“Ayah kenapa, Gi?” tanya Ibu panik, pertanyaan serupa juga diajukan Dirga nyaris bersamaan.“Ayah udah sadar, Bu,” sahut Gia dengan air mata mengambang di pelupuk matanya. Mendengar itu, Ibu dan Dirga serentak mengucap syukur, lalu mereka bertiga mempercepat langkah menuju ke ruang ICU dimana ayah dirawat.Ayah belum bisa bicara, tapi sudah bisa merespon dengan tatapan mata. Dan tatapan sendunya berubah saat melihat Dirga. Lalu air mata ayah mulai mengalir. Melihat itu, ibu dan Gia juga ikut menitikkan air mata. Suasana haru langsung terasa saat itu juga.Dirga mendadak menyesal karena sudah lama tidak bertemu ayah. Sudah lebih dari tujuh bulan Dirga tak pulang. Bukan tak ingin, tapi pekerjaannya membuat Dirga dituntut untuk selalu di rumah sakit tempatnya bekerja dan tak bisa pulang sesering dulu. Bahkan saat mengabarkan akan menikah dengan Cindy dulu, Dirga baru sempat pulang dan memberitahu orang tuanya saat sudah dekat hari H. Itupun terpaksa tidak dihadiri ayah. Kondisi kesehatan
“Bu, aku bukannya nggak mau dijodohkan. Tapi boleh kan kalau aku memilih sendiri calon istriku Bu?” tanya Dirga hati hati.“Iya, ibu juga bukan ibu ibu kolot yang suka jodohin anak, Ga. Tapi ya kamu kayaknya sibuk banget, sampai susah banget nyari jodoh. Kamu kan lingkungannya di situ situ aja. Rumah sakit, kantor polisi, terus pulang. Kalau cuma disitu situ terus kapan kamu dapat jodoh, Ga.” Ibu kali ini sedikit mendesak.Dirga menghela nafas. Sebenarnya ibu tidak seratus persen benar. Dirga tak hanya berada di lingkungan pekerjaan. Memang saat sibuk, dirinya hanya mondar mandir dari rumah sakit, kantor polisi, laboratorium forensik, atau beberapa TKP yang rekan kerjanya itu itu saja. Tapi akhir akhir ini Dirga sering muncul di TV, jadi bintang tamu di podcast dan talkshow, dan kadang jadi narasumber di beberapa kampus atau komunitas yang tertarik dengan ilmu forensik. Pihak rumah sakit tempatnya bekerja juga sering mengutus Dirga. Karena wajahnya yang good looking, tubuh tinggi yang
[RAPAT DARURAT! TOLONG SEMUA HADIR DI GRUP. TANPA TERKECUALI!]Dillo menyipitkan matanya saat membaca pesan dari Dirga. Jam yang tergantung di dinding kamarnya menunjukkan angka satu lewat lima belas menit. Dillo segera memeriksa grup dan ternyata semua sudah join.Grup chat itu diberi titel PENTING NGGAK PENTING. Anggota grup ya mereka berempat. Dillo, Dirga, Rio, dan Farez. Isinya memang percakapan kadang penting kadang tidak. Dibilang tak penting tapi penting. Disebut penting tapi kadang juga tak terlalu penting. Tapi kalau semua berkumpul di grup di jam segini, apalagi kalau Dirga menulis pesan dengan huruf kapital dari awal sampai akhir ditambah tanda seru, sudah pasti ini hal penting dan genting. Jantung Dillo berdetak cepat. Pikiran buruk mendadak melintas di benaknya. Jangan jangan terjadi sesuatu pada ayah Dirga?[Dillo : Ada apaan nih jam segini ada rapat segala? Ayahmu nggak apa apa kan Ga?][Dirga : Alhamdulillah ayah sudah membaik. Tujuanku ngumpulin kalian bukan mau bahas
