“Itu … Tadi …”“Itu Dinaya, anakku.” Akhirnya Dirga memutuskan untuk melepas bebannya dan berterus terang pada Selina tentang statusnya yang seorang ayah.“Mas Dirga sudah punya anak? Tapi kata Kak Elga dan Bang Farez, Mas Dirga belum menikah?” tanya Selina bingung. Ada gurat kekecewaan yang jelas terbaca di matanya.“Aku belum menikah lagi setelah berpisah dengan ibunya Dinaya. Dulu Dinaya tinggal dengan ibunya, tapi beberapa minggu yang lalu Ibunya meninggal dunia dan Dinaya tinggal denganku, Sel.” Dirga menjelaskan dengan lancar. Ia tak ingin lagi menutupi tentang Dinaya dari siapapun.Dirga sadar, tujuannya saat ini adalah mencari istri, dan Selina adalah kandidat pertama. Dirga sudah trauma dengan perempuan perempuan seperti Cindy yang hanya melihat satu sisi dirinya saja. Padahal dirinya punya sisi lain yang harus diketahui calon istrinya kelak. Dirga tak ingin membuang waktu lagi, ia memutuskan untuk menjelaskan sejak awal tentang Dinaya. Kalau Selina bisa menerima keadaannya,
“Oooh, jadi Pak Dokter ini ayahnya Dinaya?”“Iya Bu Sabeumnim ... eh … Bu Guru … eh … Mbak Reisha. Aduh saya bingung harus panggil apa.”“Panggil Miss Rei aja, Pa. Semua orang tua temen temen aku panggil Miss Rei,” Dinaya yang menjawab diikuti anggukan Reisha.“Oh iya, Miss Rei.”Aduh! Kenapa harus diajak ke sini Nayaaa! Gimana kalau dia kumat lagi jiwa jiwa absudnya dan aku disuruh jadi cenayang yang ngobrol sama almarhum abangnya lagi! Gawat! Capek capek menghindar, malah si Naya yang ngundang ke sini! Batin Dirga frustrasi.“Oh iya Pak Dokter, maaf ya waktu itu saya sering maksain Pak Dokter buat bicara sama jenazah abang saya. Setelah saya ketemu sama ustadzah, katanya ruh orang yang sudah meninggal itu sudah terputus hubungan komunikasi dengan manusia di dunia ini kecuali lewat do’a.” Tiba tiba Reisha menjelaskan sekaligus meminta maaf sambil tersenyum salah tingkah.Ah! Alhamdulillah! Akhirnya dia sadar kalau aku bukan cenayang! Batin Dirga merasa lega sekali.“Mmm … Sudah malam
“Nay … Kamu nggak apa apa kan kalau papa menikah?”Dinaya yang sedang menyiapkan sarapan mendadak melepas sendoknya dan meletakkan benda itu asal asalan. Dia langsung berjalan cepat ke arah meja makan dan menarik kursi persis di depan Dirga. Raut wajahnya sumringah, matanya berbinar, dan wajahnya mendadak berseri seri.“Papa mau menikah lagi? Eh, maaf papa belum pernah menikah ya? Maksudnya papa mau menikah? Nggak apa apa banget Pa. Aku setuju dan malah support banget kalau papa mau nikah lagi.” Dinaya menjawab dengan nada ceria.“Akhirnya Papa udah ketemu calon yang tepat kan? Papa beneran tertarik? Atau jatuh cinta pada pandangan pertama? Mau kuajak ke sini lagi biar papa bisa pedekate?” Dinaya terlalu antusias sampai lanjutan kalimatnya membuat Dirga nyaris merosot dari kursinya.“Hah? Ntar dulu! Ntar dulu! Jatuh cinta pada pandangan pertama? Maksudnya gimana nih?” tanya Dirga panik.“Iya, Pa. Love at the first sight sama Miss Rei kan? Atau baru tadi malem papa jatuh cinta sama Mis
