“Aku anak kandung Om. Jadi mulai sekarang, boleh Om kupanggil Papa? Atau Papi? Bapak? Daddy? Ayah?”
“Hah? Sebentar ... Sebentar ... A-anakku?”
“Iya. Nama Om Dirga kan? Dokter Dirgantara Pradikta. Tanggal lahir 28 April 1989. Golongan darah A, nama ayah Adnan Pradikta, nama Ibu Hastari Farhana. Om alumni SMA 17, dulu kelas 3 IPA 1, lulus tahun 2006. Aku tau, Om. Aku beneran anak biologis Om. Boleh Om kupanggil Papa?"
“Eits, eits, ntar dulu. Aku ini lajang, belum pernah menikah, dan dua hari yang lalu aku baru merayakan hari jadi ke 35 tahun. Apa masuk akal kalau aku sudah punya anak sebesar kamu?” tanya Dirga setengah kesal dan langsung bersikap waspada. Apa ini modus penipuan baru?
“Ya ampun! Jadi Om masih nggak percaya kalau aku anak biologis Om?” Gadis rmaja itu menepuk keningnya sendiri sambil berdecak kesal.
“Ya udah gini aja deh, Bunda bilang Om punya tanda lahir di paha bagian dalam, letak persisnya itu kira-kira sepuluh sentimeter dari …”
“Stop stop stop!” Dirga menyilangkan lengan di depan dada, lalu menoleh ke kiri dan ke kanan dengan panik. Ini masih di rumah sakit, dan ini wilayah kerjanya. Dirga tidak mau semua koleganya tau ada tanda lahir di dekat area pribadinya yang selama ini tertutup rapat. Maklum, Dirga termasuk lelaki cukup religius yang menjaga auratnya. Di kolam renang atau pantai sekalipun, Dirga mengenakan celana renang berlapis legging yang biasa digunakan penjaga gawang untuk menutupi auratnya. Tapi gadis kecil ini malah tau letak tanda lahirnya?
“Punggung Om masih ada bekas luka kan? Kata Bunda luka itu gara-gara Om kegores pagar kawat tetangga waktu Om jatuh dari sepeda pas SMP.” Dinaya bertanya santai, tapi Dirga malah berjengit mendengarnya.
Dirga mundur selangkah, antara takjub dan takut dengan semua perkataan gadis ini. Yang jelas semua tepat, akurat, berupa fakta dan realita. Dia bahkan tau fakta yang selama ini tidak pernah Dirga bahas dengan siapapun. Oke, beberapa teman memang tau Dirga punya bekas luka di punggung. Tapi seingat Dirga, dirinya tak pernah menceritakan kronologis tentang kapan, dimana, dan bagaimana dia mendapatkan bekas luka itu.
Siapa anak ini? Kenapa dia tau detail ini? Kalau dia penipu dan ingin memerasku, mungkin data yang dia gunakan hanya hal hal yang umum seperti sekolah, universitas, golongan darah, nama orang tua, tanggal lahir, seperti yang tadi dia sebutkan di awal. Tapi dia tau tanda lahir dan bekas luka di punggungku. Mana ada orang lain yang tau kecuali Ibu, Ayah, dan sahabat laki lakiku? Dirga membatin dengan rasa penasaran dan takut yang rasionya kurang lebih sama besar.
Jangan jangan …
“Sebentar. Kamu tunggu di situ dulu ya. Duduk diam dan jangan ngapa ngapain. Aku mau ke dalam dulu, nanti aku balik lagi ke sini. Jangan kemana-mana dan jangan ngomong apapun sama siapapun! Paham?” tukas Dirga setengah panik. Dinaya hanya mengangguk acuh tak acuh, lalu memilih salah satu kursi untuk ia duduki.
Setelah melihat gadis itu duduk diam sambil memainkan ponselnya, Dirga langsung masuk ke ruangan dan menekan salah satu nama yang tertera di contact whatsappnya. Farez.
“Halo, Ga?” suara Farez terdengar di detik pertama setelah sambungan telepon terhubung.
“Rez? Prank macam apalagi ini?” tuduh Dirga.
“Hah? Apaan?” Farez balik bertanya dengan kening berkerut. Ia sampai menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap layarnya dengan bingung. Farez melihat benar nama Dirga yang terpampang di layar ponselnya. Bukan salah sambung. Tapi kenapa omongannya yang nggak nyambung?