“A-anak kandung? Maksud Mas apa? Mas jangan becanda deh!” Nina seketika memukul pundak Dirga, memintanya menghentikan candanya. Tapi melihat raut wajah Dirga, Nina tau abangnya itu tidak bercanda sama sekali. Seketika wajah Nina dan Dista pucat pagi.“Mas … Diam diam menikah? Atau Mas tidak menikah tapi …” Dista menggantung ucapannya. Ia takut melanjutkan.“Aku belum menikah, Ta. Aku belum pernah menikah sama sekali. Tapi ternyata aku sudah punya anak. Dan aku baru tau kalau aku punya anak beberapa hari yang lalu. Padahal umur anakku sudah 16 tahun.”“Ya Allah sudah 16 tahun, Mas? Kok bisa tau tau Mas punya anak 16 tahun? Itu beneran anak Mas Dirga? Anak kandung beneran?” tanya Nina tak percaya. Di matanya Dirga adalah sosok lelaki yang baik dan tidak pernah macam macam. Nina takut abangnya ini malah ditipu seseorang yang mengaku punya anak darinya.“Aku sudah tes DNA dengan dia Na. Dan hasil tesnya 99,99% cocok. Dia memang anakku.”“Memangnya … Memangnya Mas begituan? Pernah bikin ana
“Ya Allah, Ibu!”Semua orang panik melihat ibu yang mendadak terduduk lemas di lantai. Bergegas Dirga menggendong Ibu dan mendudukkan ibu ke kursi. Dirga memeriksa kondisi ibu sementara Nina memberikan air minum pada ibu. Untunglah ibu tidak apa apa, hanya lemas karena terkejut mendengar penuturan Dirga.Ternyata ketika Dirga, Nina, dan Dista tengah serius berbicara, mereka tak sadar kalau ada ibu di belakang mereka. Sesaat setelah Dirga pulang lagi ke rumah sakit, Gia datang ke rumah ibu. Saat itulah ibu meminta Gia mengantarkannya ke rumah sakit karena ibu merasa tak tenang di rumah. Ibu ingin ke rumah sakit saja sampai ayah dipindahkan ke ruang rawat inap. Ibu dan Gia pun akhirnya ke rumah sakit dan saat itulah mereka berdua secara tak sengaja mendengar pembicaraan Dirga, Nina, dan Dista tentang Dinaya.“Kamu tega, Dirga. Tega!”“Ibu maafin aku Bu. Aku memang salah, aku sudah mengecewakan ibu …”“Untuk apa kamu minta maaf sama ibu? Harusnya kamu minta maaf dengan perempuan yang meng
“Menikah?”Dillo, Rio, dan Farez bertanya nyaris bersamaan. Dirga baru saja tiba di Jakarta dan langsung meluncur ke rumah Dillo. Saat itu Dinaya sedang menginap di rumah Dillo. Gadis itu sedang bermain dengan istri dan anak anak Dillo di halaman belakang.“Iya, itu syarat dari ibu kalau mau dibukakan pintu rumah dan pintu hatinya untukku lagi. Aku bingung. Mau nikah sama siapa? Memangnya cari istri semudah cari baju?” keluh Dirga membuat ketiga temannya saling pandang.Gara gara Dirga, akhir akhir ini Rio, Dillo, dan Farez jadi sering ketemu. Padahal biasanya susahnya minta ampun kalau disuruh kumpul. Ada aja alasannya. Tapi sejak kedatangan Dinaya, mereka selalu siap saat sewaktu waktu Dirga mengajak diskusi.“Sebentar, kriteria istri buat kamu tuh apa sih Ga? Perasaan banyak banget cewek yang mau jadi istri kamu. Tapi kok nggak ada satupun yang nyangkut?” tanya Dillo. Memang benar apa yang Dillo katakan. Di kantornya saja ada tiga staff perempuan yang berniat mendekati Dirga. Yang
“Akung sakit apa, Pa?” tanya Dinaya sambil berbisik. Mereka sedang di rumah sakit mengunjungi Ayah Dirga. Sayangnya sang ayah masih belum bisa diajak berkomunikasi meski sudah sadar. Tubuh rentanya hanya bisa terbaring di tempat tidur dan hanya bisa merespon lewat gerakan mata.“Dulu sempat stroke dua kali, terus syarafnya jadi bermasalah dan sebagian tubuhnya lumpuh. Kemarin kambuh lagi, tapi alhamdulillah sekarang kondisinya mulai membaik,” jawab Dirga sambil berbisik.Ayah sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Dan sekarang harus beristirahat. Jam berkunjung sudah habis dan mereka semua harus meninggalkan ruangan. Hanya boleh ada satu orang keluarga saja yang berjaga.“Yang lain pulang aja, biar aku di sini jagain ayah. Besok aku juga nggak kerja, libur.” Nina memberitahu semuanya dan meminta mereka pulang.“Ya udah, besok pagi pagi gantian jaga sama Mas Rafif dan aku ya Nin,” sahut Gia diiyakan Nina. Mereka pun akhirnya pulang.Gia pulang ke rumahnya, sementara Dista, suami, serta
