lidia terlihat begitu bingung, tapi Angel malah tertawa kecil menanggapinya. "Ya ampun. Masa soal begitu saja Ibu tidak paham sih? Yang namanya tetangga itu adalah orang yang tinggal berdekatan. Dalam hal ini, saya tinggal di rumah sebelah Ibu persis lho. Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya Bu Lidia ini memang benar tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu?" Lidia memandang Angel dengan gelombang rasa tidak suka yang tidak bisa dia jelaskan. Entah ada apa dengan perempuan cantik yang ada di hadapannya ini. Namun yang jelas, dia mulai merasakan adanya bahaya. "Bagaimana?" "Ya?" "Bagaimana kamu bisa memiliki rumah di sini? Ini adalah kawasan perumahan elit. Harga rumah di sini jelas tidak akan bisa terjangkau oleh pegawai biasa sepertimu!" "Kenapa tidak bisa?" Angel balas bertanya. "Nyatanya, ada seorang perempuan yang tidak jelas memiliki pekerjaan apa, yang bisa menempati rumah di kompleks ini kok. Lagi pula, apa tadi yang A
"Ra— ehm, bagaimana, ya? Enaknya, diberi tahu atau tidak, ya?" "Ha?" "Bu Lidia, mau tahu atau mau tahu banget?" Lidia melongo mendengarnya. "Ah, tapi sepertinya akan jadi kurang menarik kalau diberi tahu begitu saja." Angel bergumam sendiri, sambil bersikap seolah sedang berpikir-pikir. "Jadi, Bu Lidia tebak sendiri saja, ya? Bagaimana? Mudah kok. Petunjuknya, dia adalah orang yang dekat dengan Anda dengan inisial nama depannya berawalan 'Ra'. Pasti tidak sulit untuk menebaknya dong. Bu Lidia ini bukan orang bodoh kan?" Sekarang Lidia menatap Angel dengan ekspresi wajah yang semakin bingung. Terlebih ketika Angel malah berbalik, lalu melenggang meninggalkan mereka begitu saja seakan tanpa dosa. Apa-apaan ini sebenarnya? Apakah dia sedang dipermainkan? "Apa yang—" gumamnya, masih tidak mengerti. "Dia itu maunya apa, sih? Kenapa sekarang malah pergi seenaknya?" "Mas!" seru Lidia, kali ini menoleh ke suaminya. "Itu tadi maksudnya apa? Sebenarnya ada hubungan apa antara kamu sama
Sementara itu pada waktu yang hampir bersamaan, Lina sedang meringkuk sendiri di dalam kamar mandi. Entah sudah berapa lama perempuan itu duduk sembari memeluk dirinya. Lina terlihat bagai anak bayi yang tengah bergelung mencari perlindungan. Lantai kamar mandi yang dingin serta air yang terus mengguyur dari shower pun seakan tidak dia hiraukan. Tidak ada suara lain yang terdengar, kecuali gemericik air. Meski begitu, jelas sudah kalau perempuan yang masih berusia dua puluh satu itu sedang menangis. Lina mengusap sekujur tubuhnya berkali-kali menggunakan shower puff. Rasanya seolah ada kotoran yang menempel di tubuh yang hendak dia singkirkan, tapi tidak bisa. Kotoran itu terasa begitu melekat, bagai sudah menyatu dengannya. "Kenapa?" bisiknya, sambil menggosok kulitnya kuat-kuat. "Kenapa tidak hilang-hilang juga sih? Kenapa tubuhku tidak kunjung bersih? Kenapa?" Kulit kedua lengan Lina terlihat memerah, begitu pun dengan kaki dan beberapa bagian tubuhnya. Rupanya sudah sejak t
