“Ga, dia anakmu.”Hanya satu kalimat yang diucapkan Rio. Tapi Dirga merasa jiwanya tercabut paksa dari jasadnya detik itu juga.“A-anakku, Yo?“Iya hasilnya 99,99% tuh. Tak terbantahkan.”Dirga memeriksa kertas yang diberikan Rio padanya. Surat keterangan dari laboratorium yang jelas menunjukkan angka 99,99% kecocokan DNA antara dirinya dan Dinaya.“Ga?”“Hmm …”“Are you ok?”“Menurut ente?” bentak Dirga kesal. Kondisi sedang pusing begini, Rio malah berusaha memvalidasi perasaan Dirga yang jelas jelas kalut. Bagaimana mungkin Dirga bisa baik baik saja padahal sekarang dia mendadak duda?“Kalau manusia kayak aku gini disebutnya apa sih, Yo?”“Mmmm … bangsat mungkin? Atau bajjingan?” Rio mencoba mencairkan suasana dengan bercanda, tapi sebenarnya salah satu sisi hati Rio memang kesal dan tak habis pikir. Bagaimana mungkin Dirga bisa tak tau kalau selama ini dia punya anak? Dia memproduksi Dinaya, lalu meninggalkan ibunya begitu saja sampai si anak datang meminta pertanggung jawaban bapa
“Pe-Peristiwa kematian?” tanya Dillo gugup. Apapun yang berkaitan dengan kematian selalu membuatnya tak nyaman. Entah itu orang mati, hewan mati, bahkan pohon mati. Tak hanya itu, meski tubuhnya kekar dan wajahnya sangar, Dillo juga takut sekali dengan setan, hantu, demit, dan sejenisnya. Alasannya karena para demit itu invisible dan tak bisa dideteksi keberadaannya.“Iya, hari itu semua mati dan aku terjebak berdua dengan Annaya di rumahnya. Hanya berdua, Pak Ahsan dan Bu Ningrum pergi ke Pekalongan. Mbok Parmi dan anaknya yang biasa bantu bantu di rumah Annaya sudah pulang karena saat itu sudah jam 10 malam.”“Terus siapa yang mati?”“Sabar dong! Biar dia terusin dulu!” bentak Rio yang kesal karena Dillo terus bertanya. Dillo memang penggambaran sempurna untuk tokoh film horor. Penakut tapi selalu penasaran.“Tetangga di dekat kost yang meninggal. Meninggalnya dikeroyok warga. Jadi ceritanya si tetangga ini problematik memang. Tukang mabok, bandar judi, narkoba pula. Dan terakhir kat
“Ssstt! Nanti Dinaya dengar! Jaga omongan kamu!”“Telat, Om. Aku udah denger dari tadi!”Suara gadis remaja yang lembut tapi galak itu terdengar dari balik tirai, membuat keempat lelaki di ruang tamu terlonjak kaget bagai melihat hantu.“Aku capek Om. Udah jelas jelas hasil tes DNA aku ini anak Om Dirga, tapi masih aja mamaku kena hujat terus. Om semua ini nggak ada yang kenal mamaku kecuali Om Dirga kan? Kenapa kok tega teganya bilang hal hal buruk tentang mama?”“Dinaya … Nggak Dinaya, maaf maaf kami semua salah. Maafin Om ya, Om salah banget sudah ngomong sembarangan. Om cuma bingung karena mama kamu luar biasa. Mama kamu nggak pernah ngejar dan menuntut pertanggung jawaban ayah dari anak yang dikandungnya. Dan itu bukan sesuatu yang lumrah terjadi Dinaya.” Farez menjelaskan pada Dinaya dengan nada bicara yang lembut sekali. Dinaya diam saja dengan wajah cemberut.“Om semua tau nggak kenapa mamaku nggak bilang sama Om Dirga? Karena kata Om Dirga nggak bisa diandalkan.”“Hah? Apa?” k
“Apa aku boleh sekolah di sekolah lamaku sampai lulus? Aku takut sekolah di Jakarta. Aku takut di bully, aku takut materi pelajaran yang jauh lebih sulit dan aku tertinggal lalu kesulitan masuk universitas. Aku juga takut belum bisa beradaptasi dengan kehidupan Jakarta,” pinta Dinaya dengan wajah memelas. Dirga membenarkan ucapan Dinaya dan memaklumi ketakutan gadis itu. Tapi Dirga tetap tak bisa membiarkan anaknya itu tinggal sendirian tanpa pengawasannya.“Kamu mau tinggal di Semarang dengan siapa Dinaya? Kamu sekarang sendirian. Kamu cuma punya Dirga kan?” tanya Rio hati hati sekali. Khawatir Dinaya terluka dengan ucapannya. Ketiga teman Dirga juga memikirkan hal yang sama. Mereka sadar Dinaya hanya punya Dirga, dan apapun alasannya, gadis itu tak boleh tinggal berjauhan dari ayah kandungnya.“Nggak Om. Aku masih bisa tinggal di rumah lama, dekat rumah Bude Dini. Aku sejak lahir tinggal di sana dengan Mama Om. Seluruh keluarga Bude Dini dan tetangga tetangga juga kenal baik denganku
