Setelah melalui gerbang Sateunik untuk mencapai Durango, akhirnya Elena dan Galen telah sampai di dunia tempat Saram atau manusia biasa tinggal.
Elena menatap datar ke arah orang-orang dan juga bangunan-bangunan yang berdiri tegak tepat di depan matanya. Durango tidak jauh berbeda dengan Purpura. Dua dunia yang sangat berbeda itu memiliki kehidupan yang hampir sama, hanya saja Purpura lebih unggul dalam segalanya.
Purpura memiliki kekuatan yang tak dimiliki oleh manusia biasa di Durango yang lemah.
"Tuan putri, kita ada di mana?" tanya Galen kebingungan. Fokus dan sadarnya masih belum kembali setelah sebelumnya ia di hipnotis Elena saat berada di Purpura. Galen juga merasakan pusing luar biasa, kepalanya serasa ingin pecah.
"Galen, tataplah mataku," kata Elena seraya menangkup wajah pemuda Thistle itu. Galen langsung menurutinya dan menatap mata Elena dengan tenang, namun napasnya tersenggal-senggal.
Seperti biasa, Elena hanya membutuhkan satu kedipan mata untuk menghipnotis dan menyadarkan seseorang di bawah pengaruh kekuatannya.
Galen akhirnya sadar. Matanya menatap tajam ke seluruh tempat yang berada tepat di depan matanya dan terperanjat, lalu mendorong Elena hingga tersungkur.
Dunia tempatnya berpijak sekarang sangat terlihat mirip seperti Purpura. Bangunan tinggi berjejer beraturan, orang-orang berlalu lalang dengan aktivitasnya. Bedanya, Purpura sangat sejuk tidak seperti di sini yang penuh dengan debu halus hingga membuatnya batuk dan sesak napas.
"Elena? Jangan bilang kita-" Galen terlihat ragu kemudian menoleh ke arah Elena yang menyeringai kepadanya dengan wajah angkuhnya yang khas.
Jika saja Elena bukan orang yang berarti untuknya, Galen sudah membunuhnya sejak dulu. Sejak ia pertama kali bertemu Elena di istana paling luar tempatnya terasing. Selalu saja Elena melakukan hal nekat tanpa memikirkan akibat yang akan menantinya.
"Kita berada di Durango, tepatnya di kota Jakarta," kata Elena.
Galen menatap tajam Elena. Kedua bola matanya hampir menampakkan sinar keunguan yang persis dengan darah yang mengalir padanya, yaitu Thistle. Galen terlihat marah pada Elena.
Seandainya Galen bisa menyamai kekuatan Elena, ia pasti tak akan terbuai dengan hipnotisnya dan tetap berada di Purpura. Tempat yang aman untuk manusia berdarah ungu sepertinya.
Pemuda itu kemudian melihat gerbang Sateunik masih terbuka lebar. Tanpa basa-basi, dia menarik tangan Elena dan menerobos masuk ke dalam cahaya putih besar, namun tubuhnya malah terpental. Dan Elena, ia hanya menertawakannya.
"Kamu harus memiliki kemampuan menari spirit untuk menembus gerbang Sateunik yang agung, Yang Mulia," ujar Elena.
"Kalau begitu kamu menarilah sebelum bulan sabit be-" Galen memberi jeda, kemudian menatap ke arah langit. "Sial! Bulan sabit sudah hilang!"
Elena tersenyum, kemudian merangkul sang raja bangsa Purpura yang merupakan boneka dan temannya yang paling dekat itu. "Tak ada salahnya kita berada di dunia yang berbeda dan menjalani kehidupan yang berbeda. Sudah duapuluh tahun kita terkurung di Purpura."
Galen menghela napas kasar dan mengerang frustasi. "Elena, apa yang sebenarnya kamu pikirkan? Kita tidak terkurung di sana, kita lahir dan tinggal di sana! Purpura adalah tempat dimana kita berpijak!" tukas Galen.
“Apa kamu mempercayainya, tuan Byakta?” tanya Elena. Kemudian gadis bersurai keunguan itu menyeringai. "Kamu pasti pernah mendengar cerita bahwa Laviosa sebenarnya adalah seorang Saram yang menemukan dunia tak kasat mata yang tak masuk akal bernama Purpura."
Ibuku adalah seorang Laviosa yang kejam. Meninggalkanku dalam keputusasaan di Purpura. Batin Elena.
“Kamu mempercayai itu, Elena? Kita, bangsa Purpura bahkan tak pernah melihat secara langsung keturunan asli bernama Laviosa!” Galen memekik kesal.
"Kamu pikir kenapa kita tak pernah bertemu dengan seseorang keturunan Laviosa? Karena mereka adalah Saram yang menguasai dunia Purpura!" tukas Elena.
Galen menatap Elena sinis. "Terserah! Aku lelah berdebat denganmu! Hanya orang bodoh sepertimu yang mempercayai hal gila seperti itu."
Elena berdecak sebal. Kemudian tanpa mengatakan apapun, ia berjalan meninggalkan Galen tanpa tujuan yang jelas.
"Yah! Kamu mau kemana lagi Elena An?" teriak Galen yang kemudian berlari menghampirinya.
"Menyamar menjadi Saram," katanya datar sambil terus berjalan. Rambut panjangnya yang ia biarkan terkepang seperti bangsanya, perlahan mulai tergerai dengan sendirinya.
Elena mulai menyamar menjadi Saram. Begitupun Galen.
***
"Kakek, kakek harus menjelaskannya kepadaku. Apa yang terjadi?" tanya Han kepada sang kakek.
