“Nay, minggu depan ikut Papa pulang kampung ya. Cuma sehari aja. Sabtu pagi kita berangkat, minggu sore pulang.”
“Loh? Kok tiba tiba ke kampung Pa? Kenapa? Ada apa? Akung nggak apa apa kan Pa? Baik baik aja kan?” tanya Dinaya dengan raut wajah panik. Saat pulang kampung beberapa hari yang lalu, kondisi kakeknya yang biasa disapa dengan panggilan Akung itu masih belum pulih. Tubuhnya masih lemah dan dipenuhi berbagai alat medis. Dan Dinaya masih belum sempat bicara bahkan memperkenalkan diripun tidak. Saat itu dikhawatirkan Akungnya terkejut melihat kehadiran Dinaya dan malah memperburuk kondisi kesehatannya. Itu sebabnya Dinaya belum diperkenalkan. Padahal Dinaya ingin sekali menyapa.
“Nggak. Alhamdulillah akung nggak kenapa kenapa. Malah sekarang sudah membaik. Uti juga sudah cerita semua tentang kamu. Kita pulang kampung karena Uti nyuruh papa datang ke pernikahan anak tetangga.” Dirga menjawab dengan raut wajah datar.
&ldqu
“Dokter Dirga?”“Miss Rei?”“Loh? Sudah saling kenal rupanya?” Bu Ratih terkejut saat melihat Dirga dan Reisha saling menyapa. Begitu juga dengan Ibu. Ibu terlihat terkejut sekaligus senang. Dalam hati ibu meyakini kalau Dirga dan Reisha pasti berjodoh. Di dunia ini tak ada yang kebetulan, semua pasti sudah diatur Tuhan.“Iya Bulek, saya guru anaknya Dokter Dirga.”“Oalaaah ternyata gurunya Dinaya,” sahut Ibu dengan wajah sumringah.“Wah kalau begitu kita nggak usah susah payah memperkenalkan mereka berdua lagi ya Mbak Tari, toh mereka berdua memang sudah saling kenal,” ujar Bu Ratih dengan wajah sama gembiranya dengan Ibu.“Ya sudah kalau begitu kami berdua ke dalam dulu, kalian berdua lanjutkan saja ngobrolnya ya,” Ibu buru buru menarik tangan Bu Ratih sambil memberi kode. Bu Ratih langsung paham dan berjalan menjajari langkah ibu. Keduanya meninggalkan sau
“Astaghfirullah ... Ibu, Mas Dirga! Apa apaan ini? Kenapa kok malah berantem sih? Apa nggak bisa bicara baik baik?” Tiba tiba saja Dista datang dan langsung melerai pertengkaran ibu dan anak itu.“Masalahnya apa sih? Kenapa Ibu dan Mas Dirga malah jadi panas begini? Istighfar! Nggak ada istilah mantan anak ataupun mantan ibu! Nggak ada yang menarik diri dari keluarga ataupun dibuang dari silsilah keluarga! Kita ini sedarah! Ibu yang melahirkan Mas Dirga. Mana mungkin tiba tiba putus hubungan begini hanya gara gara hal sepele?”“Ini bukan hal sepele, Ta! Ibu memikirkan masa depan Mas Dirga mu ini loh. Mau sampai kapan dia membujang terus?”“Loh? Aku juga nggak mau membujang terus, Bu. Tapi bukan berarti aku sembarangan nyari perempuan untuk dinikahi kan?”“Sudah sudah! Malah bertengkar lagi! Ayo Mas Dirga dan Ibu duduk dulu. Kita bicara baik baik. Rasulullah mengajarkan kalau sedang marah dalam keadaan
“Sebaiknya jangan Buna. Nanti Papa malah makin marah. Mendingan cooling down aja dulu sekarang. Nanti juga Papa bakalan buka hatinya sendiri.” Dinaya sedang berbicara di telepon dengan Nina. Suara Dinaya pelan sekali, khawatir nanti Dirga mendengarnya.Sejak pulang dari kampung kemarin sore, Dirga sensitif sekali, terutama masalah hati, cinta, jodoh, dan pernikahan. Jangan sampai salah satunya terlontar, Dirga bisa naik pitam.“Iya Papamu sih nggak masalah, tapi ceweknya gimana? Umur dia udah 27 Nay, aku aja yang masih 25 udah mau nikah tahun depan. Keburu dia dilamar beneran kalau kelamaan nunggu!” tukas Nina geram. Mereka berdua tengah membicarakan Reisha. Ternyata Nina, Gia, Dista dan Ibu sepakat setuju kalau Reisha lah yang jadi kandidat selanjutnya. Kali ini tidak akan terulang kejadian buruk kemarin. Sebab mereka kenal baik Reisha bahkan sampai ke kakek neneknya. Dan mereka semua tau Reisha adalah gadis cantik yang juga baik perilaku
