“Oke. Besok kita test DNA.” Dirga memutuskan dengan cepat.
Pasrah sajalah. Mau bagaimana lagi. Cepat atau lambat aku juga akan tau bocah ini anakku atau bukan. Batin Dirga dengan kepala yang sudah sangat pusing. Dinaya pun merespon dengan anggukan cepat.
“Udah maghrib. Kita sholat dulu, terus nanti lanjut ngobrol lagi sambil makan. Oke?” ajak Dirga yang langsung diiyakan Dinaya. Gadis itu meletakkan ranselnya dengan hati hati di sudut sofa, lalu berdiri dengan bingung.
“Oh, sini ikut aku. Kamu wudhu dan sholat di kamar tamu aja, di dalam kamar ada kamar mandinya,” ajak Dirga. Dia sadar Dinaya butuh ruang tertutup untuk membuka hijabnya. Dirga mengajaknya masuk lalu menunjukkan letak kamar tamu.
“Ya udah aku ke masjid dulu. Pintu depan kututup. Kamu tutup aja pintu kamar ini.” Perintah Dirga yang direspon Dinaya dengan anggukan samar.
Setelah Dirga pergi, Dinaya melepas hijabnya sambil melihat ke sekeliling kamar. Kamar yang luas, sejuk, dan nyaman. Interior kamar sangat simple dengan perpaduan warna hitam, putih, dan merah. Bundanya sudah memberitahu Dinaya warna favorit Dirga, dan sekarang Dinaya membuktikan dengan mata kepalanya sendiri kalau ucapan sang Bunda tepat 100%.
Selesai shalat, Dinaya berbaring sebentar di tempat tidur. Ia lelah sekali. Sejak sang Bunda meninggal, ia sibuk kesana kemari dan tak sempat istirahat. Dinaya hanya tidur sebentar di kereta karena kelelahan menangis. Tapi Dinaya berjanji pada Bunda dan dirinya sendiri bahwa ia tak akan cengeng dan tak akan menangis lagi.
“Dinaya?”
Terdengar samar suara Dirga dan ketukan pelan di pintu kamar. Buru buru Dinaya bangun dari tempat tidur dan membuka pintu.
“Kamu udah sholat?” tanya Dirga yang dijawab Dinaya dengan anggukan kecil.
“Kamu mau makan apa?” tanya Dirga lagi.
“Apa aja Om,” jawab Dinaya cepat.
“Seafood mau?”
“Mau.”
“Oke. Tapi delivery aja nggak apa apa kan? Kita makan di rumah aja ya. Kita harus ngobrol banyak dan butuh tempat yang privat. Kamu nggak keberatan kan?” tanya Dirga hati hati. Lagi lagi Dinaya menjawab dengan anggukan.
Dirga memesan makanan di aplikasi ojek online dengan cepat. Lalu dia mengajak Dinaya duduk di kursi yang ada di ruang makan. Dinaya mengikuti Dirga dengan patuh.
Mereka duduk berhadapan di ruang makan. Meja makan itu kosong. Hanya ada dua botol air mineral dan dua cangkir teh hangat yang terhidang. Entah kapan Dirga membuat teh itu.
Dinaya hanya melihat sekeliling dengan canggung, sementara Dirga sejak tadi hanya duduk sambil menghela nafas. Keheningan mulai terasa dan membuat keduanya semakin merasa canggung.
Sebenarnya puluhan, bahkan ratusan pertanyaan tumpang tindih di benak Dirga. Tapi gara gara terlalu banyak yang membuatnya penasaran, Dirga sampai bingung sendiri harus mulai dari mana.
“Jadi kamu beneran cuma bilang sama Bundamu kalau kamu ke sini? Keluargamu yang lain nggak ada yang tau kalau kamu ke Jakarta?” Dirga bertanya hal tiba-tiba terlintas di benaknya.
“Aku nggak punya keluarga.” Dinaya menjawab singkat.
“Hah? Kamu punya nenek dan kakek kan di Jogja? Mereka masih ada kan?” tanya Dirga bingung. Terbayang wajah Bu Ningrum dan Pak Ahsan, orang tua Annaya yang juga pemilik rumah kost tempat Dirga tinggal dulu saat di Jogja.
