Han Satya Aibek terperanjat bangun dari tidurnya dengan peluh yang membasahi seluruh tubuhnya. Napasnya tersenggal-senggal. Ia merasa seperti sudah dikejar-kejar penjahat, padahal ia hanya tertidur sebentar di sela-sela mengerjakan tugas kuliahnya.
Han mencoba untuk mengatur napasnya perlahan dan memijat pelipisnya pelan. Setelah stabil, ia langsung bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil minuman di atas nakas disamping tempat tidurnya.
Matanya tak sengaja beradu temu dengan kalender yang berada di atas nakas, menunjukkan angka 10 di bulan Mei. Hari ini ternyata adalah hari ulang tahunnya yang ke duapuluh.
Ia tersenyum simpul dengan sorot mata nanar. "Tak ada yang akan mengingatnya. Aruna tak bisa diandalkan," lirihnya.
Han tak punya siapa-siapa yang mengingat tentang hari ulang tahunnya. Setiap tahun, ia hanya menghabiskan pergantian usia sendirian dalam sepi yang ia renungi sendiri.
Kedua orang tua Han meninggal ketika ia dan adiknya masih kecil. Han dan Aruna kecil lalu tinggal bersama dengan kakek dan neneknya di Garut. Namun, beberapa tahun setelah mereka tinggal bersama, neneknya juga meninggal. Menyisakan Han, Aruna, dan sang kakek yang memutuskan untuk pindah dan tinggal mengadu nasib di ibukota.
Baik Aruna dan sang kakek tak akan ada yang ingin mengingat hari ulang tahun Han. Karena, sebuah tragedi tak terlupakan terjadi tepat saat ia menangis untuk pertama kalinya sebagai bayi manusia yang terlahir ke dunia.
Han kemudian beranjak menuju teras kamarnya. Matanya menerawang jauh ke arah langit yang begitu gelap. Namun perlahan, langit tersebut menampakkan sinar rembulan yang indah. Sinar berwarna putih yang perlahan-lahan berubah menjadi warna keunguan.
"Bolasaeg Choseungdal?" gumamnya lirih karena teringat sesuatu.
Bolasaeg Choseungdal adalah fenomena bulan sabit berwarna keunguan. Fenomena itu jarang sekali terjadi sampai-sampai dikira hanya sebuah dongeng belaka yang dipercaya oleh sebagian masyarakat.
Namun, jika kalian bisa menerawangnya lebih jauh, kalian dapat melihat bulan sabit berwarna keunguan yang indah setiap duapuluh tahun sekali. Menurut kepercayaan, hanya orang-orang tertentu yang dapat melihatnya. Mungkin, Han salah satu yang mendapat kepercayaan untuk menyaksikan fenomena alam yang langka itu.
Han tersenyum sambil terus memandangi bulan sabit yang perlahan berubah warna. Namun, tak lama kemudian senyuman di wajahnya menghilang saat bulan sabit tiba-tiba berubah menampakkan sinar keunguan bernama Orchid Trabem yang lebih gelap.
Han terdiam dan menatapnya heran.
"Apa yang terjadi? Apakah itu sinar bernama Orchid Trabem yang selalu kudengar dari kakek?" Han bermonolog.
Tiba-tiba ia menjadi ingat apa yang pernah diceritakan oleh sang kakek saat ia masih kecil. Tentang satu dunia tempat di mana akal sehat tak berlaku dan semua orang terlahir dengan darah berwarna ungu yang mengalir di tubuhnya. Dunia yang tak boleh diganggu keberadaannya.
Dunia itu adalah Purpura.
Han terus menatap bulan sabit itu dan semakin dibuat bingung. Ia tak percaya bahwa apa yang dikatakan kakeknya, benar nyatanya. Ia melihatnya dengan mata dan kepalanya sendiri. Sinar Orchid Trabem berada tepat di depan matanya.
Saat bulan sabit menampakkan sinar keungu-unguan bernama Orchid Trabem, gerbang di antara dua dunia yang saling bertentangan akan terbuka lebar. Kau akan melihat sesuatu yang tidak pernah kau percayai selama ini.
Kalimat itu tiba-tiba terngiang dalam kepala Han. Berbisik seperti sebuah lagu yang membuatnya merinding.
"Apakah Purpura benar nyatanya?" Han bingung.
"Kakak!”
Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis memanggilnya. Han langsung membalikkan badannya dan menoleh ke arah gadis yang baru saja menerobos masuk ke dalam kamarnya.
Han langsung mengernyitkan dahinya. Sebuah sinar keungu-unguan mirip warna Lavender dan Orchid tiba-tiba keluar dari dada miliknya menembak ke arah adik perempuannya, Aruna Elara.
Han dan Aruna kompak membuka mulut mereka lebar, mematung di tempat mereka berdiri. Keduanya tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.
"Kak Han, apa itu? Apa yang baru terjadi?" tanya Aruna kebingungan.
