"Ra— ehm, bagaimana, ya? Enaknya, diberi tahu atau tidak, ya?" "Ha?" "Bu Lidia, mau tahu atau mau tahu banget?" Lidia melongo mendengarnya. "Ah, tapi sepertinya akan jadi kurang menarik kalau diberi tahu begitu saja." Angel bergumam sendiri, sambil bersikap seolah sedang berpikir-pikir. "Jadi, Bu Lidia tebak sendiri saja, ya? Bagaimana? Mudah kok. Petunjuknya, dia adalah orang yang dekat dengan Anda dengan inisial nama depannya berawalan 'Ra'. Pasti tidak sulit untuk menebaknya dong. Bu Lidia ini bukan orang bodoh kan?" Sekarang Lidia menatap Angel dengan ekspresi wajah yang semakin bingung. Terlebih ketika Angel malah berbalik, lalu melenggang meninggalkan mereka begitu saja seakan tanpa dosa. Apa-apaan ini sebenarnya? Apakah dia sedang dipermainkan? "Apa yang—" gumamnya, masih tidak mengerti. "Dia itu maunya apa, sih? Kenapa sekarang malah pergi seenaknya?" "Mas!" seru Lidia, kali ini menoleh ke suaminya. "Itu tadi maksudnya apa? Sebenarnya ada hubungan apa antara kamu sama
Sementara itu pada waktu yang hampir bersamaan, Lina sedang meringkuk sendiri di dalam kamar mandi. Entah sudah berapa lama perempuan itu duduk sembari memeluk dirinya. Lina terlihat bagai anak bayi yang tengah bergelung mencari perlindungan. Lantai kamar mandi yang dingin serta air yang terus mengguyur dari shower pun seakan tidak dia hiraukan. Tidak ada suara lain yang terdengar, kecuali gemericik air. Meski begitu, jelas sudah kalau perempuan yang masih berusia dua puluh satu itu sedang menangis. Lina mengusap sekujur tubuhnya berkali-kali menggunakan shower puff. Rasanya seolah ada kotoran yang menempel di tubuh yang hendak dia singkirkan, tapi tidak bisa. Kotoran itu terasa begitu melekat, bagai sudah menyatu dengannya. "Kenapa?" bisiknya, sambil menggosok kulitnya kuat-kuat. "Kenapa tidak hilang-hilang juga sih? Kenapa tubuhku tidak kunjung bersih? Kenapa?" Kulit kedua lengan Lina terlihat memerah, begitu pun dengan kaki dan beberapa bagian tubuhnya. Rupanya sudah sejak t
"Hancur semuanya, Lid! Hancur! Semuanya hancur dan itu gara-gara kamu!"Lidia terkejut dengan kedatangan Raka yang tiba-tiba. Sekilas dia melirik ke arah jam dinding dan melihat bahwa sekarang masih pukul tujuh malam. Waktu yang masih terlalu awal bagi Raka untuk pulang, sebab lelaki itu biasanya baru pulang menjelang tengah malam. Seharusnya dia merasa senang karena suaminya pulang lebih awal. Namun, raut wajah Raka jelas menandakan kalau lelaki itu tengah murka dan Lidia tidak tahu penyebabnya. "Mas? Ada apa, sih?" tanya Lidia. "Kenapa Mas Raka datang dan langsung saja marah-marah?""Kenapa, katamu? Setelah semua yang sudah kamu lakukan, kamu masih bisa bertanya kenapa, Lid? Apa kamu masih waras?"Tentu saja Lidia menjadi semakin bingung. Dia bertanya karena memang tidak tahu. Namun, suaminya itu malah melontarkan balik pertanyaan dan bahkan mengata-ngatainya. "Ini sebenarnya ada apa sih, Mas? Aku benar-benar tidak mengerti. Bagaimana kalau Mas Raka memberi tahuku dulu?""Oke," t
Lima jam sebelumnya. Kharisma masih berdiri di tempatnya, meski beberapa waktu sudah berlalu. Entah berapa lama sudah dia berada di area parkiran depan sebuah hotel, rasanya dia pun sudah tidak sanggup lagi menghitung waktu. Bahkan, Kharisma seolah tidak bisa memikirkan yang lain, kecuali hal yang tadi dilihatnya. Mungkinkah kalau tadi dia hanya salah lihat? Benarkah kalau yang dia lihat tadi benar-benar adalah Lina, putri bungsunya? Namun, kenapa tadi Lina sedang bermesraan dengan seorang lelaki baya? Lelaki itu bahkan tanpa segan-segan mencium dan meremas bokongnya, tapi Lina sama sekali tidak menolak. Jadi, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa putri bungsunya yang sejak kemarin tidak pulang dan sedang dia cari-cari, justru Kharisma temukan berada di depan sebuah hotel, sedang bermesraan dengan seorang lelaki baya, lalu masuk ke mobil bersama-sama. Mungkinkah ...? "Tidak," bisik Kharisma dengan bibir gemetar. "Tidak. Tidak mungkin. Putriku tidak mungkin melakukan hal yang