Kakeknya hanya diam sambil terus menatap kalung bulan sabit ungu yang melingkar di leher cucu laki-lakinya. Banyak hal yang melintas di kepalanya saat melihat kalung itu. Termasuk fakta bahwa Han ternyata bukan manusia sembarangan.
Ada rahasia di balik kehadiran Han di dunia ini dan kalung misterius yang melingkar di lehernya.
"Kakek! Kenapa hanya diam?" tanya Han bingung. Tak hanya bingung, pemuda itu juga nampak panik karena tak mengerti dengan hal tak masuk akal yang terjadi padanya.
Sang kakek hanya menatap cucu laki-lakinya. Kemudian, ia melihat cucu perempuannya Aruna yang baru saja tiba dan berdiri tepat di belakang Han tanpa mengatakan apapun.
Mata gadis itu berwarna ungu Orchid. Lagi-lagi ia hanya diam, tak terkejut sama sekali saat melihat keanehan yang terjadi malam ini. Hanya saja, hatinya tiba-tiba menjadi gusar.
Apakah sudah dimulai? Batinnya. Ia yakin, sesuatu akan segera terjadi. Sesuatu mengerikan dari pengulangan kisah masa lalu yang tak pernah berakhir.
"Kakek!" pekik Han kesal yang membuat kakeknya sedikit tersentak dan bangun dari lamunannya.
Kakeknya mendesah pelan kemudian menatap Han dan Aruna dengan serius. "Dunia yang kalian tinggali kini menjadi Durango,” lirih sang kakek.
Han dan Aruna terdiam, tak mengerti. Namun, sesaat kemudian mata Aruna membelalak. Seperti mengetahui sesuatu, gadis itu langsung menghampiri kakeknya membuat Han terkejut bukan main. Karena ia tak menyadari kehadiran gadis itu sebelumnya.
"Durango, tempat di mana semua keturunan terakhir Purpura akan bertemu? Lalu, akan terjadi pertumpahan darah berwarna ungu yang saling bercampur menciptakan warna merah atau hitam yang pekat. Dan, tempat di mana Orchid terdahulu yang pernah melarikan diri menampakkan diri kembali," kata Aruna.
“Aruna! Kenapa kamu bicara asal?! Hentikan membaca buku dongeng itu! Kamu bisa gila! Belajar saja yang benar!” tukas Han kesal. Hanya ia yang tak mempercayai hal seperti itu.
Aydin, sang kakek kemudian menatap Han dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
“Aruna benar,” katanya. "Bahkan jika saat ini kamu tak percaya, dunia yang kamu sebut dongeng itu benar adanya terlepas dari apa yang kamu pikirkan. Mereka akan selalu ada dan menunggu untuk hancur."
Han berdecak sebal dan mengerang frustasi. Rambutnya kini berantakan. Ia benar-benar tak bisa menerima kenyataan bahwa sang kakek dan adiknya mempercayai dunia itu benar nyata. Ia masih memiliki akal sehat dan memikirkan semuanya dengan rasional. Tak mungkin dunia peri itu ada.
"Han..." kakek Aydin menghampirinya dan menepuk pundak pemuda berusia duapuluh tahun itu. "Kamu akan bertemu dengan Orchid. Bersiaplah,” ujarnya.
"Apa maksudnya? Kenapa aku harus bertemu dengannya?" tanya Han ketus.
"Karena kamu memiliki kalung bulan sabit berwarna ungu yang telah hilang dari Laviosa,” jawab kakeknya.
Han menatap kakeknya datar. Ini benar-benar tak masuk akal. Tapi entah kenapa dia begitu excited mendengar penuturan sang kakek, sama seperti Aruna yang antusias mendengar dongen kesukaannya menjadi nyata.
"Kakek, apa nanti kak Han akan mati saat bertemu Orchid?" tanya Aruna tanpa perasaan. Membuat Han kesal. Memang Aruna bagaimana pun tak pernah mempedulikannya, meski Han mati sekali pun. Aruna hidup untuk fantasinya sendiri.
Kakek Aydin tersenyum. “Tidak akan. Jika dia mengikuti apa yang sudah ditakdirkan dan diramalkan ratusan tahun lalu. Pemilik kalung itu harus membunuhnya.”
Mulut Aruna terbuka lebar, dia benar-benar senang mendengarkan apa yang dikatakan kakeknya. Namun Han, ia terlihat sangat frustasi sehingga kehilangan gairah untuk mendengarkan.
"Kenapa aku harus membunuhnya?" tanya Han.
"Karena kalung itu,” jawab kakek Aydin sambil menunjuk ke arah dada Han.
Han kemudian menatap kalungnya dan terdiam. Banyak sekali hal yang melintas di kepalanya. Purpura benar-benar menjadi dunia di mana tempat akal sehat tak berlaku. Han tak bisa membayangkan apa yang baru saja dikatakan kakeknya. Membunuh seseorang? Itu hal gila. Batinnya.
"Saat semua warna Purpura terkumpul di kalung itu, kamu memiliki dua keputusan. Menyelamatkan Orchid dan mati sia-sia atau membunuhnya untuk membebaskan Orchid da-"
"Aku tidak mau dengar!" Han menutup telinganya kemudian berlalu meninggalkan kakek dan adiknya.
Kakek Aydin menatap Han dan menyeringai. Kamu akan percaya saat kamu melihat sendiri gadis Orchid menghampirimu dan membuatmu jatuh cinta. Batin kakeknya.
"Kakek…” panggil Aruna.
