“Aku nggak denger langsung dari mulutnya sih, Mas. Tapi beberapa temen yang ada di acara itu udah kutanyain emang pada denger dia ngomong gitu. Aku nggak nyangka juga,” Elga menjelaskan pada Dirga dan Dirga tampak semakin marah.“Dia jelas nyebut nama Dinaya kan El?” tanya Dirga berang.“Kata temen temenku sih jelas banget, Mas. Dia bilang namanya Dinaya, kelas 3 SMA dan … mmm …” Elga berhenti berbicara dan melirik Farez -suaminya- lantaran bingung harus melanjutkan kata katanya atau tidak, khawatir Dirga tersinggung“Kamu bilang aja semuanya, El. Nggak usah takut aku tersinggung atau apa. Nggak apa apa, El,” sahut Dirga seolah tau perasaan tak enak Elga.“Iya Mas, aku juga dengernya nggak enak sih. Katanya Dinaya itu anak problematik dan kriminal. Katanya Dinaya pergaulannya rusak, kecanduan narkoba, dan kalau uangnya udah habis buat beli narkoba, dia sering open BO. Aduh parah banget Mas. Mana katanya Dinaya mirip ibunya dulu yang punya anak haram sebelum nikah. Ya Allah kalo aku ad
Dirga baru saja memarkir mobilnya tak jauh dari rumah Aufa yang sudah dipenuhi mobil para tamu. Halaman rumah Aufa penuh mobil, begitu juga dengan jalanan di depan rumahnya. Mobil para tamu parkir berderet. Itu pula yang membuat Dirga harus memarkir mobilnya sedikit jauh dari gerbang utama rumah Aufa. Aufa adalah teman dekat Dinaya sekaligus teman pertamanya. Ayah Aufa seorang pengusaha, sementara ibunya seorang dokter estetika yang juga pemilik sebuah klinik kecantikan ternama. Hari ini keluarga Aufa menggelar acara syukuran atas kenaikan jabatan sang ibu di rumah sakit tempatnya bekerja. Aufa adalah gadis yang baik. Begitu juga kedua orang tuanya. Dirga beberapa kali bertemu mereka saat Aufa sedang ke rumahnya dan bermain dengan Dinaya. Meski tak mengenal secara langsung, tapi Dirga mengenal ibu Aufa sebagai sesama dokter. Dengan Ayah Aufa pun Dirga pernah bertemu beberapa kali. Dan sekarang, kenapa Dinaya menangis di rumah Aufa saat pesta syukuran sang ibu tengah berlangsung? Ap
“Minta maaf sama anakku!”“A-Apa?”“Aku bilang minta maaf sama anakku sekarang juga! Di sini, di depan semua orang kamu fitnah anakku. Sekarang kamu harus minta maaf sama Dinaya di depan semua orang!”Seketika suasana jadi tegang. Kolega Selina yang semula berkumpul mendadak menjauh satu persatu. Seolah menolak ikut campur dan bagian dari pertengkaran yang terjadi. Mereka semua sebenarnya juga tak terlalu peduli dengan cerita Selina tentang kisah cintanya. Mereka hanya menertawakan kisah cinta Selina yang lagi lagi kandas. Dan setiap kali kisah cinta Selina berakhir, dia selalu berkoar kalau dirinyalah yang memutuskan hubungan karena levelnya berbeda dengan lelaki itu. Dan karena dia tak mau merusak hidupnya sendiri dengan menikahi lelaki rendahan. Padahal semua tau, kenyataannya Selina lah yang dicampakkan.Dan beberapa hari yang lalu, Selina mengumumkan kalau dirinya akan segera menikah lagi dengan seorang dokter forensik yang tampan dan kaya. Dokter itu juga masih single, dan nyar
“Jadi gimana perkembangannya, Nay?”“Perkembangan apa, Buna?” tanya Dinaya saat adik bungsu sang ayah meneleponnya di minggu pagi. Buna adalah singkatan dari Ibu Nina. Dinaya memang memang memanggil adik adik ayahnya dengan sebutan Ibu. Dan hanya Nina yang ingin namanya disingkat. Katanya biar lebih estetik. Lagipula Nina belum menikah dan belum menyandang status ibu. Dia enggan seperti ibu ibu betulan dengan panggilan itu. “Perkembangan proses pencarian jodoh untuk si DJ itu loooh,” sahut Nina sambil tertawa kecil. “DJ? Maksud Buna Papa?”“Iya, Papamu. Mulai sekarang kita panggil dia DJ. Duda Jomblo!” jawab Nina dengan tawa renyah yang menyertai leluconnya. Dinaya ikut tergelak mendengar julukan yang diberikan Nina.“Bukan apa apa Nay, aku kan sebentar lagi mau dilamar Bang Emir. Masa Mas Dirga tiga kali disalip adik adiknya? Aku rasanya beraaat banget mau nikah kalau Mas Dirga belum nikah duluan. Gimana ya Nay? Masa sampe sekarang Mas Dirga belum ketemu jodohnya?” tanya Nina membu