Dirga berjalan terburu buru ke arah restoran cepat saji yang berjarak tak jauh dari rumahnya. Di sana Selina sudah menunggu sambil mengaduk secangkir kopi dalam gelas yang baru saja diletakkan pramusaji di atas meja.“Hai Sel, udah lama ya? Maaf aku agak telat. Tadi nggak sengaja numpahin kopi dan bajuku kena noda, jadi terpaksa ganti baju lagi,” jelas Dirga dengan nada menyesal.“Nggak apa apa, Mas. Aku juga baru datang kok,” jawab Selina sambil tersenyum tipis. Tapi terlihat jelas kalau senyum itu dipaksakan.“Ada apa Sel? Kenapa kok pagi pagi banget udah ngajak ketemu di sini?” tanya Dirga tanpa basa basi. Biasanya Dirga adalah tipe orang yang selalu hati hati saat berbicara dan kadang berbasa basi dulu sebelum mengutarakan maksudnya. Tapi kali ini, rasa penasarannya mengalahkan sikap santun yang biasa ia tunjukkan.“Mmm … Mas, kemarin Mas Dirga bilang, Mas Dirga mau aku ketemu sama anaknya Mas Dirga ya?” tanya Selina. Sama seperti Dirga, Selina pun tak lagi berbasa basi. Ia juga l
“Nay ayo temenin papa jalan jalan, makan, main, pokoknya kita happy happy. Ayo buruan ganti baju. Papa hari ini libur.” Dirga menarik tangan Dinaya yang baru saja bangun tidur dan sedang duduk di sofa dengan mata setengah terpejam.“Papaaa, ini baru setengah lima! Adzan subuh aja belum. Mana ada mall buka pagi pagi gini,” protes Dinaya.“Kita bukan mau ke mall. Ayo kita ke Bandung.”“Hah? Ngapain ke jauh jauh ke Bandung?”“Ya jalan jalan lah. Kamu belum pernah ke Bandung kan? Ayo kita ke Bandung, kita kulineran, terus nanti kita ke distro distro, beli baju baru buat kamu. Ayooo siap siap, kelar sholat subuh kita jalan. Ayo Nayaaa!” Dirga berteriak di telinga Dinaya dan membuat putrinya itu mau tak mau beranjak dari sofa, lalu menyeret langkah ke kamarnya.“Pokoknya Papa pulang dari masjid, kamu udah harus siap yaaa!”“Papa! Aku belum mandi!”“Makanya buruan mandi sana!”Dirga terus meneriaki Dinaya dan gadis itu mandi sambil bersungut sungut. Dinaya tak habis pikir, entah apa yang ada
Sejak pulang dari Bandung, Dirga terlihat berusaha untuk normal lagi. Selama di Bandung, Dinaya yang berbalik menyeret Dirga agar tak hanya tidur tiduran di hotel. Padahal niat Dirga ingin mengajak Dinaya berkeliling dari pagi sampai malam. Tapi dia sendiri malah kehilangan mood dan bergelung di kasur. Dirga patah hati, berbanding terbalik dengan Dinaya yang mendadak ceria sekali. Akhirnya gadis itu berhasil membujuk Dirga menghabiskan dua hari dengan penuh semangat sampai lelah secara fisik, tapi kondisi mental keduanya jauh lebih baik.“Nay, papa hari ini nggak makan malam di rumah ya. Papa mau ketemu sama Om Farez dan yang lainnya. Kamu makan sendiri aja,” ujar Dirga sambil bersiap mengambil kunci mobilnya.“Oh iya Pa. Aku juga mau izin, boleh nggak malam ini ke rumah Aufa?” tanya Dinaya.“Rumah Aufa? Mau ngapain? Sampai jam berapa?” tanya Dirga.“Ada acara di rumah Aufa Pa. Ibunya syukuran naik jabatan gitu deh. Jadi kita ngumpul pesta barbeque gitu Pa. Acara anak anak di halaman
“Aku nggak denger langsung dari mulutnya sih, Mas. Tapi beberapa temen yang ada di acara itu udah kutanyain emang pada denger dia ngomong gitu. Aku nggak nyangka juga,” Elga menjelaskan pada Dirga dan Dirga tampak semakin marah.“Dia jelas nyebut nama Dinaya kan El?” tanya Dirga berang.“Kata temen temenku sih jelas banget, Mas. Dia bilang namanya Dinaya, kelas 3 SMA dan … mmm …” Elga berhenti berbicara dan melirik Farez -suaminya- lantaran bingung harus melanjutkan kata katanya atau tidak, khawatir Dirga tersinggung“Kamu bilang aja semuanya, El. Nggak usah takut aku tersinggung atau apa. Nggak apa apa, El,” sahut Dirga seolah tau perasaan tak enak Elga.“Iya Mas, aku juga dengernya nggak enak sih. Katanya Dinaya itu anak problematik dan kriminal. Katanya Dinaya pergaulannya rusak, kecanduan narkoba, dan kalau uangnya udah habis buat beli narkoba, dia sering open BO. Aduh parah banget Mas. Mana katanya Dinaya mirip ibunya dulu yang punya anak haram sebelum nikah. Ya Allah kalo aku ad
