“Minta maaf sama anakku!”“A-Apa?”“Aku bilang minta maaf sama anakku sekarang juga! Di sini, di depan semua orang kamu fitnah anakku. Sekarang kamu harus minta maaf sama Dinaya di depan semua orang!”Seketika suasana jadi tegang. Kolega Selina yang semula berkumpul mendadak menjauh satu persatu. Seolah menolak ikut campur dan bagian dari pertengkaran yang terjadi. Mereka semua sebenarnya juga tak terlalu peduli dengan cerita Selina tentang kisah cintanya. Mereka hanya menertawakan kisah cinta Selina yang lagi lagi kandas. Dan setiap kali kisah cinta Selina berakhir, dia selalu berkoar kalau dirinyalah yang memutuskan hubungan karena levelnya berbeda dengan lelaki itu. Dan karena dia tak mau merusak hidupnya sendiri dengan menikahi lelaki rendahan. Padahal semua tau, kenyataannya Selina lah yang dicampakkan.Dan beberapa hari yang lalu, Selina mengumumkan kalau dirinya akan segera menikah lagi dengan seorang dokter forensik yang tampan dan kaya. Dokter itu juga masih single, dan nyar
“Jadi gimana perkembangannya, Nay?”“Perkembangan apa, Buna?” tanya Dinaya saat adik bungsu sang ayah meneleponnya di minggu pagi. Buna adalah singkatan dari Ibu Nina. Dinaya memang memang memanggil adik adik ayahnya dengan sebutan Ibu. Dan hanya Nina yang ingin namanya disingkat. Katanya biar lebih estetik. Lagipula Nina belum menikah dan belum menyandang status ibu. Dia enggan seperti ibu ibu betulan dengan panggilan itu. “Perkembangan proses pencarian jodoh untuk si DJ itu loooh,” sahut Nina sambil tertawa kecil. “DJ? Maksud Buna Papa?”“Iya, Papamu. Mulai sekarang kita panggil dia DJ. Duda Jomblo!” jawab Nina dengan tawa renyah yang menyertai leluconnya. Dinaya ikut tergelak mendengar julukan yang diberikan Nina.“Bukan apa apa Nay, aku kan sebentar lagi mau dilamar Bang Emir. Masa Mas Dirga tiga kali disalip adik adiknya? Aku rasanya beraaat banget mau nikah kalau Mas Dirga belum nikah duluan. Gimana ya Nay? Masa sampe sekarang Mas Dirga belum ketemu jodohnya?” tanya Nina membu
“Kenapa sih papa nggak suka sama Miss Rei? Dia cantik, baik hati, berbakat, cerdas, keren juga. Kenapa papa malah selalu deket sama para tante aneh aneh yang attitude, otak, sama bajunya sama sama minim?” Dina menggerutu sendirian di kamarnya.Pulang jogging tadi, Dinaya mengambil kesimpulan kalau Papanya selalu menghindari topik yang berkaitan dengan Miss Rei.Memangnya kenapa sih? Apa Miss Rei pernah punya kesalahan besar yang bikin papa dendam? Atau ada sesuatu yang terjadi waktu Papa mengautopsi jenazah abangnya Miss Rei? Tapi perasaan nggak ada apa apa. Semua baik baik aja. Terus kenapa jadinya Papa sekesal itu dengan Miss Rei? Batin Dinaya tak habis pikir.Tapi akhirnya Dinaya menyerah. Dia sudah tak mau lagi menjodohkan sang ayah dengan guru kesayangannya itu. Toh kalau mereka memang jodoh, pasti akan bertemu entah bagaimana caranya.“Nay?” terdengar suara Dirga memanggil sambil mengetuk pintu kamar Dinaya.“Iya Paaa …” Dinaya membuka pintu kamarnya dan melihat Dirga di balik p
“Naya kamu nggak apa apa kan?”“Nggak apa apa Pa. Cuma sosisnya gosong nih. Maaf ya Pa, dapurnya jadi berantakan.”“Ya udah nggak apa pa. Yang penting kamu baik baik aja. Lain kali hati hati, Nay. Kalau kamu capek atau apa nggak usah masak sendiri. Beli aja, atau minta masakin Bi Surti. Biasanya Papa juga suka minta masakin dia kalau pas dia datang beres beres. Masakannya enak kok.”“Iya Pa. Kemarin itu lagi pengen makan sosis aja. Mau beli males banget nungguin lama.”“Ya udah nggak apa apa.”Dirga membelai rambut Dinaya dan tersenyum hangat. Dapur yang berantakan tak masalah asalkan putrinya sehat wal afiat.Tapi melihat reaksi ayahnya yang terlihat sangat khawatir, Dinaya jadi merasa bersalah sudah berbohong. Tapi Dinaya benar benar tak ingin ayahnya salah pilih wanita lagi. Entah mengapa, firasatnya mengatakan kalau jodoh Dirga adalah Reisha dan itu tak bisa diganggu gugat.“Nay, papa nanti malem mau ketemu Tante Kiara lagi ya. Kan tadi Papa belum sempat ngomong apapun sama Tante
