“Siapa tadi nama kamu?”
“Dinaya Aga Nisrina.”
“Kamu kelas berapa? Umur kamu berapa?”
“Kelas 11 Om, umurku 16 tahun.”
“Oke Dinaya, sebentar lagi jam kerjaku selesai. Nanti kita ngobrol di tempat lain ya, jangan di sini. Oke?” tanya Dirga sambil terus melihat sekeliling.
“Oke.” Gadis itu hanya menjawab singkat sambil mengangguk tanpa ekspresi. Lalu dia kembali duduk lagi tanpa mengatakan apapun.
Dirga melirik jam di pergelangan tangannya. Lima menit lagi jam kerjanya selesai. Biasanya Dirga santai dan tidak terburu-buru meninggalkan rumah sakit. Kadang dia sempat menyapa beberapa koleganya, atau ke cafe dulu sebelum pulang.
Tapi kali ini berbeda. Dirga buru-buru mengemasi semua perlengkapan di mejanya dan dengan cepat keluar ruangan begitu jam kerjanya selesai.
“Ayo, kita ngobrol di rumahku. Kamu sudah izin orang tuamu kan?” tanya Dirga dengan nada sedikit ragu. Walaupun gadis mengaku anak biologisnya, tapi tetap saja, mungkin dia punya orang tua atau keluarga yang harus diberitahu keberadaannya saat ini. Apalagi ini sudah menjelang malam dan gadis ini masih di bawah umur. Dirga tidak mau ada kesalahpahaman nantinya.
“Sudah. Aku sudah bilang bunda sebelum ke sini.”
“Oke."
Dirga terlihat lebih tenang dan membukakan pintu mobilnya untuk Dinaya. Gadis itu masuk ke mobil tanpa mengatakan apa-apa. Diam diam Dirga melirik dan menilik penampilan Dinaya. Dia cukup tinggi untuk anak seusianya. Mengenakan celana jeans longgar, kaos lengan panjang oversize berwarna hitam, dan hijab dengan warna yang sama dengan kaosnya. Dia cantik meski tidak memulas wajahnya dengan make up seperti remaja jaman sekarang.
“Di rumah Om ada siapa?” tanya Dinaya mencoba basa basi.
“Nggak ada. Aku tinggal sendirian. Kenapa? Kamu takut? Nggak nyaman?” tanya Dirga merasa tak enak hati. Mereka bisa saja mengobrol di restoran, cafe, atau taman misalnya. Tapi Dirga merasa tempat yang paling privat dan aman untuk berbicara hal penting hanyalah rumahnya.
“Nggak. Aku nggak takut. Kata Bunda Om orang baik. Om nggak genit, dan nggak aneh aneh. Lagian Om kan Papaku. Kenapa aku harus takut sama Papa sendiri?” Dinaya menjawab santai, membuat kepala Dirga langsung pusing saat mendengarnya. Tapi ia hanya diam saja, tak tau harus menjawab apa.
Untunglah saat itu kendaraan roda empat yang dikemudikan Dirga sudah sampai di depan rumahnya. Dirga memarkir mobilnya di depan rumah, sengaja ia tak memasukkan mobilnya ke garasi, karena setelah ini ia akan mengantar Dinaya pulang.
“Ayo masuk,” ajak Dirga yang langsung diiyakan Dinaya.
Gadis itu masuk setelah mengucap salam dengan lirih. Ia lalu duduk tanpa diminta. Dan matanya otomatis melihat sekeliling ruang tamu. Tapi tak ada apapun yang bisa Dinaya lihat kecuali satu set sofa dan jam dinding yang tergantung di sebelah kanan atasnya.
“Mau minum apa?” tanya Dirga.
“Apa aja Om, aku nggak terlalu haus,” jawab Dinaya.
Dirga masuk ke dalam lalu beberapa menit kemudian ia keluar lagi sambil membawa dua botol masing-masing berisi jus mangga dan air mineral.
“Minum dulu, Dinaya.”
“Iya Om.”
“Sambil minum, aku mau tanya sedikit kamu. Mmm ... Dimana bunda kamu?” tanya Dirga.
Detik berikutnya ia menyesal sudah melontarkan pertanyaan itu. Ya, Dirga malah bertanya ‘dimana’ dan bukan ‘siapa’. Pertanyaan berawalan kata ‘dimana’ itu seolah menegaskan bahwa Dirga sudah tau siapa Bunda si anak.
