“Kamu kemarin nanyain dia kan, Nay? Iya aku kenal dia! Dia pelakor yang ngabisin harta papiku sejak aku SMP! Dia ani ani nggak tau diri! Dia babu sialan yang pengen jadi nyonya besar kayak mamiku padahal cuma pelacurr rendahan yang levelnya jauh dibawah mami!” Shelly meradang. Dia menuding Kiara dengan wajah merah padam dan suara melengking nyaring penuh emosi. Dinaya yang mendengar seketika terbelalak.“A-Apa? Tante Kiara, itu nggak bener kan?” tanya Dinaya dengan wajah panik. Kiara diam saja, air matanya mengambang di pelupuk mata. Ia terkejut, panik, dan gemetar sampai tak bisa berbicara sepatah katapun.Hari ini Kiara terlihat berbeda seperti yang pernah Dinaya lihat sebelumnya. Terakhir bertemu, Kiara mengenakan outfit formal casual dan hijab berwarna pastel yang membuatnya tampak manis dan elegan. Tapi hari ini, Kiara seperti sosok wanita yang berbeda. Dia mengenakan jeans santai dengan kemeja putih ketat yang dua kancing bagian atasnya dibiarkan terbuka, memperlihatkan sebagian
“Loh? Loh? Tumben? Kenapa nih?” Dirga terkejut saat tiba tiba saja Dinaya menghambur memeluknya saat baru saja tiba di rumah. Dirga yang menyambutnya di depan pintu terheran heran.“Nggak apa apa. Kangen aja sama Papa.” Dinaya menjawab sambil berusaha keras menahan air matanya. Dinaya kasihan sekali pada Papanya yang entah kenapa selalu ditipu perempuan padahal dia adalah laki laki baik yang tulus.“Kangen? Kok tumben? Baru dua hari liburan kok udah kangen papa? Waktu Papa tinggalin dinas ke Medan seminggu kamu kayaknya nggak sekangen ini? Kamu beneran kangen atau ada sesuatu Nay?” tanya Dirga curiga. Perasaannya tak enak. Dinaya tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Dirga tau, kalau Dinaya sudah bersikap aneh dan tak biasa seperti ini, kemungkinan besar terjadi sesuatu yang menganggu pikirannya.“Kangen aja Pa. Ya udah aku mandi dulu ya Pa,” Dinaya menghindari Dirga karena air matanya sudah hampir menetes. Dia langsung berlari ke lantai atas dan mengunci pintu kamarnya.Dirga t
“Nay ...”“Papa masih mau dengerin dia Pa? Papa masih mau ngomong sama dia? Papa masih percaya sama dia?”“Naya, dengerin Papa dulu. Tante Kiara belum bicara apapun sama Papa. Papa nggak bilang papa percaya sama dia. Papa cuma ngasih kesempatan dia untuk jelasin semua sama Papa, Nay.”“Ngapain dikasih kesempatan sih Pa? Dia itu ular Pa! Papa nggak usah dengerin dia ngomong lagi!”“Nay, setidaknya papa harus adil. Papa hanya ngasih kesempatan Tante Kiara untuk menjelaskan. Apapun kondisinya, apapun yang Tante Kiara bicarakan, Papa akan lebih percaya sama kamu.”“Tapi aku belum cerita apa apa sama Papa! Aku duluan yang mau ngomong sama Papa! Tiba tiba dia datang! Aku nggak mau papa terpengaruh sama omongan dia!”“Naya ... Naya ... Jangan emosi sayang. Dengerin Papa, Tante Kiara sudah terlanjur ke sini dan dia sedang nungguin di depan. Biarin dia ngomong dulu ya, biar semua selesai. Dan Papa sama dia bisa mengakhiri semua ini baik baik. Papa nggak mau tiba tiba menghindar kayak gini. Kam