Sang kakek menoleh ke arah Aruna dan tersenyum kemudian mengusap pucuk kepala gadis itu.
"Beristirahatlah, kamu pasti lelah,” lirihnya.
Aruna menatap bingung. Ia tidak lelah sama sekali. Apa yang dimaksud kakeknya?
Hubungan Orchid itu terhubung kembali. Kamu akan menjadi manusia paling lemah di Durango, sama seperti kakak perempuanmu yang melarikan diri, tuan putri Celena An.
***
Elena dan Galen baru saja keluar dari toko pakaian. Kini, mereka sudah mirip seperti Saram dengan pakaian yang baru saja mereka beli dan pakai. Setelah sebelumnya mereka berdua memakai baju kerajaan Purpura yang aneh dan berkeliling kota Jakarta, hingga menjadi sorotan.
"Yah, sekarang kita harus mencari tempat tinggal,” kata Galen seraya menarik tangan Elena, namun segera ditepis oleh si gadis Orchid itu.
Elena tak mendengarkannya. Ia hanya fokus pada sebuah benda persegi panjang kecil yang dapat membantunya terhubung dengan dunia Saram, benda itu adalah ponsel pintar.
"Limaratus meter dari sini ada salon rambut yang bagus dan masih buka duapuluh empat jam,” ijar Elena dengan wajah sumringah.
"Elena! Kamu sudah banyak menghabiskan uang yang kamu miliki! Kita belum menemukan tempat tinggal untuk lima tahun ke depan. Jangan habiskan sekarang!” tukas Galen kesal.
Elena benar-benar tak dapat dipercaya. Ia sama seperti gadis kebanyakan meskipun banyak menghabiskan waktu sendirian seumur hidupnya. Gaya hidupnya benar-benar mewah dan membuat Galen sakit kepala. Elena menghabiskan banyak uangnya tanpa berpikir.
"Aku memilikimu, tuan Byakta. Uangmu masih banyak, bukan? Jika kita kehabisan uang, kamu bisa bekerja untukku. Kudengar di Durango kau bisa bekerja paruh waktu dan mendapatkan uang," ujar Elena.
"Aku bukan babumu, Elena!" pekik Galen.
Pemuda itu kemudian menatap Elena sinis. "Kamu melupakan tujuan utamamu datang ke dunia ini, tuan putri? Kita tak memiliki waktu banyak untuk menghabiskan uang lalu mendapatkannya kembali. Fokusmu hanya satu, mencari adikmu dan Balsaegi Lavender!" Galen bersikap ketus.
Demi Purpura bersatu dengan Durango dan dunia menjadi hancur, Galen benci berada di sini. Ia ingin pulang dan bertemu dengan Bunda Permaisuri yang pasti mengkhawatirkan ketiadaannya.
Sementara itu, Elena mendesah kesal dan menatap Galen dengan tatapan tajam, sehingga membuat laki-laki itu kesakitan di bagian dadanya. Ya, Elena sedang menggunakan kekuatannya untuk membuat Galen terluka.
"Argghhh! Hei! Jangan terlalu sering memakai kekuatanmu! Kamu tidak akan tahu kapan Violeta akan menyerangmu!" tukas Galen sambil memegangi dadanya yang kesakitan.
"Berisik sekali!" tukas Elena kesal, lalu ia meninggalkan Galen yang masih meringis kesakitan.
"Elena tunggu aku!" teriak Galen. Dalam waktu sekejap, Galen sudah berada di samping Elena. Galen juga memakai kekuatan berteleportasinya, membuat Elena berdecak sebal.
"Kamu juga memakai kekuatanmu!" tukas Elena kesal.
"Aku Thistle! Aku tidak akan kehilangan kekuatanku meskipun aku mencobanya berkali-kali, tuan putri,” ujar Hangyul.
"Kamu curang!" Elena terlihat kesal. Hal itu justru membuat Galen gemas. Sepertinya seumur hidupnya, selain menjaga Elena ia juga terus-terusan membuat gadis itu kesal.
Elena lagi-lagi berjalan meninggalkan Galen. Galen kali ini mencoba untuk mengikutinya dari belakang, menatap gadis yang sangat ia cintai itu dari belakang. Meskipun ia merasa kesal dengan keputusan gadis itu melarikan diri, di sisi lain ia merasa bersyukur bisa berada di Durango. Setidaknya, ia dan Elena mendapatkan kebebasan selama lima tahun sampai gerbang Sateunik terbuka kembali.
Langkah Elena tiba-tiba terhenti. Ia merasakan sesuatu yang begitu hebat mempengaruhi dirinya. Membuat keringat dingin pada tubuhnya bercucuran begitu saja, juga ia merasakan pening di kepalanya. Tubuhnya terasa lemas, sehingga ia kehilangan fokusnya dan terhuyung.
Galen yang melihat itu langsung beteleportasi kepada Elena, sebelum gadis itu tersungkur jatuh ke tanah.
"Elena, apa yang terjadi padamu?" tanya Galen khawatir.
Elena meremas baju Galen tanpa mengatakan sepatah katapun. Matanya lagi-lagi mengeluarkan sinar berwarna Orchid. Elena juga tak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya begitu saja. Sebelumnya, ia tak pernah sesakit seperti ini.
"Elena! Kamu tidak boleh kehilangan kesadaranmu! Elena!" Galen terus mengguncang tubuh gadis Orchid itu dan memandangi ke sekelilingnya, takut jika seorang Violeta yang melakukan hal ini. Tapi tak ada siapapun yang mencurigakan.