“Aku nggak tau. Bunda ngajak ke Jogja untuk nyari mereka berdua. Tapi rumah Eyang dulu sudah nggak ada. Waktu kami ke sana, rumah itu sudah berubah total dan pemiliknya sama sekali nggak kenal Bunda. Kata si pemilik rumah, Bapaknya yang beli rumah itu dari pemilik lama sekitar tiga belas tahun yang lalu. Dan Eyang nggak tau pindah kemana,” jawab Dinaya lirih. Gadis itu setengah mati berusaha menyembunyikan getaran suaranya agat tidak terlihat sedih.
“Ya Allah ... Terus gimana? Bundamu ... meninggal ...”Kalimat Dirga terjeda karena terdengar suara driver ojol yang mengantarkan makanan mereka berdua.
Dirga buru-buru mengambil makan malam itu dan menghidangkannya di meja. Aroma seafood menguar ke seluruh ruangan. Sangat menggiurkan, tapi Dirga malah kehilangan selera makan gara-gara mendengar cerita Dinaya.
“Bunda didiagnosa kanker lambung tahun lalu. Dan ternyata sudah parah. Mungkin Bunda sadar umurnya nggak lama lagi, akhirnya Bunda cerita semua sama aku. Bunda takut kalau dia meninggal aku sebatang kara dan nggak punya keluarga. Bunda cerita pelan pelan siapa dia sebenarnya, siapa ayah kandungku, kenapa Bunda bisa hamil, kenapa kami sampai tinggal di Semarang, dan siapa keluarga kami.”
Cerita Dinaya seperti melubangi hati Dirga. Dia kasihan sekali pada Annaya dan Dinaya. Tak tega mendengar cerita gadis ini tentang dirinya dan juga sang Bunda.
“Bunda cerita, dia panik dan takut saat tau kalau aku ada di perutnya. Itu sebabnya Bunda menyembunyikan semuanya sendirian sampai usia kehamilannya lima bulan.”
“LIMA BULAN? Kenapa dia nggak bilang ke aku? Kalau memang sedang mengandung anakku, harusnya dia bilang kan?” tanya Dirga emosi. Dirga menghitung dalam hati, peristiwa malam itu terjadi saat pengumuman kelulusannya. Dan tak lama setelah itu Dirga pindah ke Jakarta karena diterima di universitas favoritnya. Ia dan Annaya masih berkomunikasi selama beberapa bulan setelah kepindahan Dirga ke Jakarta. Bahkan mereka sempat bertemu di Jogja saat Dirga mengurus surat surat di sekolahnya. Saat itu, seperti yang Dirga bilang, perut Annaya terlihat rata dan tak ada tanda tanda kehamilan. Padahal kalau dihitung hitung, saat itu sudah masuk bulan ke empat kehamilannya.
Dan ternyata pertemuan itu menjadi pertemuan terakhir mereka sekaligus awal dari putusnya komunikasi di antara mereka berdua. Sebab Annaya tiba tiba menghilang, tak bisa dihubungi, dan lenyap bagai ditelan bumi.
Dirga masih terus mencari dan berusaha menghubungi Annaya. Tapi hasilnya nihil. Sampai akhirnya, Dirga lelah mencari dan perlahan lahan sosok Annaya memudar lalu menghilang dari ingatannya.
“Waktu itu Bunda takut Om mati.”
“Hah?”
“Iya. Kata Bunda, kalau sampai Eyang tau siapa ayah dari bayi yang dikandungnya, orang itu pasti mati di tangan Eyang.”
Seketika bulu kuduk Dirga meremang. Dia sering melihat Pak Ahsan duduk di teras dan membersihkan senapan senapan miliknya yang masih terawat. Bagaimana kalau salah satu senapan itu meletus dan melubangi kepalanya?
Belum selesai ketakutan Dirga, tiba tiba saja ia dikejutkan dengan suara ponselnya sendiri. Pembicaraan mereka terjeda lagi. Dirga mengatur nafas dan buru buru melirik layar ponselnya.
Satu nama yang terlihat di layar ponsel membuat Dirga pucat pasi. Jantungnya seolah melompat ke leher dan perutnya mendadak mulas.
Yang menelepon Dirga adalah Cindy. Calon istrinya yang akan dia nikahi 3 hari lagi.
“Halo?”
“Sayang kamu di rumah kan? Aku ke sana sekarang ya, mau nganterin baju buat Bapak sama Ibu. Besok mereka datang kan?”
“I-Iya tapi ...”