“Gadis titik balik yang dulu itu?” tanya Farez disambut anggukan Dirga.Annaya adalah gadis titik baliknya. Karena sejak kejadian itu hidup Dirga berubah total terutama untuk hubungan dengan lawan jenis.Semua cinta Dirga bertahun tahun seolah habis hanya untuk Annaya. Dia patah hati berat saat Annaya menghilang. Dirga mencari hanya melalui media sosial yang pada saat itu sangat terbatas, tidak seperti sekarang. Belum ada istilah viral, belum ada video video yang bisa jadi sarana untuk mencari keberadaan orang melalui kejelian netizen, dan belum ada aplikasi aplikasi yang canggih seperi sekarang ini. Bahkan mengirim foto saja masih melalui MMS, karena aplikasi chatting seperti w******p belum ada. Blackberry Messenger pun belum populer saat itu.Dirga putus asa. Dia ingin mencari ke Jogja, tapi keterbatasan dana menghalanginya. Dirga baru bisa mencari Annaya ke Jogja di tahun ke tiga setelah ia menjadi mahasiswa. Itupun setelah menabung berbulan bulan. Sesampainya di sana, rumah kost te
“Masih sedih?” tanya Dirga masih dengan nada sedikit canggung. Dinaya menjawabnya dengan anggukan.“Kangen Bude Dini?” tanya Dirga lagi. Dinaya lagi lagi menjawab dengan anggukan pelan."Maaf ya Nay. Bukan maksudku memisahkan kamu dari Bude Dini dan maksain kamu tinggal di sini. Tapi lihat keadaan keluarga itu aku nggak tega. Mereka sendiri sedang dalam kesulitan kan? Aku nggak mau menambah beban mereka dengan merawat kamu yang sekarang tinggal sendirian.”“Tapi aku justru mau merawat Bude Dini. Selama ini Bude Dini sudah bantuin kami sejak aku lahir, tapi saat Bude Dini kesulitan aku malah ninggalin dia,” jawab Dinaya dengan isak tertahan. Baginya Bude Dini sudah seperti keluarga sendiri.Dirga menghela nafas. Sebenarnya ada satu rahasia yang disembunyikan suami Bude Dini dari Dinaya. Mereka meminta maaf pada Dirga tidak bisa membantu merawat Dinaya, karena rumah yang selama ini ditempati Dinaya dan Ibunya terpaksa dijual untuk biaya pengobatan Bude Dini. Jadi kalau rumah mungil itu s
“Kenapa, Ga?”“Ibu kenapa?”“Ayah kenapa?”Dillo, Farez dan Rio bertanya nyaris bersamaan, sementara Dirga hanya mematung di tempatnya duduk. Nyaris tak bergerak. Lututnya lemas, seolah tulang belulang di dalam sana hilang dan kedua tungkai Dirga tak mampu menahan bobot tubuhnya. Selama sepersekian detik Dirga merasa kepalanya kosong.“Ayah pingsan, dilarikan ke rumah sakit, lalu dinyatakan koma.” Dirga menjawab dengan nada panik. Ketiga sahabatnya terbelalak lalu mereka terdiam.“Aku … Aku harus pulang ke kampung. Kalian bisa tolong aku jaga Dinaya?” tanya Dirga panik.“Bisa.” Ketiganya menjawab mantap.“Eh, tapi apa nggak sebaiknya Dinaya kuajak ke kampung? Ketemu keluargaku?” tanya Dirga lagi.“Jangan Ga. Belum saatnya. Sekarang semua masih panik mikirin Ayah. Nggak mungkin kamu tiba tiba bilang kalau kamu punya anak kan?” tanya Rio.“Atau mungkin aku telepon Ibu lagi, dan ceritakan aja soal Dinaya di telepon. Setelah itu aku pulang bareng Dinaya?” Dirga mengusulkan alternatif lain.
“Mau apalagi sih kamu? Mau ngajak balikan? Jangan harap ya!” suara Cindy terdengar nyaring melengking di detik pertama Dirga menjawab telepon. Bahkan Dirga belum sempat bilang halo atau mengucap salam. Tapi gadis itu sudah mengomel panjang lebar. Buru buru Dirga menjauh sebelum Ibu ikut mendengar teriakan nyaring Cindy.“Apa sih? Siapa yang mau balikan sama kamu? Ngomong apa sih kamu?” bantah Dirga.“Terus kenapa tuh ibu kamu telepon aku tadi? Kamu mau minta bantuan ibu kamu buat bujuk aku? Jangan mimpi ya!”“Tunggu! Kamu salah paham! Aku sama sekali nggak minta ibuku untuk …”“Heleeeh bacot! Kamu sekarang duda merana kan? Nggak ada yang mau makanya masih ngejar ngejar aku! Kamu sama leceknya sama duit duit receh yang kamu kasih ke aku pake plastik sampah itu!” Cindy kembali menyemburkan amarahnya membabi buta.“Kamu salah Cindy! Dengerin aku dulu!”“Udah nggak usah bohong! Nih, adik kamu WA aku nih. Sok sok akrab ngasih tau aku kalo bapak kamu sakit. Terus kalo sakit kenapa? Masalah g