“Rumah sakit Healthy Life?” tanya Dirga.“Iya. Sudah tiga tahun kerja di sana. Tapi di manajemen rumah sakit, nggak praktek.” Selina menyibak rambutnya saat menjelaskan pada Dirga. Bibirnya yang dipulas satin lipstick warna peach yang membuatnya terlihat sangat cantik dan elegan.“Ooh, jadi di manajemen. Kenapa nggak lanjut Sel? Katanya waktu itu mau ambil bedah syaraf?” tanya Dirga penasaran. Sepuluh tahun yang lalu, Dirga yang sedang bersiap ke program internship iseng iseng bertanya pada Selina yang saat itu masih mahasiswi tahun pertama di fakultas kedokteran. Selina bilang dia nantinya akan melanjutkan ke spesialis bedah syaraf. Tapi ternyata sekarang malah ke manajemen rumah sakit.“Ceritanya panjang. Intinya sih semua gara gara Mas Dirga,” rutuk Selina dengan nada manja.“Loh? Kok gara gara aku? Kenapa aku?” tanya Dirga dengan jari telunjuk mengarah ke dirinya sendiri.“Iya gara gara Mas Dirga. Dulu kan aku maunya bareng sama Mas Dirga di bedah syaraf, kata Mas Dirga dulu mau l
“Itu … Tadi …”“Itu Dinaya, anakku.” Akhirnya Dirga memutuskan untuk melepas bebannya dan berterus terang pada Selina tentang statusnya yang seorang ayah.“Mas Dirga sudah punya anak? Tapi kata Kak Elga dan Bang Farez, Mas Dirga belum menikah?” tanya Selina bingung. Ada gurat kekecewaan yang jelas terbaca di matanya.“Aku belum menikah lagi setelah berpisah dengan ibunya Dinaya. Dulu Dinaya tinggal dengan ibunya, tapi beberapa minggu yang lalu Ibunya meninggal dunia dan Dinaya tinggal denganku, Sel.” Dirga menjelaskan dengan lancar. Ia tak ingin lagi menutupi tentang Dinaya dari siapapun.Dirga sadar, tujuannya saat ini adalah mencari istri, dan Selina adalah kandidat pertama. Dirga sudah trauma dengan perempuan perempuan seperti Cindy yang hanya melihat satu sisi dirinya saja. Padahal dirinya punya sisi lain yang harus diketahui calon istrinya kelak. Dirga tak ingin membuang waktu lagi, ia memutuskan untuk menjelaskan sejak awal tentang Dinaya. Kalau Selina bisa menerima keadaannya,
“Oooh, jadi Pak Dokter ini ayahnya Dinaya?”“Iya Bu Sabeumnim ... eh … Bu Guru … eh … Mbak Reisha. Aduh saya bingung harus panggil apa.”“Panggil Miss Rei aja, Pa. Semua orang tua temen temen aku panggil Miss Rei,” Dinaya yang menjawab diikuti anggukan Reisha.“Oh iya, Miss Rei.”Aduh! Kenapa harus diajak ke sini Nayaaa! Gimana kalau dia kumat lagi jiwa jiwa absudnya dan aku disuruh jadi cenayang yang ngobrol sama almarhum abangnya lagi! Gawat! Capek capek menghindar, malah si Naya yang ngundang ke sini! Batin Dirga frustrasi.“Oh iya Pak Dokter, maaf ya waktu itu saya sering maksain Pak Dokter buat bicara sama jenazah abang saya. Setelah saya ketemu sama ustadzah, katanya ruh orang yang sudah meninggal itu sudah terputus hubungan komunikasi dengan manusia di dunia ini kecuali lewat do’a.” Tiba tiba Reisha menjelaskan sekaligus meminta maaf sambil tersenyum salah tingkah.Ah! Alhamdulillah! Akhirnya dia sadar kalau aku bukan cenayang! Batin Dirga merasa lega sekali.“Mmm … Sudah malam
“Nay … Kamu nggak apa apa kan kalau papa menikah?”Dinaya yang sedang menyiapkan sarapan mendadak melepas sendoknya dan meletakkan benda itu asal asalan. Dia langsung berjalan cepat ke arah meja makan dan menarik kursi persis di depan Dirga. Raut wajahnya sumringah, matanya berbinar, dan wajahnya mendadak berseri seri.“Papa mau menikah lagi? Eh, maaf papa belum pernah menikah ya? Maksudnya papa mau menikah? Nggak apa apa banget Pa. Aku setuju dan malah support banget kalau papa mau nikah lagi.” Dinaya menjawab dengan nada ceria.“Akhirnya Papa udah ketemu calon yang tepat kan? Papa beneran tertarik? Atau jatuh cinta pada pandangan pertama? Mau kuajak ke sini lagi biar papa bisa pedekate?” Dinaya terlalu antusias sampai lanjutan kalimatnya membuat Dirga nyaris merosot dari kursinya.“Hah? Ntar dulu! Ntar dulu! Jatuh cinta pada pandangan pertama? Maksudnya gimana nih?” tanya Dirga panik.“Iya, Pa. Love at the first sight sama Miss Rei kan? Atau baru tadi malem papa jatuh cinta sama Mis