“Kenapa lagi Ga? Bukannya semua udah beres? Ayah udah baikan, keluarga udah tau tentang Dinaya dan mereka menerima dia. Terus apa lagi sih yang bikin kamu mendadak ngajak rapat darurat lagi?” tanya Farez. Dia datang berdua Dillo dan mereka masih mengenakan baju kerja.Kali ini mereka berempat berkumpul di café yang tak jauh dari rumah Dirga. Padahal baru tadi siang pesawat yang ditumpangi Dirga dan Dinaya mendarat mulus kembali ke Jakarta, tapi sore ini Dirga sudah tak tahan lagi memendam kegelisahannya sendirian lagi lagi ia mengajak ketiga sahabatnya rapat darurat.“Apa ini masalah Cindy lagi?” tanya Rio.“Oh bukan. Makhluk astral itu sudah nggak pernah lagi muncul. Udah kelar urusanku sama dia,” jawab Dirga cepat. Ia mengusir bayangan Cindy yang tiba tiba muncul di kepala dan membua trauma.“Terus ada masalah apalagi? Masalah pernikahan? Kan kemarin sudah kami kasih trik dan strategi, dan katanya berhasil?” tanya Dillo.Kemarin Dillo, Rio, dan Farez memang memberi Dirga semacam tri
Jangan jangan Papa tau sehari sebelum aku berangkat ke sini, aku menginap di apartemen Ghazi hanya ... berdua? Batin Dinaya panik.“Nay?” Dirga memanggil nama Dinaya karena putrinya itu tak merespon.“Eh i-iya, Pa,” jawab Dinaya gugup.“Kamu kenapa bengong?” tanya Dirga dengan tatapan curiga. Dinaya tau Dirga punya insting tajam. Dan biasanya apapun yang disembunyikan Dinaya, Dirga pasti tau.“Nggak kok Pa. Cuma aku udah ngantuk banget, Pa,” kilah Dinaya cepat. Tapi justru kebohongannya itu makin menambah kecurigaan Dirga.“Nay? Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu sama Papa kan?” tanya Dirga membuat Dinaya mengerang dalam hati.Aahh! Kan? Detektor kebohongannya menyala? Pasti Papa langsung tau aku bohong. Keluh Dinaya dalam hati. Sekarang dia pasrah seandainya Dirga pada akhirnya tau apa yang dilakukannya malam itu.“Nggak, Pa. Nyembunyiin apaan sih?” Dinaya masih mencoba mengelak.“Kamu jangan bikin Papa makin khawatir, Nay. Papa tau kamu nyembunyiin sesuatu. Nay, kamu sekarang jauh
(Lima tahun kemudian)“Papaaa! Tolooong! Aduuuh!” Dinaya terhuyung jatuh dan lututnya membentur lantai dengan keras. Sementara pengejarnya makin beringas berusaha menangkap Dinaya yang sudah kelelahan.“Papaaaa! Mamaaa! Tolooong!” Dinaya terus berusaha berlari dengan nafas tersengal sengal, tapi dia kehilangan keseimbangan dan jatuh. Sekarang jarak antara Dinaya dan pengejarnya tinggal beberapa langkah saja. Dinaya tak sanggup lagi berdiri, dia sudah benar benar kelelahan.Salah satu pengejarnya mulai menarik tangan Dinaya dan gadis itu tak bisa berkutik. Lalu penyerang kedua mulai mengincar pinggangnya. Lalu ...“Kitik kitik kitik...”“Aaaah! Udah deeek! Geliiii! Papaaa tolongin Paaa ... Mereka berdua keroyokan nih. Aduuuh dek, geliiii!” Dinaya tertawa terbahak bahak saat Disha terus menggelitiki pinggangnya, sementara Shaga memegangi tangannya.Dirga yang melihat itu hanya tersenyum dan membiarkan Dinaya dikeroyok dua balita itu sampai kelelahan.“Shaga, Disha ... Udah udah, kakakny