“Beneran udah nggak apa apa?”“Beneran Pa. Nggak usah ke rumah sakit. Kayaknya nggak apa apa sih, cuma sakit sedikit. Jauh berkurang dibanding semalam.”“Ya udah, ntar papa bilang ke sekolah kamu nggak masuk dulu hari ini. Istirahat aja di rumah sampai sembuh total ya.” Dirga hanya mengusap rambut Dinaya sekilas, lalu menelepon wali kelasnya. Jantung Dinaya berdebar kencang. Ia takut Dirga memeriksa kakinya. Kakinya baik baik saja, tidak bengkak, memar, atau apapun. Dia takut kalau Dirga memeriksa kakinya dan ternyata ketahuan dia cuma pura pura.Dinaya menutupi kakinya dengan selimut tebal, berharap Dirga tidak menyibakkan selimut itu untuk memeriksa kakinya. Dinaya takut sekali. Untungnya setelah menelepon, Dirga hanya duduk di sisi tempat tidur tanpa membuka selimut.“Papa kerja dulu ya. Papa udah bilang sama Bi Surti hari ini temenin kamu sampai Papa pulang. Jadi kalau mau susu atau apa bilang aja sama Bi Surti. Jangan turun sendiri, nanti kaki kamu malah makin parah.”“Iya, Pa.”“
“Kamu tau kan papa ini dokter spesialis apa?”“Patologi forensik.”“Kerjaan papa ngapain?”“Menganalisis jenazah.”“Kamu tau kan papa terbiasa menganalisis? Jadi sudah keseharian papa meneliti sesuatu yang ganjil dan mencurigakan.”Dinaya diam saja saat Dirga mengoles gel pereda nyeri di kakinya sambil berceloteh tentang profesinya. Dinaya tau kemana arah pembicaraan sang ayah kali ini. Itu sebabnya nyali Dinaya langsung ciut.“Boleh papa tau alasannya?”“Alasan apa Pa?” Dinaya balik bertanya dengan perasaan takut. Selama ini Dinaya belum pernah melihat Dirga marah padanya. Kalaupun Dirga marah, itu karena membelanya. Tapi kali ini Dinaya harus menyiapkan diri kalau ternyata Dirga memberikan hukuman.“Alasan kamu pura pura jatuh di kamar mandi dan kakimu ketiban rak sabun, padahal kamu sengaja jatuhkan. Papa tau karena pakunya utuh. Dan rencana kamu rapi sekali. Kamu minta buatkan susu hangat padahal semua akses untuk membuat air panas sudah kamu putuskan. Boleh papa tau alasannya?” ta
“Nay, sebentar. Sebelum kamu atur jadwal ketemu antara Papa sama Gurumu itu, papa mau tanya satu hal, kamu niatnya mau jodohin dia sama papa gitu kan?”“Iya Pa. Papa sih baru liat dari luarnya aja udah bilang beda kutub magnet apalah itu.”“Oke, papa akan coba kenal dia lebih dulu. Tapi Nay, kamu udah bilang belum sama dia?”“Sama Miss Rei? Bilang apa Pa?”“Bilang kalau kamu mau jodohin dia sama Papa lah.”“Hah? Belum Pa. Emang harus bilang ya pa?”“Loh? Kamu gimana sih? Kamu juga nggak tau kan Miss Rei itu single atau nggak?” tanya Dirga lagi.“Single kok Pa. Miss Rei belum menikah.”“Belum menikah bukan berarti single Naya. Siapa tau dia sudah punya pacar atau tunangan kan? Papa nggak mau merusak hubungan orang lain. Papa paling anti yang begitu.”“Padahal kata Shelly sebelum janur kuning melengkung masih bisa ditikung.”“Heh! Yang mana tuh temen kamu yang namanya Shelly? Hati hati, kecil kecil udah ada bibit pelakor itu anak. Nggak boleh, Naya! Dalam islam aja ada hukumnya larangan
“Ini apaan?”“Bunga sama kado. Itu buat dikasih ke Miss Rei. Aku udah tau papa pasti nggak peduli detail kayak gini. Ini attitude Pa, aturan dasar tak tertulis. Kalau ngedate sama cewek harus bawa hadiah atau sesuatu gitu. Jangan tangan kosong, nggak sopan,” omel Dinaya yang hanya direspon Dirga dengan anggukan acuh tak acuh.“Tapi kan Papa hari ini bukan mau ngedate, Nay. Kan kita mau ketemu bertiga, mau nongki nongki aja minum kopi sama makan es krim di café dessert,” protes Dirga.“Siapa bilang? Kan aku udah atur strategi, Pa.”“Hah? Strategi apa?”“Jadi gini …” Dinaya memasang tampang serius. Ia lalu menarik tangan ayahnya untuk duduk berhadapan dengannya di sofa ruang tengah.“Papa denger instruksiku ya, jangan ada yang terlewat.”“Oke,” jawab Dirga. Detik berikutnya ia sadar, posisi mereka saat ini berubah. Entah kenapa Dirga merasa seperti anak lelaki yang sedang menyimak wejangan ibunya. Padahal dialah sang ayah dan Dinaya adalah anaknya. Dasar anak gadis!“Nanti papa jalan aj