Dirga baru saja memarkir mobilnya tak jauh dari rumah Aufa yang sudah dipenuhi mobil para tamu. Halaman rumah Aufa penuh mobil, begitu juga dengan jalanan di depan rumahnya. Mobil para tamu parkir berderet. Itu pula yang membuat Dirga harus memarkir mobilnya sedikit jauh dari gerbang utama rumah Aufa. Aufa adalah teman dekat Dinaya sekaligus teman pertamanya. Ayah Aufa seorang pengusaha, sementara ibunya seorang dokter estetika yang juga pemilik sebuah klinik kecantikan ternama. Hari ini keluarga Aufa menggelar acara syukuran atas kenaikan jabatan sang ibu di rumah sakit tempatnya bekerja. Aufa adalah gadis yang baik. Begitu juga kedua orang tuanya. Dirga beberapa kali bertemu mereka saat Aufa sedang ke rumahnya dan bermain dengan Dinaya. Meski tak mengenal secara langsung, tapi Dirga mengenal ibu Aufa sebagai sesama dokter. Dengan Ayah Aufa pun Dirga pernah bertemu beberapa kali. Dan sekarang, kenapa Dinaya menangis di rumah Aufa saat pesta syukuran sang ibu tengah berlangsung? Ap
“Dia itu anak tirinya adik Mami.”“Hah? Gimana gimana?” tanya Aufa. Dia memang paling benci mengurai silsilah keluarga. Apalagi kalau sudah keluarga jauh yang rumit.“Jadi sebenarnya si Lala itu bukan sepupu langsung. Dia itu anak tirinya adik Mamiku. Jadi, Om Karel itu menikah dengan janda beranak satu. Anak janda itu ya si Lala. Salah satu bisnis Om Karel kan dealer mobil, nah si Tante ini dulu kerja jadi SPG di sana. Entah gimana, Om Karel malah nikahin dia. Hampir seluruh keluarga besar Mami nggak setuju. Bukan karena statusnya yang janda atau profesinya yang SPG, tapi karena kelakuannya ya ampuuun! Nggak banget! Belum apa apa udah keliatan banget matrenya. Oma yang paling nggak setuju. Masa dia ke acara keluarga bajunya kayak LC mau open BO? Nggak punya otak!” cibir Shelly.“Oooh, jadi bukan sepupu kandung. Cuma sepupu karena ikatan pernikahan aja. Syukurlah,” sahut Aufa sambil menghela nafas lega. Tak terbayang kalau Shelly ternyata benar benar sepupu kandung perempuan mengerika
“Hei! Bangun pemalaaaass!”Dinaya masih meringkuk di balik selimutnya yang nyaman dan hangat saat suara melengking nyaring dan sama sekali tak merdu itu tiba tiba merusak suasana. Aufa mendadak muncul dan menarik selimut Dinaya sampai gadis itu mengerang kesal.“Aaaah! Aku masih ngantuk, Fa,” protes Dinaya. Semalam dia tak bisa tidur, dan sehabis sholat subuh, Dinaya memutuskan untuk tidur sebentar dan minta bangunkan Bi Asih jam 9 pagi. Tapi bukannya Bi Asih yang membangunkannya dengan lembut, malah Aufa yang datang dengan teriakan tarzannya.“Anak gadis kok bangunnya siang, ntar jodohnya Om Om loh!” seru Aufa sambil menyibak selimut Dinaya sampai gadis itu terjaga sepenuhnya dan memelototi Aufa.“Sebentar lagi tahun 2025, kamu masih aja percaya mitos nggak masuk akal itu. Nggak ada relevansinya antara kebiasaan bangun siang dengan jodoh, Aufa! Terus kalau aku bangunnya sore jodohnya kakek kakek gitu? Gimana kalau aku bangun jam 3 pagi? Apa jodohku bocah SMP?” bantah Dinaya mematahka