“Ngobrolnya ntar aja di rumah aja deh. Aku udah masuk perempatan kompleks nih. Kututup ya.”
Telepon terputus, nafas Dirga pun seolah nyaris putus.
Cindy mau ke sini? Mati aku!
“Maaf Dinaya ... Maaf, tapi tolong ikuti instruksiku sekali ini saja. Please ... Situasinya darurat. Nanti aku jelasin semua. Sama kamu dan dan sama dia. Tapi nggak sekarang. Oke?”Dinaya tak menjawab, tapi ia menuruti semua perintah Dirga untuk naik dan bersembunyi di kamar lantai dua.“Jangan keluar, jangan bersuara, jangan bergerak, pokoknya jangan sampai ketauan kamu ada di sini. Oke?”“Iya.” Dinaya hanya menjawab singkat dan langsung masuk ke kamar.Dirga bergegas menyembunyikan ransel dan sepatu Dinaya di dalam lemari kamar tamu, lalu bersikap setenang mungkin agar Cindy tidak curiga. Mobil yang dikendarai calon istrinya itu sudah tiba di depan rumah dan sosok wanita mungil yang cantik keluar dari sana.“Aku capek banget sayang.” Cindy langsung masuk ke rumah tanpa mengucap salam. Ia melempar begitu saja baju yang akan dikenakan orang tua Dirga saat akad nikah nanti ke sofa.“Kamu darimana? Kok capek?” tanya Dirga sambil mencoba mengatasi kegugupannya.“Aku syuting seharian. Ada
“Kamu lajang, bukan duda, belum pernah menikah, tapi punya anak sebesar itu?”“Sebentar ... Cindy, kita bicara pelan pelan, biar aku jelaskan. Ayo duduk dulu.”“Tadi kamu bilang tes DNA? Berarti kamu belum yakin dia anak kamu? Kamu nggak menyangkal di awal, artinya kamu ngerasa pernah tidur dengan perempuan sampai hamil kan? Aku jadi takut, siapa tau setelah ini ada sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh anak lagi yang datang dan ngaku anak kamu kan? Berapa banyak sih perempuan yang udah kamu tiduri?”“Cindy! Aku nggak sebrengsek itu. Makanya dengerin dulu!”“Kalau kamu nggak sebrengsek itu, nggak mungkin kamu ragu ragu dia anak kamu apa bukan. Kamu langsung aja bilang kamu bukan bapaknya karena kamu nggak pernah tidur sama perempuan manapun. Tapi ini nggak kan, kamu ragu kan? Berarti kamu emang brengsek yang pernah menghamili orang! Mana anaknya udah segede ini. Umur berapa kamu main cewek? SMP? SMA? Gila!” Cindy semakin mengamuk dan menuding Dirga habis habisan sampai lelaki itu tak bis
“Aku nggak sejahat itu Cindy. Aku bukan laki laki nggak punya moral yang sembarangan tidur dengan wanita seperti yang kamu tuduhkan! Aku khilaf hanya satu kali, dan itupun aku nggak tau Annaya hamil. Kalau aku tau, aku pasti tanggung jawab!”“Alasan!”“Cindy, aku sudah jujur tapi kamu yang nggak mau terima. Terus mau kamu apa?”“Aku mau pernikahan ini batal. Aku kecewa sama kamu.”“Oke, aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bermaksud merahasiakan ini, karena memang aku juga nggak tau Annaya hamil. Apa nggak kamu kesampingkan dulu emosi kamu dan kita pikirkan lagi?”“Aku kecewa! Asal kamu tau ya, untuk nerima lamaran kamu itu, aku nolak banyak lamaran laki laki lain yang lebih menjanjikan masa depan yang cerah buat aku! Banyak banget laki laki yang mau nikah sama aku, bukan cuma kamu!”“Tapi kita saling mencintai Cindy.”“Makan tuh cinta! Buat aku masa depan lebih penting dari cinta! Kamu juga nggak cinta sama aku. Kalau kamu cinta, kamu udah jujur dari awal kalau kamu u