“Kenapa sih papa nggak suka sama Miss Rei? Dia cantik, baik hati, berbakat, cerdas, keren juga. Kenapa papa malah selalu deket sama para tante aneh aneh yang attitude, otak, sama bajunya sama sama minim?” Dina menggerutu sendirian di kamarnya.Pulang jogging tadi, Dinaya mengambil kesimpulan kalau Papanya selalu menghindari topik yang berkaitan dengan Miss Rei.Memangnya kenapa sih? Apa Miss Rei pernah punya kesalahan besar yang bikin papa dendam? Atau ada sesuatu yang terjadi waktu Papa mengautopsi jenazah abangnya Miss Rei? Tapi perasaan nggak ada apa apa. Semua baik baik aja. Terus kenapa jadinya Papa sekesal itu dengan Miss Rei? Batin Dinaya tak habis pikir.Tapi akhirnya Dinaya menyerah. Dia sudah tak mau lagi menjodohkan sang ayah dengan guru kesayangannya itu. Toh kalau mereka memang jodoh, pasti akan bertemu entah bagaimana caranya.“Nay?” terdengar suara Dirga memanggil sambil mengetuk pintu kamar Dinaya.“Iya Paaa …” Dinaya membuka pintu kamarnya dan melihat Dirga di balik p
“Naya kamu nggak apa apa kan?”“Nggak apa apa Pa. Cuma sosisnya gosong nih. Maaf ya Pa, dapurnya jadi berantakan.”“Ya udah nggak apa pa. Yang penting kamu baik baik aja. Lain kali hati hati, Nay. Kalau kamu capek atau apa nggak usah masak sendiri. Beli aja, atau minta masakin Bi Surti. Biasanya Papa juga suka minta masakin dia kalau pas dia datang beres beres. Masakannya enak kok.”“Iya Pa. Kemarin itu lagi pengen makan sosis aja. Mau beli males banget nungguin lama.”“Ya udah nggak apa apa.”Dirga membelai rambut Dinaya dan tersenyum hangat. Dapur yang berantakan tak masalah asalkan putrinya sehat wal afiat.Tapi melihat reaksi ayahnya yang terlihat sangat khawatir, Dinaya jadi merasa bersalah sudah berbohong. Tapi Dinaya benar benar tak ingin ayahnya salah pilih wanita lagi. Entah mengapa, firasatnya mengatakan kalau jodoh Dirga adalah Reisha dan itu tak bisa diganggu gugat.“Nay, papa nanti malem mau ketemu Tante Kiara lagi ya. Kan tadi Papa belum sempat ngomong apapun sama Tante
“Beneran udah nggak apa apa?”“Beneran Pa. Nggak usah ke rumah sakit. Kayaknya nggak apa apa sih, cuma sakit sedikit. Jauh berkurang dibanding semalam.”“Ya udah, ntar papa bilang ke sekolah kamu nggak masuk dulu hari ini. Istirahat aja di rumah sampai sembuh total ya.” Dirga hanya mengusap rambut Dinaya sekilas, lalu menelepon wali kelasnya. Jantung Dinaya berdebar kencang. Ia takut Dirga memeriksa kakinya. Kakinya baik baik saja, tidak bengkak, memar, atau apapun. Dia takut kalau Dirga memeriksa kakinya dan ternyata ketahuan dia cuma pura pura.Dinaya menutupi kakinya dengan selimut tebal, berharap Dirga tidak menyibakkan selimut itu untuk memeriksa kakinya. Dinaya takut sekali. Untungnya setelah menelepon, Dirga hanya duduk di sisi tempat tidur tanpa membuka selimut.“Papa kerja dulu ya. Papa udah bilang sama Bi Surti hari ini temenin kamu sampai Papa pulang. Jadi kalau mau susu atau apa bilang aja sama Bi Surti. Jangan turun sendiri, nanti kaki kamu malah makin parah.”“Iya, Pa.”“
“Kamu tau kan papa ini dokter spesialis apa?”“Patologi forensik.”“Kerjaan papa ngapain?”“Menganalisis jenazah.”“Kamu tau kan papa terbiasa menganalisis? Jadi sudah keseharian papa meneliti sesuatu yang ganjil dan mencurigakan.”Dinaya diam saja saat Dirga mengoles gel pereda nyeri di kakinya sambil berceloteh tentang profesinya. Dinaya tau kemana arah pembicaraan sang ayah kali ini. Itu sebabnya nyali Dinaya langsung ciut.“Boleh papa tau alasannya?”“Alasan apa Pa?” Dinaya balik bertanya dengan perasaan takut. Selama ini Dinaya belum pernah melihat Dirga marah padanya. Kalaupun Dirga marah, itu karena membelanya. Tapi kali ini Dinaya harus menyiapkan diri kalau ternyata Dirga memberikan hukuman.“Alasan kamu pura pura jatuh di kamar mandi dan kakimu ketiban rak sabun, padahal kamu sengaja jatuhkan. Papa tau karena pakunya utuh. Dan rencana kamu rapi sekali. Kamu minta buatkan susu hangat padahal semua akses untuk membuat air panas sudah kamu putuskan. Boleh papa tau alasannya?” ta