Share

5. TERPOJOK

“Maaf Dinaya ... Maaf, tapi tolong ikuti instruksiku sekali ini saja. Please ... Situasinya darurat. Nanti aku jelasin semua. Sama kamu dan dan sama dia. Tapi nggak sekarang. Oke?”

Dinaya tak menjawab, tapi ia menuruti semua perintah Dirga untuk naik dan bersembunyi di kamar lantai dua.

“Jangan keluar, jangan bersuara, jangan bergerak, pokoknya jangan sampai ketauan kamu ada di sini. Oke?”

“Iya.” Dinaya hanya menjawab singkat dan langsung masuk ke kamar.

Dirga bergegas menyembunyikan ransel dan sepatu Dinaya di dalam lemari kamar tamu, lalu bersikap setenang mungkin agar Cindy tidak curiga. Mobil yang dikendarai calon istrinya itu sudah tiba di depan rumah dan sosok wanita mungil yang cantik keluar dari sana.

“Aku capek banget sayang.” Cindy langsung masuk ke rumah tanpa mengucap salam. Ia melempar begitu saja baju yang akan dikenakan orang tua Dirga saat akad nikah nanti ke sofa.

“Kamu darimana? Kok capek?” tanya Dirga sambil mencoba mengatasi kegugupannya.

“Aku syuting seharian. Ada tiga podcast dan satu acara TV. Abis itu langsung ngambil baju ini terus ke sini,” jawab Cindy sambil melihat sebotol air mineral yang sudah dibuka di atas meja.

“Ini punya siapa?” tanya Cindy sambil menunjuk ke arah botol air itu.

“Oh ... Ehm ... Itu tadi, Pak RT ke sini.”

“Pak RT? Ngapain? Oh ... kamu ngurusin surat surat buat dokumen pernikahan ya?”

“Iyaa!” Dirga menjawab dengan semangat.

“Harusnya aku udah nggak kemana mana nih sayang. Udah harus dipingit. Tapi ya gimana, kerjaan harus dikelarin semua, soalnya nanti pas bulan madu aku mau libur lama. Nggak mau diganggu kerjaan.”

“Iya. Tapi jangan terlalu capek. Kamu besok udah selesai urusan kerjaan kan? Gimana kalau besok kamu ke spa, terus ...”

“Oh iya! Untung kamu bilang spa. Aku baru inget, body cream aku yang kemarin dipake buat massage ketinggalan di kamar atas. Aku ambil dulu deh mumpung inget.”

Cindy bergegas berjalan menuju tangga dan langsung naik ke lantai atas. Dirga bagai tersengat listrik melihat Cindy tanpa basa basi langsung menuju kamar tempat Dinaya sembunyi.

Sementara di dalam kamar, Dinaya mendengar suara langkah kaki mendekat. Panik, kaget, dan gugup bercampur di benak Dinaya. Dia menoleh ke segala arah, mencari tempat menyembunyikan diri. Saat itu matanya tertuju pada sebuah lemari besar di sudut ruangan. Dinaya buru buru melompat ke arah lemari dan bergegas menyembunyikan dirinya di antara tumpukan selimut di dalam sana. Tepat pada saat itu, Cindy membuka pintu.

Dirga memejamkan mata dan bersiap dengan segala kemungkinan kalau Dinaya dan Cindy bertemu. Tapi saat membuka matanya, Dirga bingung melihat Dinaya tak tampak di segala sudut. Dirga menyisir seluruh kamar dengan tatapan tajam. Tapi tetap saja ia tak menemukan Dinaya. Hilang kemana anak itu?

“Ya udah sayang aku pulang dulu ya. Takut kemaleman. Besok kayaknya kita nggak bisa ketemu, aku mau perawatan di rumah, lagian kan besok mulai dipingit,” ujar Cindy dengan nada manja. Dirga memaksakan senyumnya dan mengantar Cindy sampai ke pintu mobilnya.

Setelah Cindy pulang, Dirga naik lagi ke lantai atas dan ia tetap tak menemukan Dinaya di kamar itu. Seketika Dirga kembali panik.

“Dinaya? Dinaya kamu dimana?” tanya Dirga sambil menyibak tirai, tapi Dinaya tetap tak ada.