"Hancur semuanya, Lid! Hancur! Semuanya hancur dan itu gara-gara kamu!"Lidia terkejut dengan kedatangan Raka yang tiba-tiba. Sekilas dia melirik ke arah jam dinding dan melihat bahwa sekarang masih pukul tujuh malam. Waktu yang masih terlalu awal bagi Raka untuk pulang, sebab lelaki itu biasanya baru pulang menjelang tengah malam. Seharusnya dia merasa senang karena suaminya pulang lebih awal. Namun, raut wajah Raka jelas menandakan kalau lelaki itu tengah murka dan Lidia tidak tahu penyebabnya. "Mas? Ada apa, sih?" tanya Lidia. "Kenapa Mas Raka datang dan langsung saja marah-marah?""Kenapa, katamu? Setelah semua yang sudah kamu lakukan, kamu masih bisa bertanya kenapa, Lid? Apa kamu masih waras?"Tentu saja Lidia menjadi semakin bingung. Dia bertanya karena memang tidak tahu. Namun, suaminya itu malah melontarkan balik pertanyaan dan bahkan mengata-ngatainya. "Ini sebenarnya ada apa sih, Mas? Aku benar-benar tidak mengerti. Bagaimana kalau Mas Raka memberi tahuku dulu?""Oke," t
Lima jam sebelumnya. Kharisma masih berdiri di tempatnya, meski beberapa waktu sudah berlalu. Entah berapa lama sudah dia berada di area parkiran depan sebuah hotel, rasanya dia pun sudah tidak sanggup lagi menghitung waktu. Bahkan, Kharisma seolah tidak bisa memikirkan yang lain, kecuali hal yang tadi dilihatnya. Mungkinkah kalau tadi dia hanya salah lihat? Benarkah kalau yang dia lihat tadi benar-benar adalah Lina, putri bungsunya? Namun, kenapa tadi Lina sedang bermesraan dengan seorang lelaki baya? Lelaki itu bahkan tanpa segan-segan mencium dan meremas bokongnya, tapi Lina sama sekali tidak menolak. Jadi, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa putri bungsunya yang sejak kemarin tidak pulang dan sedang dia cari-cari, justru Kharisma temukan berada di depan sebuah hotel, sedang bermesraan dengan seorang lelaki baya, lalu masuk ke mobil bersama-sama. Mungkinkah ...? "Tidak," bisik Kharisma dengan bibir gemetar. "Tidak. Tidak mungkin. Putriku tidak mungkin melakukan hal yang
Halo, Para pembaca. Kisah Adam dan Angel berakhir sampai di sini. Terima kasih atas kesediannya untuk mengikuti kisah ini dan mohon maaf karena sempat vakum cukup lama. Ada satu dan lain hal yang menjadi penyebab, termasuk masalah kesehatan. Semoga kita semua selalu sehat & bahagia, ya. Saya menyadari bahwa karya ini sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu, komentar, masukan, dan saran dari Kakak sekalian sangat saya nanti dan hargai. Sampai bertemu di kisah yang lain. Apabila berkenan, silakan mampir di igeh saya: Rae_1243. Apabila ingin berhubungan melalui wa dengan saya, silakan dm saja. Sekali lagi, terima kasih. Salam sayang, ~Rae~
"Tahanan 2673, silakan ke sini."Lidia berjalan dengan kepala tertunduk. Setelah berada di penjara selama nyaris tiga tahun, kini dia sudah terbiasa dengan panggilan tersebut. Namun langkahnya tiba-tiba saja terhenti, saat dia melihat siapa orang yang datang mengunjunginya."Kamu lagi. Bukankah sudah aku katakan, agar tidak mengunjungiku lagi? Tapi kenapa kamu masih juga datang terus?""Kak Lidia, ish! Jangan bersikap sekasar itu dong. Lihat, Raline jadi kaget.""Kamu juga sih, Lin. Kenapa membawa anak kecil ke penjara?""Memangnya, kenapa? Raline ini juga kan, keponakan Kakak. Lagi pula, nanti juga Kakak akan tinggal bersamanya kan?"Sejenak Lidia terdiam, lalu membuang muka. "Tidak perlu. Lupakan saja omonganmu tadi. Lagi pula, dia pasti malu karena mempunyai bibi mantan napi seperti aku ini.""Siapa bilang? Memangnya, Kakak berpikir aku akan membesarkan putriku seperti apa?""Tapi—""Tujuh tahun lagi Kakak akan bebas. Pada saat itu, aku dan Raline akan datang menjemput Kakak. Titik