Pada akhirnya, gadis itu sudah kehilangan kesadarannya. Galen masih berusaha membuat gadis itu sadar, namun Elena bergeming.
"Elena! Elena!" pekik Galen frustasi.
Galen mendesah pelan. Mau tak mau ia harus menggunakan kekuatannya kembali untuk memulihkan kesadaran Elena. Namun apa yang terjadi, Galen justru merasakan lemas di sekujur tubuhnya dan pening di kepala. Ia tidak bisa menggunakan kekuatannya. Ada apa ini? Batinnya.
"Apakah ada yang bisa kubantu?" tiba-tiba seorang pria menghampiri mereka berdua, Galen dan Elena.
Galen yang masih sadar kemudian menengadahkan kepalanya dan menatap pria yang kini sedang menatapnya. Entah kenapa ia justru merasakan sakit di dadanya, juga matanya seolah mengeluarkan sinar Thistle yang menembak ke arah dada pria itu.
"Mari kubantu,” kata pria itu yang kemudian mengangkat tubuh Elena dari pangkuan Galen.
Galen masih kehilangan fokusnya dan merasakan sakit yang luar biasa. Siapa pria ini? Apa yang terjadi? Batinnya.
"Kenapa tubuhnya sangat dingin?" tanya Han bingung. Kemudian ia melepaskan jaket yang dipakainya untuk dikenakan pada Elena yang suhu tubuhnya terus menurun, seperti mayat. Gadis itu sangat dingin.
Han kemudian menoleh ke arah Galen dan terlihat khawatir. "Apa kamu baik-baik saja? Kamu terlihat pucat,” kata Han.
Galen tak menjawab. Ia berusaha meredam rasa sakitnya dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki. Namun, sepertinya Galen akan menyerah, sama seperti Elena yang terlebih dulu tak sadarkan diri.
Han menepuk pundaknya. "Apa kamu bisa berjalan? Biar kubawa kalian ke rumahku,” ujar Seungwoo khawatir.
"Kenapa Durango sangat aneh," lirih Galen.
Han mendengar itu dan tersentak kaget. Ia masih tak habis pikir bahwa ada orang-orang aneh di luar sini yang berpikiran sempit seperti kakek dan adiknya.
"Hei! Durango itu tidak ada. Ini adalah Jakarta, pusat kehidupan warga Indonesia. Sepertinya kamu terlalu banyak membaca dongeng!" tukas Han kesal.
Galen tak bisa mendengar apa yang dikatakan laki-laki di dekatnya. Perlahan, ia juga kehilangan fokus seperti Elena dan pingsan yang membuat Han panik seketika.
"Woy! Kenapa kalian berdua malah pingsan!! Sadarlah!" Han mulai panik.
***
"Apakah sudah waktunya?" seorang pemuda berujar lirih seraya menatap jauh ke arah bulan sabit yang perlahan memudar.
Arganta Chand Japa, nama pemuda itu. Ia tak bisa tersenyum melihat halimun tipis menyelimuti kota Jakarta malam ini. Meskipun itu karena ulahnya. Firasatnya buruk. Seolah tragedi besar akan terjadi, padahal pencariannya di Durango selama ini belum usai.
"Siapa yang berani menembus pintu waktu kali ini?" gumamnya pelan seraya menggigit jari-jarinya, kebiasaan yang bisa membantunya berpikir.
Tragedi dimulai saat Jeslyn menembus pintu waktu- Sateunik yang tak sengaja terbuka saat bulan sabit berwarna keunguan. Jika dia tidak jatuh cinta saat menembus waktu, akankah semuanya berubah? Jika bayi Orchid tidak pernah lahir, akankah semuanya berbeda?
Kalimat itu terngiang di kepala Arga bagaikan melodi masa lalu yang terus-menerus berulang, mengingatkannya pada seorang gadis tak biasa yang tak sengaja ia temui saat menerobos masuk ke dalam istana terluar Purpura.
"Sepertinya kamu tahu sesuatu tentang tragedi itu, Elena," kata Arga seraya membayangkan wajah cantik Elena memerah terkena terpaan sinar matahari, lalu ia berlari di padang rumput dan tertawa seperti gadis polos yang belum pernah mengenal dunia.
Arga merindukan Elena. Gadis misterius yang dulu tak pernah Arga tahu identitas sebenarnya. Gadis yang membuat Arga jatuh cinta dan akhirnya memberanikan diri untuk mencari cara pergi ke Durango, menemukan kepingan-kepingan masa lalu yang telah diramalkan dalam Bukit Garis Takdir.
"Perempuan itu sudah kembali," Arga tersadar dari lamunannya saat samar-samar mendengar suara langkah kaki yang perlahan begitu jelas.
Pemuda itu kemudian menatap nanar pada pantulan cermin di mana seorang gadis tersenyum licik, seolah telah menggenggam dunia.
Arga meredupkan cahaya lampu, lalu bersembunyi saat suara langkah kaki itu nyaring terdengar di kamarnya bersama halimun tipis yang membuatnya menghilang, tak kasat mata.
Lampu kamar seketika menyala. Seorang wanita bersurai ungu panjang baru saja tiba, lalu duduk di atas meja seraya membuka seluruh bajunya. Menyisakan pakaian dalam yang memperlihatkan bentuk tubuhnya yang bagus, serta putih dan mulus.
"Arga? Apa kamu di sini?" wanita itu berkata seraya sibuk menyapu seisi kamar tempatnya berada. Seolah merasakan ada seseorang memperhatikannya begitu lekat.