Han menggelengkan kepalanya, tak tahu. Ia kemudian menyentuh bagian dada miliknya yang mengeluarkan sinar keunguan. Ia merasakan ada sesuatu yang melingkar di lehernya.
Sebuah kalung berbentuk bulan sabit berwarna ungu mirip warna ungu Lavender dan Orchid.
"Apa ini?" tanya Han bingung.
Aruna yang melihat itu langsung tersentak bukan main. Matanya membulat sempurna menatap sebuah benda kecil yang bersinar terang melingkar di leher sang kakak. Lalu, menghampirinya dan menyentuhnya dengan sorot mata berbinar, takjub.
“Kak, ini kalung bangsa Purpura yang selalu kakek ceritakan. Apa namanya? Da? Dal? Dalanseok?” tanya Aruna.
Han baru ingat. Ia memang pernah melihat kalung tersebut, di buku dongeng saat ia masih kecil. "Ini kalung milik Laviosa yang hilang dari Purpura.”
“Bagaimana kak Han mendapatkannya? Ah, tunggu! Jadi, Purpura itu nyata? Wah! Luar biasa! Aku ingin bertemu dengan Thistle yang tampan,” Aruna berujar kegirangan, memikirkan bahwa tokoh fiksi yang selalu diceritakan kakeknya nyata berada di dunianya. Pasti menyenangkan.
Han menatap kalung itu dan terus memutar otaknya. Bagaimana bisa aku memakai kalung ini? Batinnya.
"Aku harus bertemu dengan kakek,” katanya.
Ia kemudian beranjak dari tempatnya berdiri. Namun, setelah beberapa langkah ia langsung menghentikannya tepat di hadapan Aruna, adiknya.
Han menatap sang adik bingung. Ia merasa ada sesuatu yang sangat aneh pada Aruna malam ini. Tapi apa?
“Kenapa? Apa aku tambah cantik?” tanya Aruna sembari mengedipkan matanya di hadapan Han dan bertingkah manis.
Saat itu juga, Han tahu apa yang aneh pada adiknya. Kedua bola mata Aruna berubah menjadi warna keunguan, persis seperti warna yang seharusnya dimiliki seorang Orchid Purpura. Aruna memiliki bola mata berwarna ungu gelap.
"Apa yang terjadi? Apakah ini nyata? Sepertinya aku jadi gila. Aaarrrggghhh!" Han mengerang frustasi, kemudian berlalu meninggalkan Aruna yang berdiri kebingungan.
"Apakah kecantikanku membuatnya gila? Dasar kak Han, lama-lama dia bisa jatuh cinta pada adiknya sendiri. Cinta terlarang?” Aruna terkekeh sendirian.
***
Di negeri lain, negeri Purpura, seorang gadis bersurai keunguan sedang bergelantungan di sebuah papan besi yang berada di halaman kamarnya yang luas.
Bukan tanpa alasan, gadis itu melakukannya untuk melihat Bolasaeg Choseungdal yang diperkirakan akan terjadi malam ini, setelah duapuluh tahun berlalu. Tepat di hari di mana ia dilahirkan.
Elena An, gadis itu berharap dapat melihat sinar Orchid Trabem malam ini untuk melakukan suatu misi penting. Kabur dari Purpura untuk menemukan jawaban atas segala keraguan dalam hatinya.
"Tuan putri, apa yang sedang kau lakukan di sana?" tanya seseorang yang baru saja datang menghampiri Elena.
Elena tahu siapa orang itu tanpa melihatnya. Dia adalah Galen Byakta, raja bangsa Purpura keturunan Thistle. Juga, orang yang paling Elena percaya dan menyayangi Elena sepenuh hati.
Elena mendesah pelan, kemudian ia turun dari papan besi dan berbalik menatap Galen dengan sorot mata kejamnya, seperti biasa. "Bisakah kamu berhenti memanggilku seperti ini? Aku bukan tuan putri!" tukasnya kesal.
Galen terkekeh. “Memangnya kenapa? Aku raja bangsa ini. Jadi, aku bebas memanggilmu apa saja, tuan putriku.”
Elena menatapnya sinis. "Yah! Jangan sombong! Meskipun kamu raja bangsa ini, tetap akulah yang mengendalikan Purpura. Aku keturunan langsung dari Lavender, raja terakhir bangsa ini sebelum kamu menggantikannya!"
"Aku ratu asli negeri ini. Kamu hanya bonekaku, Galen Byakta!" ketus Elena kesal, seraya memamerkan cahaya ungu dari telapak tangannya.
Galen tersenyum tipis. Apa yang dikatakan Elena memang benar adanya. Meskipun ia seorang raja, ia tetap hanya boneka yang dimainkan oleh sang putri dari raja terdahulu. Putri raja yang tidak boleh diketahui identitasnya karena terlahir sebagai Orchid Purpura yang menuai banyak kebencian.
