“Ya Allah, Ibu!”Semua orang panik melihat ibu yang mendadak terduduk lemas di lantai. Bergegas Dirga menggendong Ibu dan mendudukkan ibu ke kursi. Dirga memeriksa kondisi ibu sementara Nina memberikan air minum pada ibu. Untunglah ibu tidak apa apa, hanya lemas karena terkejut mendengar penuturan Dirga.Ternyata ketika Dirga, Nina, dan Dista tengah serius berbicara, mereka tak sadar kalau ada ibu di belakang mereka. Sesaat setelah Dirga pulang lagi ke rumah sakit, Gia datang ke rumah ibu. Saat itulah ibu meminta Gia mengantarkannya ke rumah sakit karena ibu merasa tak tenang di rumah. Ibu ingin ke rumah sakit saja sampai ayah dipindahkan ke ruang rawat inap. Ibu dan Gia pun akhirnya ke rumah sakit dan saat itulah mereka berdua secara tak sengaja mendengar pembicaraan Dirga, Nina, dan Dista tentang Dinaya.“Kamu tega, Dirga. Tega!”“Ibu maafin aku Bu. Aku memang salah, aku sudah mengecewakan ibu …”“Untuk apa kamu minta maaf sama ibu? Harusnya kamu minta maaf dengan perempuan yang meng
“Menikah?”Dillo, Rio, dan Farez bertanya nyaris bersamaan. Dirga baru saja tiba di Jakarta dan langsung meluncur ke rumah Dillo. Saat itu Dinaya sedang menginap di rumah Dillo. Gadis itu sedang bermain dengan istri dan anak anak Dillo di halaman belakang.“Iya, itu syarat dari ibu kalau mau dibukakan pintu rumah dan pintu hatinya untukku lagi. Aku bingung. Mau nikah sama siapa? Memangnya cari istri semudah cari baju?” keluh Dirga membuat ketiga temannya saling pandang.Gara gara Dirga, akhir akhir ini Rio, Dillo, dan Farez jadi sering ketemu. Padahal biasanya susahnya minta ampun kalau disuruh kumpul. Ada aja alasannya. Tapi sejak kedatangan Dinaya, mereka selalu siap saat sewaktu waktu Dirga mengajak diskusi.“Sebentar, kriteria istri buat kamu tuh apa sih Ga? Perasaan banyak banget cewek yang mau jadi istri kamu. Tapi kok nggak ada satupun yang nyangkut?” tanya Dillo. Memang benar apa yang Dillo katakan. Di kantornya saja ada tiga staff perempuan yang berniat mendekati Dirga. Yang
“Akung sakit apa, Pa?” tanya Dinaya sambil berbisik. Mereka sedang di rumah sakit mengunjungi Ayah Dirga. Sayangnya sang ayah masih belum bisa diajak berkomunikasi meski sudah sadar. Tubuh rentanya hanya bisa terbaring di tempat tidur dan hanya bisa merespon lewat gerakan mata.“Dulu sempat stroke dua kali, terus syarafnya jadi bermasalah dan sebagian tubuhnya lumpuh. Kemarin kambuh lagi, tapi alhamdulillah sekarang kondisinya mulai membaik,” jawab Dirga sambil berbisik.Ayah sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Dan sekarang harus beristirahat. Jam berkunjung sudah habis dan mereka semua harus meninggalkan ruangan. Hanya boleh ada satu orang keluarga saja yang berjaga.“Yang lain pulang aja, biar aku di sini jagain ayah. Besok aku juga nggak kerja, libur.” Nina memberitahu semuanya dan meminta mereka pulang.“Ya udah, besok pagi pagi gantian jaga sama Mas Rafif dan aku ya Nin,” sahut Gia diiyakan Nina. Mereka pun akhirnya pulang.Gia pulang ke rumahnya, sementara Dista, suami, serta
“Kenapa lagi Ga? Bukannya semua udah beres? Ayah udah baikan, keluarga udah tau tentang Dinaya dan mereka menerima dia. Terus apa lagi sih yang bikin kamu mendadak ngajak rapat darurat lagi?” tanya Farez. Dia datang berdua Dillo dan mereka masih mengenakan baju kerja.Kali ini mereka berempat berkumpul di café yang tak jauh dari rumah Dirga. Padahal baru tadi siang pesawat yang ditumpangi Dirga dan Dinaya mendarat mulus kembali ke Jakarta, tapi sore ini Dirga sudah tak tahan lagi memendam kegelisahannya sendirian lagi lagi ia mengajak ketiga sahabatnya rapat darurat.“Apa ini masalah Cindy lagi?” tanya Rio.“Oh bukan. Makhluk astral itu sudah nggak pernah lagi muncul. Udah kelar urusanku sama dia,” jawab Dirga cepat. Ia mengusir bayangan Cindy yang tiba tiba muncul di kepala dan membua trauma.“Terus ada masalah apalagi? Masalah pernikahan? Kan kemarin sudah kami kasih trik dan strategi, dan katanya berhasil?” tanya Dillo.Kemarin Dillo, Rio, dan Farez memang memberi Dirga semacam tri