Arga ada di sana. Namun, pemuda itu enggan menampakkan diri untuk saat ini dan ingin memata-matai wanita itu. Liliana Moon, garis keturunan terakhir bangsa Violeta.
"Well, sepertinya Arga tidak kesini selama aku pergi," katanya seraya mengambil sebotol wine, lalu meneguknya begitu saja.
Liliana lalu berdiri di dekat jendela, menyipitkan matanya dan menatap kota Jakarta dari ketinggian. Arga menghampirinya tanpa ketahuan, lalu berdiri di sampingnya.
"Lihatlah, Jakarta tak pernah menjadi indah seperti ini sejak aku pertama kali tiba di Durango," Liliana bermonolog, dengan senyuman tipis di wajahnya yang penuh dengan amarah dan kebencian.
"Saat aku menemukannya, Jakarta akan menjadi kenangan. Seperti Laviosa... dia akan lenyap di tanganku bukan?" katanya seraya mengepalkan tangan mungilnya, mengeluarkan sebuah cahaya berwarna ungu berkilau dari balik kukunya. Kekuatan Purpura berada dalam genggaman tangannya.
Arga yang berada di sampingnya dapat melihat dengan jelas kemarahan terlukis di wajah Liliana. Arga juga dapat melihat, jika sesuatu akan segera terjadi karena ulah Liliana yang tamak dan pendendam.
Wanita licik ini harus binasa sebelum semuanya hancur. Batin Arga.
"Wanita itu, si Orchid sialan... kamu sudah menempuh perjalanan panjang menuju kehancuran, sayang," gumam Liliana.
Arga menoleh, tersentak dengan apa yang baru saja dikatakan Liliana.
Orchid? Apa dia ada di sini? Batin Arga. Pemuda itu kemudian menyisir kota Jakarta dari ketinggian dengan sorot mata elangnya. Mencoba mencari setitik cahaya yang akan menjadi petunjuk di mana Orchid berada.
Sebenarnya, Arga tak peduli dengan semua yang telah digariskan. Ia juga tak peduli dengan pengulangan kisah masa lalu yang menyakitkan. Toh, dia tidak terlalu dirugikan meski perang pecah karena Violeta. Tapi, tetap saja, Arga harus melakukan sesuatu demi bertemu lagi dengan Elena yang dia rindukan sebelum pintu waktu benar-benar hancur karena kebencian Violeta yang telah mendarah daging.
"Orchid, kau akan celaka! Lalu, aku akan menguasai dua dunia yang indah tanpamu," Liliana tertawa begitu keras, memekik telinga.
Aku harus menemukan yang Mulia Laviosa dan Orchid itu terlebih dulu. Arga menghilang bersama dengan halimun tipis yang membuat Liliana terbatuk-batuk dan terkejut.
"Apa ada yang memata-mataiku?" gumam Liliana bingung.
Han membawa Elena dan Galen ke rumahnya dengan dibantu oleh sahabatnya Gavin yang sengaja ia telepon untuk membantunya.Ia tak pernah mengira kelimpungannya malam ini justru membuatnya bertemu dengan dua manusia aneh yang tiba-tiba pingsan di jalan. Benar-benar sangat merepotkan menjadi orang yang baik.Han memandangi gadis yang kini sedang terpejam di kamar milik adiknya. Entah kenapa ia merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia merasakan suatu ikatan dengan gadis bersurai ungu itu saat melihatnya berjalan di jalanan sampai akhirnya gadis itu pingsan dan Han tanpa sadar berlari ke arahnya, dengan perasaan yang berkecamuk. Seolah pernah bertemu sebelumnya."Han Satya Aibek, apa dia pacarmu?" tanya Gavin penasaran. "Freya bagaimana?" tanyanya lagi, seraya memperlihatkan layar ponsel miliknya di mana Freya terus-terusan menghubunginya untuk mengetahui kabar Han.Han menepis ponsel milik Gavin, tak tertarik sama sekali. "Bukan. Aku hanya menolongny
Sisa-sisa sinar matahari di kota Jakarta menampakkan warna merah saga yang indah. Namun perlahan memudar dan menghitam. Menyisakan gulita pada lengkung langit tanpa bintang, pada Jakarta yang semakin temaram.Seminggu berlalu sejakBolasaeg Choseungdal,Jakarta mulai mendapatkan nyawanya kembali. Tak ada halimun tipis yang menyelimuti Batavia yang ramai. Semuanya perlahan membaik, sejaksinarOrchid Trabempada bulan sabit seminggu lalu membuat beberapa manusia menjadi limpung, seperti Han.Han berjalan masuk ke dalam kamar milik adiknya dengan membawa beberapa makanan dan minuman.Sudah satu minggu ia tidak bisa beraktivitas seperti biasa karena harus menjaga adiknya dan orang-orang Purpura yang menyambangi rumahnya. Ia sedikit menyesal waktu itu pernah menolong gadis Orchid dan juga Baginda RajaPurpura yang menyebalkan, Galen. Sekarang, ia harus mengurus mereka. Termasuk Zayed, bocah l
