“Maaf Dinaya ... Maaf, tapi tolong ikuti instruksiku sekali ini saja. Please ... Situasinya darurat. Nanti aku jelasin semua. Sama kamu dan dan sama dia. Tapi nggak sekarang. Oke?”
Dinaya tak menjawab, tapi ia menuruti semua perintah Dirga untuk naik dan bersembunyi di kamar lantai dua.
“Jangan keluar, jangan bersuara, jangan bergerak, pokoknya jangan sampai ketauan kamu ada di sini. Oke?”
“Iya.” Dinaya hanya menjawab singkat dan langsung masuk ke kamar.
Dirga bergegas menyembunyikan ransel dan sepatu Dinaya di dalam lemari kamar tamu, lalu bersikap setenang mungkin agar Cindy tidak curiga. Mobil yang dikendarai calon istrinya itu sudah tiba di depan rumah dan sosok wanita mungil yang cantik keluar dari sana.
“Aku capek banget sayang.” Cindy langsung masuk ke rumah tanpa mengucap salam. Ia melempar begitu saja baju yang akan dikenakan orang tua Dirga saat akad nikah nanti ke sofa.
“Kamu darimana? Kok capek?” tanya Dirga sambil mencoba mengatasi kegugupannya.
“Aku syuting seharian. Ada tiga podcast dan satu acara TV. Abis itu langsung ngambil baju ini terus ke sini,” jawab Cindy sambil melihat sebotol air mineral yang sudah dibuka di atas meja.
“Ini punya siapa?” tanya Cindy sambil menunjuk ke arah botol air itu.
“Oh ... Ehm ... Itu tadi, Pak RT ke sini.”
“Pak RT? Ngapain? Oh ... kamu ngurusin surat surat buat dokumen pernikahan ya?”
“Iyaa!” Dirga menjawab dengan semangat.
“Harusnya aku udah nggak kemana mana nih sayang. Udah harus dipingit. Tapi ya gimana, kerjaan harus dikelarin semua, soalnya nanti pas bulan madu aku mau libur lama. Nggak mau diganggu kerjaan.”
“Iya. Tapi jangan terlalu capek. Kamu besok udah selesai urusan kerjaan kan? Gimana kalau besok kamu ke spa, terus ...”
“Oh iya! Untung kamu bilang spa. Aku baru inget, body cream aku yang kemarin dipake buat massage ketinggalan di kamar atas. Aku ambil dulu deh mumpung inget.”
Cindy bergegas berjalan menuju tangga dan langsung naik ke lantai atas. Dirga bagai tersengat listrik melihat Cindy tanpa basa basi langsung menuju kamar tempat Dinaya sembunyi.
Sementara di dalam kamar, Dinaya mendengar suara langkah kaki mendekat. Panik, kaget, dan gugup bercampur di benak Dinaya. Dia menoleh ke segala arah, mencari tempat menyembunyikan diri. Saat itu matanya tertuju pada sebuah lemari besar di sudut ruangan. Dinaya buru buru melompat ke arah lemari dan bergegas menyembunyikan dirinya di antara tumpukan selimut di dalam sana. Tepat pada saat itu, Cindy membuka pintu.
Dirga memejamkan mata dan bersiap dengan segala kemungkinan kalau Dinaya dan Cindy bertemu. Tapi saat membuka matanya, Dirga bingung melihat Dinaya tak tampak di segala sudut. Dirga menyisir seluruh kamar dengan tatapan tajam. Tapi tetap saja ia tak menemukan Dinaya. Hilang kemana anak itu?
“Ya udah sayang aku pulang dulu ya. Takut kemaleman. Besok kayaknya kita nggak bisa ketemu, aku mau perawatan di rumah, lagian kan besok mulai dipingit,” ujar Cindy dengan nada manja. Dirga memaksakan senyumnya dan mengantar Cindy sampai ke pintu mobilnya.
Setelah Cindy pulang, Dirga naik lagi ke lantai atas dan ia tetap tak menemukan Dinaya di kamar itu. Seketika Dirga kembali panik.
“Dinaya? Dinaya kamu dimana?” tanya Dirga sambil menyibak tirai, tapi Dinaya tetap tak ada.
“Aku di sini. Apa tante itu udah pulang?” Dirga mendengar suara Dinaya dari dalam lemari. Bergegas Dirga membuka pintu lemari dan menemukan Dinaya bersandar lemas di antara tumpukan selimut. Wajahnya berkeringat, kerudungnya basah, wajahnya cemberut, matanya melotot dan pipinya merah padam, perpaduan antara marah dan kepanasan.
“Maaf maaf maaf ... Ayo sini keluar.” Dirga membantu Dinaya berdiri dan gadis itu masih cemberut.