Kalau ditanya kapan saat paling memalukan yang dialami Dinaya, dalam dua detik tanpa pikir panjang, dia pasti akan menjawab : tiga tahun yang lalu!Tiga tahun yang lalu, tepatnya tanggal 12 Desember adalah hari yang ingin sekali dihapus Dinaya dari ingatannya. Kalau bisa selama lamanya. Sayangnya itu mustahil. Manusia punya amygdala, dan fungsi bagian otak yang satu itu adalah mengingat dan menyimpan memory yang berkaitan dengan emosi dan itu tentu saja dalam dalam jangka waktu yang lama. Itu sebabnya Dinaya tak pernah bisa melupakan peristiwa memalukan itu walaupun setengah mati ia mengusirnya.Dan sekarang, manusia yang punya andil paling besar membentuk kejadian memalukan itu ada di hadapannya entah darimana datangnya. Baru beberapa menit Dinaya menginjak bumi setelah terbang 15 jam dari London – Singapore – Jakarta sejauh lebih dari 11.000 km, tiba tiba saja makhluk paling menyebalkan itu berdiri di depannya dengan senyum memuakkannya. Argh!“Baru landing dari pesawat?” tanya lela
“Sayang? Udah tidur?” Dirga memanggil Reisha yang berbaring memunggunginya. Mata Dirga menatap langit langit kamar yang diterangi cahaya redup dari lampu tidur di sisi meja. Reisha yang belum tidur berbalik menghadap Dirga.“Baru mau tidur Mas. Kenapa? Mas nggak bisa tidur ya? Mas kepikiran sesuatu? Soal Naya ya?” tanya Reisha sambil berbalik menghadap Dirga. Ia kebetulan memang belum tidur.Dirga menghela nafas seolah menyimpan beban pikiran yang benar benar menghimpit dan membuat dadanya sesak. Tebakan Reisha benar, yang memenuhi beban pikiran Dirga memang Dinaya.“Rei, besok Naya pulang ke Jakarta, dan aku entah kenapa takut banget melepas dia,” ujar Dirga jujur.“Yang kamu takutkan apa, Mas?” tanya Reisha meskipun sedikit banyak ia sudah tau jawabannya.“Aku takut Naya ketemu lelaki yang salah. Di Jakarta dia sendirian, Rei. Nggak ada kita yang bisa jagain dan ngawasin dia. Apalagi kondisinya yang sering sakit setelah kecelakaan waktu itu. Tadi aja aku hampir ikut beli tiket ke Jak
Jangan jangan Papa tau sehari sebelum aku berangkat ke sini, aku menginap di apartemen Ghazi hanya ... berdua? Batin Dinaya panik.“Nay?” Dirga memanggil nama Dinaya karena putrinya itu tak merespon.“Eh i-iya, Pa,” jawab Dinaya gugup.“Kamu kenapa bengong?” tanya Dirga dengan tatapan curiga. Dinaya tau Dirga punya insting tajam. Dan biasanya apapun yang disembunyikan Dinaya, Dirga pasti tau.“Nggak kok Pa. Cuma aku udah ngantuk banget, Pa,” kilah Dinaya cepat. Tapi justru kebohongannya itu makin menambah kecurigaan Dirga.“Nay? Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu sama Papa kan?” tanya Dirga membuat Dinaya mengerang dalam hati.Aahh! Kan? Detektor kebohongannya menyala? Pasti Papa langsung tau aku bohong. Keluh Dinaya dalam hati. Sekarang dia pasrah seandainya Dirga pada akhirnya tau apa yang dilakukannya malam itu.“Nggak, Pa. Nyembunyiin apaan sih?” Dinaya masih mencoba mengelak.“Kamu jangan bikin Papa makin khawatir, Nay. Papa tau kamu nyembunyiin sesuatu. Nay, kamu sekarang jauh d
(Lima tahun kemudian)“Papaaa! Tolooong! Aduuuh!” Dinaya terhuyung jatuh dan lututnya membentur lantai dengan keras. Sementara pengejarnya makin beringas berusaha menangkap Dinaya yang sudah kelelahan.“Papaaaa! Mamaaa! Tolooong!” Dinaya terus berusaha berlari dengan nafas tersengal sengal, tapi dia kehilangan keseimbangan dan jatuh. Sekarang jarak antara Dinaya dan pengejarnya tinggal beberapa langkah saja. Dinaya tak sanggup lagi berdiri, dia sudah benar benar kelelahan.Salah satu pengejarnya mulai menarik tangan Dinaya dan gadis itu tak bisa berkutik. Lalu penyerang kedua mulai mengincar pinggangnya. Lalu ...“Kitik kitik kitik...”“Aaaah! Udah deeek! Geliiii! Papaaa tolongin Paaa ... Mereka berdua keroyokan nih. Aduuuh dek, geliiii!” Dinaya tertawa terbahak bahak saat Disha terus menggelitiki pinggangnya, sementara Shaga memegangi tangannya.Dirga yang melihat itu hanya tersenyum dan membiarkan Dinaya dikeroyok dua balita itu sampai kelelahan.“Shaga, Disha ... Udah udah, kakaknya