"Elena, kamu tidak apa-apa?" Galen bertanya setelah kesunyian singkat yang membuat semua terdiam.Elena menatap pemuda itu. Bukan Galen, melainkan Han.Gadis Orchid yang biasa kuat itu tak bisa menyembunyikan mimik terkejut pada wajahnya, saat ia mencoba mengira-ngira apa yang terjadi dengan tubuhnya yang tiba-tiba kesakitan."K-kamu... baik-baik saja?" tanya Han tergagap.Mengangkat wajah, Elena yang mulai pucat bergeming melihat raut wajah Han yang nampak ketakutan.Elena terguncang menahan rasa sakit luar biasa di sekujur tubuhnya. Seumur hidupnya, baru kali ini ia merasa tak berdaya. Sampai tak bisa mengucap sepatah kata pun.Ia tak pernah merasakan sakit seperti ini meski terus-terusan memakai kekuatannya. Karena seharusnya, saat ia tertidur dengan waktu yang lama, kekuatannya perlahan akan pulih. Tapi, yang terjadi sekarang sangatlah berbeda."Kak Elena, apa kakak bisa mendengarku? Kakak tidak seperi biasanya seperti in
Galen dan Zayed bergantian terjaga untuk menjaga Elena dan Aruna semalaman.Bukan tanpa alasan. Kedua pria itu tiba-tiba was-was juga waspada terhadap sesuatu tak kasat mata yang sedang mengincar mereka. Sesuatu tak terlihat yang menghisap darah ungu mereka diam-diam, hingga perlahan kekuatan mereka mungkin memudar. Seperti yang terjadi pada Elena.Kemungkinan terburuk, sesuatu tak kasat mata itu juga mengincar nyawa semua yang berhubungan dengan Purpura. Karenanya, sebisa mungkin bangsa Purpura tak boleh terendus keberadaannya di Durango. Jika ketahuan, sudah pasti gladi kotor kematian menanti tanpa permisi.Galen Byakta, pemuda Thistle itu tak hentinya memandangi Elena, Aruna, dan gadis lain yang menerobos masuk ke dalam kamar Aruna dalam keadaan mabuk malam tadi.Gwen nama gadis itu. Entah kenapa, Galen merasakan aura aneh pada Gwen. Namun, ia tak bisa menemukan apapun, selain mengetahui identitas Gwen adalah seorang
Setelah kesalahpahaman yang mengusik pagi milik Gwen, suasana menjadi lebih kondusif.Namun, tidak dengan Gwen. Gadis itu duduk tepat di dekat jendela kamar miliknya, dengan kaki yang terus bergoyang tak mau diam. Sementara mulutnya sibuk mengigit jari-jari tangannya yang semakin pendek. Gwen benar-benar terlihat gelisah dengan apa yang baru saja terjadi.Untuk sejenak, Gwen tak sanggup menoleh pada seseorang yang kini sedang menatapnya. Ia begitu terpaku mengingat wajah mengerikan Zayed yang mencekiknya tadi. Ia sempat melihatnya. Pada masa lalu yang ingin ia lupakan."Gwen apa ada yang salah?" tanya seseorang yang tak lain adalah Arga, sahabatnya.Gwen masih bergeming. Tak ingin berbicara pada Arga. Isi kepalanya berkecamuk. Bayangan tentang kematiannya terngiang jelas."Gwen?" sekali lagi Arga mencoba untuk memanggilnya.Gwen menoleh, tak bisa tersenyum. Gadis itu menatap dalam-dalam mata ungu yang menatapnya khawatir."Arga, bunuh
"Elena An?" Seorang pemuda berujar lirih bersama halimun tipis berwarna ungu yang perlahan pudar. Halimun itu memudar, menyelinap kembali dalam telapak tangan sang pemuda bersama dengannya yang nampak nyata setelah melebur bersama angin. Arganta, pemuda keturunanPlumitu menghentikan langkahnya saat akan masuk ke dalam rumah milik Han. Tak sengaja, atensinya menangkap cahaya berwarna ungu yang bersinar. Awalnya, cahaya ungu itu mengaburkan sosok wanita bersurai panjang yang tampak tidak jelas, dikaburkan gelap malam. Arga kira dia adalah Gwen atau Freya. Namun, saat cahaya ungu kabur yang berkilauan nampak dari seorang gadis berkulit putih, surai keunguan yang jelas, serta tanda bulan sabit di bawah matanya yang kabur, Arga yakin gadis itu Elena An. Tak berani menampakkan diri, Arga memilih menatap Elena yang berbincang dengan Han dari kejauhan. Ia tak percaya bahwa gadis yang selalu terkurung di istanaPurpurap
"Lepaskan aku, atau kubunuh kau!"Elena memekik cukup kencang saat Galen tiba-tiba menggunakan kekuatannya. Menahan Elena di tempat tidur dan hanya bisa meronta-ronta, tanpa bisa bangkit.Galen sungguh tak mempedulikan Elena. Pria itu bergeming, duduk menyilangkan kaki dan memakan apel berwarna merah merekah yang dipetiknya."Hei! Galen! Lepaskan aku!" Elena berteriak sekali lagi. Gadis itu kini terlihat sedikit murka."Tidak akan aku lepaskan," kata Galen dengan santainya.Elena mendengus kesal. Ia bahkan tidak tahu alasan Galen melakukan ini secara tiba-tiba. Galen benar-benar menguras emosi Elena."Apa kamu tidak takut kepadaku?! Aku bisa menghancurkanmu dengan satu jentikan jari!" ketus Elena.Galen menyeringai, lalu menatap Elena dengan tatapan mengejek. "Jika kamu bisa menghancurkanmu, kamu pasti bisa melepaskan pengaruh kekuatanku," kata Galen.Elena menatap Galen jengah. Seumur hidup Elena, pria itu benar-benar menggang
