“Beneran udah nggak apa apa?”“Beneran Pa. Nggak usah ke rumah sakit. Kayaknya nggak apa apa sih, cuma sakit sedikit. Jauh berkurang dibanding semalam.”“Ya udah, ntar papa bilang ke sekolah kamu nggak masuk dulu hari ini. Istirahat aja di rumah sampai sembuh total ya.” Dirga hanya mengusap rambut Dinaya sekilas, lalu menelepon wali kelasnya. Jantung Dinaya berdebar kencang. Ia takut Dirga memeriksa kakinya. Kakinya baik baik saja, tidak bengkak, memar, atau apapun. Dia takut kalau Dirga memeriksa kakinya dan ternyata ketahuan dia cuma pura pura.Dinaya menutupi kakinya dengan selimut tebal, berharap Dirga tidak menyibakkan selimut itu untuk memeriksa kakinya. Dinaya takut sekali. Untungnya setelah menelepon, Dirga hanya duduk di sisi tempat tidur tanpa membuka selimut.“Papa kerja dulu ya. Papa udah bilang sama Bi Surti hari ini temenin kamu sampai Papa pulang. Jadi kalau mau susu atau apa bilang aja sama Bi Surti. Jangan turun sendiri, nanti kaki kamu malah makin parah.”“Iya, Pa.”“
“Kamu tau kan papa ini dokter spesialis apa?”“Patologi forensik.”“Kerjaan papa ngapain?”“Menganalisis jenazah.”“Kamu tau kan papa terbiasa menganalisis? Jadi sudah keseharian papa meneliti sesuatu yang ganjil dan mencurigakan.”Dinaya diam saja saat Dirga mengoles gel pereda nyeri di kakinya sambil berceloteh tentang profesinya. Dinaya tau kemana arah pembicaraan sang ayah kali ini. Itu sebabnya nyali Dinaya langsung ciut.“Boleh papa tau alasannya?”“Alasan apa Pa?” Dinaya balik bertanya dengan perasaan takut. Selama ini Dinaya belum pernah melihat Dirga marah padanya. Kalaupun Dirga marah, itu karena membelanya. Tapi kali ini Dinaya harus menyiapkan diri kalau ternyata Dirga memberikan hukuman.“Alasan kamu pura pura jatuh di kamar mandi dan kakimu ketiban rak sabun, padahal kamu sengaja jatuhkan. Papa tau karena pakunya utuh. Dan rencana kamu rapi sekali. Kamu minta buatkan susu hangat padahal semua akses untuk membuat air panas sudah kamu putuskan. Boleh papa tau alasannya?” ta
“Nay, sebentar. Sebelum kamu atur jadwal ketemu antara Papa sama Gurumu itu, papa mau tanya satu hal, kamu niatnya mau jodohin dia sama papa gitu kan?”“Iya Pa. Papa sih baru liat dari luarnya aja udah bilang beda kutub magnet apalah itu.”“Oke, papa akan coba kenal dia lebih dulu. Tapi Nay, kamu udah bilang belum sama dia?”“Sama Miss Rei? Bilang apa Pa?”“Bilang kalau kamu mau jodohin dia sama Papa lah.”“Hah? Belum Pa. Emang harus bilang ya pa?”“Loh? Kamu gimana sih? Kamu juga nggak tau kan Miss Rei itu single atau nggak?” tanya Dirga lagi.“Single kok Pa. Miss Rei belum menikah.”“Belum menikah bukan berarti single Naya. Siapa tau dia sudah punya pacar atau tunangan kan? Papa nggak mau merusak hubungan orang lain. Papa paling anti yang begitu.”“Padahal kata Shelly sebelum janur kuning melengkung masih bisa ditikung.”“Heh! Yang mana tuh temen kamu yang namanya Shelly? Hati hati, kecil kecil udah ada bibit pelakor itu anak. Nggak boleh, Naya! Dalam islam aja ada hukumnya larangan
“Ini apaan?”“Bunga sama kado. Itu buat dikasih ke Miss Rei. Aku udah tau papa pasti nggak peduli detail kayak gini. Ini attitude Pa, aturan dasar tak tertulis. Kalau ngedate sama cewek harus bawa hadiah atau sesuatu gitu. Jangan tangan kosong, nggak sopan,” omel Dinaya yang hanya direspon Dirga dengan anggukan acuh tak acuh.“Tapi kan Papa hari ini bukan mau ngedate, Nay. Kan kita mau ketemu bertiga, mau nongki nongki aja minum kopi sama makan es krim di café dessert,” protes Dirga.“Siapa bilang? Kan aku udah atur strategi, Pa.”“Hah? Strategi apa?”“Jadi gini …” Dinaya memasang tampang serius. Ia lalu menarik tangan ayahnya untuk duduk berhadapan dengannya di sofa ruang tengah.“Papa denger instruksiku ya, jangan ada yang terlewat.”“Oke,” jawab Dirga. Detik berikutnya ia sadar, posisi mereka saat ini berubah. Entah kenapa Dirga merasa seperti anak lelaki yang sedang menyimak wejangan ibunya. Padahal dialah sang ayah dan Dinaya adalah anaknya. Dasar anak gadis!“Nanti papa jalan aj