“Kayaknya aku salah, Nay.” Tiba tiba saja Shelly duduk di samping Dinaya dan berbisik mengatakan hal yang tak Dinaya mengerti.“Salah apa, Shel?” tanya Dinaya bingung.“Aku salah duga tentang Tante Kiara. Aku jadi nggak enak sama dia,” jawab Shelly dengan raut wajah menyesal. Tapi itu malah membuat Dinaya semakin bingung.Tumben Shelly menyebut nama Tante Kiara, bukan ‘perempuan itu’ atau ‘pelakor’ atau ‘ani ani’ seperti biasanya. Dinaya semakin tak mengerti dengan sikap Shelly ini.“Salah duga gimana Shel?” tanya Dinaya setengah hati. Sejujurnya, Dinaya sudah malas dan tak ingin lagi mendengar semua tentang Kiara. Semalam, Dinaya bicara panjang lebar tentang Kiara pada Dirga. Dinaya juga menceritakan ulang semua yang disampaikan Shelly. Bahwa Kiara adalah duri di keluarganya.Kiara lah yang membuat Papinya Shelly sampai pindah ke Semarang dan tinggal dengannya, sementara Maminya hanya membiarkan dan menutup mata, telinga, serta mulutnya tentang perselingkuhan itu. Maminya lebih memil
“A-apa? Skorsing seminggu Pa? Tapi tiga hari lagi ada presentasi! Nilaiku bisa turun!” tukas Dinaya panik. Dirga menjawab pertanyaan Dinaya dengan anggukan.“Iya. Skorsing seminggu, dan masa percobaan sebulan. Kalau dalam satu bulan kamu melakukan pelanggaran lagi, sanksinya kamu nggak bisa naik kelas karena nggak memenuhi syarat kelakuan baik.”“Dia juga dapat sanksi yang sama?”“Siapa? Shelly? Iya kalian berdua sama.”“Nggak bisa gitu dong Pa! Dia harus lebih berat! Dia yang mulai, dia memprovokasi aku, dia ngatain Papa duda nggak laku! Dia buang sampah ke kita Pa! Dia buang perempuan itu supaya jadi istri papa dan Papinya bisa bebas! Kan jahat banget Pa! Nggak bisa dong dia hukumannya sama!” Dinaya berteriak kesal.Untungnya saat ini mereka berdua sedang di dalam mobil menuju ke rumah dan tidak ada yang mendengar teriakan Dinaya.“Nay, kita ngobrol di rumah ya, sebentar lagi sampai. Tuh, gerbang kompleks udah kelihatan. Lebih enak ngobrol di rumah sambil papa obatin luka luka kamu.
“Dokter Dirga?”Dirga baru saja keluar dari laboratorium dan berjalan di koridor rumah sakit sambil mengecek ponsel saat terdengar suara seseorang memanggilnya. Dirga menoleh.“Eh, Pak Haris. Sedang jenguk atau berobat Pak?” tanya Dirga berbasa basi. Suasana hati Dirga sedang tidak baik baik saja, dan pria paruh baya di depannya ini adalah Papinya Shelly, salah satu orang yang secara tidak langsung membuat kekacauan dalam hidup Dirga.“Mau check up rutin aja seperti biasa Dok,” sahut Pak Haris. Dirga hanya tersenyum menanggapi dan berniat pamit karena pekerjaannya masih banyak, dan karena dia sendiri enggan berlama lama bicara dengan Pak Haris.Dirga sudah mengenal Pak Haris cukup lama, jauh sebelum Dinaya bersekolah di sekolah yang sama dengan Shelly, putri bungsu Pak Haris. Dirga mengenal Pak Haris saat ada kasus pembunuhan di restoran mewah miliknya dua tahun yang lalu. Saat itu seorang wanita dilaporkan tewas setelah menghadiri acara reuni di restoran mewah itu. Di dalam tubuh wan
“Kok nggak sekalian bareng sama Papimu tadi, Shel? Om ketemu Papi kamu di rumah sakit lagi medical check up. Kenapa nggak sekalian ikut berobat? Lukamu kelihatannya parah. Coba Om telepon Papi kamu dulu ya, biar sekalian jemput kamu ke sini ...”“Om! Om! Jangan Om!” Shelly buru buru menarik tangan Dirga yang sudah siap dengan ponselnya.“Loh kenapa? Tadi kamu bilang Papimu khawatir banget sampai mau berobat ke Singapore? Tadi Om ngobrol sama Papi kamu, kata Papimu kamu baik baik aja. Pengasuhmu yang bilang ke Papimu kalau kamu sehat dan nggak ada masalah. Papimu katanya cuma sempat tanya sama pengasuh karena dia sibuk. Mami kamu juga lagi seminar di Malaysia kan?” tanya Dirga tenang.Shelly pucat pasi. Dia tak menyangka omong kosongnya di telepon tadi disimak Dirga dari awal sampai akhir. Artinya Dirga juga mendengar kalimat kasarnya tentang almarhumah Ibu Dinaya. Lalu ejekan tentang duda tak laku juga pasti sampai ke telinga