Tiga bapak bapak tampak duduk di sudut gedung resepsi pernikahan dengan mata sembab. Yang satu sibuk menyusut air matanya dengan sapu tangan, yang satu pura pura batuk agar terlihat sedang flu, seolah mata yang merah dan ingus yang keluar bukan karena menangis melainkan karena pilek. Sementara yang satu lagi sejak tadi terlihat minum air mineral sesekali. Entah sudah berapa botol tandas, dan ia bolak balik ke kamar kecil.“Kita kenapa sedih?” tanya Rio sambil menghapus air matanya dengan saputangan pink buatan sang istri. Saputangan itu sudah basah karena Rio sejak akad nikah tadi tak bisa menahan tangis.“Memangnya kamu nggak sedih?” tanya Dillo sambil membuang botol air mineral yang sudah kosong ke tempat sampah di sudut.“Aku cuma terharu. Mungkin dia yang sedih,” tunjuk Rio ke arah Farez“Hatttchii!”“Jangan pura pura pilek Rez! Kalau nangis ya nangis aja. Semua orang tau itu air mata dan ingus keluar gara gara nangis dari pagi,” bentak Dillo.“Kalian juga kenapa nangis? Terharu ka
(Satu bulan kemudian)“Naaah kaaan. Feeling saya itu tepat loh Mbak Tari. Dari awal entah kenapa saya yakin banget Dirga ini jodohnya Reisha,” ujar Bu Ambar dengan wajah sumringah. Sementara Bu Ratih duduk di sebelahnya dengan mata berkaca kaca.Dengan suasana haru yang masih menggantung di ruangan, Reisha dan keluarganya masih terlihat sumringah. Keceriaan terpancar dari setiap wajah, terutama Bu Ambar yang seakan-akan tidak berhenti mengulang kalimat penuh kepastian bahwa Reisha akhirnya bertemu dengan jodoh yang baik. Di satu sisi, Bu Ratih masih menyeka air matanya, teringat betapa berat perjalanan hidup keponakannya sejak kehilangan orang tua dan saudara kandungnya. Kini, Reisha akhirnya menemukan sosok pria yang mampu mengisi kekosongan itu, seorang pria yang tidak hanya tulus, tetapi juga datang dengan penuh niat baik. Bu Ratih menatap wajah Reisha dengan tatapan penuh kasih sayang.“Ya Allah, Nduk ... Reisha ... Ibu, Bapak, dan Mas mu pasti tenang di sana. Kamu sekarang udah ng
“Dinaya! Stop! Kalau kamu masih ketawa juga, papa potong uang saku kamu tiga bulan!!”“Hahahaha ... Iya iya maaf Papaaa. Abisnya papa lucu banget. Bisa bisanya papa mikir mau mati detik itu juga. Padahal kan papa nggak kenapa kenapa, cuma nggak bisa keluar doang. Astaga Papaaa ... Gemes banget sih papaku ini,” celoteh Dinaya saat mereka berdua sudah dalam perjalanan pulang ke rumah.Akhirnya semalam Dirga berhasil mengutarakan isi hatinya pada Reisha. Dan bisa ditebak, tentu saja Reisha mengiyakan meski dengan wajah bersemu merah.“Kamu bukannya khawatir papa hampir ketiban pohon, malah diketawain. Gimana sih?” omel Dirga sambil cemberut. Sementara Dinaya menahan tawa sampai wajahnya merah padam.“Maaf Papa. Abisnya lucu banget. Aku bukannya nggak khawatir, semalem pas denger kabar itu aku panik banget, tapi HP ku kan lowbatt. Terus kata Bu Indah semua baik baik aja dan Papa sama Miss Rei udah aman aman aja. Terus aku kan ngecharge HP, eeh ketiduran sampai pagi. Makanya nggak telepon
“Kami benar benar minta maaf ya Pak. Pak Rudi ini kebetulan staff kami yang baru saja bekerja tiga hari di sini. Dan ini hari pertama Pak Rudi bertugas di bagian paviliun. Sebelumnya beliau bertugas di bangunan utama lantai dua sampai empat. Jadi Pak Rudi lupa kalau di bagian belakang paviliun ada pintu satu lagi dari arah dapur Pak. Sebenarnya Pak Dirga bisa keluar dari sana, tapi Pak Rudi panik dan malah berlari ke lobi mencari bantuan untuk menggeser pohon dan mengeluarkan Pak Dirga dari paviliun. Mohon maaf sekali lagi Pak,” ucap manajer hotel dengan gugup.“Sa-saya tadi gugup sekali Pak. Saya takut Pak Dirga kenapa kenapa. Jadi saya panik dan nggak kepikiran kalau Pak Dirga bisa keluar dari pintu belakang. Saya malah lari cari bantuan. Mohon maaf sekali ya Pak.” Pak Rudi berkali kali minta maaf dengan wajah pucat pasi.“Nggak apa apa, Pak. Saya juga nggak terluka dan nggak kenapa kenapa. Bukan salah Pak Rudi. Kan Pak Rudi berusaha secepat mungkin menyelamatkan saya. Kalau saya ja