“Kamu nggak apa apa kan?” tanya Dirga tak enak hati. Tapi Dinaya tak menjawab. Dia kesal sekali karena mendadak harus bersembunyi di lemari yang gelap dan pengap.
Tadinya Dinaya berniat marah tapi perutnya bersuara. Sebuah sinyal kalau belum diisi apapun kecuali air putih sejak kemarin. Dirga yang mendengar suara perut Dinaya yang keroncongan buru buru mengajak gadis itu turun dan kembali menyantap makanan mereka yang tadi belum sempat dimakan.
“Itu tadi Cindy. Calon istriku. Tiga hari lagi kami akan menikah.” Dirga menjelaskan dengan jujur. Dinaya diam saja, ia sibuk mengunyah udang.
“Ya udah kita makan dulu aja deh, nanti kita ngobrol lagi. Masih banyak yang mau kutanyain sama kamu,” ujar Dirga sambil menyuap makanannya sendiri.
Selesai makan, Dinaya duduk diam sambil meminum jus mangga yang disuguhkan Dirga. Dinaya tak mengatakan apapun jika Dirga tak bertanya. Sementara Dirga bingung karena terlalu banyak hal yang ingin dia tanyakan pada Dinaya.
Dirga melirik jam dinding dan melihat jarum panjang sudah di angka dua belas, sementara jarum pendeknya mengarah ke angka sepuluh. Sudah lumayan larut, dan sekarang dia bingung harus bagaimana. Besok kedua orang tuanya datang dari kampung. Lusa menyusul keluarga yang lain. Mulai besok rumahnya pasti penuh dengan keluarga dan kerabat. Apa kata mereka kalau melihat Dinaya ada di sini?
“Apa rencana kamu setelah ini?” tanya Dirga.
“Aku nggak tau Om. Aku nggak kenal siapa siapa di Jakarta.”
“Kamu nggak niat kembali ke Semarang?”
“Di sana aku juga sendirian.”
Dirga menggaruk kepalanya mendengar jawaban Dinaya. Benar atau tidak anak ini darah dagingnya, tetap saja Dirga merasa punya tanggung jawab pada anak ini. Sekarang Dinaya hanya punya dirinya untuk tempat bergantung. Dia tak punya keluarga dan kerabat setelah ibunya meninggal dunia. Jadi sekarang bagaimana? Dinaya tak mungkin menginap di sini sebab besok pagi pagi sekali Dirga harus menjemput orang tuanya di bandara.
Dirga memutar otak. Harus dikemanakan anak ini?
“Kamu berani tidur sendiri di hotel?” tanya Dirga tiba-tiba. Dinaya berjengit mendengar pertanyaan Dirga. Dia takut tentu saja. Menginap di hotel sendirian di tengah hiruk pikuk kota Jakarta seketika membuat bulu kuduknya meremang. Bagaimana kalau ada orang jahat?
Dinaya melirik Dirga yang tampak kesal dan frustrasi. Dia berjalan mondar mandir, sesekali mengecek ponselnya sambil terus menghela nafas. Dinaya langsung merasa tak nyaman, seolah dirinya menjadi beban terbesar yang harus ditanggung Dirga saat itu.
“Om, aku mau tanya. Om masih nggak yakin aku ini anak Om?” tanya Dinaya tiba-tiba.
“Hah? Apa? Ntar dulu Dinaya. Bukan waktu yang tepat untuk bahas itu sekarang. Yang penting kamu ...”
“Kalau ternyata aku benar benar anak Om, selanjutnya gimana? Kalau hasil tes DNA membuktikan kita berdua ayah dan anak, apa Om mau tanggung jawab?”
“Apa? Ayah dan anak? Tes DNA? Apa apaan ini? Apa maksudnya ini?”
Dirga dan Dinaya menoleh nyaris bersamaan. Keduanya terkejut melihat siapa yang tiba-tiba muncul dari ruang tamu dan mendengar pembicaraan mereka.
Cindy!