“Hei, Alfan Desrio! Makanya kalau denger gosip jangan setengah setengah, minimal pakai logika. Aku ini dokter patologi forensik. Ngapain aku dimutasi ke desa terpencil yang susah sinyal? Memangnya rumah sakit kita sekalian mau bikin laboratorium di sana juga? Memangnya desa terpencil itu setiap hari ada mayat yang harus kuanalisa?” bentak Dirga.“Lah iya juga ya,” Rio menggaruk kepalanya yang tiba tiba terasa gatal.“Aduuh kamu nambahin beban pikiran aja.”“Tapi, Ga. Sebentar lagi mau nggak mau berita kalau kamu sudah duda pasti menyebar di rumah sakit.”Dirga terdiam mendengar pertanyaan Rio. Betul juga. Selama ini Dirga dikenal masih bujangan. Kenapa tiba tiba saja jadi ayah dari anak umur 16 tahun? Bagaimana bisa jadi duda tapi masih bujangan? Dirga menghela nafas dengan frustrasi.“Udah gini aja, Ga. Jangan pikirin yang belum terjadi. Jalani saja dulu. Apa yang kita pikirkan belum tentu benar benar akan terjadi kan? Yang penting sekarang kamu siapkan semua yang dibutuhkan untuk me
“Pagi, dok,” sapa Dirga pada Dokter Rahman, kepala departemen forensik di rumah sakit tempatnya bekerja. “Pagi Dokter Dirga, silahkan duduk.” Dokter Rahman mempersilahkan Dirga untuk duduk di kursi kosong yang diletakkan persis di depan mejanya.Penyejuk udara di ruangan menunjukkan temperatur 25 derajat celcius. Sebenarnya itu terasa dingin, tapi titik titik keringat membasahi kening Dirga seolah dia berada di dalam sauna yang panas dan pengap. Selalu seperti itu saat dia merasa gugup dan cemas.Kegugupan Dirga bukan tanpa alasan. Pagi ini entah kenapa kepala departemen forensik memanggilnya secara langsung. Biasanya kalau ada keperluan, beliau meminta salah satu bawahannya untuk memanggil Dirga ke ruangannya. Tapi kali ini tidak. Dokter Rahman langsung menemui Dirga di ruangannya dan memintanya berbicara empat mata. Dirga jadi ingat ucapan Rio kemarin sore. Jangan jangan benar apa yang dikatakan Rio? Jangan jangan aku memang diminta jadi ketua tim humas departemen forensik? Itu ar
“Hai Dirga, kata Papiku kamu duda ya? Udah pengalaman dong. Mau nambah pengalaman lagi sama aku nggak? Aku suka pria matang berpengalaman.”Dirga mematung saat disapa sosok wanita cantik dengan busana minim dan make up tebal yang tiba tiba duduk di depannya. Siapa orang ini?“Eh, sorry kita belum kenalan. Aku Maya, anaknya boss kamu di rumah sakit. Kata Papi kamu calon suamiku ya?”Hah? Jadi ini Maya, anak Dokter Fajri? Batin Dirga terkejut. Sosok wanita cantik ini sungguh berbeda dari apa yang dibayangkan Dirga.Dokter Fajri berpenampilan rapi, selalu terlihat menjaga perilaku dan image nya sebagai Direktur rumah sakit sekaligus dokter senior yang berwibawa. Dalam bayangan Dirga, sosok Maya adalah perempuan yang berpakaian sopan, kalem, tak banyak bicara, dan terlihat rapi dan menjaga image nya seperti Dokter Fajri. Ternyata yang muncul adalah sosok wanita bermake up tebal, mengenakan jeans ketat dan atasan crop top tanpa tali yang memamerkan bahu, pundak, dan tentu saja sebagian are
“Ma-Maya tunggu dulu. Semua bisa dibicarakan pelan pelan. Jangan langsung minta mati. Serem itu. Kamu tau nggak, orang orang yang sudah mati itu pasti pengen banget hidup lagi karena beratnya siksa kubur, kamu malah minta mati. Emangnya udah siap? Mati itu mungkin gampang. Pertanggung jawaban sesudah mati itu yang berat.”“Kamu dokter apa ustad sih! Malah ceramah!”“Aku dokter. Tapi kan aku dokter forensik. Hampir setiap saat aku melihat mayat mayat berbagai bentuk, jenis, dengan berbeda sebab kematian, kondisi juga lain lain, tapi satu pelajaran berharga yang aku ambil dari mayat mayat itu. Kita semua harus menghargai hidup. Harus bersyukur sampai hari ini kita belum jadi mayat kayak mereka kan?”“Dih! Kamu tau darimana? Jangan jangan malah mayat mayat itu sebenernya happy banget bisa mati dan ninggalin semua masalah berat di dunia ini. Kita nggak tau gimana isi pikiran mayat mayat itu? Kamu cuma kerjaannya kan cuma otopsi doang, bukannya bicara sama arwah. Jadi kamu juga nggak tau g