“Astaghfirullah! Apaan itu? Apaan barusan? Gempa bumi? Longsor? Tsunami? Tornado? Kiam ... Naudzubillah! Belum kiamat kan? Dosaku masih banyak Ya Allah,” Dirga berbalik dengan kaki gemetar ketakutan. Suara itu keras sekali.“Mas Dirgaaa! Ya Allah Mas Dirgaaa!” terdengar teriakan Reisha dari luar.Reisha! Apa dia baik baik aja? Jangan jangan dia ...“Rei! Reisha! Kamu nggak apa apa kan? Kamu kenapa?” Dirga buru buru berlari menuju pintu keluar, tapi pintu itu macet. Dirga terus menarik, mendorong, memutar, dan menggeser handle pintu, tapi tetap saja pintu itu tak bergeser. Kenapa ini?“Mas Dirga? Mas Dirga nggak apa apa kan?” tanya Reisha dari luar. Suaranya terdengar samar. Seperti jauh sekali. Dirga menyibak tirai dan melihat ke arah luar.Betapa terkejutnya Dirga melihat pohon besar beserta daun daunnya yang roboh dan jatuh tepat di depan pintu kamarnya. Karena panik, Dirga tak sempat melihat dengan jelas tadi. Ternyata bagian atas pintunya sudah retak bahkan ada ranting yang menanc
Jangan takut Dirga, jangan gugup, jangan panik. Dia cuma wanita biasa, bukan sundelbolong, kuntilanak, kuyang, nyi blorong, atau siluman ular putih. Jangan takut, jangan gugup, ngobrol biasa aja. Rileks ... Tenang ...Dirga mengafirmasi dirinya sendiri agar tak lagi gugup dan salah bicara pada Reisha. Kejadian ajakan les privat beberapa hari yang lalu sudah cukup jadi pelajaran. Dirga tak ingin gugup dan salah bicara lagi.“Kayaknya bakalan lama nih, Mas.” Reisha memulai pembicaraan lebih dulu untuk memecah kecanggungan di antara mereka berdua.“Kita masuk aja dulu, mudah mudahan nggak terlalu lama,” sahut Dirga berusaha bersikap tenang. Kata katanya berbanding terbalik dengan isi hatinya. Padahal dalam hati Dirga justru ingin sedikit lebih lama bersama Reisha. Kapan lagi punya quality time berdua Reisha di suasana alam secantik ini?Mereka berdua masuk ke bagian dalam pelabuhan. Tepat pada saat itu hujan deras mulai turun. Dirga dan Reisha memilih duduk sedikit ke dalam karena bagian
“Pa, minggu depan papa ada kerjaan nggak?” tanya Dinaya tanpa melepas pandangan dari ponselnya. Gadis itu terlihat sangat fokus dengan apa yang ia baca di layar ponsel.“Weekend ya? Nggak ada sih. Paling nonton bola sama Dillo. Tapi nggak penting penting amat juga, bisa dibatalin. Kenapa? Kamu ada agenda sekolah penting? Papa harus datang?” Dirga menjelaskan sekaligus balas bertanya.“Nggak sih, bukan sekolah. Tapi ini cuma anak anak sekelas aja. Kan minggu ini udah selesai assesment udah selesai, jadi rencananya mau liburan yang deket deket aja. Ke pulau kelomang. Tapi sama orang tua dan beberapa guru juga. Papa bisa ikut nggak?” tanya Dinaya.“Aduh, Nay. Kamu kan tau papa mager banget kalau harus jalan jalan rombongan gitu. Orang tua wajib ikut ya? Kalau kamu aja nggak apa apa kan?” tanya Dirga enggan.Dirga memang malas sekali tour beramai ramai seperti itu. Entah itu acara kantor atau apapun, Dirga paling tak suka. Sejak kecil dulu, orang tuanya pontang panting mencari uang untuk