“Kenapa, Ga?”“Ibu kenapa?”“Ayah kenapa?”Dillo, Farez dan Rio bertanya nyaris bersamaan, sementara Dirga hanya mematung di tempatnya duduk. Nyaris tak bergerak. Lututnya lemas, seolah tulang belulang di dalam sana hilang dan kedua tungkai Dirga tak mampu menahan bobot tubuhnya. Selama sepersekian detik Dirga merasa kepalanya kosong.“Ayah pingsan, dilarikan ke rumah sakit, lalu dinyatakan koma.” Dirga menjawab dengan nada panik. Ketiga sahabatnya terbelalak lalu mereka terdiam.“Aku … Aku harus pulang ke kampung. Kalian bisa tolong aku jaga Dinaya?” tanya Dirga panik.“Bisa.” Ketiganya menjawab mantap.“Eh, tapi apa nggak sebaiknya Dinaya kuajak ke kampung? Ketemu keluargaku?” tanya Dirga lagi.“Jangan Ga. Belum saatnya. Sekarang semua masih panik mikirin Ayah. Nggak mungkin kamu tiba tiba bilang kalau kamu punya anak kan?” tanya Rio.“Atau mungkin aku telepon Ibu lagi, dan ceritakan aja soal Dinaya di telepon. Setelah itu aku pulang bareng Dinaya?” Dirga mengusulkan alternatif lain.
“Mau apalagi sih kamu? Mau ngajak balikan? Jangan harap ya!” suara Cindy terdengar nyaring melengking di detik pertama Dirga menjawab telepon. Bahkan Dirga belum sempat bilang halo atau mengucap salam. Tapi gadis itu sudah mengomel panjang lebar. Buru buru Dirga menjauh sebelum Ibu ikut mendengar teriakan nyaring Cindy.“Apa sih? Siapa yang mau balikan sama kamu? Ngomong apa sih kamu?” bantah Dirga.“Terus kenapa tuh ibu kamu telepon aku tadi? Kamu mau minta bantuan ibu kamu buat bujuk aku? Jangan mimpi ya!”“Tunggu! Kamu salah paham! Aku sama sekali nggak minta ibuku untuk …”“Heleeeh bacot! Kamu sekarang duda merana kan? Nggak ada yang mau makanya masih ngejar ngejar aku! Kamu sama leceknya sama duit duit receh yang kamu kasih ke aku pake plastik sampah itu!” Cindy kembali menyemburkan amarahnya membabi buta.“Kamu salah Cindy! Dengerin aku dulu!”“Udah nggak usah bohong! Nih, adik kamu WA aku nih. Sok sok akrab ngasih tau aku kalo bapak kamu sakit. Terus kalo sakit kenapa? Masalah g
“Ayah kenapa, Gi?” tanya Ibu panik, pertanyaan serupa juga diajukan Dirga nyaris bersamaan.“Ayah udah sadar, Bu,” sahut Gia dengan air mata mengambang di pelupuk matanya. Mendengar itu, Ibu dan Dirga serentak mengucap syukur, lalu mereka bertiga mempercepat langkah menuju ke ruang ICU dimana ayah dirawat.Ayah belum bisa bicara, tapi sudah bisa merespon dengan tatapan mata. Dan tatapan sendunya berubah saat melihat Dirga. Lalu air mata ayah mulai mengalir. Melihat itu, ibu dan Gia juga ikut menitikkan air mata. Suasana haru langsung terasa saat itu juga.Dirga mendadak menyesal karena sudah lama tidak bertemu ayah. Sudah lebih dari tujuh bulan Dirga tak pulang. Bukan tak ingin, tapi pekerjaannya membuat Dirga dituntut untuk selalu di rumah sakit tempatnya bekerja dan tak bisa pulang sesering dulu. Bahkan saat mengabarkan akan menikah dengan Cindy dulu, Dirga baru sempat pulang dan memberitahu orang tuanya saat sudah dekat hari H. Itupun terpaksa tidak dihadiri ayah. Kondisi kesehatan
“Bu, aku bukannya nggak mau dijodohkan. Tapi boleh kan kalau aku memilih sendiri calon istriku Bu?” tanya Dirga hati hati.“Iya, ibu juga bukan ibu ibu kolot yang suka jodohin anak, Ga. Tapi ya kamu kayaknya sibuk banget, sampai susah banget nyari jodoh. Kamu kan lingkungannya di situ situ aja. Rumah sakit, kantor polisi, terus pulang. Kalau cuma disitu situ terus kapan kamu dapat jodoh, Ga.” Ibu kali ini sedikit mendesak.Dirga menghela nafas. Sebenarnya ibu tidak seratus persen benar. Dirga tak hanya berada di lingkungan pekerjaan. Memang saat sibuk, dirinya hanya mondar mandir dari rumah sakit, kantor polisi, laboratorium forensik, atau beberapa TKP yang rekan kerjanya itu itu saja. Tapi akhir akhir ini Dirga sering muncul di TV, jadi bintang tamu di podcast dan talkshow, dan kadang jadi narasumber di beberapa kampus atau komunitas yang tertarik dengan ilmu forensik. Pihak rumah sakit tempatnya bekerja juga sering mengutus Dirga. Karena wajahnya yang good looking, tubuh tinggi yang