“Di Jogja,” jawab Dinaya tenang. Seketika jantung Dirga bagaikan meledak mendengar kata Jogja. Kota itu memang melekat erat dalam ingatan Dirga. Jogja, dan seorang gadis cantik dari masa lalunya. Dirga yakin dugaannya benar, Dinaya memang anaknya. Kemiripan Dinaya dengan wanita cantik dari masa lalunya itu tak perlu diragukan.
“Bundamu di Jogja? Terus kenapa kamu di sini? Sama siapa kamu di Jakarta?” tanya Dirga.
“Sendirian.” Gadis itu menjawab singkat.
“Kamu merantau sendirian di Jakarta? Sudah berapa lama kamu di Jakarta? Sekolah di sini ya? Terus kamu tinggal dimana?” Dirga memberondong Dinaya dengan rentetan pertanyaan, membuat remaja itu menghela nafas.
“Nggak, aku nggak merantau ke Jakarta. Aku sekolah di Semarang, tinggal juga di Semarang. Di Jakarta baru hari ini. Baru tadi pagi turun dari kereta di stasiun gambir,” jawab Dinaya sambil menunduk. Seketika Dirga pusing mendengar jawabannya.
“Hah? Gimana gimana? Kamu sekolah di Semarang, tinggal di Semarang, tapi bundamu ada di Jogja, dan kamu baru tadi pagi sampai ke Jakarta? Hah? Kok bisa gitu?”
“Iya Om. Sejak lahir aku tinggal dengan Bunda di Semarang. Sekolahku juga di Semarang. Tapi hari Sabtu kemarin Bunda ngajak aku liburan ke Jogja. Dan sekarang Bunda ada di Jogja,” jelas Dinaya panjang lebar. Tapi bukannya paham, Dirga malah semakin bingung.
“Lah terus kenapa kamu bisa ada di Jakarta sekarang?”
“Aku nyari Om. Nyari ayah kandungku.”
“Hah? Apa? Sebentar ... hei ... Kamu nyari bapak kandungmu ke Jakarta sendirian? Apa bundamu tau? Tadi kamu bilang sudah izin sama Bundamu kan? Nggak mungkin bundamu izinkan anak seumur kamu ke Jakarta sendirian. Kamu bohong apa gimana?” desak Dirga. Panik bercampur takut membuat intonasinya sedikit meninggi.
“Aku nggak bohong kok Om. Aku memang udah bilang sama Bunda kalau mau ke Jakarta nyariin ayah kandungku.” Dinaya menjawab juga dengan nada yang tinggi.
“Hah? Bunda kamu ngizinin anak 16 tahun ke Jakarta sendirian?”
“Ya mau gimana lagi, nggak ada yang nemenin, terpaksa aku sendirian ke sini.”
“Ya emang penting banget apa ke Jakarta nyariin bapak kandung kamu sendirian? Kalau memang sepenting itu, kenapa nggak Bunda kamu aja yang nyariin? Atau berdua lah. Kamu itu belum cukup umur Dinaya!” tanpa sadar Dirga membentak.
“Aku nggak bisa minta temenin Bunda. Aku juga nggak tau bunda ngizinin apa nggak. Tapi aku udah bilang sama Bunda kalau aku mau cari Papa ke Jakarta.”
“Hah? Jadi bunda kamu belum jawab ngizinin apa nggak?”
“Iya. Dan bunda udah nggak bisa jawab lagi.”
“Hah? Maksud kamu?”
“Aku bilang mau ke Jakarta bukan sama bunda langsung, tapi sama batu nisannya. Bunda udah meninggal Om. Dua hari yang lalu.”
“APA?”