Lima menit pertama Angel mengedarkan pandangan. Dia masih berusaha untuk menangkap, apa sebenarnya yang sedang terjadi.Ada Ayahnya, yang berdiri di sebelah Erin. Angel juga bisa melihat teman-teman Ayahnya, yang sebagian besar dulunya merupakan orang-orang yang salah jalan. Lalu juga ada beberapa rekan kerjanya yang dulu seperti Yasmin, Aldi, dan bahkan Pak Dimas. Kemudian Keynan serta Keke.Tidak ada terlalu banyak orang di sana, kemungkinan tidak lebih dari seratus orang. Namun, suasanya begitu meriah.Dekorasi yang ada memang mewah, tapi tidak berlebihan. Ribuan bunga yang menghiasi seluruh penjuru ruangan luas ini dan bahkan sampai menjuntai dari langit-langit, membuat Angel seolah tiba-tiba saja masuk ke sebuah negeri dongeng.Kemudian, kerlip-kerlip apa itu? Terlihat seolah ada jutaan permata yang bersembunyi di balik hiasan bunga.Bahkan sampai ada banyak kupu-kupu yang berterbangan kian kemari. Seekor kupu-kupu berwarna hijau toska kemudian terbang mendekat dan hinggap di at
Terdengar suara desahan dari sepasang bibir Angel.Perempuan itu lebih dalam menyandarkan punggung ke kursi tempatnya duduk, sembari melemparkan pandangan ke arah jendela yang ada di sampingnya. Angel mengamati hamparan awan putih mendominasi. Seketika pikirannya pun kembali melayang ke segala hal yang telah terjadi. Tidak terasa, waktu tiga tahun pun sudah berlalu. "Padahal, rasanya seperti baru kemarin," gumamnya, mendesah. "Tapi syukurlah, setidaknya aku tidak perlu lagi bertemu dengan orang-orang itu."Raka sudah divonis penjara seumur hidup. Dari kabar terakhir yang Angel dengar, lelaki itu terlibat dalam kerusuhan yang terjadi di dalam penjara sampai mengalami luka parah.Namun, ada kabar lain lagi yang lebih mengerikan. Angel mendengar bahwa Raka sampai harus kehilangan kejantanannya. Kejantanan milik lelaki itu rupanya mengalami luka dan infeksi yang didapat dari insiden kerusuhan, sehingga akhirnya terpaksa dipotong. "Ya, Tuhan." Angel berbisik. "Aku tidak bisa membayang
Raka berteriak marah. Sejak tadi dia terus menendang-nendang jeruji besi tempatnya ditahan dan baru berhenti ketika dibentak balik oleh petugas jaga. "Brengsek!" Dia mengumpat, segera setelah petugas jaga pergi. "Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa?"Lelaki itu meremas-remas rambut dengan frustrasi. Dia teringat kembali dengan kejadian yang dialaminya tiga hari lalu.Waktu itu dia baru saja hendak pulang kerja, sewaktu dua orang lelaki yang tidak dikenal datang. Napasnya seketika tercekat, saat salah satu dari mereka menunjukkan surat penangkapan untuknya. Rasanya benar-benar memalukan ketika dia digelandang keluar dari gedung perusahaannya sendiri. Ditambah lagi dengan pandangan para karyawan yang ada, membuat Raka begitu ingin mengubur dirinya sendiri kala itu. "Sialan! Padahal tinggal sedikit lagi semua rencanaku bisa beres." Dia menggerutu. "Tapi kenapa malah jadi begini?"Sekarang Raka benar-benar tidak bisa berkutik. Dia tidak dapat mengelak sewaktu polisi menemukan boto
"Angel, tunggu!" Mobil yang Jalu kendarai masih belum sepenuhnya berhenti, tapi Angel sudah langsung membuka pintu dan meloncat keluar. Perempuan itu seolah tidak ingin membuang waktu dan segera menyeberangi pelataran parkir. "Angel! Tunggu, Nak!" Jalu berseru percuma. Putrinya itu sekarang berlari memasuki rumah sakit tanpa menoleh sedikit pun. Dengan menggerutu, Jalu berusaha mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya. Lelaki itu pun segera berlari, menyusul ke arah putrinya. "Pak Jalu! Terima kasih karena sudah datang secepatnya." Dokter Brian berseru, sambil berlari-lari menyongsong Jalu. "Ada keadaan mendesak yang—" "Saya paham, Dok," potong Jalu segera. "Sebenarnya, apa yang terjadi?" "Ah, itu—" "Ayah!" seru Angel. Dia menarik-narik tangan Ayahnya dengan panik. "Ayah! Ada apa dengan Kak Erin? Kenapa sekarang Kak Erin dipindahkan ke ruang ICU? Lalu, kenapa aku tidak boleh masuk dan melihatnya?" "Angel, tenang dulu. Tenang ya, Nak." "Tapi, Ayah—" "Maaf karena saya menye
