“Kok nggak sekalian bareng sama Papimu tadi, Shel? Om ketemu Papi kamu di rumah sakit lagi medical check up. Kenapa nggak sekalian ikut berobat? Lukamu kelihatannya parah. Coba Om telepon Papi kamu dulu ya, biar sekalian jemput kamu ke sini ...”
“Om! Om! Jangan Om!” Shelly buru buru menarik tangan Dirga yang sudah siap dengan ponselnya.
“Loh kenapa? Tadi kamu bilang Papimu khawatir banget sampai mau berobat ke Singapore? Tadi Om ngobrol sama Papi kamu, kata Papimu kamu baik baik aja. Pengasuhmu yang bilang ke Papimu kalau kamu sehat dan nggak ada masalah. Papimu katanya cuma sempat tanya sama pengasuh karena dia sibuk. Mami kamu juga lagi seminar di Malaysia kan?” tanya Dirga tenang.
Shelly pucat pasi. Dia tak menyangka omong kosongnya di telepon tadi disimak Dirga dari awal sampai akhir. Artinya Dirga juga mendengar kalimat kasarnya tentang almarhumah Ibu Dinaya. Lalu ejekan tentang duda tak laku juga pasti sampai ke telinga
“Nay, minggu depan ikut Papa pulang kampung ya. Cuma sehari aja. Sabtu pagi kita berangkat, minggu sore pulang.”“Loh? Kok tiba tiba ke kampung Pa? Kenapa? Ada apa? Akung nggak apa apa kan Pa? Baik baik aja kan?” tanya Dinaya dengan raut wajah panik. Saat pulang kampung beberapa hari yang lalu, kondisi kakeknya yang biasa disapa dengan panggilan Akung itu masih belum pulih. Tubuhnya masih lemah dan dipenuhi berbagai alat medis. Dan Dinaya masih belum sempat bicara bahkan memperkenalkan diripun tidak. Saat itu dikhawatirkan Akungnya terkejut melihat kehadiran Dinaya dan malah memperburuk kondisi kesehatannya. Itu sebabnya Dinaya belum diperkenalkan. Padahal Dinaya ingin sekali menyapa.“Nggak. Alhamdulillah akung nggak kenapa kenapa. Malah sekarang sudah membaik. Uti juga sudah cerita semua tentang kamu. Kita pulang kampung karena Uti nyuruh papa datang ke pernikahan anak tetangga.” Dirga menjawab dengan raut wajah datar.&ldqu
“Dokter Dirga?”“Miss Rei?”“Loh? Sudah saling kenal rupanya?” Bu Ratih terkejut saat melihat Dirga dan Reisha saling menyapa. Begitu juga dengan Ibu. Ibu terlihat terkejut sekaligus senang. Dalam hati ibu meyakini kalau Dirga dan Reisha pasti berjodoh. Di dunia ini tak ada yang kebetulan, semua pasti sudah diatur Tuhan.“Iya Bulek, saya guru anaknya Dokter Dirga.”“Oalaaah ternyata gurunya Dinaya,” sahut Ibu dengan wajah sumringah.“Wah kalau begitu kita nggak usah susah payah memperkenalkan mereka berdua lagi ya Mbak Tari, toh mereka berdua memang sudah saling kenal,” ujar Bu Ratih dengan wajah sama gembiranya dengan Ibu.“Ya sudah kalau begitu kami berdua ke dalam dulu, kalian berdua lanjutkan saja ngobrolnya ya,” Ibu buru buru menarik tangan Bu Ratih sambil memberi kode. Bu Ratih langsung paham dan berjalan menjajari langkah ibu. Keduanya meninggalkan sau
“Astaghfirullah ... Ibu, Mas Dirga! Apa apaan ini? Kenapa kok malah berantem sih? Apa nggak bisa bicara baik baik?” Tiba tiba saja Dista datang dan langsung melerai pertengkaran ibu dan anak itu.“Masalahnya apa sih? Kenapa Ibu dan Mas Dirga malah jadi panas begini? Istighfar! Nggak ada istilah mantan anak ataupun mantan ibu! Nggak ada yang menarik diri dari keluarga ataupun dibuang dari silsilah keluarga! Kita ini sedarah! Ibu yang melahirkan Mas Dirga. Mana mungkin tiba tiba putus hubungan begini hanya gara gara hal sepele?”“Ini bukan hal sepele, Ta! Ibu memikirkan masa depan Mas Dirga mu ini loh. Mau sampai kapan dia membujang terus?”“Loh? Aku juga nggak mau membujang terus, Bu. Tapi bukan berarti aku sembarangan nyari perempuan untuk dinikahi kan?”“Sudah sudah! Malah bertengkar lagi! Ayo Mas Dirga dan Ibu duduk dulu. Kita bicara baik baik. Rasulullah mengajarkan kalau sedang marah dalam keadaan