“Begitu syuliiiit lupakan Rehaaan, apalagi Rehan ganteeeng …” Dirga bernyanyi dengan nada lagu yang pernah viral di tiktok beberapa tahun yang lalu sambil tertawa lepas. Dirga sengaja meledek Dinaya dengan menyebut nama Rehan dalam lagu yang dinyanyikannya. Nama Rehan membuat Dinaya kesal sekali karena itu nama tunangan Reisha, orang yang Dinaya anggap sudah menghancurkan rencana perjodohannya.“Papaa!! Udah deeehh! Jangan ngeledek lagi!” Dinaya melempar bantal kursi ke arah Dirga yang tertawa meledek di sudut sofa. Memang ini kekanak kanakan, tapi Dirga suka sekali melihat Dinaya marah dan cemberut seperti ini.“Lagian nggak usah badmood gitu dong Nay. Yang harusnya patah hati kan Papa. Papa yang nggak jadi nikah sama Miss Rei, kenapa jadinya kamu yang uring uringan?” Dirga terus meledek sambil menahan tawa. Dirga memang sempat terpesona dengan penampilan baru Reisha yang terlihat cantik sekali. Tapi belum sampai tahap jatuh cinta. Itu sebabnya dia tak terlalu patah hati atau sedih s
“Pa, Tante Kiara udah lama ya kerja di kantor Om Dillo?” tanya Dinaya pada Dirga saat mereka berdua sedang menyantap puding selepas makan malam.“Papa nggak pernah nanya soal itu sih. Tapi yang jelas sampai sekarang dia masih kerja di kantor itu. Tapi Om Dillo kan udah buat perusahaan sendiri sama Om Farez. Kenapa Nay?” tanya Dirga. Setengah dari dirinya senang karena Dinaya sudah mulai bertanya detail tentang Kiara, yang artinya dia mulai tertarik. Tapi setengahnya lagi Dirga justru curiga, karena setiap kali Dinaya tertarik dengan sesuatu atau seseorang, biasanya ada sesuatu yang mencurigakan yang membuatnya penasaran.“Nggak apa apa sih, aku cuma ngerasa pernah ngeliat Tante Kiara, tapi nggak tau dimana Pa,” sahut Dinaya dengan mata menerawang. Dirinya terus berusaha mengingat kapan dan dimana dia pernah melihat Kiara.“Mungkin nggak sengaja ketemu di mall, atau di café pas kamu jalan sama temen temen kamu kali.”“Kayaknya nggak deh Pa. Nggak mungkin cuma sekali liat terus durasiny
“Loh? Kamu juga kenal Tante Kiara, Shel?” tanya Dinaya terkejut. Shelly buru buru mengembalikan ponsel Dinaya dan menggeleng.“Nggak kok. Nggak kenal. Aku salah lihat. Kukira dia itu salah satu karyawan Papaku, tapi kayaknya bukan deh,” jawab Shelly cepat.“Oooh, kirain kenal.”“Ya udah yuk ke kantin, ntar istirahat keburu selesai. Katanya ada menu baru enak banget. Corndog bulgogi atau apalah itu. Yuk yuk yuk,” ajak Shelly terburu buru. Dia bergegas menarik tangan Dinaya dan Aufa. Dinaya sempat merasakan tangan Shelly yang dingin dan basah saat menarik tangannya.Ah, mungkin karena Shelly tadi dari toilet. Batin Dinaya menepis kecurigaannya.Tapi seharian itu Dinaya melihat gelagat tak biasa dari Shelly. Dia terlihat sering melamun dan wajahnya sering terlihat cemas. Kadang Shelly juga menggigit kuku tangannya sendiri dan terlihat gelisah. Tapi sepertinya hanya Dinaya yang memperhatikan karena Aufa dan yang lainnya terlihat bersikap biasa saja.Lantaran tak bisa membendung rasa penas
“Kamu kemarin nanyain dia kan, Nay? Iya aku kenal dia! Dia pelakor yang ngabisin harta papiku sejak aku SMP! Dia ani ani nggak tau diri! Dia babu sialan yang pengen jadi nyonya besar kayak mamiku padahal cuma pelacurr rendahan yang levelnya jauh dibawah mami!” Shelly meradang. Dia menuding Kiara dengan wajah merah padam dan suara melengking nyaring penuh emosi. Dinaya yang mendengar seketika terbelalak.“A-Apa? Tante Kiara, itu nggak bener kan?” tanya Dinaya dengan wajah panik. Kiara diam saja, air matanya mengambang di pelupuk mata. Ia terkejut, panik, dan gemetar sampai tak bisa berbicara sepatah katapun.Hari ini Kiara terlihat berbeda seperti yang pernah Dinaya lihat sebelumnya. Terakhir bertemu, Kiara mengenakan outfit formal casual dan hijab berwarna pastel yang membuatnya tampak manis dan elegan. Tapi hari ini, Kiara seperti sosok wanita yang berbeda. Dia mengenakan jeans santai dengan kemeja putih ketat yang dua kancing bagian atasnya dibiarkan terbuka, memperlihatkan sebagian