Share

2. IZIN

“Siapa tadi nama kamu?”

“Dinaya Aga Nisrina.”

“Kamu kelas berapa? Umur kamu berapa?”

“Kelas 11 Om, umurku 16 tahun.”

“Oke Dinaya, sebentar lagi jam kerjaku selesai. Nanti kita ngobrol di tempat lain ya, jangan di sini. Oke?” tanya Dirga sambil terus melihat sekeliling.

“Oke.” Gadis itu hanya menjawab singkat sambil mengangguk tanpa ekspresi. Lalu dia kembali duduk lagi tanpa mengatakan apapun.

Dirga melirik jam di pergelangan tangannya. Lima menit lagi jam kerjanya selesai. Biasanya Dirga santai dan tidak terburu-buru meninggalkan rumah sakit. Kadang dia sempat menyapa beberapa koleganya, atau ke cafe dulu sebelum pulang.

Tapi kali ini berbeda. Dirga buru-buru mengemasi semua perlengkapan di mejanya dan dengan cepat keluar ruangan begitu jam kerjanya selesai.

“Ayo, kita ngobrol di rumahku. Kamu sudah izin orang tuamu kan?” tanya Dirga dengan nada sedikit ragu. Walaupun gadis mengaku anak biologisnya, tapi tetap saja, mungkin dia punya orang tua atau keluarga yang harus diberitahu keberadaannya saat ini. Apalagi ini sudah menjelang malam dan gadis ini masih di bawah umur. Dirga tidak mau ada kesalahpahaman nantinya.

“Sudah. Aku sudah bilang bunda sebelum ke sini.”

“Oke."

Dirga terlihat lebih tenang dan membukakan pintu mobilnya untuk Dinaya. Gadis itu masuk ke mobil tanpa mengatakan apa-apa. Diam diam Dirga melirik dan menilik penampilan Dinaya. Dia cukup tinggi untuk anak seusianya. Mengenakan celana jeans longgar, kaos lengan panjang oversize berwarna hitam, dan hijab dengan warna yang sama dengan kaosnya. Dia cantik meski tidak memulas wajahnya dengan make up seperti remaja jaman sekarang.

“Di rumah Om ada siapa?” tanya Dinaya mencoba basa basi.

“Nggak ada. Aku tinggal sendirian. Kenapa? Kamu takut? Nggak nyaman?” tanya Dirga merasa tak enak hati. Mereka bisa saja mengobrol di restoran, cafe, atau taman misalnya. Tapi Dirga merasa tempat yang paling privat dan aman untuk berbicara hal penting hanyalah rumahnya.

“Nggak. Aku nggak takut. Kata Bunda Om orang baik. Om nggak genit, dan nggak aneh aneh. Lagian Om kan Papaku. Kenapa aku harus takut sama Papa sendiri?” Dinaya menjawab santai, membuat kepala Dirga langsung pusing saat mendengarnya. Tapi ia hanya diam saja, tak tau harus menjawab apa.

Untunglah saat itu kendaraan roda empat yang dikemudikan Dirga sudah sampai di depan rumahnya. Dirga memarkir mobilnya di depan rumah, sengaja ia tak memasukkan mobilnya ke garasi, karena setelah ini ia akan mengantar Dinaya pulang.

“Ayo masuk,” ajak Dirga yang langsung diiyakan Dinaya.

Gadis itu masuk setelah mengucap salam dengan lirih. Ia lalu duduk tanpa diminta. Dan matanya otomatis melihat sekeliling ruang tamu. Tapi tak ada apapun yang bisa Dinaya lihat kecuali satu set sofa dan jam dinding yang tergantung di sebelah kanan atasnya.

“Mau minum apa?” tanya Dirga.

“Apa aja Om, aku nggak terlalu haus,” jawab Dinaya.

Dirga masuk ke dalam lalu beberapa menit kemudian ia keluar lagi sambil membawa dua botol masing-masing berisi jus mangga dan air mineral.

“Minum dulu, Dinaya.”

“Iya Om.”