“Maaf ya Om, bukannya aku mau ikut campur masalah pribadi Om. Tapi aku cuma mau bilang, kalau aku jadi Om, aku bersyukur nggak jadi nikah sama orang kayak gitu,” tukas Dinaya dengan wajah cemberut. Dirga diam saja dan membiarkan Dinaya meluapkan kekesalannya. Gadis itu pasti marah sekali saat ibunya dihina oleh Cindy.Dirga sebenarnya ikut kesal karena dua tuduhan Cindy. Yang pertama, Cindy menuduhnya tidur dengan banyak wanita padahal faktanya Dirga hanya melakukannya sekali dengan Annaya dan itu karena ia benar benar khilaf. Yang kedua, Cindy menuduh Annaya perempuan yang ditiduri banyak lelaki. Dirga kesal karena tau itu tuduhan yang salah. Dirga tau betul siapa Annaya dan dia gadis terhormat yang dididik dengan sangat baik. Kalaupun saat itu Annaya sampai terjerumus, Dirga bersedia disalahkan karena itu memang kekhilafannya.“Lagian nih ya, aku mau tanya. Om beneran cumlaude fakultas kedokteran?” tanya Dinaya dengan tatapan curiga. Dirga jelas bingung dengan pertanyaan random Dinay
“TES DNA PATERNITAS??”“Ssssstttt!” Dirga buru buru membekap mulut Rio sambil melihat sekeliling.“Heh! Aku udah bisik bisik kamu malah teriak!” bentak Dirga masih dengan volume suara direndahkan. Dirga makin kesal karena membentak tapi berbisik itu benar benar menyebalkan.“Sorry sorry, Ga. Abisnya kaget. Kamu ngapain mau tes DNA paternitas? Kamu punya anak?” tanya Rio dengan ekpresi penuh rasa ingin tau.Dirga menghela nafas berat. Ini yang dia takutkan. Pasti Rio akan penasaran dan terus berusaha mengulik semua informasi sampai ke akar akarnya. Mana mungkin seorang Alfan Desrio bersedia dengan sukarela memenuhi permintaan Dirga tanpa bertanya macam macam. Dan yang lebih Dirga takutkan lagi, kalau Rio sudah tau, pasti Dillo dan Fharez juga ikut tau. Mereka berempat sudah seperti empat jiwa dalam satu tubuh. Kalau satu punya rahasia, yang tiga pasti akan mencecar sampai jadi rahasia bersama.Tapi apa boleh buat, tanpa bantuan Rio, Dirga tidak mungkin bisa melakukan tes DNA paternitas
“Sebentar ... Dinaya ... Jangan mikir macam macam. Ini bukan salah kamu dan kamu nggak perlu ngera bersalah atau apa. Aku mungkin memang kaget dan semua serba kacau, tapi itu bukan salah kamu. Aku percaya jalan takdir dan semua pasti sudah ditentukan Allah. Jadi kalaupun nggak ada kamu, pasti aku juga nggak akan menikah dengan Cindy kalau dia memang jodohku. Jadi jangan pernah punya pikiran buruk ya?” Dirga langsung panik dan menasehati Dinaya panjang lebar. Dirga bahkan menepikan mobilnya agak bisa fokus bicara dengan Dinaya.“Hah? Pikiran buruk gimana maksud Om?” tanya Dinaya bingung.“I-itu tadi? Yang kamu bilang mau ikut yang lain selain ikut aku? Kata kamu mau nyusul bunda kamu?” kali ini Dirga yang bingung, apa anak ini amnesia sampai lupa apa yang dikatakannya beberapa detik yang lalu?“Loh? Memangnya ikut yang lain dan menyusul bunda itu sama aja berpikir buruk dan macam macam Om?”Kali ini ekspresi keduanya sama. Sama sama heran, sama sama bingung, dan sama sama penasaran. Din
“Ga, dia anakmu.”Hanya satu kalimat yang diucapkan Rio. Tapi Dirga merasa jiwanya tercabut paksa dari jasadnya detik itu juga.“A-anakku, Yo?“Iya hasilnya 99,99% tuh. Tak terbantahkan.”Dirga memeriksa kertas yang diberikan Rio padanya. Surat keterangan dari laboratorium yang jelas menunjukkan angka 99,99% kecocokan DNA antara dirinya dan Dinaya.“Ga?”“Hmm …”“Are you ok?”“Menurut ente?” bentak Dirga kesal. Kondisi sedang pusing begini, Rio malah berusaha memvalidasi perasaan Dirga yang jelas jelas kalut. Bagaimana mungkin Dirga bisa baik baik saja padahal sekarang dia mendadak duda?“Kalau manusia kayak aku gini disebutnya apa sih, Yo?”“Mmmm … bangsat mungkin? Atau bajjingan?” Rio mencoba mencairkan suasana dengan bercanda, tapi sebenarnya salah satu sisi hati Rio memang kesal dan tak habis pikir. Bagaimana mungkin Dirga bisa tak tau kalau selama ini dia punya anak? Dia memproduksi Dinaya, lalu meninggalkan ibunya begitu saja sampai si anak datang meminta pertanggung jawaban bapa