Tiga bapak bapak tampak duduk di sudut gedung resepsi pernikahan dengan mata sembab. Yang satu sibuk menyusut air matanya dengan sapu tangan, yang satu pura pura batuk agar terlihat sedang flu, seolah mata yang merah dan ingus yang keluar bukan karena menangis melainkan karena pilek. Sementara yang satu lagi sejak tadi terlihat minum air mineral sesekali. Entah sudah berapa botol tandas, dan ia bolak balik ke kamar kecil.“Kita kenapa sedih?” tanya Rio sambil menghapus air matanya dengan saputangan pink buatan sang istri. Saputangan itu sudah basah karena Rio sejak akad nikah tadi tak bisa menahan tangis.“Memangnya kamu nggak sedih?” tanya Dillo sambil membuang botol air mineral yang sudah kosong ke tempat sampah di sudut.“Aku cuma terharu. Mungkin dia yang sedih,” tunjuk Rio ke arah Farez“Hatttchii!”“Jangan pura pura pilek Rez! Kalau nangis ya nangis aja. Semua orang tau itu air mata dan ingus keluar gara gara nangis dari pagi,” bentak Dillo.“Kalian juga kenapa nangis? Terharu ka
(Satu bulan kemudian)“Naaah kaaan. Feeling saya itu tepat loh Mbak Tari. Dari awal entah kenapa saya yakin banget Dirga ini jodohnya Reisha,” ujar Bu Ambar dengan wajah sumringah. Sementara Bu Ratih duduk di sebelahnya dengan mata berkaca kaca.Dengan suasana haru yang masih menggantung di ruangan, Reisha dan keluarganya masih terlihat sumringah. Keceriaan terpancar dari setiap wajah, terutama Bu Ambar yang seakan-akan tidak berhenti mengulang kalimat penuh kepastian bahwa Reisha akhirnya bertemu dengan jodoh yang baik. Di satu sisi, Bu Ratih masih menyeka air matanya, teringat betapa berat perjalanan hidup keponakannya sejak kehilangan orang tua dan saudara kandungnya. Kini, Reisha akhirnya menemukan sosok pria yang mampu mengisi kekosongan itu, seorang pria yang tidak hanya tulus, tetapi juga datang dengan penuh niat baik. Bu Ratih menatap wajah Reisha dengan tatapan penuh kasih sayang.“Ya Allah, Nduk ... Reisha ... Ibu, Bapak, dan Mas mu pasti tenang di sana. Kamu sekarang udah ng
“Dinaya! Stop! Kalau kamu masih ketawa juga, papa potong uang saku kamu tiga bulan!!”“Hahahaha ... Iya iya maaf Papaaa. Abisnya papa lucu banget. Bisa bisanya papa mikir mau mati detik itu juga. Padahal kan papa nggak kenapa kenapa, cuma nggak bisa keluar doang. Astaga Papaaa ... Gemes banget sih papaku ini,” celoteh Dinaya saat mereka berdua sudah dalam perjalanan pulang ke rumah.Akhirnya semalam Dirga berhasil mengutarakan isi hatinya pada Reisha. Dan bisa ditebak, tentu saja Reisha mengiyakan meski dengan wajah bersemu merah.“Kamu bukannya khawatir papa hampir ketiban pohon, malah diketawain. Gimana sih?” omel Dirga sambil cemberut. Sementara Dinaya menahan tawa sampai wajahnya merah padam.“Maaf Papa. Abisnya lucu banget. Aku bukannya nggak khawatir, semalem pas denger kabar itu aku panik banget, tapi HP ku kan lowbatt. Terus kata Bu Indah semua baik baik aja dan Papa sama Miss Rei udah aman aman aja. Terus aku kan ngecharge HP, eeh ketiduran sampai pagi. Makanya nggak telepon