“Nay, minggu depan ikut Papa pulang kampung ya. Cuma sehari aja. Sabtu pagi kita berangkat, minggu sore pulang.”“Loh? Kok tiba tiba ke kampung Pa? Kenapa? Ada apa? Akung nggak apa apa kan Pa? Baik baik aja kan?” tanya Dinaya dengan raut wajah panik. Saat pulang kampung beberapa hari yang lalu, kondisi kakeknya yang biasa disapa dengan panggilan Akung itu masih belum pulih. Tubuhnya masih lemah dan dipenuhi berbagai alat medis. Dan Dinaya masih belum sempat bicara bahkan memperkenalkan diripun tidak. Saat itu dikhawatirkan Akungnya terkejut melihat kehadiran Dinaya dan malah memperburuk kondisi kesehatannya. Itu sebabnya Dinaya belum diperkenalkan. Padahal Dinaya ingin sekali menyapa.“Nggak. Alhamdulillah akung nggak kenapa kenapa. Malah sekarang sudah membaik. Uti juga sudah cerita semua tentang kamu. Kita pulang kampung karena Uti nyuruh papa datang ke pernikahan anak tetangga.” Dirga menjawab dengan raut wajah datar.&ldqu
“Dia itu anak tirinya adik Mami.”“Hah? Gimana gimana?” tanya Aufa. Dia memang paling benci mengurai silsilah keluarga. Apalagi kalau sudah keluarga jauh yang rumit.“Jadi sebenarnya si Lala itu bukan sepupu langsung. Dia itu anak tirinya adik Mamiku. Jadi, Om Karel itu menikah dengan janda beranak satu. Anak janda itu ya si Lala. Salah satu bisnis Om Karel kan dealer mobil, nah si Tante ini dulu kerja jadi SPG di sana. Entah gimana, Om Karel malah nikahin dia. Hampir seluruh keluarga besar Mami nggak setuju. Bukan karena statusnya yang janda atau profesinya yang SPG, tapi karena kelakuannya ya ampuuun! Nggak banget! Belum apa apa udah keliatan banget matrenya. Oma yang paling nggak setuju. Masa dia ke acara keluarga bajunya kayak LC mau open BO? Nggak punya otak!” cibir Shelly.“Oooh, jadi bukan sepupu kandung. Cuma sepupu karena ikatan pernikahan aja. Syukurlah,” sahut Aufa sambil menghela nafas lega. Tak terbayang kalau Shelly ternyata benar benar sepupu kandung perempuan mengerika
“Hei! Bangun pemalaaaass!”Dinaya masih meringkuk di balik selimutnya yang nyaman dan hangat saat suara melengking nyaring dan sama sekali tak merdu itu tiba tiba merusak suasana. Aufa mendadak muncul dan menarik selimut Dinaya sampai gadis itu mengerang kesal.“Aaaah! Aku masih ngantuk, Fa,” protes Dinaya. Semalam dia tak bisa tidur, dan sehabis sholat subuh, Dinaya memutuskan untuk tidur sebentar dan minta bangunkan Bi Asih jam 9 pagi. Tapi bukannya Bi Asih yang membangunkannya dengan lembut, malah Aufa yang datang dengan teriakan tarzannya.“Anak gadis kok bangunnya siang, ntar jodohnya Om Om loh!” seru Aufa sambil menyibak selimut Dinaya sampai gadis itu terjaga sepenuhnya dan memelototi Aufa.“Sebentar lagi tahun 2025, kamu masih aja percaya mitos nggak masuk akal itu. Nggak ada relevansinya antara kebiasaan bangun siang dengan jodoh, Aufa! Terus kalau aku bangunnya sore jodohnya kakek kakek gitu? Gimana kalau aku bangun jam 3 pagi? Apa jodohku bocah SMP?” bantah Dinaya mematahka