“Pe-Peristiwa kematian?” tanya Dillo gugup. Apapun yang berkaitan dengan kematian selalu membuatnya tak nyaman. Entah itu orang mati, hewan mati, bahkan pohon mati. Tak hanya itu, meski tubuhnya kekar dan wajahnya sangar, Dillo juga takut sekali dengan setan, hantu, demit, dan sejenisnya. Alasannya karena para demit itu invisible dan tak bisa dideteksi keberadaannya.“Iya, hari itu semua mati dan aku terjebak berdua dengan Annaya di rumahnya. Hanya berdua, Pak Ahsan dan Bu Ningrum pergi ke Pekalongan. Mbok Parmi dan anaknya yang biasa bantu bantu di rumah Annaya sudah pulang karena saat itu sudah jam 10 malam.”“Terus siapa yang mati?”“Sabar dong! Biar dia terusin dulu!” bentak Rio yang kesal karena Dillo terus bertanya. Dillo memang penggambaran sempurna untuk tokoh film horor. Penakut tapi selalu penasaran.“Tetangga di dekat kost yang meninggal. Meninggalnya dikeroyok warga. Jadi ceritanya si tetangga ini problematik memang. Tukang mabok, bandar judi, narkoba pula. Dan terakhir kat
“Dia itu anak tirinya adik Mami.”“Hah? Gimana gimana?” tanya Aufa. Dia memang paling benci mengurai silsilah keluarga. Apalagi kalau sudah keluarga jauh yang rumit.“Jadi sebenarnya si Lala itu bukan sepupu langsung. Dia itu anak tirinya adik Mamiku. Jadi, Om Karel itu menikah dengan janda beranak satu. Anak janda itu ya si Lala. Salah satu bisnis Om Karel kan dealer mobil, nah si Tante ini dulu kerja jadi SPG di sana. Entah gimana, Om Karel malah nikahin dia. Hampir seluruh keluarga besar Mami nggak setuju. Bukan karena statusnya yang janda atau profesinya yang SPG, tapi karena kelakuannya ya ampuuun! Nggak banget! Belum apa apa udah keliatan banget matrenya. Oma yang paling nggak setuju. Masa dia ke acara keluarga bajunya kayak LC mau open BO? Nggak punya otak!” cibir Shelly.“Oooh, jadi bukan sepupu kandung. Cuma sepupu karena ikatan pernikahan aja. Syukurlah,” sahut Aufa sambil menghela nafas lega. Tak terbayang kalau Shelly ternyata benar benar sepupu kandung perempuan mengerika
“Hei! Bangun pemalaaaass!”Dinaya masih meringkuk di balik selimutnya yang nyaman dan hangat saat suara melengking nyaring dan sama sekali tak merdu itu tiba tiba merusak suasana. Aufa mendadak muncul dan menarik selimut Dinaya sampai gadis itu mengerang kesal.“Aaaah! Aku masih ngantuk, Fa,” protes Dinaya. Semalam dia tak bisa tidur, dan sehabis sholat subuh, Dinaya memutuskan untuk tidur sebentar dan minta bangunkan Bi Asih jam 9 pagi. Tapi bukannya Bi Asih yang membangunkannya dengan lembut, malah Aufa yang datang dengan teriakan tarzannya.“Anak gadis kok bangunnya siang, ntar jodohnya Om Om loh!” seru Aufa sambil menyibak selimut Dinaya sampai gadis itu terjaga sepenuhnya dan memelototi Aufa.“Sebentar lagi tahun 2025, kamu masih aja percaya mitos nggak masuk akal itu. Nggak ada relevansinya antara kebiasaan bangun siang dengan jodoh, Aufa! Terus kalau aku bangunnya sore jodohnya kakek kakek gitu? Gimana kalau aku bangun jam 3 pagi? Apa jodohku bocah SMP?” bantah Dinaya mematahka