“Udah ngaku aja. Ini prank ulang tahun yang telat kan? Kamu, Rio, dan Dillo masih dendam karena gagal ngeprank aku dua hari yang lalu kan?” Lagi lagi Dirga menuduh, membuat Farez semakin bingung.
“Heh, birthday boy! Nggak ada prank prank atau apaan itu ya! Inget umur! Kita semua lima tahun lagi udah kepala empat. Kami semua juga udah bapak bapak, bukan waktunya lagi main prank prank nggak jelas begitu!” bantah Farez membuat Dirga tertegun.
“Serius Rez?”
“Serius. Pas kamu ulang tahun kemarin memang kami bertiga mau ngasih kejutan kue atau pesta apalah itu jam 12 malam. Tapi pada males. Ngantuk. Lagian kamu juga masih di rumah sakit jam segitu. Makanya batal. Udah tua ngapain sibuk amat urusan ulang tahun? Udah berapa tahun ini kita ulang tahun cuma makan makan doang kan? Kenapa tiba-tiba malah prank segala?” jelas Farez panjang lebar. Dirga jelas percaya. Farez orang yang lugas dan apa adanya. Jadi dia pasti jujur hari ini.
“Emang kenapa sih? Ada yang kirim kejutan ke rumah kamu? Atau ke rumah sakit? Prank apaan? Dari siapa?” tanya Farez. Jiwa jiwa kepo nya mulai muncul ke permukaan dan Dirga segera waspada.
“Nggak. Nggak ada apa apa. Oke, udah ya, sorry ganggu. Kututup ya … Assalamualaikum." Dirga memutuskan panggilan telepon secara sepihak tanpa menunggu Farez menjawab salamnya.
Setelah itu Dirga mengintip dari celah pintu untuk memastikan gadis remaja bernama Dinaya itu masih tetap duduk ditempatnya dan tidak membuat ulah. Untunglah, anak itu tak bergerak dari kursi dan masih terlihat sibuk dengan ponselnya.
Otak Dirga berpikir keras. Penipuan bukan, prank juga bukan. Jadi siapa anak itu? Apa benar dia anak kandung Dirga? Tapi Dirga belum pernah menikah, apalagi melakukan proses reproduksi dengan calon istrinya sekarang ataupun mantan pacarnya yang dulu. Kenapa tiba tiba remaja sebesar itu mengaku anak kandungnya?
Dirga terus menatap Dinaya dari celah pintu ruang kerjanya. Saat itu Dinaya mengangkat wajahnya dari layar ponsel dan menoleh ke samping. Seketika Dirga tertegun. Figur wajah gadis itu terlihat sangat familiar di benak Dirga.
Seketika Dirga mematung. Satu nama langsung terlintas di benaknya. Nama yang pernah melekat dalam ingatannya tujuh belas tahun yang lalu.
Oh tidak! Sepertinya anak itu memang anakku!
“Siapa tadi nama kamu?”“Dinaya Aga Nisrina.”“Kamu kelas berapa? Umur kamu berapa?”“Kelas 11 Om, umurku 16 tahun.”“Oke Dinaya, sebentar lagi jam kerjaku selesai. Nanti kita ngobrol di tempat lain ya, jangan di sini. Oke?” tanya Dirga sambil terus melihat sekeliling.“Oke.” Gadis itu hanya menjawab singkat sambil mengangguk tanpa ekspresi. Lalu dia kembali duduk lagi tanpa mengatakan apapun.Dirga melirik jam di pergelangan tangannya. Lima menit lagi jam kerjanya selesai. Biasanya Dirga santai dan tidak terburu-buru meninggalkan rumah sakit. Kadang dia sempat menyapa beberapa koleganya, atau ke cafe dulu sebelum pulang.Tapi kali ini berbeda. Dirga buru-buru mengemasi semua perlengkapan di mejanya dan dengan cepat keluar ruangan begitu jam kerjanya selesai.“Ayo, kita ngobrol di rumahku. Kamu sudah izin orang tuamu kan?” tanya Dirga dengan nada sedikit ragu. Walaupun gadis mengaku anak biologisnya, tapi tetap saja, mungkin dia punya orang tua atau keluarga yang harus diberitahu keber