“Kamu lajang, bukan duda, belum pernah menikah, tapi punya anak sebesar itu?”“Sebentar ... Cindy, kita bicara pelan pelan, biar aku jelaskan. Ayo duduk dulu.”“Tadi kamu bilang tes DNA? Berarti kamu belum yakin dia anak kamu? Kamu nggak menyangkal di awal, artinya kamu ngerasa pernah tidur dengan perempuan sampai hamil kan? Aku jadi takut, siapa tau setelah ini ada sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh anak lagi yang datang dan ngaku anak kamu kan? Berapa banyak sih perempuan yang udah kamu tiduri?”“Cindy! Aku nggak sebrengsek itu. Makanya dengerin dulu!”“Kalau kamu nggak sebrengsek itu, nggak mungkin kamu ragu ragu dia anak kamu apa bukan. Kamu langsung aja bilang kamu bukan bapaknya karena kamu nggak pernah tidur sama perempuan manapun. Tapi ini nggak kan, kamu ragu kan? Berarti kamu emang brengsek yang pernah menghamili orang! Mana anaknya udah segede ini. Umur berapa kamu main cewek? SMP? SMA? Gila!” Cindy semakin mengamuk dan menuding Dirga habis habisan sampai lelaki itu tak bis
“Aku nggak sejahat itu Cindy. Aku bukan laki laki nggak punya moral yang sembarangan tidur dengan wanita seperti yang kamu tuduhkan! Aku khilaf hanya satu kali, dan itupun aku nggak tau Annaya hamil. Kalau aku tau, aku pasti tanggung jawab!”“Alasan!”“Cindy, aku sudah jujur tapi kamu yang nggak mau terima. Terus mau kamu apa?”“Aku mau pernikahan ini batal. Aku kecewa sama kamu.”“Oke, aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bermaksud merahasiakan ini, karena memang aku juga nggak tau Annaya hamil. Apa nggak kamu kesampingkan dulu emosi kamu dan kita pikirkan lagi?”“Aku kecewa! Asal kamu tau ya, untuk nerima lamaran kamu itu, aku nolak banyak lamaran laki laki lain yang lebih menjanjikan masa depan yang cerah buat aku! Banyak banget laki laki yang mau nikah sama aku, bukan cuma kamu!”“Tapi kita saling mencintai Cindy.”“Makan tuh cinta! Buat aku masa depan lebih penting dari cinta! Kamu juga nggak cinta sama aku. Kalau kamu cinta, kamu udah jujur dari awal kalau kamu u
“Maaf ya Om, bukannya aku mau ikut campur masalah pribadi Om. Tapi aku cuma mau bilang, kalau aku jadi Om, aku bersyukur nggak jadi nikah sama orang kayak gitu,” tukas Dinaya dengan wajah cemberut. Dirga diam saja dan membiarkan Dinaya meluapkan kekesalannya. Gadis itu pasti marah sekali saat ibunya dihina oleh Cindy.Dirga sebenarnya ikut kesal karena dua tuduhan Cindy. Yang pertama, Cindy menuduhnya tidur dengan banyak wanita padahal faktanya Dirga hanya melakukannya sekali dengan Annaya dan itu karena ia benar benar khilaf. Yang kedua, Cindy menuduh Annaya perempuan yang ditiduri banyak lelaki. Dirga kesal karena tau itu tuduhan yang salah. Dirga tau betul siapa Annaya dan dia gadis terhormat yang dididik dengan sangat baik. Kalaupun saat itu Annaya sampai terjerumus, Dirga bersedia disalahkan karena itu memang kekhilafannya.“Lagian nih ya, aku mau tanya. Om beneran cumlaude fakultas kedokteran?” tanya Dinaya dengan tatapan curiga. Dirga jelas bingung dengan pertanyaan random Dinay
“TES DNA PATERNITAS??”“Ssssstttt!” Dirga buru buru membekap mulut Rio sambil melihat sekeliling.“Heh! Aku udah bisik bisik kamu malah teriak!” bentak Dirga masih dengan volume suara direndahkan. Dirga makin kesal karena membentak tapi berbisik itu benar benar menyebalkan.“Sorry sorry, Ga. Abisnya kaget. Kamu ngapain mau tes DNA paternitas? Kamu punya anak?” tanya Rio dengan ekpresi penuh rasa ingin tau.Dirga menghela nafas berat. Ini yang dia takutkan. Pasti Rio akan penasaran dan terus berusaha mengulik semua informasi sampai ke akar akarnya. Mana mungkin seorang Alfan Desrio bersedia dengan sukarela memenuhi permintaan Dirga tanpa bertanya macam macam. Dan yang lebih Dirga takutkan lagi, kalau Rio sudah tau, pasti Dillo dan Fharez juga ikut tau. Mereka berempat sudah seperti empat jiwa dalam satu tubuh. Kalau satu punya rahasia, yang tiga pasti akan mencecar sampai jadi rahasia bersama.Tapi apa boleh buat, tanpa bantuan Rio, Dirga tidak mungkin bisa melakukan tes DNA paternitas