“Me-Meninggal? Jadi Annaya sudah meninggal?”“Sudah, dua hari yang lalu. Bunda sakit kanker lambung.”“Innalillahi wainnailaihi rojiuun ... Ya Allah ...”Dirga mengusap wajahnya sendiri dengan tangan dan tercenung cukup lama. Terbayang wajah cantik Annaya di benaknya. Gadis cerdas yang cantik dan baik itu seolah hidup kembali di dalam kepala Dirga. Mau tidak mau rasa sedih menyelinap di hati Dirga sampai ia terdiam dan tak sadar kalau Dinaya ada di depannya.“Nah, itu Om tau Bundaku namanya Annaya. Tadi aku juga sudah kasih tau nama lengkapku. Aku dikasih nama Dinaya Aga Nisrina. Kata Bunda, Dinaya itu perpaduan Dirga dan Annaya. Kalau Aga juga sama, singkatan dari Annaya dan Dirga. Jadi benar Om ini ayah kandungku kan?”Mendengar penjelasan sekaligus pertanyaan itu, Dirga bagai tersambar petir. Cerdas juga anak ini. Rasa sedih yang tadinya muncul di benak Dirga karena kepergian Annaya, seketika berubah jadi panik.“Sebentar, aku nggak bisa langsung mengiyakan kalau kamu anakku. Kamu a
“Oke. Besok kita test DNA.” Dirga memutuskan dengan cepat.Pasrah sajalah. Mau bagaimana lagi. Cepat atau lambat aku juga akan tau bocah ini anakku atau bukan. Batin Dirga dengan kepala yang sudah sangat pusing. Dinaya pun merespon dengan anggukan cepat.“Udah maghrib. Kita sholat dulu, terus nanti lanjut ngobrol lagi sambil makan. Oke?” ajak Dirga yang langsung diiyakan Dinaya. Gadis itu meletakkan ranselnya dengan hati hati di sudut sofa, lalu berdiri dengan bingung.“Oh, sini ikut aku. Kamu wudhu dan sholat di kamar tamu aja, di dalam kamar ada kamar mandinya,” ajak Dirga. Dia sadar Dinaya butuh ruang tertutup untuk membuka hijabnya. Dirga mengajaknya masuk lalu menunjukkan letak kamar tamu.“Ya udah aku ke masjid dulu. Pintu depan kututup. Kamu tutup aja pintu kamar ini.” Perintah Dirga yang direspon Dinaya dengan anggukan samar.Setelah Dirga pergi, Dinaya melepas hijabnya sambil melihat ke sekeliling kamar. Kamar yang luas, sejuk, dan nyaman. Interior kamar sangat simple dengan p
“Maaf Dinaya ... Maaf, tapi tolong ikuti instruksiku sekali ini saja. Please ... Situasinya darurat. Nanti aku jelasin semua. Sama kamu dan dan sama dia. Tapi nggak sekarang. Oke?”Dinaya tak menjawab, tapi ia menuruti semua perintah Dirga untuk naik dan bersembunyi di kamar lantai dua.“Jangan keluar, jangan bersuara, jangan bergerak, pokoknya jangan sampai ketauan kamu ada di sini. Oke?”“Iya.” Dinaya hanya menjawab singkat dan langsung masuk ke kamar.Dirga bergegas menyembunyikan ransel dan sepatu Dinaya di dalam lemari kamar tamu, lalu bersikap setenang mungkin agar Cindy tidak curiga. Mobil yang dikendarai calon istrinya itu sudah tiba di depan rumah dan sosok wanita mungil yang cantik keluar dari sana.“Aku capek banget sayang.” Cindy langsung masuk ke rumah tanpa mengucap salam. Ia melempar begitu saja baju yang akan dikenakan orang tua Dirga saat akad nikah nanti ke sofa.“Kamu darimana? Kok capek?” tanya Dirga sambil mencoba mengatasi kegugupannya.“Aku syuting seharian. Ada
“Kamu lajang, bukan duda, belum pernah menikah, tapi punya anak sebesar itu?”“Sebentar ... Cindy, kita bicara pelan pelan, biar aku jelaskan. Ayo duduk dulu.”“Tadi kamu bilang tes DNA? Berarti kamu belum yakin dia anak kamu? Kamu nggak menyangkal di awal, artinya kamu ngerasa pernah tidur dengan perempuan sampai hamil kan? Aku jadi takut, siapa tau setelah ini ada sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh anak lagi yang datang dan ngaku anak kamu kan? Berapa banyak sih perempuan yang udah kamu tiduri?”“Cindy! Aku nggak sebrengsek itu. Makanya dengerin dulu!”“Kalau kamu nggak sebrengsek itu, nggak mungkin kamu ragu ragu dia anak kamu apa bukan. Kamu langsung aja bilang kamu bukan bapaknya karena kamu nggak pernah tidur sama perempuan manapun. Tapi ini nggak kan, kamu ragu kan? Berarti kamu emang brengsek yang pernah menghamili orang! Mana anaknya udah segede ini. Umur berapa kamu main cewek? SMP? SMA? Gila!” Cindy semakin mengamuk dan menuding Dirga habis habisan sampai lelaki itu tak bis