“Gila! Bener bener bajingan! Sudah punya tunangan masih main gila sama cewek lain.”“Hah? Siapa Pa? Orang itu ya? Papa kenal emangnya?”“Dia tunangan gurumu itu.”“Guru? Miss Rei! Maksud Papa dia tunangan Miss Rei?”“Iya, papa inget banget mukanya. Itu si Rehan yang waktu itu dikenalin ke Papa.”“Haaah? Dasar buaya darat! Aligator! Kadal berbisa! Tokek buduk! Cicak burik!” Dinaya memaki dengan menyebut segala jenis reptil. Dengan satu gerakan cepat, Dinaya mengeluarkan sesuatu dari tasnya.“Hei kamu mau ngapain?”“Pa, pilih mana, tukar tempat sama aku, atau Papa aja yang videoin dari sana?”“Hah? Gimana gimana?”“Papa mau pindah duduk ke sini, atau Papa aja yang videoin pasangan mesum di sana itu, tapi jangan sampe ketauan, bisa nggak? HPku yang papa beliin kemarin bisa zoom kualitas HD. Pasti keliatan jelas.
“Aku kesel Pa!”“Hei, assalamualaikum dulu dong. Kok tiba tiba langsung curhat?” Dirga menegur putrinya melalui telepon.“Oh iya lupa. Abis emosi sih. Diulang lagi dari awal ya Pa. Assalamualaikum Papa ...”“Waalaikumsalam. Nah gitu dong. Kamu kenapa Nay?”“Aku kesel sama Miss Rei!”“Kenapa?”“Aku udah ceritain tentang kejadian di puncak semalam. Dan reaksinya itu yang bikin aku kesel banget Paaa! Kok bisa sih Miss Rei begitu?”“Nay ... Naya sebentar ya. Papa lagi ada kerjaan penting. Nanti aja kita ngobrolnya di rumah. Oke?” Dirga dengan cepat mencari alasan agar tak terlibat pembicaraan soal Reisha lagi. Dirga memilih menghindar.“Yaaah ... Ya udah deh. Papa pulangnya jangan telat ya Pa.”“Iya InsyaaAllah. Ya udah ya, papa kerja dulu. Assalamualaikum.”“Oke Papa. Waalaikumsalam.”Dinaya melempar ponselnya ke kasur dan merebahkan diri dengan hati yang benar benar kesal. Dinaya sudah menyampaikan semua yang dia lihat semalam pada Reisha. Tapi reaksi gurunya itu sungguh di luar ekspekt
“Kenapa tuh? Satpamnya mana ini? Aduh!” Dirga berdiri dari kursi dan mulai panik.“Pak Ruslan lagi di lantai lima Pa, lagi matiin lampu. Kelamaan nunggu Pak Ruslan. Ayo Pa kita liat aja itu Miss Rei kenapa?” teriak Dinaya.“Nay! Nay! Papa takut Nay! Gimana kalau ada maling atau begal?”“Aduuuh kayaknya bukan Pa! Itu mungkin Miss Rei jatuh atau apa tuh.”“Tapi teriakannya mencekam banget, Nay! Atau jangan jangan ada ular atau biawak!”“Papaaaa! Ini tuh sekolah di tengah kota! Bukan di hutan pedalaman! Mana ada ular ama biawak segala! Kalau Papa nggak mau aku aja yang kesana lah!”“Eeh! Naya! Naya jangan! Nanti kamu malah kenapa kenapa! Udah tunggu di sini aja, biar Papa yang hadapi dengan gagah perkasa!”Dirga memberanikan diri berjalan ke arah toilet. Tapi berbanding terbalik dengan ucapannya, yang terlihat bukan gagah perkasa, melainkan lutut yang gemetar, dan langkah yang goyah. Tapi tetap Dirga menyeret langkahnya menuju toilet.Dirga heran saat di depan toilet semua terlihat gelap
Reisha melempar tas kerjanya sembarangan ke lantai. Ia lalu melempar tubuhnya ke sofa ruang tengah. Lelah, lapar, mengantuk, semua jadi satu membuat Reisha malas bergerak. Gadis itu memejamkan matanya sesaat.Tiba tiba keheningan ini membuat Reisha tak nyaman. Dulu, setiap pulang kerja, di rumah selalu ada aroma masakan yang wangi. Reno, almarhum abang Reisha selalu saja membuatkan masakan masakan enak yang menggugah selera setiap kali Reisha tiba di rumah.Sudah hampir enam bulan sejak Reno ditemukan meninggal dunia dalam freezer room di restoran tempat dia bekerja. Dia ditemukan dalam posisi terjepit di belakang rak pendingin saat ingin mengambil ponselnya yang terjatuh di sana. Reno yang punya berat badan berlebih terjebak dan bisa bergerak di balik lemari pendingin yang besar dan berat.Reisha membayangkan abangnya berteriak sekuat tenaga, tapi saat itu sudah jam sepuluh malam dan semua karyawan restoran sudah pulang. Lagipula ruangan pendingin itu kedap udara dan suara apapun dar