“Sebentar ... Dinaya ... Jangan mikir macam macam. Ini bukan salah kamu dan kamu nggak perlu ngera bersalah atau apa. Aku mungkin memang kaget dan semua serba kacau, tapi itu bukan salah kamu. Aku percaya jalan takdir dan semua pasti sudah ditentukan Allah. Jadi kalaupun nggak ada kamu, pasti aku juga nggak akan menikah dengan Cindy kalau dia memang jodohku. Jadi jangan pernah punya pikiran buruk ya?” Dirga langsung panik dan menasehati Dinaya panjang lebar. Dirga bahkan menepikan mobilnya agak bisa fokus bicara dengan Dinaya.“Hah? Pikiran buruk gimana maksud Om?” tanya Dinaya bingung.“I-itu tadi? Yang kamu bilang mau ikut yang lain selain ikut aku? Kata kamu mau nyusul bunda kamu?” kali ini Dirga yang bingung, apa anak ini amnesia sampai lupa apa yang dikatakannya beberapa detik yang lalu?“Loh? Memangnya ikut yang lain dan menyusul bunda itu sama aja berpikir buruk dan macam macam Om?”Kali ini ekspresi keduanya sama. Sama sama heran, sama sama bingung, dan sama sama penasaran. Din
“Ga, dia anakmu.”Hanya satu kalimat yang diucapkan Rio. Tapi Dirga merasa jiwanya tercabut paksa dari jasadnya detik itu juga.“A-anakku, Yo?“Iya hasilnya 99,99% tuh. Tak terbantahkan.”Dirga memeriksa kertas yang diberikan Rio padanya. Surat keterangan dari laboratorium yang jelas menunjukkan angka 99,99% kecocokan DNA antara dirinya dan Dinaya.“Ga?”“Hmm …”“Are you ok?”“Menurut ente?” bentak Dirga kesal. Kondisi sedang pusing begini, Rio malah berusaha memvalidasi perasaan Dirga yang jelas jelas kalut. Bagaimana mungkin Dirga bisa baik baik saja padahal sekarang dia mendadak duda?“Kalau manusia kayak aku gini disebutnya apa sih, Yo?”“Mmmm … bangsat mungkin? Atau bajjingan?” Rio mencoba mencairkan suasana dengan bercanda, tapi sebenarnya salah satu sisi hati Rio memang kesal dan tak habis pikir. Bagaimana mungkin Dirga bisa tak tau kalau selama ini dia punya anak? Dia memproduksi Dinaya, lalu meninggalkan ibunya begitu saja sampai si anak datang meminta pertanggung jawaban bapa
“Pe-Peristiwa kematian?” tanya Dillo gugup. Apapun yang berkaitan dengan kematian selalu membuatnya tak nyaman. Entah itu orang mati, hewan mati, bahkan pohon mati. Tak hanya itu, meski tubuhnya kekar dan wajahnya sangar, Dillo juga takut sekali dengan setan, hantu, demit, dan sejenisnya. Alasannya karena para demit itu invisible dan tak bisa dideteksi keberadaannya.“Iya, hari itu semua mati dan aku terjebak berdua dengan Annaya di rumahnya. Hanya berdua, Pak Ahsan dan Bu Ningrum pergi ke Pekalongan. Mbok Parmi dan anaknya yang biasa bantu bantu di rumah Annaya sudah pulang karena saat itu sudah jam 10 malam.”“Terus siapa yang mati?”“Sabar dong! Biar dia terusin dulu!” bentak Rio yang kesal karena Dillo terus bertanya. Dillo memang penggambaran sempurna untuk tokoh film horor. Penakut tapi selalu penasaran.“Tetangga di dekat kost yang meninggal. Meninggalnya dikeroyok warga. Jadi ceritanya si tetangga ini problematik memang. Tukang mabok, bandar judi, narkoba pula. Dan terakhir kat
“Ssstt! Nanti Dinaya dengar! Jaga omongan kamu!”“Telat, Om. Aku udah denger dari tadi!”Suara gadis remaja yang lembut tapi galak itu terdengar dari balik tirai, membuat keempat lelaki di ruang tamu terlonjak kaget bagai melihat hantu.“Aku capek Om. Udah jelas jelas hasil tes DNA aku ini anak Om Dirga, tapi masih aja mamaku kena hujat terus. Om semua ini nggak ada yang kenal mamaku kecuali Om Dirga kan? Kenapa kok tega teganya bilang hal hal buruk tentang mama?”“Dinaya … Nggak Dinaya, maaf maaf kami semua salah. Maafin Om ya, Om salah banget sudah ngomong sembarangan. Om cuma bingung karena mama kamu luar biasa. Mama kamu nggak pernah ngejar dan menuntut pertanggung jawaban ayah dari anak yang dikandungnya. Dan itu bukan sesuatu yang lumrah terjadi Dinaya.” Farez menjelaskan pada Dinaya dengan nada bicara yang lembut sekali. Dinaya diam saja dengan wajah cemberut.“Om semua tau nggak kenapa mamaku nggak bilang sama Om Dirga? Karena kata Om Dirga nggak bisa diandalkan.”“Hah? Apa?” k