Beranda / Romansa / PAPAKU MASIH BUJANGAN / 4. CERITA MASA LALU

Share

4. CERITA MASA LALU

“Oke. Besok kita test DNA.” Dirga memutuskan dengan cepat.

Pasrah sajalah. Mau bagaimana lagi. Cepat atau lambat aku juga akan tau bocah ini anakku atau bukan. Batin Dirga dengan kepala yang sudah sangat pusing. Dinaya pun merespon dengan anggukan cepat.

“Udah maghrib. Kita sholat dulu, terus nanti lanjut ngobrol lagi sambil makan. Oke?” ajak Dirga yang langsung diiyakan Dinaya. Gadis itu meletakkan ranselnya dengan hati hati di sudut sofa, lalu berdiri dengan bingung.

“Oh, sini ikut aku. Kamu wudhu dan sholat di kamar tamu aja, di dalam kamar ada kamar mandinya,” ajak Dirga. Dia sadar Dinaya butuh ruang tertutup untuk membuka hijabnya. Dirga mengajaknya masuk lalu menunjukkan letak kamar tamu.

“Ya udah aku ke masjid dulu. Pintu depan kututup. Kamu tutup aja pintu kamar ini.” Perintah Dirga yang direspon Dinaya dengan anggukan samar.

Setelah Dirga pergi, Dinaya melepas hijabnya sambil melihat ke sekeliling kamar. Kamar yang luas, sejuk, dan nyaman. Interior kamar sangat simple dengan perpaduan warna hitam, putih, dan merah. Bundanya sudah memberitahu Dinaya warna favorit Dirga, dan sekarang Dinaya membuktikan dengan mata kepalanya sendiri kalau ucapan sang Bunda tepat 100%.

Selesai shalat, Dinaya berbaring sebentar di tempat tidur. Ia lelah sekali. Sejak sang Bunda meninggal, ia sibuk kesana kemari dan tak sempat istirahat. Dinaya hanya tidur sebentar di kereta karena kelelahan menangis. Tapi Dinaya berjanji pada Bunda dan dirinya sendiri bahwa ia tak akan cengeng dan tak akan menangis lagi.

“Dinaya?”

Terdengar samar suara Dirga dan ketukan pelan di pintu kamar. Buru buru Dinaya bangun dari tempat tidur dan membuka pintu.

“Kamu udah sholat?” tanya Dirga yang dijawab Dinaya dengan anggukan kecil.

“Kamu mau makan apa?” tanya Dirga lagi.

“Apa aja Om,” jawab Dinaya cepat.

“Seafood mau?”

“Mau.”

“Oke. Tapi delivery aja nggak apa apa kan? Kita makan di rumah aja ya. Kita harus ngobrol banyak dan butuh tempat yang privat. Kamu nggak keberatan kan?” tanya Dirga hati hati. Lagi lagi Dinaya menjawab dengan anggukan.

Dirga memesan makanan di aplikasi ojek online dengan cepat. Lalu dia mengajak Dinaya duduk di kursi yang ada di ruang makan. Dinaya mengikuti Dirga dengan patuh.

Mereka duduk berhadapan di ruang makan. Meja makan itu kosong. Hanya ada dua botol air mineral dan dua cangkir teh hangat yang terhidang. Entah kapan Dirga membuat teh itu.

Dinaya hanya melihat sekeliling dengan canggung, sementara Dirga sejak tadi hanya duduk sambil menghela nafas. Keheningan mulai terasa dan membuat keduanya semakin merasa canggung.

Sebenarnya puluhan, bahkan ratusan pertanyaan tumpang tindih di benak Dirga. Tapi gara gara terlalu banyak yang membuatnya penasaran, Dirga sampai bingung sendiri harus mulai dari mana.

“Jadi kamu beneran cuma bilang sama Bundamu kalau kamu ke sini? Keluargamu yang lain nggak ada yang tau kalau kamu ke Jakarta?” Dirga bertanya hal tiba-tiba terlintas di benaknya.

“Aku nggak punya keluarga.” Dinaya menjawab singkat.

“Hah? Kamu punya nenek dan kakek kan di Jogja? Mereka masih ada kan?” tanya Dirga bingung. Terbayang wajah Bu Ningrum dan Pak Ahsan, orang tua Annaya yang juga pemilik rumah kost tempat Dirga tinggal dulu saat di Jogja.