Kalau ditanya kapan saat paling memalukan yang dialami Dinaya, dalam dua detik tanpa pikir panjang, dia pasti akan menjawab : tiga tahun yang lalu!Tiga tahun yang lalu, tepatnya tanggal 12 Desember adalah hari yang ingin sekali dihapus Dinaya dari ingatannya. Kalau bisa selama lamanya. Sayangnya itu mustahil. Manusia punya amygdala, dan fungsi bagian otak yang satu itu adalah mengingat dan menyimpan memory yang berkaitan dengan emosi dan itu tentu saja dalam dalam jangka waktu yang lama. Itu sebabnya Dinaya tak pernah bisa melupakan peristiwa memalukan itu walaupun setengah mati ia mengusirnya.Dan sekarang, manusia yang punya andil paling besar membentuk kejadian memalukan itu ada di hadapannya entah darimana datangnya. Baru beberapa menit Dinaya menginjak bumi setelah terbang 15 jam dari London – Singapore – Jakarta sejauh lebih dari 11.000 km, tiba tiba saja makhluk paling menyebalkan itu berdiri di depannya dengan senyum memuakkannya. Argh!“Baru landing dari pesawat?” tanya lela
“Sayang? Udah tidur?” Dirga memanggil Reisha yang berbaring memunggunginya. Mata Dirga menatap langit langit kamar yang diterangi cahaya redup dari lampu tidur di sisi meja. Reisha yang belum tidur berbalik menghadap Dirga.“Baru mau tidur Mas. Kenapa? Mas nggak bisa tidur ya? Mas kepikiran sesuatu? Soal Naya ya?” tanya Reisha sambil berbalik menghadap Dirga. Ia kebetulan memang belum tidur.Dirga menghela nafas seolah menyimpan beban pikiran yang benar benar menghimpit dan membuat dadanya sesak. Tebakan Reisha benar, yang memenuhi beban pikiran Dirga memang Dinaya.“Rei, besok Naya pulang ke Jakarta, dan aku entah kenapa takut banget melepas dia,” ujar Dirga jujur.“Yang kamu takutkan apa, Mas?” tanya Reisha meskipun sedikit banyak ia sudah tau jawabannya.“Aku takut Naya ketemu lelaki yang salah. Di Jakarta dia sendirian, Rei. Nggak ada kita yang bisa jagain dan ngawasin dia. Apalagi kondisinya yang sering sakit setelah kecelakaan waktu itu. Tadi aja aku hampir ikut beli tiket ke Jak
Jangan jangan Papa tau sehari sebelum aku berangkat ke sini, aku menginap di apartemen Ghazi hanya ... berdua? Batin Dinaya panik.“Nay?” Dirga memanggil nama Dinaya karena putrinya itu tak merespon.“Eh i-iya, Pa,” jawab Dinaya gugup.“Kamu kenapa bengong?” tanya Dirga dengan tatapan curiga. Dinaya tau Dirga punya insting tajam. Dan biasanya apapun yang disembunyikan Dinaya, Dirga pasti tau.“Nggak kok Pa. Cuma aku udah ngantuk banget, Pa,” kilah Dinaya cepat. Tapi justru kebohongannya itu makin menambah kecurigaan Dirga.“Nay? Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu sama Papa kan?” tanya Dirga membuat Dinaya mengerang dalam hati.Aahh! Kan? Detektor kebohongannya menyala? Pasti Papa langsung tau aku bohong. Keluh Dinaya dalam hati. Sekarang dia pasrah seandainya Dirga pada akhirnya tau apa yang dilakukannya malam itu.“Nggak, Pa. Nyembunyiin apaan sih?” Dinaya masih mencoba mengelak.“Kamu jangan bikin Papa makin khawatir, Nay. Papa tau kamu nyembunyiin sesuatu. Nay, kamu sekarang jauh d
(Lima tahun kemudian)“Papaaa! Tolooong! Aduuuh!” Dinaya terhuyung jatuh dan lututnya membentur lantai dengan keras. Sementara pengejarnya makin beringas berusaha menangkap Dinaya yang sudah kelelahan.“Papaaaa! Mamaaa! Tolooong!” Dinaya terus berusaha berlari dengan nafas tersengal sengal, tapi dia kehilangan keseimbangan dan jatuh. Sekarang jarak antara Dinaya dan pengejarnya tinggal beberapa langkah saja. Dinaya tak sanggup lagi berdiri, dia sudah benar benar kelelahan.Salah satu pengejarnya mulai menarik tangan Dinaya dan gadis itu tak bisa berkutik. Lalu penyerang kedua mulai mengincar pinggangnya. Lalu ...“Kitik kitik kitik...”“Aaaah! Udah deeek! Geliiii! Papaaa tolongin Paaa ... Mereka berdua keroyokan nih. Aduuuh dek, geliiii!” Dinaya tertawa terbahak bahak saat Disha terus menggelitiki pinggangnya, sementara Shaga memegangi tangannya.Dirga yang melihat itu hanya tersenyum dan membiarkan Dinaya dikeroyok dua balita itu sampai kelelahan.“Shaga, Disha ... Udah udah, kakaknya