Rupanya, Adam yang menelepon. Lelaki itu memberi kabar bahwa Lidia telah memasukkan tuntutan kepada Rama ke meja hijau. Ternyata Lidia memaksa pulang paksa dari rumah sakit adalah demi mencari barang bukti. Hasilnya, dia menemukan beberapa bungkus permen aneh yang seperti beberapa kali pernah dia konsumsi, serta sebotol kecil obat pil yang bisa larut dalam air dengan cepat. "Lalu?" tanya Angel dengan hati berdebar. Berita yang disampaikan Adam kepadanya ini cukup membuatnya tegang. "Dia menghubungiku dan meminta tolong agar semua temuannya itu diperiksa. Hasilnya—" Dari ujung telepon, tarikan napas Adam terdengar begitu jelas. "Apa?" desak Angel. "Hasilnya bagaimana, Adam?" Adam masih sempat menyergah napas, sebelum menjawab, "Permen itu mengandung sejenis zat adiktif, yang apabila dikonsumsi maka akan memberikan efek ketagihan. Namun, ada beberapa zat lain yang juga terdapat di dalamnya. Untuk singkatnya, permen itu bisa dikatakan sebagai obat perangsang." "Obat, apa?" Angel
"Ayah, sudah aku katakan kalau aku baik-baik saja!"Angel merajuk. Dia terlihat sebal dan merasa tidak suka dengan segala hal yang sekarang terpaksa dia jalani. "Lagi pula, apa-apaan sih, semua ini?""Ini untuk berjaga-jaga, Angel," ujar Jalu, dengan sabar mencoba membujuk putrinya. "Jadi, sabar dulu, ya?""Berjaga-jaga bagaimana? Lidia yang pingsan, kenapa aku juga ikut-ikutan diperiksa seperti ini?""Tetap saja, Ayah khawatir, Angel. Apalagi setelah hasil pemeriksaan Lidia akhirnya keluar. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?"Angel memukul dahinya. Perempuan itu sekarang sedikit menyesali pertemuannya dengan Lidia tadi siang. Tidak berselang lama setelah Lidia melihat bukti yang disodorkan Adam kepadanya, perempuan itu tiba-tiba saja pingsan. Entah apa yang dia lihat, tapi apa pun itu yang pasti cukup membuat Lidia shok.Mereka tentu merasa panik. Jalu dengan segera membawa Lidia ke rumah sakit terdekat, diikuti oleh Angel dan juga Adam. Sampai kemudian hasil pemeriksaan Lidi
Angel sama sekali tidak percaya dengan hal yang baru saja didengarnya. "Jangan berbohong!" serunya. "Kakakku tidak mungkin melakukan hal yang semacam itu!""Apa kamu kira Kakakmu itu perempuan baik-baik, ha?" Lidia membalas disertai tawa. "Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja langsung kepada Raka. Yang terlebih dulu merebut Raka itu adalah Erin! Jadi, tidak salah kan, kalau aku mengambil kembali apa yang menjadi milikku?"Angel memegang kepalanya yang mendadak pusing. Hal yang diceritakan Lidia ini benar-benar di luar dugaannya. "Aku dan Raka sudah bertunangan dan sebentar lagi kami akan menikah," ujar Lidia lagi. "Lalu Kakakmu tiba-tiba datang dan merusak semuanya. Dia memaksa Raka memutuskan pertunangan kami dan otomatis pernikahan kami pun batal. Saat mendengar soal itu, penyakit jantung Ayahku kumat dan beliau meninggal seketika itu juga. Harta keluargaku habis, sampai aku pun terpaksa melakukan pekerjaan haram demi menghidupi Ibu dan adikku. Keluarga dan kebahagiaanku hancur