“Me-Meninggal? Jadi Annaya sudah meninggal?”“Sudah, dua hari yang lalu. Bunda sakit kanker lambung.”“Innalillahi wainnailaihi rojiuun ... Ya Allah ...”Dirga mengusap wajahnya sendiri dengan tangan dan tercenung cukup lama. Terbayang wajah cantik Annaya di benaknya. Gadis cerdas yang cantik dan baik itu seolah hidup kembali di dalam kepala Dirga. Mau tidak mau rasa sedih menyelinap di hati Dirga sampai ia terdiam dan tak sadar kalau Dinaya ada di depannya.“Nah, itu Om tau Bundaku namanya Annaya. Tadi aku juga sudah kasih tau nama lengkapku. Aku dikasih nama Dinaya Aga Nisrina. Kata Bunda, Dinaya itu perpaduan Dirga dan Annaya. Kalau Aga juga sama, singkatan dari Annaya dan Dirga. Jadi benar Om ini ayah kandungku kan?”Mendengar penjelasan sekaligus pertanyaan itu, Dirga bagai tersambar petir. Cerdas juga anak ini. Rasa sedih yang tadinya muncul di benak Dirga karena kepergian Annaya, seketika berubah jadi panik.“Sebentar, aku nggak bisa langsung mengiyakan kalau kamu anakku. Kamu a
“Oke. Besok kita test DNA.” Dirga memutuskan dengan cepat.Pasrah sajalah. Mau bagaimana lagi. Cepat atau lambat aku juga akan tau bocah ini anakku atau bukan. Batin Dirga dengan kepala yang sudah sangat pusing. Dinaya pun merespon dengan anggukan cepat.“Udah maghrib. Kita sholat dulu, terus nanti lanjut ngobrol lagi sambil makan. Oke?” ajak Dirga yang langsung diiyakan Dinaya. Gadis itu meletakkan ranselnya dengan hati hati di sudut sofa, lalu berdiri dengan bingung.“Oh, sini ikut aku. Kamu wudhu dan sholat di kamar tamu aja, di dalam kamar ada kamar mandinya,” ajak Dirga. Dia sadar Dinaya butuh ruang tertutup untuk membuka hijabnya. Dirga mengajaknya masuk lalu menunjukkan letak kamar tamu.“Ya udah aku ke masjid dulu. Pintu depan kututup. Kamu tutup aja pintu kamar ini.” Perintah Dirga yang direspon Dinaya dengan anggukan samar.Setelah Dirga pergi, Dinaya melepas hijabnya sambil melihat ke sekeliling kamar. Kamar yang luas, sejuk, dan nyaman. Interior kamar sangat simple dengan p
“Maaf Dinaya ... Maaf, tapi tolong ikuti instruksiku sekali ini saja. Please ... Situasinya darurat. Nanti aku jelasin semua. Sama kamu dan dan sama dia. Tapi nggak sekarang. Oke?”Dinaya tak menjawab, tapi ia menuruti semua perintah Dirga untuk naik dan bersembunyi di kamar lantai dua.“Jangan keluar, jangan bersuara, jangan bergerak, pokoknya jangan sampai ketauan kamu ada di sini. Oke?”“Iya.” Dinaya hanya menjawab singkat dan langsung masuk ke kamar.Dirga bergegas menyembunyikan ransel dan sepatu Dinaya di dalam lemari kamar tamu, lalu bersikap setenang mungkin agar Cindy tidak curiga. Mobil yang dikendarai calon istrinya itu sudah tiba di depan rumah dan sosok wanita mungil yang cantik keluar dari sana.“Aku capek banget sayang.” Cindy langsung masuk ke rumah tanpa mengucap salam. Ia melempar begitu saja baju yang akan dikenakan orang tua Dirga saat akad nikah nanti ke sofa.“Kamu darimana? Kok capek?” tanya Dirga sambil mencoba mengatasi kegugupannya.“Aku syuting seharian. Ada
“Kamu lajang, bukan duda, belum pernah menikah, tapi punya anak sebesar itu?”“Sebentar ... Cindy, kita bicara pelan pelan, biar aku jelaskan. Ayo duduk dulu.”“Tadi kamu bilang tes DNA? Berarti kamu belum yakin dia anak kamu? Kamu nggak menyangkal di awal, artinya kamu ngerasa pernah tidur dengan perempuan sampai hamil kan? Aku jadi takut, siapa tau setelah ini ada sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh anak lagi yang datang dan ngaku anak kamu kan? Berapa banyak sih perempuan yang udah kamu tiduri?”“Cindy! Aku nggak sebrengsek itu. Makanya dengerin dulu!”“Kalau kamu nggak sebrengsek itu, nggak mungkin kamu ragu ragu dia anak kamu apa bukan. Kamu langsung aja bilang kamu bukan bapaknya karena kamu nggak pernah tidur sama perempuan manapun. Tapi ini nggak kan, kamu ragu kan? Berarti kamu emang brengsek yang pernah menghamili orang! Mana anaknya udah segede ini. Umur berapa kamu main cewek? SMP? SMA? Gila!” Cindy semakin mengamuk dan menuding Dirga habis habisan sampai lelaki itu tak bis