“Aku di sini. Apa tante itu udah pulang?” Dirga mendengar suara Dinaya dari dalam lemari. Bergegas Dirga membuka pintu lemari dan menemukan Dinaya bersandar lemas di antara tumpukan selimut. Wajahnya berkeringat, kerudungnya basah, wajahnya cemberut, matanya melotot dan pipinya merah padam, perpaduan antara marah dan kepanasan.

“Maaf maaf maaf ... Ayo sini keluar.” Dirga membantu Dinaya berdiri dan gadis itu masih cemberut.

“Kamu nggak apa apa kan?” tanya Dirga tak enak hati. Tapi Dinaya tak menjawab. Dia kesal sekali karena mendadak harus bersembunyi di lemari yang gelap dan pengap.

Tadinya Dinaya berniat marah tapi perutnya bersuara. Sebuah sinyal kalau belum diisi apapun kecuali air putih sejak kemarin. Dirga yang mendengar suara perut Dinaya yang keroncongan buru buru mengajak gadis itu turun dan kembali menyantap makanan mereka yang tadi belum sempat dimakan.

“Itu tadi Cindy. Calon istriku. Tiga hari lagi kami akan menikah.” Dirga menjelaskan dengan jujur. Dinaya diam saja, ia sibuk mengunyah udang.

“Ya udah kita makan dulu aja deh, nanti kita ngobrol lagi. Masih banyak yang mau kutanyain sama kamu,” ujar Dirga sambil menyuap makanannya sendiri.

Selesai makan, Dinaya duduk diam sambil meminum jus mangga yang disuguhkan Dirga. Dinaya tak mengatakan apapun jika Dirga tak bertanya. Sementara Dirga bingung karena terlalu banyak hal yang ingin dia tanyakan pada Dinaya.

Dirga melirik jam dinding dan melihat jarum panjang sudah di angka dua belas, sementara jarum pendeknya mengarah ke angka sepuluh. Sudah lumayan larut, dan sekarang dia bingung harus bagaimana. Besok kedua orang tuanya datang dari kampung. Lusa menyusul keluarga yang lain. Mulai besok rumahnya pasti penuh dengan keluarga dan kerabat. Apa kata mereka kalau melihat Dinaya ada di sini?

“Apa rencana kamu setelah ini?” tanya Dirga.

“Aku nggak tau Om. Aku nggak kenal siapa siapa di Jakarta.”

“Kamu nggak niat kembali ke Semarang?”

“Di sana aku juga sendirian.”

Dirga menggaruk kepalanya mendengar jawaban Dinaya. Benar atau tidak anak ini darah dagingnya, tetap saja Dirga merasa punya tanggung jawab pada anak ini. Sekarang Dinaya hanya punya dirinya untuk tempat bergantung. Dia tak punya keluarga dan kerabat setelah ibunya meninggal dunia. Jadi sekarang bagaimana? Dinaya tak mungkin menginap di sini sebab besok pagi pagi sekali Dirga harus menjemput orang tuanya di bandara.

Dirga memutar otak. Harus dikemanakan anak ini?

“Kamu berani tidur sendiri di hotel?” tanya Dirga tiba-tiba. Dinaya berjengit mendengar pertanyaan Dirga. Dia takut tentu saja. Menginap di hotel sendirian di tengah hiruk pikuk kota Jakarta seketika membuat bulu kuduknya meremang. Bagaimana kalau ada orang jahat?

Dinaya melirik Dirga yang tampak kesal dan frustrasi. Dia berjalan mondar mandir, sesekali mengecek ponselnya sambil terus menghela nafas. Dinaya langsung merasa tak nyaman, seolah dirinya menjadi beban terbesar yang harus ditanggung Dirga saat itu.

“Om, aku mau tanya. Om masih nggak yakin aku ini anak Om?” tanya Dinaya tiba-tiba.

“Hah? Apa? Ntar dulu Dinaya. Bukan waktu yang tepat untuk bahas itu sekarang. Yang penting kamu ...”

“Kalau ternyata aku benar benar anak Om, selanjutnya gimana? Kalau hasil tes DNA membuktikan kita berdua ayah dan anak, apa Om mau tanggung jawab?”

“Apa? Ayah dan anak? Tes DNA? Apa apaan ini? Apa maksudnya ini?”

Dirga dan Dinaya menoleh nyaris bersamaan. Keduanya terkejut melihat siapa yang tiba-tiba muncul dari ruang tamu dan mendengar pembicaraan mereka.

Cindy!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status