Dirga berjalan terburu buru ke arah restoran cepat saji yang berjarak tak jauh dari rumahnya. Di sana Selina sudah menunggu sambil mengaduk secangkir kopi dalam gelas yang baru saja diletakkan pramusaji di atas meja.“Hai Sel, udah lama ya? Maaf aku agak telat. Tadi nggak sengaja numpahin kopi dan bajuku kena noda, jadi terpaksa ganti baju lagi,” jelas Dirga dengan nada menyesal.“Nggak apa apa, Mas. Aku juga baru datang kok,” jawab Selina sambil tersenyum tipis. Tapi terlihat jelas kalau senyum itu dipaksakan.“Ada apa Sel? Kenapa kok pagi pagi banget udah ngajak ketemu di sini?” tanya Dirga tanpa basa basi. Biasanya Dirga adalah tipe orang yang selalu hati hati saat berbicara dan kadang berbasa basi dulu sebelum mengutarakan maksudnya. Tapi kali ini, rasa penasarannya mengalahkan sikap santun yang biasa ia tunjukkan.“Mmm … Mas, kemarin Mas Dirga bilang, Mas Dirga mau aku ketemu sama anaknya Mas Dirga ya?” tanya Selina. Sama seperti Dirga, Selina pun tak lagi berbasa basi. Ia juga l
“Nay ayo temenin papa jalan jalan, makan, main, pokoknya kita happy happy. Ayo buruan ganti baju. Papa hari ini libur.” Dirga menarik tangan Dinaya yang baru saja bangun tidur dan sedang duduk di sofa dengan mata setengah terpejam.“Papaaa, ini baru setengah lima! Adzan subuh aja belum. Mana ada mall buka pagi pagi gini,” protes Dinaya.“Kita bukan mau ke mall. Ayo kita ke Bandung.”“Hah? Ngapain ke jauh jauh ke Bandung?”“Ya jalan jalan lah. Kamu belum pernah ke Bandung kan? Ayo kita ke Bandung, kita kulineran, terus nanti kita ke distro distro, beli baju baru buat kamu. Ayooo siap siap, kelar sholat subuh kita jalan. Ayo Nayaaa!” Dirga berteriak di telinga Dinaya dan membuat putrinya itu mau tak mau beranjak dari sofa, lalu menyeret langkah ke kamarnya.“Pokoknya Papa pulang dari masjid, kamu udah harus siap yaaa!”“Papa! Aku belum mandi!”“Makanya buruan mandi sana!”Dirga terus meneriaki Dinaya dan gadis itu mandi sambil bersungut sungut. Dinaya tak habis pikir, entah apa yang ada
Sejak pulang dari Bandung, Dirga terlihat berusaha untuk normal lagi. Selama di Bandung, Dinaya yang berbalik menyeret Dirga agar tak hanya tidur tiduran di hotel. Padahal niat Dirga ingin mengajak Dinaya berkeliling dari pagi sampai malam. Tapi dia sendiri malah kehilangan mood dan bergelung di kasur. Dirga patah hati, berbanding terbalik dengan Dinaya yang mendadak ceria sekali. Akhirnya gadis itu berhasil membujuk Dirga menghabiskan dua hari dengan penuh semangat sampai lelah secara fisik, tapi kondisi mental keduanya jauh lebih baik.“Nay, papa hari ini nggak makan malam di rumah ya. Papa mau ketemu sama Om Farez dan yang lainnya. Kamu makan sendiri aja,” ujar Dirga sambil bersiap mengambil kunci mobilnya.“Oh iya Pa. Aku juga mau izin, boleh nggak malam ini ke rumah Aufa?” tanya Dinaya.“Rumah Aufa? Mau ngapain? Sampai jam berapa?” tanya Dirga.“Ada acara di rumah Aufa Pa. Ibunya syukuran naik jabatan gitu deh. Jadi kita ngumpul pesta barbeque gitu Pa. Acara anak anak di halaman
“Aku nggak denger langsung dari mulutnya sih, Mas. Tapi beberapa temen yang ada di acara itu udah kutanyain emang pada denger dia ngomong gitu. Aku nggak nyangka juga,” Elga menjelaskan pada Dirga dan Dirga tampak semakin marah.“Dia jelas nyebut nama Dinaya kan El?” tanya Dirga berang.“Kata temen temenku sih jelas banget, Mas. Dia bilang namanya Dinaya, kelas 3 SMA dan … mmm …” Elga berhenti berbicara dan melirik Farez -suaminya- lantaran bingung harus melanjutkan kata katanya atau tidak, khawatir Dirga tersinggung“Kamu bilang aja semuanya, El. Nggak usah takut aku tersinggung atau apa. Nggak apa apa, El,” sahut Dirga seolah tau perasaan tak enak Elga.“Iya Mas, aku juga dengernya nggak enak sih. Katanya Dinaya itu anak problematik dan kriminal. Katanya Dinaya pergaulannya rusak, kecanduan narkoba, dan kalau uangnya udah habis buat beli narkoba, dia sering open BO. Aduh parah banget Mas. Mana katanya Dinaya mirip ibunya dulu yang punya anak haram sebelum nikah. Ya Allah kalo aku ad