“Aku nggak sejahat itu Cindy. Aku bukan laki laki nggak punya moral yang sembarangan tidur dengan wanita seperti yang kamu tuduhkan! Aku khilaf hanya satu kali, dan itupun aku nggak tau Annaya hamil. Kalau aku tau, aku pasti tanggung jawab!”“Alasan!”“Cindy, aku sudah jujur tapi kamu yang nggak mau terima. Terus mau kamu apa?”“Aku mau pernikahan ini batal. Aku kecewa sama kamu.”“Oke, aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bermaksud merahasiakan ini, karena memang aku juga nggak tau Annaya hamil. Apa nggak kamu kesampingkan dulu emosi kamu dan kita pikirkan lagi?”“Aku kecewa! Asal kamu tau ya, untuk nerima lamaran kamu itu, aku nolak banyak lamaran laki laki lain yang lebih menjanjikan masa depan yang cerah buat aku! Banyak banget laki laki yang mau nikah sama aku, bukan cuma kamu!”“Tapi kita saling mencintai Cindy.”“Makan tuh cinta! Buat aku masa depan lebih penting dari cinta! Kamu juga nggak cinta sama aku. Kalau kamu cinta, kamu udah jujur dari awal kalau kamu u
“Maaf ya Om, bukannya aku mau ikut campur masalah pribadi Om. Tapi aku cuma mau bilang, kalau aku jadi Om, aku bersyukur nggak jadi nikah sama orang kayak gitu,” tukas Dinaya dengan wajah cemberut. Dirga diam saja dan membiarkan Dinaya meluapkan kekesalannya. Gadis itu pasti marah sekali saat ibunya dihina oleh Cindy.Dirga sebenarnya ikut kesal karena dua tuduhan Cindy. Yang pertama, Cindy menuduhnya tidur dengan banyak wanita padahal faktanya Dirga hanya melakukannya sekali dengan Annaya dan itu karena ia benar benar khilaf. Yang kedua, Cindy menuduh Annaya perempuan yang ditiduri banyak lelaki. Dirga kesal karena tau itu tuduhan yang salah. Dirga tau betul siapa Annaya dan dia gadis terhormat yang dididik dengan sangat baik. Kalaupun saat itu Annaya sampai terjerumus, Dirga bersedia disalahkan karena itu memang kekhilafannya.“Lagian nih ya, aku mau tanya. Om beneran cumlaude fakultas kedokteran?” tanya Dinaya dengan tatapan curiga. Dirga jelas bingung dengan pertanyaan random Dinay
“TES DNA PATERNITAS??”“Ssssstttt!” Dirga buru buru membekap mulut Rio sambil melihat sekeliling.“Heh! Aku udah bisik bisik kamu malah teriak!” bentak Dirga masih dengan volume suara direndahkan. Dirga makin kesal karena membentak tapi berbisik itu benar benar menyebalkan.“Sorry sorry, Ga. Abisnya kaget. Kamu ngapain mau tes DNA paternitas? Kamu punya anak?” tanya Rio dengan ekpresi penuh rasa ingin tau.Dirga menghela nafas berat. Ini yang dia takutkan. Pasti Rio akan penasaran dan terus berusaha mengulik semua informasi sampai ke akar akarnya. Mana mungkin seorang Alfan Desrio bersedia dengan sukarela memenuhi permintaan Dirga tanpa bertanya macam macam. Dan yang lebih Dirga takutkan lagi, kalau Rio sudah tau, pasti Dillo dan Fharez juga ikut tau. Mereka berempat sudah seperti empat jiwa dalam satu tubuh. Kalau satu punya rahasia, yang tiga pasti akan mencecar sampai jadi rahasia bersama.Tapi apa boleh buat, tanpa bantuan Rio, Dirga tidak mungkin bisa melakukan tes DNA paternitas