“Aku nggak tau. Bunda ngajak ke Jogja untuk nyari mereka berdua. Tapi rumah Eyang dulu sudah nggak ada. Waktu kami ke sana, rumah itu sudah berubah total dan pemiliknya sama sekali nggak kenal Bunda. Kata si pemilik rumah, Bapaknya yang beli rumah itu dari pemilik lama sekitar tiga belas tahun yang lalu. Dan Eyang nggak tau pindah kemana,” jawab Dinaya lirih. Gadis itu setengah mati berusaha menyembunyikan getaran suaranya agat tidak terlihat sedih.

“Ya Allah ... Terus gimana? Bundamu ... meninggal ...”Kalimat Dirga terjeda karena terdengar suara driver ojol yang mengantarkan makanan mereka berdua.

Dirga buru-buru mengambil makan malam itu dan menghidangkannya di meja. Aroma seafood menguar ke seluruh ruangan. Sangat menggiurkan, tapi Dirga malah kehilangan selera makan gara-gara mendengar cerita Dinaya.

“Bunda didiagnosa kanker lambung tahun lalu. Dan ternyata sudah parah. Mungkin Bunda sadar umurnya nggak lama lagi, akhirnya Bunda cerita semua sama aku. Bunda takut kalau dia meninggal aku sebatang kara dan nggak punya keluarga. Bunda cerita pelan pelan siapa dia sebenarnya, siapa ayah kandungku, kenapa Bunda bisa hamil, kenapa kami sampai tinggal di Semarang, dan siapa keluarga kami.”

Cerita Dinaya seperti melubangi hati Dirga. Dia kasihan sekali pada Annaya dan Dinaya. Tak tega mendengar cerita gadis ini tentang dirinya dan juga sang Bunda.

“Bunda cerita, dia panik dan takut saat tau kalau aku ada di perutnya. Itu sebabnya Bunda menyembunyikan semuanya sendirian sampai usia kehamilannya lima bulan.”

“LIMA BULAN? Kenapa dia nggak bilang ke aku? Kalau memang sedang mengandung anakku, harusnya dia bilang kan?” tanya Dirga emosi. Dirga menghitung dalam hati, peristiwa malam itu terjadi saat pengumuman kelulusannya. Dan tak lama setelah itu Dirga pindah ke Jakarta karena diterima di universitas favoritnya. Ia dan Annaya masih berkomunikasi selama beberapa bulan setelah kepindahan Dirga ke Jakarta. Bahkan mereka sempat bertemu di Jogja saat Dirga mengurus surat surat di sekolahnya. Saat itu, seperti yang Dirga bilang, perut Annaya terlihat rata dan tak ada tanda tanda kehamilan. Padahal kalau dihitung hitung, saat itu sudah masuk bulan ke empat kehamilannya.

Dan ternyata pertemuan itu menjadi pertemuan terakhir mereka sekaligus awal dari putusnya komunikasi di antara mereka berdua. Sebab Annaya tiba tiba menghilang, tak bisa dihubungi, dan lenyap bagai ditelan bumi.

Dirga masih terus mencari dan berusaha menghubungi Annaya. Tapi hasilnya nihil. Sampai akhirnya, Dirga lelah mencari dan perlahan lahan sosok Annaya memudar lalu menghilang dari ingatannya.

“Waktu itu Bunda takut Om mati.”

“Hah?”

“Iya. Kata Bunda, kalau sampai Eyang tau siapa ayah dari bayi yang dikandungnya, orang itu pasti mati di tangan Eyang.”

Seketika bulu kuduk Dirga meremang. Dia sering melihat Pak Ahsan duduk di teras dan membersihkan senapan senapan miliknya yang masih terawat. Bagaimana kalau salah satu senapan itu meletus dan melubangi kepalanya?

Belum selesai ketakutan Dirga, tiba tiba saja ia dikejutkan dengan suara ponselnya sendiri. Pembicaraan mereka terjeda lagi. Dirga mengatur nafas dan buru buru melirik layar ponselnya.

Satu nama yang terlihat di layar ponsel membuat Dirga pucat pasi. Jantungnya seolah melompat ke leher dan perutnya mendadak mulas.

Yang menelepon Dirga adalah Cindy. Calon istrinya yang akan dia nikahi 3 hari lagi.

“Halo?”

Sayang kamu di rumah kan? Aku ke sana sekarang ya, mau nganterin baju buat Bapak sama Ibu. Besok mereka datang kan?

“I-Iya tapi ...”

Ngobrolnya ntar aja di rumah aja deh. Aku udah masuk perempatan kompleks nih. Kututup ya.

Telepon terputus, nafas Dirga pun seolah nyaris putus.

Cindy mau ke sini? Mati aku!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status