“Sebaiknya jangan Buna. Nanti Papa malah makin marah. Mendingan cooling down aja dulu sekarang. Nanti juga Papa bakalan buka hatinya sendiri.” Dinaya sedang berbicara di telepon dengan Nina. Suara Dinaya pelan sekali, khawatir nanti Dirga mendengarnya.Sejak pulang dari kampung kemarin sore, Dirga sensitif sekali, terutama masalah hati, cinta, jodoh, dan pernikahan. Jangan sampai salah satunya terlontar, Dirga bisa naik pitam.“Iya Papamu sih nggak masalah, tapi ceweknya gimana? Umur dia udah 27 Nay, aku aja yang masih 25 udah mau nikah tahun depan. Keburu dia dilamar beneran kalau kelamaan nunggu!” tukas Nina geram. Mereka berdua tengah membicarakan Reisha. Ternyata Nina, Gia, Dista dan Ibu sepakat setuju kalau Reisha lah yang jadi kandidat selanjutnya. Kali ini tidak akan terulang kejadian buruk kemarin. Sebab mereka kenal baik Reisha bahkan sampai ke kakek neneknya. Dan mereka semua tau Reisha adalah gadis cantik yang juga baik perilaku
“Gila! Bener bener bajingan! Sudah punya tunangan masih main gila sama cewek lain.”“Hah? Siapa Pa? Orang itu ya? Papa kenal emangnya?”“Dia tunangan gurumu itu.”“Guru? Miss Rei! Maksud Papa dia tunangan Miss Rei?”“Iya, papa inget banget mukanya. Itu si Rehan yang waktu itu dikenalin ke Papa.”“Haaah? Dasar buaya darat! Aligator! Kadal berbisa! Tokek buduk! Cicak burik!” Dinaya memaki dengan menyebut segala jenis reptil. Dengan satu gerakan cepat, Dinaya mengeluarkan sesuatu dari tasnya.“Hei kamu mau ngapain?”“Pa, pilih mana, tukar tempat sama aku, atau Papa aja yang videoin dari sana?”“Hah? Gimana gimana?”“Papa mau pindah duduk ke sini, atau Papa aja yang videoin pasangan mesum di sana itu, tapi jangan sampe ketauan, bisa nggak? HPku yang papa beliin kemarin bisa zoom kualitas HD. Pasti keliatan jelas.
“Aku kesel Pa!”“Hei, assalamualaikum dulu dong. Kok tiba tiba langsung curhat?” Dirga menegur putrinya melalui telepon.“Oh iya lupa. Abis emosi sih. Diulang lagi dari awal ya Pa. Assalamualaikum Papa ...”“Waalaikumsalam. Nah gitu dong. Kamu kenapa Nay?”“Aku kesel sama Miss Rei!”“Kenapa?”“Aku udah ceritain tentang kejadian di puncak semalam. Dan reaksinya itu yang bikin aku kesel banget Paaa! Kok bisa sih Miss Rei begitu?”“Nay ... Naya sebentar ya. Papa lagi ada kerjaan penting. Nanti aja kita ngobrolnya di rumah. Oke?” Dirga dengan cepat mencari alasan agar tak terlibat pembicaraan soal Reisha lagi. Dirga memilih menghindar.“Yaaah ... Ya udah deh. Papa pulangnya jangan telat ya Pa.”“Iya InsyaaAllah. Ya udah ya, papa kerja dulu. Assalamualaikum.”“Oke Papa. Waalaikumsalam.”Dinaya melempar ponselnya ke kasur dan merebahkan diri dengan hati yang benar benar kesal. Dinaya sudah menyampaikan semua yang dia lihat semalam pada Reisha. Tapi reaksi gurunya itu sungguh di luar ekspekt
“Kenapa tuh? Satpamnya mana ini? Aduh!” Dirga berdiri dari kursi dan mulai panik.“Pak Ruslan lagi di lantai lima Pa, lagi matiin lampu. Kelamaan nunggu Pak Ruslan. Ayo Pa kita liat aja itu Miss Rei kenapa?” teriak Dinaya.“Nay! Nay! Papa takut Nay! Gimana kalau ada maling atau begal?”“Aduuuh kayaknya bukan Pa! Itu mungkin Miss Rei jatuh atau apa tuh.”“Tapi teriakannya mencekam banget, Nay! Atau jangan jangan ada ular atau biawak!”“Papaaaa! Ini tuh sekolah di tengah kota! Bukan di hutan pedalaman! Mana ada ular ama biawak segala! Kalau Papa nggak mau aku aja yang kesana lah!”“Eeh! Naya! Naya jangan! Nanti kamu malah kenapa kenapa! Udah tunggu di sini aja, biar Papa yang hadapi dengan gagah perkasa!”Dirga memberanikan diri berjalan ke arah toilet. Tapi berbanding terbalik dengan ucapannya, yang terlihat bukan gagah perkasa, melainkan lutut yang gemetar, dan langkah yang goyah. Tapi tetap Dirga menyeret langkahnya menuju toilet.Dirga heran saat di depan toilet semua terlihat gelap