Reisha terbangun dengan kepala pusing saat sinar matahari sudah menerobos masuk dari celah tirai jendela. Sudah jam tujuh lewat tiga puluh menit. Sehabis subuh tadi, Reisha tidur kembali masih dengan mengenakan mukenahnya. Niatnya hanya lima menit tidur tiduran, tapi ternyata sampai siang Reisha benar benar terlelap.Reisha terbangun karena suara dering telepon yang menganggu sekali. Ia pun melirik nama yang tertera di layar ponsel.Dinaya? Tumben dia telepon pagi pagi begini. Apa ada masalah? Batin Reisha sambil buru buru menjawab telepon.“Assalamualaikum, iya Nay?”“Waalaikumsalam. Miss Rei dimana?” tanya Dinaya lewat sambungan telepon.“Di rumah. Kenapa, Nay?”“Miss Rei lagi istirahat ya? Apa aku ganggu? Aku boleh tanya sesuatu dengan Miss Rei?” tanya Dinaya lagi. Suara Reisha terdengar serak seperti orang baru bangun tidur, Dinaya merasa tak enak sudah mengganggu waktu istirahat Reisha.“Nggak apa apa Naya, tanya aja. Tadi Miss tidur tiduran habis subuh, tapi malah ketiduran bene
“Dia itu anak tirinya adik Mami.”“Hah? Gimana gimana?” tanya Aufa. Dia memang paling benci mengurai silsilah keluarga. Apalagi kalau sudah keluarga jauh yang rumit.“Jadi sebenarnya si Lala itu bukan sepupu langsung. Dia itu anak tirinya adik Mamiku. Jadi, Om Karel itu menikah dengan janda beranak satu. Anak janda itu ya si Lala. Salah satu bisnis Om Karel kan dealer mobil, nah si Tante ini dulu kerja jadi SPG di sana. Entah gimana, Om Karel malah nikahin dia. Hampir seluruh keluarga besar Mami nggak setuju. Bukan karena statusnya yang janda atau profesinya yang SPG, tapi karena kelakuannya ya ampuuun! Nggak banget! Belum apa apa udah keliatan banget matrenya. Oma yang paling nggak setuju. Masa dia ke acara keluarga bajunya kayak LC mau open BO? Nggak punya otak!” cibir Shelly.“Oooh, jadi bukan sepupu kandung. Cuma sepupu karena ikatan pernikahan aja. Syukurlah,” sahut Aufa sambil menghela nafas lega. Tak terbayang kalau Shelly ternyata benar benar sepupu kandung perempuan mengerika
“Hei! Bangun pemalaaaass!”Dinaya masih meringkuk di balik selimutnya yang nyaman dan hangat saat suara melengking nyaring dan sama sekali tak merdu itu tiba tiba merusak suasana. Aufa mendadak muncul dan menarik selimut Dinaya sampai gadis itu mengerang kesal.“Aaaah! Aku masih ngantuk, Fa,” protes Dinaya. Semalam dia tak bisa tidur, dan sehabis sholat subuh, Dinaya memutuskan untuk tidur sebentar dan minta bangunkan Bi Asih jam 9 pagi. Tapi bukannya Bi Asih yang membangunkannya dengan lembut, malah Aufa yang datang dengan teriakan tarzannya.“Anak gadis kok bangunnya siang, ntar jodohnya Om Om loh!” seru Aufa sambil menyibak selimut Dinaya sampai gadis itu terjaga sepenuhnya dan memelototi Aufa.“Sebentar lagi tahun 2025, kamu masih aja percaya mitos nggak masuk akal itu. Nggak ada relevansinya antara kebiasaan bangun siang dengan jodoh, Aufa! Terus kalau aku bangunnya sore jodohnya kakek kakek gitu? Gimana kalau aku bangun jam 3 pagi? Apa jodohku bocah SMP?” bantah Dinaya mematahka