Kalau ditanya kapan saat paling memalukan yang dialami Dinaya, dalam dua detik tanpa pikir panjang, dia pasti akan menjawab : tiga tahun yang lalu!Tiga tahun yang lalu, tepatnya tanggal 12 Desember adalah hari yang ingin sekali dihapus Dinaya dari ingatannya. Kalau bisa selama lamanya. Sayangnya itu mustahil. Manusia punya amygdala, dan fungsi bagian otak yang satu itu adalah mengingat dan menyimpan memory yang berkaitan dengan emosi dan itu tentu saja dalam dalam jangka waktu yang lama. Itu sebabnya Dinaya tak pernah bisa melupakan peristiwa memalukan itu walaupun setengah mati ia mengusirnya.Dan sekarang, manusia yang punya andil paling besar membentuk kejadian memalukan itu ada di hadapannya entah darimana datangnya. Baru beberapa menit Dinaya menginjak bumi setelah terbang 15 jam dari London – Singapore – Jakarta sejauh lebih dari 11.000 km, tiba tiba saja makhluk paling menyebalkan itu berdiri di depannya dengan senyum memuakkannya. Argh!“Baru landing dari pesawat?” tanya lela
“Sayang? Udah tidur?” Dirga memanggil Reisha yang berbaring memunggunginya. Mata Dirga menatap langit langit kamar yang diterangi cahaya redup dari lampu tidur di sisi meja. Reisha yang belum tidur berbalik menghadap Dirga.“Baru mau tidur Mas. Kenapa? Mas nggak bisa tidur ya? Mas kepikiran sesuatu? Soal Naya ya?” tanya Reisha sambil berbalik menghadap Dirga. Ia kebetulan memang belum tidur.Dirga menghela nafas seolah menyimpan beban pikiran yang benar benar menghimpit dan membuat dadanya sesak. Tebakan Reisha benar, yang memenuhi beban pikiran Dirga memang Dinaya.“Rei, besok Naya pulang ke Jakarta, dan aku entah kenapa takut banget melepas dia,” ujar Dirga jujur.“Yang kamu takutkan apa, Mas?” tanya Reisha meskipun sedikit banyak ia sudah tau jawabannya.“Aku takut Naya ketemu lelaki yang salah. Di Jakarta dia sendirian, Rei. Nggak ada kita yang bisa jagain dan ngawasin dia. Apalagi kondisinya yang sering sakit setelah kecelakaan waktu itu. Tadi aja aku hampir ikut beli tiket ke Jak
Jangan jangan Papa tau sehari sebelum aku berangkat ke sini, aku menginap di apartemen Ghazi hanya ... berdua? Batin Dinaya panik.“Nay?” Dirga memanggil nama Dinaya karena putrinya itu tak merespon.“Eh i-iya, Pa,” jawab Dinaya gugup.“Kamu kenapa bengong?” tanya Dirga dengan tatapan curiga. Dinaya tau Dirga punya insting tajam. Dan biasanya apapun yang disembunyikan Dinaya, Dirga pasti tau.“Nggak kok Pa. Cuma aku udah ngantuk banget, Pa,” kilah Dinaya cepat. Tapi justru kebohongannya itu makin menambah kecurigaan Dirga.“Nay? Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu sama Papa kan?” tanya Dirga membuat Dinaya mengerang dalam hati.Aahh! Kan? Detektor kebohongannya menyala? Pasti Papa langsung tau aku bohong. Keluh Dinaya dalam hati. Sekarang dia pasrah seandainya Dirga pada akhirnya tau apa yang dilakukannya malam itu.“Nggak, Pa. Nyembunyiin apaan sih?” Dinaya masih mencoba mengelak.“Kamu jangan bikin Papa makin khawatir, Nay. Papa tau kamu nyembunyiin sesuatu. Nay, kamu sekarang jauh d
(Lima tahun kemudian)“Papaaa! Tolooong! Aduuuh!” Dinaya terhuyung jatuh dan lututnya membentur lantai dengan keras. Sementara pengejarnya makin beringas berusaha menangkap Dinaya yang sudah kelelahan.“Papaaaa! Mamaaa! Tolooong!” Dinaya terus berusaha berlari dengan nafas tersengal sengal, tapi dia kehilangan keseimbangan dan jatuh. Sekarang jarak antara Dinaya dan pengejarnya tinggal beberapa langkah saja. Dinaya tak sanggup lagi berdiri, dia sudah benar benar kelelahan.Salah satu pengejarnya mulai menarik tangan Dinaya dan gadis itu tak bisa berkutik. Lalu penyerang kedua mulai mengincar pinggangnya. Lalu ...“Kitik kitik kitik...”“Aaaah! Udah deeek! Geliiii! Papaaa tolongin Paaa ... Mereka berdua keroyokan nih. Aduuuh dek, geliiii!” Dinaya tertawa terbahak bahak saat Disha terus menggelitiki pinggangnya, sementara Shaga memegangi tangannya.Dirga yang melihat itu hanya tersenyum dan membiarkan Dinaya dikeroyok dua balita itu sampai kelelahan.“Shaga, Disha ... Udah udah, kakaknya