Tiga bapak bapak tampak duduk di sudut gedung resepsi pernikahan dengan mata sembab. Yang satu sibuk menyusut air matanya dengan sapu tangan, yang satu pura pura batuk agar terlihat sedang flu, seolah mata yang merah dan ingus yang keluar bukan karena menangis melainkan karena pilek. Sementara yang satu lagi sejak tadi terlihat minum air mineral sesekali. Entah sudah berapa botol tandas, dan ia bolak balik ke kamar kecil.“Kita kenapa sedih?” tanya Rio sambil menghapus air matanya dengan saputangan pink buatan sang istri. Saputangan itu sudah basah karena Rio sejak akad nikah tadi tak bisa menahan tangis.“Memangnya kamu nggak sedih?” tanya Dillo sambil membuang botol air mineral yang sudah kosong ke tempat sampah di sudut.“Aku cuma terharu. Mungkin dia yang sedih,” tunjuk Rio ke arah Farez“Hatttchii!”“Jangan pura pura pilek Rez! Kalau nangis ya nangis aja. Semua orang tau itu air mata dan ingus keluar gara gara nangis dari pagi,” bentak Dillo.“Kalian juga kenapa nangis? Terharu ka
(Satu bulan kemudian)“Naaah kaaan. Feeling saya itu tepat loh Mbak Tari. Dari awal entah kenapa saya yakin banget Dirga ini jodohnya Reisha,” ujar Bu Ambar dengan wajah sumringah. Sementara Bu Ratih duduk di sebelahnya dengan mata berkaca kaca.Dengan suasana haru yang masih menggantung di ruangan, Reisha dan keluarganya masih terlihat sumringah. Keceriaan terpancar dari setiap wajah, terutama Bu Ambar yang seakan-akan tidak berhenti mengulang kalimat penuh kepastian bahwa Reisha akhirnya bertemu dengan jodoh yang baik. Di satu sisi, Bu Ratih masih menyeka air matanya, teringat betapa berat perjalanan hidup keponakannya sejak kehilangan orang tua dan saudara kandungnya. Kini, Reisha akhirnya menemukan sosok pria yang mampu mengisi kekosongan itu, seorang pria yang tidak hanya tulus, tetapi juga datang dengan penuh niat baik. Bu Ratih menatap wajah Reisha dengan tatapan penuh kasih sayang.“Ya Allah, Nduk ... Reisha ... Ibu, Bapak, dan Mas mu pasti tenang di sana. Kamu sekarang udah ng
“Dinaya! Stop! Kalau kamu masih ketawa juga, papa potong uang saku kamu tiga bulan!!”“Hahahaha ... Iya iya maaf Papaaa. Abisnya papa lucu banget. Bisa bisanya papa mikir mau mati detik itu juga. Padahal kan papa nggak kenapa kenapa, cuma nggak bisa keluar doang. Astaga Papaaa ... Gemes banget sih papaku ini,” celoteh Dinaya saat mereka berdua sudah dalam perjalanan pulang ke rumah.Akhirnya semalam Dirga berhasil mengutarakan isi hatinya pada Reisha. Dan bisa ditebak, tentu saja Reisha mengiyakan meski dengan wajah bersemu merah.“Kamu bukannya khawatir papa hampir ketiban pohon, malah diketawain. Gimana sih?” omel Dirga sambil cemberut. Sementara Dinaya menahan tawa sampai wajahnya merah padam.“Maaf Papa. Abisnya lucu banget. Aku bukannya nggak khawatir, semalem pas denger kabar itu aku panik banget, tapi HP ku kan lowbatt. Terus kata Bu Indah semua baik baik aja dan Papa sama Miss Rei udah aman aman aja. Terus aku kan ngecharge HP, eeh ketiduran sampai pagi. Makanya nggak telepon