[RAPAT DARURAT! TOLONG SEMUA HADIR DI GRUP. TANPA TERKECUALI!]Dillo menyipitkan matanya saat membaca pesan dari Dirga. Jam yang tergantung di dinding kamarnya menunjukkan angka satu lewat lima belas menit. Dillo segera memeriksa grup dan ternyata semua sudah join.Grup chat itu diberi titel PENTING NGGAK PENTING. Anggota grup ya mereka berempat. Dillo, Dirga, Rio, dan Farez. Isinya memang percakapan kadang penting kadang tidak. Dibilang tak penting tapi penting. Disebut penting tapi kadang juga tak terlalu penting. Tapi kalau semua berkumpul di grup di jam segini, apalagi kalau Dirga menulis pesan dengan huruf kapital dari awal sampai akhir ditambah tanda seru, sudah pasti ini hal penting dan genting. Jantung Dillo berdetak cepat. Pikiran buruk mendadak melintas di benaknya. Jangan jangan terjadi sesuatu pada ayah Dirga?[Dillo : Ada apaan nih jam segini ada rapat segala? Ayahmu nggak apa apa kan Ga?][Dirga : Alhamdulillah ayah sudah membaik. Tujuanku ngumpulin kalian bukan mau bahas
“A-anak kandung? Maksud Mas apa? Mas jangan becanda deh!” Nina seketika memukul pundak Dirga, memintanya menghentikan candanya. Tapi melihat raut wajah Dirga, Nina tau abangnya itu tidak bercanda sama sekali. Seketika wajah Nina dan Dista pucat pagi.“Mas … Diam diam menikah? Atau Mas tidak menikah tapi …” Dista menggantung ucapannya. Ia takut melanjutkan.“Aku belum menikah, Ta. Aku belum pernah menikah sama sekali. Tapi ternyata aku sudah punya anak. Dan aku baru tau kalau aku punya anak beberapa hari yang lalu. Padahal umur anakku sudah 16 tahun.”“Ya Allah sudah 16 tahun, Mas? Kok bisa tau tau Mas punya anak 16 tahun? Itu beneran anak Mas Dirga? Anak kandung beneran?” tanya Nina tak percaya. Di matanya Dirga adalah sosok lelaki yang baik dan tidak pernah macam macam. Nina takut abangnya ini malah ditipu seseorang yang mengaku punya anak darinya.“Aku sudah tes DNA dengan dia Na. Dan hasil tesnya 99,99% cocok. Dia memang anakku.”“Memangnya … Memangnya Mas begituan? Pernah bikin ana
“Ya Allah, Ibu!”Semua orang panik melihat ibu yang mendadak terduduk lemas di lantai. Bergegas Dirga menggendong Ibu dan mendudukkan ibu ke kursi. Dirga memeriksa kondisi ibu sementara Nina memberikan air minum pada ibu. Untunglah ibu tidak apa apa, hanya lemas karena terkejut mendengar penuturan Dirga.Ternyata ketika Dirga, Nina, dan Dista tengah serius berbicara, mereka tak sadar kalau ada ibu di belakang mereka. Sesaat setelah Dirga pulang lagi ke rumah sakit, Gia datang ke rumah ibu. Saat itulah ibu meminta Gia mengantarkannya ke rumah sakit karena ibu merasa tak tenang di rumah. Ibu ingin ke rumah sakit saja sampai ayah dipindahkan ke ruang rawat inap. Ibu dan Gia pun akhirnya ke rumah sakit dan saat itulah mereka berdua secara tak sengaja mendengar pembicaraan Dirga, Nina, dan Dista tentang Dinaya.“Kamu tega, Dirga. Tega!”“Ibu maafin aku Bu. Aku memang salah, aku sudah mengecewakan ibu …”“Untuk apa kamu minta maaf sama ibu? Harusnya kamu minta maaf dengan perempuan yang meng
“Menikah?”Dillo, Rio, dan Farez bertanya nyaris bersamaan. Dirga baru saja tiba di Jakarta dan langsung meluncur ke rumah Dillo. Saat itu Dinaya sedang menginap di rumah Dillo. Gadis itu sedang bermain dengan istri dan anak anak Dillo di halaman belakang.“Iya, itu syarat dari ibu kalau mau dibukakan pintu rumah dan pintu hatinya untukku lagi. Aku bingung. Mau nikah sama siapa? Memangnya cari istri semudah cari baju?” keluh Dirga membuat ketiga temannya saling pandang.Gara gara Dirga, akhir akhir ini Rio, Dillo, dan Farez jadi sering ketemu. Padahal biasanya susahnya minta ampun kalau disuruh kumpul. Ada aja alasannya. Tapi sejak kedatangan Dinaya, mereka selalu siap saat sewaktu waktu Dirga mengajak diskusi.“Sebentar, kriteria istri buat kamu tuh apa sih Ga? Perasaan banyak banget cewek yang mau jadi istri kamu. Tapi kok nggak ada satupun yang nyangkut?” tanya Dillo. Memang benar apa yang Dillo katakan. Di kantornya saja ada tiga staff perempuan yang berniat mendekati Dirga. Yang