Elena terbangun dari tidur panjangnya. Terperangah hebat, ia mendapati dirinya berada di ruangan yang tidak ia kenali sama sekali. Mengerjapkan matanya perlahan, Elena mencoba memperhatikan ruangan kosong yang didominasi dengan warna hitam. Menakutkan.Gadis itu terkesiap, lalu terperanjat bangun. Menatap bingung dan memikirkan apa yang sebenarnya baru saja terjadi.Seingatnya, ia baru saja tak sengaja menemukanLavender, Han Satya di perpustakaan usang itu. Namun, apa yang terjadi setelahnya, Elena justru tidak mengingatnya sama sekali. Isi kepalanya seolah buyar, ingatannya perlahan menghilang."Han Satya... benar dugaanku. Kamu memang Lavender. Rasanya, aku pernah melihatmu jauh di dalam mimpiku, sebelum aku kesini," gadis bersurai ungu itu berujar lirih, nyaris tak terdengar.Ya, memang benar. Jauh sebelum Elena keDurango, gadis dengan bola mata berwarna ungu itu sempat memikirkan Han Satya yang memang memiliki ke
Elena terus menarik tangan Han menyusuri jalan setapak kecil yang berada di samping istana utama Purpura, sementara yang lainnya mengekor dari belakang dengan tatapan tak tenang. Gadis itu seolah tak takut oleh apa pun, meski semak belukar dan rumput yang menjulang tinggi menghalangi pandangannya.“Aku takut. Bagaimana jika bangsa Chad ada di sini?” tanya Freya ketakutan.“Aku juga. Seumur hidupku di Purpura, aku tak pernah berada di sini,” sahut Arganta.“Tenang saja. Kalian aman. Ini adalah jalan menuju tempat paling aman di Purpura. Istana terluar, tempat Elena menghabiskan waktu denganku seumur hidupnya,” ujar Galen.“Benar kata Galen. Kalian aman di sini, karena aku penguasanya,” ujar Elena seraya membuka sebuah gerbang kasat mata dengan kalung miliknya.Sebuah istana megah tiba-tiba terpampang nyata di hadapan mereka. Istana bernuansa ungu itu nampak mewah dengan dinding penyangga yang berkilauan, berlapiskan berlian Koh-I-Noor yang legendaris dan tenggelam dalam misteri. Tak pe
“DASAR TIDAK BERGUNA!”Liliana terlempar hingga kepalanya membentur kaca menjadi pecah. Gaun putihnya yang bersih kini berubah menjadi ungu, bersimbah darah ungu segar dari kepalanya.“Aku sudah berusaha,” Liliana berujar lirih sambil berlutut tak berdaya pada sosok lelaki dengan kemeja kotak-kotak berwarna kuning dan topi putih yang menutupi sebagian wajahnya.Laki-laki itu berjongkok lalu meraih dagu Liliana dan mulai mencekiknya. “Berusaha kau bilang? Berusaha untuk jadi bodoh?! Bagaimana seorang Plum akhirnya mengetahui identitasmu?!” tukasnya.Liliana menangis. Pening di kepala sulit untuk membuatnya berbicara. Ia juga saat ini merasa dikhianati oleh kekasihnya sendiri. Liliana pikir, Arga bisa menjadi tempatnya bersandar saat misinya selesai. Tapi Liliana salah. Arga selama ini hanya memata-matainya untuk membantu Orchid.“Dasar gadis sinting!”Laki-laki bermata hijau be
Gulita malam melahap langit Jakarta malam ini. Kota yang terbiasa ramai kini menjadi sunyi dengan halimun yang perlahan menebal. Itu ulah Arga. Arga yang terbakar emosi karena Liliana. Kilat di matanya terlihat jelas saat ia melihat Liliana tengah bersantai di bak mandi bertabur bunga. Bersantai di tengah isi kepala Arga yang kini kacau setelah melihat kondisi Elena yang tak berdaya, hampir mati. Tapi lihatlah, seorang Violeta selamanya memang akan menjadi pembunuh berdarah dingin. Tanpa rasa bersalah, Liliana dengan tenang menikmati kota Jakarta dari ketinggian di balik bunga-bunga itu sambil meneguk anggur kesukaannya. "Arga?" Liliana menoleh saat ia melihat pantulan tubuh besar sedang menatapnya. Untuk waktu yang lama, Liliana sudah menyadari kehadiran Arga. Namun, ia memilih diam dan berpura-pura tenang sambil meyakinkan diri bahwa itu benar Arga, bukan Adias. "Sejak kapan kamu di sini?" tanya Liliana seraya berbalik dan menutupi
"Siapa gadis itu?" seorang gadis bergaun merah bertanya dengan sorot mata menyala usai melihat Saka dan Kale bersimbah darah, menggendong gadis yang hampir telanjang. Kale menatap gadis itu sebentar, lalu menghampirinya dan mencoba memeluknya. Tapi gadis itu menolak dengan acuh dan menghampiri Saka, mengabaikan Kale, kekasihnya. "Siapa dia?" tanya Kinan pada Saka, kekasih Kale yang kini sudah terbakar api cemburu melihat gadis yang tak ia kenal dibawa oleh Kale ke rumahnya. "Dia sepupu Gwen, Freya," jawab Saka. Kinan masih tak puas dengan jawaban Saka. Gadis itu kemudian duduk di samping Freya yang tak sadarkan diri dan memindai seluruh tubuhnya. "Apa yang kalian lakukan padanya? Bermain-main?" tanya Kinan curiga dengan nada sarkas yang membuat Saka geram, sementara Kale tersenyum simpul melihat sang kekasih cemburu. "Cemburu?" tanya Kale seraya menggoda Kinan dengan mengelus paha mulus Kinan. Namun, Kale malah mendapatkan gigitan di l