Kalau ditanya kapan saat paling memalukan yang dialami Dinaya, dalam dua detik tanpa pikir panjang, dia pasti akan menjawab : tiga tahun yang lalu!Tiga tahun yang lalu, tepatnya tanggal 12 Desember adalah hari yang ingin sekali dihapus Dinaya dari ingatannya. Kalau bisa selama lamanya. Sayangnya itu mustahil. Manusia punya amygdala, dan fungsi bagian otak yang satu itu adalah mengingat dan menyimpan memory yang berkaitan dengan emosi dan itu tentu saja dalam dalam jangka waktu yang lama. Itu sebabnya Dinaya tak pernah bisa melupakan peristiwa memalukan itu walaupun setengah mati ia mengusirnya.Dan sekarang, manusia yang punya andil paling besar membentuk kejadian memalukan itu ada di hadapannya entah darimana datangnya. Baru beberapa menit Dinaya menginjak bumi setelah terbang 15 jam dari London – Singapore – Jakarta sejauh lebih dari 11.000 km, tiba tiba saja makhluk paling menyebalkan itu berdiri di depannya dengan senyum memuakkannya. Argh!“Baru landing dari pesawat?” tanya lela
“Sayang? Udah tidur?” Dirga memanggil Reisha yang berbaring memunggunginya. Mata Dirga menatap langit langit kamar yang diterangi cahaya redup dari lampu tidur di sisi meja. Reisha yang belum tidur berbalik menghadap Dirga.“Baru mau tidur Mas. Kenapa? Mas nggak bisa tidur ya? Mas kepikiran sesuatu? Soal Naya ya?” tanya Reisha sambil berbalik menghadap Dirga. Ia kebetulan memang belum tidur.Dirga menghela nafas seolah menyimpan beban pikiran yang benar benar menghimpit dan membuat dadanya sesak. Tebakan Reisha benar, yang memenuhi beban pikiran Dirga memang Dinaya.“Rei, besok Naya pulang ke Jakarta, dan aku entah kenapa takut banget melepas dia,” ujar Dirga jujur.“Yang kamu takutkan apa, Mas?” tanya Reisha meskipun sedikit banyak ia sudah tau jawabannya.“Aku takut Naya ketemu lelaki yang salah. Di Jakarta dia sendirian, Rei. Nggak ada kita yang bisa jagain dan ngawasin dia. Apalagi kondisinya yang sering sakit setelah kecelakaan waktu itu. Tadi aja aku hampir ikut beli tiket ke Jak
Jangan jangan Papa tau sehari sebelum aku berangkat ke sini, aku menginap di apartemen Ghazi hanya ... berdua? Batin Dinaya panik.“Nay?” Dirga memanggil nama Dinaya karena putrinya itu tak merespon.“Eh i-iya, Pa,” jawab Dinaya gugup.“Kamu kenapa bengong?” tanya Dirga dengan tatapan curiga. Dinaya tau Dirga punya insting tajam. Dan biasanya apapun yang disembunyikan Dinaya, Dirga pasti tau.“Nggak kok Pa. Cuma aku udah ngantuk banget, Pa,” kilah Dinaya cepat. Tapi justru kebohongannya itu makin menambah kecurigaan Dirga.“Nay? Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu sama Papa kan?” tanya Dirga membuat Dinaya mengerang dalam hati.Aahh! Kan? Detektor kebohongannya menyala? Pasti Papa langsung tau aku bohong. Keluh Dinaya dalam hati. Sekarang dia pasrah seandainya Dirga pada akhirnya tau apa yang dilakukannya malam itu.“Nggak, Pa. Nyembunyiin apaan sih?” Dinaya masih mencoba mengelak.“Kamu jangan bikin Papa makin khawatir, Nay. Papa tau kamu nyembunyiin sesuatu. Nay, kamu sekarang jauh d