Tiga bapak bapak tampak duduk di sudut gedung resepsi pernikahan dengan mata sembab. Yang satu sibuk menyusut air matanya dengan sapu tangan, yang satu pura pura batuk agar terlihat sedang flu, seolah mata yang merah dan ingus yang keluar bukan karena menangis melainkan karena pilek. Sementara yang satu lagi sejak tadi terlihat minum air mineral sesekali. Entah sudah berapa botol tandas, dan ia bolak balik ke kamar kecil.“Kita kenapa sedih?” tanya Rio sambil menghapus air matanya dengan saputangan pink buatan sang istri. Saputangan itu sudah basah karena Rio sejak akad nikah tadi tak bisa menahan tangis.“Memangnya kamu nggak sedih?” tanya Dillo sambil membuang botol air mineral yang sudah kosong ke tempat sampah di sudut.“Aku cuma terharu. Mungkin dia yang sedih,” tunjuk Rio ke arah Farez“Hatttchii!”“Jangan pura pura pilek Rez! Kalau nangis ya nangis aja. Semua orang tau itu air mata dan ingus keluar gara gara nangis dari pagi,” bentak Dillo.“Kalian juga kenapa nangis? Terharu ka
(Satu bulan kemudian)“Naaah kaaan. Feeling saya itu tepat loh Mbak Tari. Dari awal entah kenapa saya yakin banget Dirga ini jodohnya Reisha,” ujar Bu Ambar dengan wajah sumringah. Sementara Bu Ratih duduk di sebelahnya dengan mata berkaca kaca.Dengan suasana haru yang masih menggantung di ruangan, Reisha dan keluarganya masih terlihat sumringah. Keceriaan terpancar dari setiap wajah, terutama Bu Ambar yang seakan-akan tidak berhenti mengulang kalimat penuh kepastian bahwa Reisha akhirnya bertemu dengan jodoh yang baik. Di satu sisi, Bu Ratih masih menyeka air matanya, teringat betapa berat perjalanan hidup keponakannya sejak kehilangan orang tua dan saudara kandungnya. Kini, Reisha akhirnya menemukan sosok pria yang mampu mengisi kekosongan itu, seorang pria yang tidak hanya tulus, tetapi juga datang dengan penuh niat baik. Bu Ratih menatap wajah Reisha dengan tatapan penuh kasih sayang.“Ya Allah, Nduk ... Reisha ... Ibu, Bapak, dan Mas mu pasti tenang di sana. Kamu sekarang udah ng
“Dinaya! Stop! Kalau kamu masih ketawa juga, papa potong uang saku kamu tiga bulan!!”“Hahahaha ... Iya iya maaf Papaaa. Abisnya papa lucu banget. Bisa bisanya papa mikir mau mati detik itu juga. Padahal kan papa nggak kenapa kenapa, cuma nggak bisa keluar doang. Astaga Papaaa ... Gemes banget sih papaku ini,” celoteh Dinaya saat mereka berdua sudah dalam perjalanan pulang ke rumah.Akhirnya semalam Dirga berhasil mengutarakan isi hatinya pada Reisha. Dan bisa ditebak, tentu saja Reisha mengiyakan meski dengan wajah bersemu merah.“Kamu bukannya khawatir papa hampir ketiban pohon, malah diketawain. Gimana sih?” omel Dirga sambil cemberut. Sementara Dinaya menahan tawa sampai wajahnya merah padam.“Maaf Papa. Abisnya lucu banget. Aku bukannya nggak khawatir, semalem pas denger kabar itu aku panik banget, tapi HP ku kan lowbatt. Terus kata Bu Indah semua baik baik aja dan Papa sama Miss Rei udah aman aman aja. Terus aku kan ngecharge HP, eeh ketiduran sampai pagi. Makanya nggak telepon