“Aku nggak sejahat itu Cindy. Aku bukan laki laki nggak punya moral yang sembarangan tidur dengan wanita seperti yang kamu tuduhkan! Aku khilaf hanya satu kali, dan itupun aku nggak tau Annaya hamil. Kalau aku tau, aku pasti tanggung jawab!”“Alasan!”“Cindy, aku sudah jujur tapi kamu yang nggak mau terima. Terus mau kamu apa?”“Aku mau pernikahan ini batal. Aku kecewa sama kamu.”“Oke, aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bermaksud merahasiakan ini, karena memang aku juga nggak tau Annaya hamil. Apa nggak kamu kesampingkan dulu emosi kamu dan kita pikirkan lagi?”“Aku kecewa! Asal kamu tau ya, untuk nerima lamaran kamu itu, aku nolak banyak lamaran laki laki lain yang lebih menjanjikan masa depan yang cerah buat aku! Banyak banget laki laki yang mau nikah sama aku, bukan cuma kamu!”“Tapi kita saling mencintai Cindy.”“Makan tuh cinta! Buat aku masa depan lebih penting dari cinta! Kamu juga nggak cinta sama aku. Kalau kamu cinta, kamu udah jujur dari awal kalau kamu u
“Maaf ya Om, bukannya aku mau ikut campur masalah pribadi Om. Tapi aku cuma mau bilang, kalau aku jadi Om, aku bersyukur nggak jadi nikah sama orang kayak gitu,” tukas Dinaya dengan wajah cemberut. Dirga diam saja dan membiarkan Dinaya meluapkan kekesalannya. Gadis itu pasti marah sekali saat ibunya dihina oleh Cindy.Dirga sebenarnya ikut kesal karena dua tuduhan Cindy. Yang pertama, Cindy menuduhnya tidur dengan banyak wanita padahal faktanya Dirga hanya melakukannya sekali dengan Annaya dan itu karena ia benar benar khilaf. Yang kedua, Cindy menuduh Annaya perempuan yang ditiduri banyak lelaki. Dirga kesal karena tau itu tuduhan yang salah. Dirga tau betul siapa Annaya dan dia gadis terhormat yang dididik dengan sangat baik. Kalaupun saat itu Annaya sampai terjerumus, Dirga bersedia disalahkan karena itu memang kekhilafannya.“Lagian nih ya, aku mau tanya. Om beneran cumlaude fakultas kedokteran?” tanya Dinaya dengan tatapan curiga. Dirga jelas bingung dengan pertanyaan random Dinay
“TES DNA PATERNITAS??”“Ssssstttt!” Dirga buru buru membekap mulut Rio sambil melihat sekeliling.“Heh! Aku udah bisik bisik kamu malah teriak!” bentak Dirga masih dengan volume suara direndahkan. Dirga makin kesal karena membentak tapi berbisik itu benar benar menyebalkan.“Sorry sorry, Ga. Abisnya kaget. Kamu ngapain mau tes DNA paternitas? Kamu punya anak?” tanya Rio dengan ekpresi penuh rasa ingin tau.Dirga menghela nafas berat. Ini yang dia takutkan. Pasti Rio akan penasaran dan terus berusaha mengulik semua informasi sampai ke akar akarnya. Mana mungkin seorang Alfan Desrio bersedia dengan sukarela memenuhi permintaan Dirga tanpa bertanya macam macam. Dan yang lebih Dirga takutkan lagi, kalau Rio sudah tau, pasti Dillo dan Fharez juga ikut tau. Mereka berempat sudah seperti empat jiwa dalam satu tubuh. Kalau satu punya rahasia, yang tiga pasti akan mencecar sampai jadi rahasia bersama.Tapi apa boleh buat, tanpa bantuan Rio, Dirga tidak mungkin bisa melakukan tes DNA paternitas
“Sebentar ... Dinaya ... Jangan mikir macam macam. Ini bukan salah kamu dan kamu nggak perlu ngera bersalah atau apa. Aku mungkin memang kaget dan semua serba kacau, tapi itu bukan salah kamu. Aku percaya jalan takdir dan semua pasti sudah ditentukan Allah. Jadi kalaupun nggak ada kamu, pasti aku juga nggak akan menikah dengan Cindy kalau dia memang jodohku. Jadi jangan pernah punya pikiran buruk ya?” Dirga langsung panik dan menasehati Dinaya panjang lebar. Dirga bahkan menepikan mobilnya agak bisa fokus bicara dengan Dinaya.“Hah? Pikiran buruk gimana maksud Om?” tanya Dinaya bingung.“I-itu tadi? Yang kamu bilang mau ikut yang lain selain ikut aku? Kata kamu mau nyusul bunda kamu?” kali ini Dirga yang bingung, apa anak ini amnesia sampai lupa apa yang dikatakannya beberapa detik yang lalu?“Loh? Memangnya ikut yang lain dan menyusul bunda itu sama aja berpikir buruk dan macam macam Om?”Kali ini ekspresi keduanya sama. Sama sama heran, sama sama bingung, dan sama sama penasaran. Din