(Lima tahun kemudian)“Papaaa! Tolooong! Aduuuh!” Dinaya terhuyung jatuh dan lututnya membentur lantai dengan keras. Sementara pengejarnya makin beringas berusaha menangkap Dinaya yang sudah kelelahan.“Papaaaa! Mamaaa! Tolooong!” Dinaya terus berusaha berlari dengan nafas tersengal sengal, tapi dia kehilangan keseimbangan dan jatuh. Sekarang jarak antara Dinaya dan pengejarnya tinggal beberapa langkah saja. Dinaya tak sanggup lagi berdiri, dia sudah benar benar kelelahan.Salah satu pengejarnya mulai menarik tangan Dinaya dan gadis itu tak bisa berkutik. Lalu penyerang kedua mulai mengincar pinggangnya. Lalu ...“Kitik kitik kitik...”“Aaaah! Udah deeek! Geliiii! Papaaa tolongin Paaa ... Mereka berdua keroyokan nih. Aduuuh dek, geliiii!” Dinaya tertawa terbahak bahak saat Disha terus menggelitiki pinggangnya, sementara Shaga memegangi tangannya.Dirga yang melihat itu hanya tersenyum dan membiarkan Dinaya dikeroyok dua balita itu sampai kelelahan.“Shaga, Disha ... Udah udah, kakaknya
Tiga bapak bapak tampak duduk di sudut gedung resepsi pernikahan dengan mata sembab. Yang satu sibuk menyusut air matanya dengan sapu tangan, yang satu pura pura batuk agar terlihat sedang flu, seolah mata yang merah dan ingus yang keluar bukan karena menangis melainkan karena pilek. Sementara yang satu lagi sejak tadi terlihat minum air mineral sesekali. Entah sudah berapa botol tandas, dan ia bolak balik ke kamar kecil.“Kita kenapa sedih?” tanya Rio sambil menghapus air matanya dengan saputangan pink buatan sang istri. Saputangan itu sudah basah karena Rio sejak akad nikah tadi tak bisa menahan tangis.“Memangnya kamu nggak sedih?” tanya Dillo sambil membuang botol air mineral yang sudah kosong ke tempat sampah di sudut.“Aku cuma terharu. Mungkin dia yang sedih,” tunjuk Rio ke arah Farez“Hatttchii!”“Jangan pura pura pilek Rez! Kalau nangis ya nangis aja. Semua orang tau itu air mata dan ingus keluar gara gara nangis dari pagi,” bentak Dillo.“Kalian juga kenapa nangis? Terharu ka
(Satu bulan kemudian)“Naaah kaaan. Feeling saya itu tepat loh Mbak Tari. Dari awal entah kenapa saya yakin banget Dirga ini jodohnya Reisha,” ujar Bu Ambar dengan wajah sumringah. Sementara Bu Ratih duduk di sebelahnya dengan mata berkaca kaca.Dengan suasana haru yang masih menggantung di ruangan, Reisha dan keluarganya masih terlihat sumringah. Keceriaan terpancar dari setiap wajah, terutama Bu Ambar yang seakan-akan tidak berhenti mengulang kalimat penuh kepastian bahwa Reisha akhirnya bertemu dengan jodoh yang baik. Di satu sisi, Bu Ratih masih menyeka air matanya, teringat betapa berat perjalanan hidup keponakannya sejak kehilangan orang tua dan saudara kandungnya. Kini, Reisha akhirnya menemukan sosok pria yang mampu mengisi kekosongan itu, seorang pria yang tidak hanya tulus, tetapi juga datang dengan penuh niat baik. Bu Ratih menatap wajah Reisha dengan tatapan penuh kasih sayang.“Ya Allah, Nduk ... Reisha ... Ibu, Bapak, dan Mas mu pasti tenang di sana. Kamu sekarang udah ng
“Dinaya! Stop! Kalau kamu masih ketawa juga, papa potong uang saku kamu tiga bulan!!”“Hahahaha ... Iya iya maaf Papaaa. Abisnya papa lucu banget. Bisa bisanya papa mikir mau mati detik itu juga. Padahal kan papa nggak kenapa kenapa, cuma nggak bisa keluar doang. Astaga Papaaa ... Gemes banget sih papaku ini,” celoteh Dinaya saat mereka berdua sudah dalam perjalanan pulang ke rumah.Akhirnya semalam Dirga berhasil mengutarakan isi hatinya pada Reisha. Dan bisa ditebak, tentu saja Reisha mengiyakan meski dengan wajah bersemu merah.“Kamu bukannya khawatir papa hampir ketiban pohon, malah diketawain. Gimana sih?” omel Dirga sambil cemberut. Sementara Dinaya menahan tawa sampai wajahnya merah padam.“Maaf Papa. Abisnya lucu banget. Aku bukannya nggak khawatir, semalem pas denger kabar itu aku panik banget, tapi HP ku kan lowbatt. Terus kata Bu Indah semua baik baik aja dan Papa sama Miss Rei udah aman aman aja. Terus aku kan ngecharge HP, eeh ketiduran sampai pagi. Makanya nggak telepon