Sekedar kata sakit sepertinya tidak cukup untuk menggambarkan apa yang Lina rasakan saat ini. Setiap jengkal tubuhnya seolah meneriakkan kesakitan, bahkan sekedar menarik napas pun sudah membuat dada dan punggungnya meregang nyeri. "Aduh," keluhnya, meringis menahan sakit yang berdenyut di sekujur tubuhnya. Lina lantas melihat ke kedua lengannya yang dihiasi lebam. "Lelaki itu ... padahal sudah tua, tapi dia benar-benar gila."Bibirnya menipis. Lina merasa mual saat tadi dia kembali dibawa paksa oleh Togar. Lelaki baya itu tidak hanya memaksa Lina untuk kembali melayaninya, tapi bahkan melakukan kekerasan fisik. Sikap Lina yang terus meminta untuk dipulangkan, rupanya membuatnya berang. Tanpa segan Togar menghadiahi pukulan, membuat kulit Lina yang semula bersih pun memerah. Namun, ternyata Lina masih memiliki sisa keberuntungan. Togar akhirnya melepaskannya dan Lina tentu tidak membuang waktu untuk berlama-lama tinggal di sana. Dia belum terlalu lama pergi, sewaktu terdengar suar
Di depan banyak orang, Lidia menamparnya. "Dasar adik tidak tahu diuntung!" bentak Lidia. "Lihat! Apa yang sudah kamu lakukan!" Lina memegang pipinya yang kini terasa panas dan nyeri. Dia merasa kebingungan. "Mbak? Kenapa Mbak Lidia tiba-tiba menamparku?" "Itu karena kamu memang pantas untuk ditampar!" Lidia berseru emosi dan kembali menghadiahi satu tamparan di pipi Lina yang lain. "Semua ini gara-gara kamu, Lin! Kalau saja kamu bisa bersikap sedikit saja tahu diri, maka hal ini tidak akan terjadi!" "Maksud Mbak apa sih? Aku tidak mengerti, Mbak. Apa Mbak tidak bisa bicara baik-baik denganku?" "Tidak bisa! Jelas aku tidak bisa bicara baik-baik dengan orang semacam kamu! Aku menyesal memiliki adik yang tidak tahu berterima kasih seperti dirimu!" "Mbak! Ini ada apa sebenarnya? Paling tidak jelaskan dulu, jangan terus marah-marah!" "Apa kamu tidak mengerti juga? Gara-gara kamu Ibu mening—" "Ada apa ini?" Raka menyela ucapan Lidia. Lelaki itu menyeruak dan mendekati istrinya. "K
Lina nyaris saja menjerit karena kaget, tapi orang itu sudah langsung membekap mulutnya. "Ini aku," bisik orang itu. Napas panasnya menerpa tengkuk Lina, membi perempuan itu merinding.Lina akhirnya menyadari siapa lelaki yang kini tengah memeluknya ini. Namun, bukan berarti dia akan diam saja. "Lepaskan aku!""Aku hanya ingin memberimu ucapan selamat, sebab sepertinya Tuan Togar sangat puas dengan pelayanan darimu."Rasanya benar-benar muak. Bagaimana mungkin Lina merasa senang karena mendapatkan ucapan selamat untuk hal yang menjijikkan semacam itu. "Lepaskan aku!""Setelah ini, kamu bisa beristirahat untuk beberapa saat. Jangan khawatir, aku juga akan memberimu tambahan bonus atas kerja kerasmu kali ini.""Lepaskan aku! Sudah kukatakan, lepaskan aku!""Diamlah. Jangan memberontak dan sok jual mahal. Ah, aku tahu. Bagaimana kalau kita pergi berdua selama beberapa hari? Nanti selama waktu tersebut, aku bisa memuaskan dan memanjakanmu. Ide yang bagus kan? Bagaimana menurutmu?"Lina
Sementara Lina sedang mandi, Raka belum beranjak keluar meninggalkan kamarnya. Ucapan yang Lina lontarkan tadi ternyata masih mengganggu pikirannya. Benarkah kalau adik iparnya sekarang berani melawan? "Tidak mungkin," gumamnya, menggeleng sendiri. "Dia pasti hanya menggertakku. Toh, tidak mungkin juga dia bisa berbuat senekat itu. Bagaimana pun, aku masih memiliki Lidia yang bisa aku gunakan untuk memberinya ancaman. Tidak mungkin kalau dia akan bersikap masa bodoh."Setelah yakin kalau Lina tidak akan bisa berbuat macam-macam terhadap dirinya, kini Raka beralih memikirkan sesuatu yang lain.Pemberitaan mengenai Lidia itu jelas harus segera dibereskan, tapi bagaimana caranya? "Aku membutuhkan sebuah pengecohan." Dia bergumam sendiri. "Harus ada sesuatu yang bisa aku gunakan sebagai pengalih perhatian."Masalahnya, apa? Selama beberapa saat, Raka masih terlihat sibuk berpikir. Namun, segaris senyuman tiba-tiba saja menghiasi wajah tampan lelaki itu. "Ah, dasar bodoh," ujarnya. "K