Elena terluka sangat hebat. Kakinya yang dilukai Yohan terus mengeluarkan darah ungu, hingga membuat gadis itu lemah tak sadarkan diri. Darah ungu Elena mungkin berbeda dengan bangsa Purpura lainnya. Darah itu bukan darah suci yang dipuja, tapi selalu jadi incaran. Darah itu selalu mengundang perasaan aneh, serta hawa dingin menakutkan seperti saat ini. Galen dan Zayed terlihat bersiaga di jendela kamar sesampainya Elena di kediaman Han. Mereka kompak memandang keluar, menajamkan mata elang miliknya untuk melihat kemungkinan Pembunuh Tak Kasat Mata berkeliaran mencuri energi Elena. Sementara Han mencoba mengobati luka Elena. Menjahitnya dengan kemampuan seorang mahasiswa kedokteran yang seharusnya mulai magang. Selama belajar soal kedokteran, baru kali ini Han mengobati luka dan menjahitnya. “Elena, kenapa kamu membahayakan dirimu?” gumam Han pelan seraya menatap wajah Elena yang terlelap penuh kekhawatiran, serta ketakutan. “Han, apa
Freya melenguh pelan dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Perlahan, gadis itu mencoba membuka mata dan mengerjapkannya.Sepasang atensinya membulat saat ia terbangun di ruangan gelap, nyaris tanpa cahaya. Freya hanya bisa melihat hitam pekat, sementara bau anyir khas darah memenuhi indera penciumannya, membuat Freya mual.Freya, gadis itu tiba-tiba menggigil ketakutan bersama dingin yang menelusup pelan. Freya tak bisa melihat apapun. Namun, ia bisa merasakan bahwa tubuhnya tak mengenakan sehelai kain, kecuali celana dalam. Payudaranya menyembul dengan tangan yang diikat ke atas. Sementara kakinya diikat pada sisi yang berlawanan terbuka lebar, seolah memperlihatkan celah di antara kedua pahanya.Panik, Freya mulai menangis. Napasnya memburu. Freya ingin sekali kabur dari tempat asing itu. Tapi, ia benar-benar terjebak. Tak bisa melarikan diri. Freya ingin menjerit, namun mulutnya tersumpal kain.Sementara itu, Freya tak menyadari jika seseorang d
"Seharusnya kau tidak pernah datang!" Ayunda terkesiap. Wanita berusia hampir setengah abad itu terperanjat bangun dari tidurnya. Lagi-lagi, ia mendengar suara yang sangat ia kenal jelas berbisik kepadanya. Satya An– pria yang sangat ia cintai. Wanita itu mengerjapkan matanya perlahan. Menyusuri ruangan luas untuk mencari si pemilik suara. Namun, ia tak bisa menemukan siapapun kecuali Arga yang sibuk memeriksa cairan infus di sampingnya. "Di mana Yohan?" Ayunda bertanya dengan suara lirih. Arga menoleh, menatapnya cukup lama. Lalu, ia memutuskan duduk di samping Ayunda. "Bibi sudah bangun? Yohan sedang di kamarnya. Dia baik-baik saja." Ayunda akhirnya bernapas lega, namun tak sepenuhnya. Ia merasakan pening di kepalanya, membuat peluh dingin jatuh bersamaan degup jantung yang berdetak tak karuan. Setiap kali bermimpi buruk, ia khawatir setiap kali bangun, Yohan Algenubi– putranya akan celaka. "Arga, aku memimpikan anak itu menggo
Galen dengan anggun menyiram tanaman di halaman yang mulai kering karena pergantian musim. Tak niat sama sekali, pemudaThistleitu menyiram asal tanaman apa saja yang ada di hadapannya untuk mengaburkan isi kepalanya yang penuh tentang Elena. Sudah satu minggu Galen dan Elena musuhan. Sudah seminggu juga Galen tak melihat Elena di rumah Han. Juga, sudah seminggu Galen tak pernah ada di rumah dan memilih mengurus Gwen yang masih saja dalam keadaan koma. Seminggu ini, Galen tak akan mempedulikan Elena. Untuk apa dia menaruh peduli, jika gadis itu justru datang keDurangountuk berpacaran dengan Han dan melupakan tujuan awal ia datang ke sini menembus pintu waktu. Jika saja Galen tahu bagaimana caranya pulang kePurpura, ia akan menghipnotis Elena untuk kembali dan mengurungnya di ruang bawah tanah tepat di bawah kamarnya sendirian. Tak memberinya makan dan membiarkannya mati dalam kegelapan. Tapi saya
Arga berjalan di antara dedaunan rapuh tertiup angin bulan Agustus yang berembus pelan. Namun, langkahnya terhenti saat Arga melihat sosok yang ia kenal. Pria keturunan Plumitu menatap lurus ke depan, pada sepasang manusia dari dunia berbeda. Elena dan Han.Arga melihat semuanya sebelum ia pergi dari tempat itu. Elena dan Han berciuman tepat di depan matanya.Jujur saja, saat ini Arga marah dan terbakar api cemburu. Sebelum memutuskan meninggalkanPurpura, ia dan Elena pernah bersama. Menjalin cerita bersama rasa yang hanya diketahui oleh hati masing-masing. Orang-orang menyebutnya cinta terlarang. Karena bagaimana pun, keturunanPlumhanya diperbolehkan menjalin hubungan dan menikah denganThistledanVioleta.BukanOrchid,keturunanLaviosadanLavenderyang sangat agung dan suci.Namun, layaknya pemuda yang dimabuk cin