Reisha melempar tas kerjanya sembarangan ke lantai. Ia lalu melempar tubuhnya ke sofa ruang tengah. Lelah, lapar, mengantuk, semua jadi satu membuat Reisha malas bergerak. Gadis itu memejamkan matanya sesaat.Tiba tiba keheningan ini membuat Reisha tak nyaman. Dulu, setiap pulang kerja, di rumah selalu ada aroma masakan yang wangi. Reno, almarhum abang Reisha selalu saja membuatkan masakan masakan enak yang menggugah selera setiap kali Reisha tiba di rumah.Sudah hampir enam bulan sejak Reno ditemukan meninggal dunia dalam freezer room di restoran tempat dia bekerja. Dia ditemukan dalam posisi terjepit di belakang rak pendingin saat ingin mengambil ponselnya yang terjatuh di sana. Reno yang punya berat badan berlebih terjebak dan bisa bergerak di balik lemari pendingin yang besar dan berat.Reisha membayangkan abangnya berteriak sekuat tenaga, tapi saat itu sudah jam sepuluh malam dan semua karyawan restoran sudah pulang. Lagipula ruangan pendingin itu kedap udara dan suara apapun dar
Jangan jangan Papa tau sehari sebelum aku berangkat ke sini, aku menginap di apartemen Ghazi hanya ... berdua? Batin Dinaya panik.“Nay?” Dirga memanggil nama Dinaya karena putrinya itu tak merespon.“Eh i-iya, Pa,” jawab Dinaya gugup.“Kamu kenapa bengong?” tanya Dirga dengan tatapan curiga. Dinaya tau Dirga punya insting tajam. Dan biasanya apapun yang disembunyikan Dinaya, Dirga pasti tau.“Nggak kok Pa. Cuma aku udah ngantuk banget, Pa,” kilah Dinaya cepat. Tapi justru kebohongannya itu makin menambah kecurigaan Dirga.“Nay? Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu sama Papa kan?” tanya Dirga membuat Dinaya mengerang dalam hati.Aahh! Kan? Detektor kebohongannya menyala? Pasti Papa langsung tau aku bohong. Keluh Dinaya dalam hati. Sekarang dia pasrah seandainya Dirga pada akhirnya tau apa yang dilakukannya malam itu.“Nggak, Pa. Nyembunyiin apaan sih?” Dinaya masih mencoba mengelak.“Kamu jangan bikin Papa makin khawatir, Nay. Papa tau kamu nyembunyiin sesuatu. Nay, kamu sekarang jauh
(Lima tahun kemudian)“Papaaa! Tolooong! Aduuuh!” Dinaya terhuyung jatuh dan lututnya membentur lantai dengan keras. Sementara pengejarnya makin beringas berusaha menangkap Dinaya yang sudah kelelahan.“Papaaaa! Mamaaa! Tolooong!” Dinaya terus berusaha berlari dengan nafas tersengal sengal, tapi dia kehilangan keseimbangan dan jatuh. Sekarang jarak antara Dinaya dan pengejarnya tinggal beberapa langkah saja. Dinaya tak sanggup lagi berdiri, dia sudah benar benar kelelahan.Salah satu pengejarnya mulai menarik tangan Dinaya dan gadis itu tak bisa berkutik. Lalu penyerang kedua mulai mengincar pinggangnya. Lalu ...“Kitik kitik kitik...”“Aaaah! Udah deeek! Geliiii! Papaaa tolongin Paaa ... Mereka berdua keroyokan nih. Aduuuh dek, geliiii!” Dinaya tertawa terbahak bahak saat Disha terus menggelitiki pinggangnya, sementara Shaga memegangi tangannya.Dirga yang melihat itu hanya tersenyum dan membiarkan Dinaya dikeroyok dua balita itu sampai kelelahan.“Shaga, Disha ... Udah udah, kakakny