“Sambil minum, aku mau tanya sedikit kamu. Mmm ... Dimana bunda kamu?” tanya Dirga.

Detik berikutnya ia menyesal sudah melontarkan pertanyaan itu. Ya, Dirga malah bertanya ‘dimana’ dan bukan ‘siapa’. Pertanyaan berawalan kata ‘dimana’ itu seolah menegaskan bahwa Dirga sudah tau siapa Bunda si anak. 

“Di Jogja,” jawab Dinaya tenang. Seketika jantung Dirga bagaikan meledak mendengar kata Jogja. Kota itu memang melekat erat dalam ingatan Dirga. Jogja, dan seorang gadis cantik dari masa lalunya. Dirga yakin dugaannya benar, Dinaya memang anaknya. Kemiripan Dinaya dengan wanita cantik dari masa lalunya itu tak perlu diragukan.

“Bundamu di Jogja? Terus kenapa kamu di sini? Sama siapa kamu di Jakarta?” tanya Dirga.

“Sendirian.” Gadis itu menjawab singkat.

“Kamu merantau sendirian di Jakarta? Sudah berapa lama kamu di Jakarta? Sekolah di sini ya? Terus kamu tinggal dimana?” Dirga memberondong Dinaya dengan rentetan pertanyaan, membuat remaja itu menghela nafas.

“Nggak, aku nggak merantau ke Jakarta. Aku sekolah di Semarang, tinggal juga di Semarang. Di Jakarta baru hari ini. Baru tadi pagi turun dari kereta di stasiun gambir,” jawab Dinaya sambil menunduk. Seketika Dirga pusing mendengar jawabannya.

“Hah? Gimana gimana? Kamu sekolah di Semarang, tinggal di Semarang, tapi bundamu ada di Jogja, dan kamu baru tadi pagi sampai ke Jakarta? Hah? Kok bisa gitu?”

“Iya Om. Sejak lahir aku tinggal dengan Bunda di Semarang. Sekolahku juga di Semarang. Tapi hari Sabtu kemarin Bunda ngajak aku liburan ke Jogja. Dan sekarang Bunda ada di Jogja,” jelas Dinaya panjang lebar. Tapi bukannya paham, Dirga malah semakin bingung.

“Lah terus kenapa kamu bisa ada di Jakarta sekarang?”

“Aku nyari Om. Nyari ayah kandungku.”

“Hah? Apa? Sebentar ... hei ... Kamu nyari bapak kandungmu ke Jakarta sendirian? Apa bundamu tau? Tadi kamu bilang sudah izin sama Bundamu kan? Nggak mungkin bundamu izinkan anak seumur kamu ke Jakarta sendirian. Kamu bohong apa gimana?” desak Dirga. Panik bercampur takut membuat intonasinya sedikit meninggi.

“Aku nggak bohong kok Om. Aku memang udah bilang sama Bunda kalau mau ke Jakarta nyariin ayah kandungku.” Dinaya menjawab juga dengan nada yang tinggi.

“Hah? Bunda kamu ngizinin anak 16 tahun ke Jakarta sendirian?”

“Ya mau gimana lagi, nggak ada yang nemenin, terpaksa aku sendirian ke sini.”

“Ya emang penting banget apa ke Jakarta nyariin bapak kandung kamu sendirian? Kalau memang sepenting itu, kenapa nggak Bunda kamu aja yang nyariin? Atau berdua lah. Kamu itu belum cukup umur Dinaya!” tanpa sadar Dirga membentak.

“Aku nggak bisa minta temenin Bunda. Aku juga nggak tau bunda ngizinin apa nggak. Tapi aku udah bilang sama Bunda kalau aku mau cari Papa ke Jakarta.”

“Hah? Jadi bunda kamu belum jawab ngizinin apa nggak?”

“Iya. Dan bunda udah nggak bisa jawab lagi.”

“Hah? Maksud kamu?”

“Aku bilang mau ke Jakarta bukan sama bunda langsung, tapi sama batu nisannya. Bunda udah meninggal Om. Dua hari yang lalu.”

“APA?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status