Tiga bapak bapak tampak duduk di sudut gedung resepsi pernikahan dengan mata sembab. Yang satu sibuk menyusut air matanya dengan sapu tangan, yang satu pura pura batuk agar terlihat sedang flu, seolah mata yang merah dan ingus yang keluar bukan karena menangis melainkan karena pilek. Sementara yang satu lagi sejak tadi terlihat minum air mineral sesekali. Entah sudah berapa botol tandas, dan ia bolak balik ke kamar kecil.“Kita kenapa sedih?” tanya Rio sambil menghapus air matanya dengan saputangan pink buatan sang istri. Saputangan itu sudah basah karena Rio sejak akad nikah tadi tak bisa menahan tangis.“Memangnya kamu nggak sedih?” tanya Dillo sambil membuang botol air mineral yang sudah kosong ke tempat sampah di sudut.“Aku cuma terharu. Mungkin dia yang sedih,” tunjuk Rio ke arah Farez“Hatttchii!”“Jangan pura pura pilek Rez! Kalau nangis ya nangis aja. Semua orang tau itu air mata dan ingus keluar gara gara nangis dari pagi,” bentak Dillo.“Kalian juga kenapa nangis? Terharu ka
(Satu bulan kemudian)“Naaah kaaan. Feeling saya itu tepat loh Mbak Tari. Dari awal entah kenapa saya yakin banget Dirga ini jodohnya Reisha,” ujar Bu Ambar dengan wajah sumringah. Sementara Bu Ratih duduk di sebelahnya dengan mata berkaca kaca.Dengan suasana haru yang masih menggantung di ruangan, Reisha dan keluarganya masih terlihat sumringah. Keceriaan terpancar dari setiap wajah, terutama Bu Ambar yang seakan-akan tidak berhenti mengulang kalimat penuh kepastian bahwa Reisha akhirnya bertemu dengan jodoh yang baik. Di satu sisi, Bu Ratih masih menyeka air matanya, teringat betapa berat perjalanan hidup keponakannya sejak kehilangan orang tua dan saudara kandungnya. Kini, Reisha akhirnya menemukan sosok pria yang mampu mengisi kekosongan itu, seorang pria yang tidak hanya tulus, tetapi juga datang dengan penuh niat baik. Bu Ratih menatap wajah Reisha dengan tatapan penuh kasih sayang.“Ya Allah, Nduk ... Reisha ... Ibu, Bapak, dan Mas mu pasti tenang di sana. Kamu sekarang udah ng
“Dinaya! Stop! Kalau kamu masih ketawa juga, papa potong uang saku kamu tiga bulan!!”“Hahahaha ... Iya iya maaf Papaaa. Abisnya papa lucu banget. Bisa bisanya papa mikir mau mati detik itu juga. Padahal kan papa nggak kenapa kenapa, cuma nggak bisa keluar doang. Astaga Papaaa ... Gemes banget sih papaku ini,” celoteh Dinaya saat mereka berdua sudah dalam perjalanan pulang ke rumah.Akhirnya semalam Dirga berhasil mengutarakan isi hatinya pada Reisha. Dan bisa ditebak, tentu saja Reisha mengiyakan meski dengan wajah bersemu merah.“Kamu bukannya khawatir papa hampir ketiban pohon, malah diketawain. Gimana sih?” omel Dirga sambil cemberut. Sementara Dinaya menahan tawa sampai wajahnya merah padam.“Maaf Papa. Abisnya lucu banget. Aku bukannya nggak khawatir, semalem pas denger kabar itu aku panik banget, tapi HP ku kan lowbatt. Terus kata Bu Indah semua baik baik aja dan Papa sama Miss Rei udah aman aman aja. Terus aku kan ngecharge HP, eeh ketiduran sampai pagi. Makanya nggak telepon
“Kami benar benar minta maaf ya Pak. Pak Rudi ini kebetulan staff kami yang baru saja bekerja tiga hari di sini. Dan ini hari pertama Pak Rudi bertugas di bagian paviliun. Sebelumnya beliau bertugas di bangunan utama lantai dua sampai empat. Jadi Pak Rudi lupa kalau di bagian belakang paviliun ada pintu satu lagi dari arah dapur Pak. Sebenarnya Pak Dirga bisa keluar dari sana, tapi Pak Rudi panik dan malah berlari ke lobi mencari bantuan untuk menggeser pohon dan mengeluarkan Pak Dirga dari paviliun. Mohon maaf sekali lagi Pak,” ucap manajer hotel dengan gugup.“Sa-saya tadi gugup sekali Pak. Saya takut Pak Dirga kenapa kenapa. Jadi saya panik dan nggak kepikiran kalau Pak Dirga bisa keluar dari pintu belakang. Saya malah lari cari bantuan. Mohon maaf sekali ya Pak.” Pak Rudi berkali kali minta maaf dengan wajah pucat pasi.“Nggak apa apa, Pak. Saya juga nggak terluka dan nggak kenapa kenapa. Bukan salah Pak Rudi. Kan Pak Rudi berusaha secepat mungkin menyelamatkan saya. Kalau saya ja
“Astaghfirullah! Apaan itu? Apaan barusan? Gempa bumi? Longsor? Tsunami? Tornado? Kiam ... Naudzubillah! Belum kiamat kan? Dosaku masih banyak Ya Allah,” Dirga berbalik dengan kaki gemetar ketakutan. Suara itu keras sekali.“Mas Dirgaaa! Ya Allah Mas Dirgaaa!” terdengar teriakan Reisha dari luar.Reisha! Apa dia baik baik aja? Jangan jangan dia ...“Rei! Reisha! Kamu nggak apa apa kan? Kamu kenapa?” Dirga buru buru berlari menuju pintu keluar, tapi pintu itu macet. Dirga terus menarik, mendorong, memutar, dan menggeser handle pintu, tapi tetap saja pintu itu tak bergeser. Kenapa ini?“Mas Dirga? Mas Dirga nggak apa apa kan?” tanya Reisha dari luar. Suaranya terdengar samar. Seperti jauh sekali. Dirga menyibak tirai dan melihat ke arah luar.Betapa terkejutnya Dirga melihat pohon besar beserta daun daunnya yang roboh dan jatuh tepat di depan pintu kamarnya. Karena panik, Dirga tak sempat melihat dengan jelas tadi. Ternyata bagian atas pintunya sudah retak bahkan ada ranting yang menanc
Jangan takut Dirga, jangan gugup, jangan panik. Dia cuma wanita biasa, bukan sundelbolong, kuntilanak, kuyang, nyi blorong, atau siluman ular putih. Jangan takut, jangan gugup, ngobrol biasa aja. Rileks ... Tenang ...Dirga mengafirmasi dirinya sendiri agar tak lagi gugup dan salah bicara pada Reisha. Kejadian ajakan les privat beberapa hari yang lalu sudah cukup jadi pelajaran. Dirga tak ingin gugup dan salah bicara lagi.“Kayaknya bakalan lama nih, Mas.” Reisha memulai pembicaraan lebih dulu untuk memecah kecanggungan di antara mereka berdua.“Kita masuk aja dulu, mudah mudahan nggak terlalu lama,” sahut Dirga berusaha bersikap tenang. Kata katanya berbanding terbalik dengan isi hatinya. Padahal dalam hati Dirga justru ingin sedikit lebih lama bersama Reisha. Kapan lagi punya quality time berdua Reisha di suasana alam secantik ini?Mereka berdua masuk ke bagian dalam pelabuhan. Tepat pada saat itu hujan deras mulai turun. Dirga dan Reisha memilih duduk sedikit ke dalam karena bagian
“Pa, minggu depan papa ada kerjaan nggak?” tanya Dinaya tanpa melepas pandangan dari ponselnya. Gadis itu terlihat sangat fokus dengan apa yang ia baca di layar ponsel.“Weekend ya? Nggak ada sih. Paling nonton bola sama Dillo. Tapi nggak penting penting amat juga, bisa dibatalin. Kenapa? Kamu ada agenda sekolah penting? Papa harus datang?” Dirga menjelaskan sekaligus balas bertanya.“Nggak sih, bukan sekolah. Tapi ini cuma anak anak sekelas aja. Kan minggu ini udah selesai assesment udah selesai, jadi rencananya mau liburan yang deket deket aja. Ke pulau kelomang. Tapi sama orang tua dan beberapa guru juga. Papa bisa ikut nggak?” tanya Dinaya.“Aduh, Nay. Kamu kan tau papa mager banget kalau harus jalan jalan rombongan gitu. Orang tua wajib ikut ya? Kalau kamu aja nggak apa apa kan?” tanya Dirga enggan.Dirga memang malas sekali tour beramai ramai seperti itu. Entah itu acara kantor atau apapun, Dirga paling tak suka. Sejak kecil dulu, orang tuanya pontang panting mencari uang untuk