Selama duapuluh tahun, ia dan keluarganya menghabiskan waktu untuk mendedikasikan hidupnya melindungi sang putri raja dari kejahatan yang selalu mengintainya, termasuk bangsa Violeta.
“Galen, apakah Bolasaeg Choseungdal akan telihat malam ini?” tanya Elena.
“Entahlah,” Galen menjawab seadanya, menatap langit malam yang sedang ditatap Elena. Bulan sabit memang terlihat, namun tidak menampakkan warna keungu-unguan seperti apa yang telah tertulis dalam buku-buku yang ia baca.
"Aku sudah menantikannya selama duapuluh tahun,” lirih Elena.
"Aku juga,” lirih Galen.
Elena kemudian menatap Galen. "Untuk apa kamu menantikannya? Memangnya kamu punya urusan apa?" tanya Elena.
Galen tersenyum kecil. "Untuk menikahimu,” katanya. "Saat Bolasaeg Choseungdal terjadi, lalu sinarnya menampakkan warna Orchid Trabem yang lebih gelap, itu adalah malam yang tepat untuk melangsungkan pernikahan antara Orchid dan Thistle."
Tentu saja Galen berbohong. Hal itu tidak pernah dituliskan dalam ramalan bangsa Purpura atau buku-buku yang beredar luas di sana. Itu hanya harapan yang Galen selalu langitkan. Menikahi Elena di bawah sinar bulan sabit keungu-unguan.
Sementara itu, Elena terdiam dan terlihat bingung. "Benarkah? Sepertinya aku baru tahu tentang itu. Yang aku tahu, saat hal itu terjadi gerbang antara dua dunia yang saling bertentangan akan terbuka lebar."
“Elena! Apa kamu sudah membaca buku yang membahas tentang itu?” tanya Galen sedikit terkejut.
Elena mengangguk pelan. Kemudian ia mengernyitkan dahinya. Ada sesuatu yang tidak beres. Dia dapat merasakannya dengan kekuatan yang ia miliki bahwa Galen telah berbohong.
Tanpa rasa kasihan, Elena langsung memukul Galen tanpa ampun.
"Yah! Galen! Berhentilah berbohong! Atau kamu akan kuhancurkan!" tukas Elena kesal. "Kamu hampir saja merusak sejarah dan kepercayaan yang ada."
Galen tertawa, kemudian mendekati Elena. "Maafkan aku. Aku hanya becanda."
Elena langsung memalingkan wajahnya dan kembali menatap bulan sabit yang masih belum berubah warna menjadi keunguan.
"Elena, hari ini adalah hari ulang tahun kita, ayo kita merayakannya bersama. Bunda permaisuri sudah menunggu kita,” ujar Galen.
Elena menghela napasnya berat. "Tidak untuk sekarang, Galen. Aku masih menantikan bulan sabit itu berubah menjadi keunguan,” ujarnya seraya menerawang jauh pada silau terang bulan tanpa bintang yang menemani.
"Apa yang akan kamu lakukan saat warna Orchid Trabem terlihat, Elena?" tanya Galen.
Elena menatap Galen dan tersenyum simpul. "Aku akan melarikan diri ke Durango, tempat di mana Saram tinggal.”
"Kamu gila?!!" mata Galen membulat sempurna.
Elena mengangguk. "Aku sudah menjadi gila sejak lama. Lagipula untuk apa aku tinggal disini saat semua Purpura tak menginginkan kehadiranku? Aku hanya dianggap bayang semu. Dilahirkan, dicaci, lalu dianggap tak pernah ada,” ujarnya.
Galen mengerang frustasi. Apa yang ada di pikiran Elena adalah salah dan tidak boleh terjadi, bagaimanapun keadaannya.
“Elena An, apa kamu sudah membaca buku tentang Orchid Trabem yang dirilis duapuluh tahun lalu? Bukan hanya kita berdua yang dilahirkan pada malam itu. Tapi, ada lima di antara kita. Empat yang akan saling membantu dan satu yang akan menghancurkanmu!” tukas Galen.
"Jika kamu memutuskan untuk pergi ke Durango, kamu tidak akan bertahan hidup, Elena. Violeta yang maha kuat akan membunuhmu. Kamu akan mati!” tukas Galen.
Elena menundukkan kepalanya, terlihat kecewa. Alasannya tinggal di istana paling luar yang tak kasat mata adalah untuk menghindari keturunan Violeta terakhir, yang diprediksi akan membunuhnya dalam ramalan duapuluh tahun yang lalu.
"Tinggalah disini, bersamaku, Elena. Kamu bisa menjadi ratuku disini dan aku akan melindungimu,” ujar Galen yang langsung menggenggam tangan Elena.
"Aku tidak bisa. Bagaimanapun caranya, aku harus pergi ke Durango," Elena selalu keras kepala.
"Elena!" pekik Galen.
Elena hanya menatap Galen datar. Kemudian ia berjalan ke teras kamarnya dan kembali menerawang jauh ke arah langit. Bulan sabit perlahan berubah warna menjadi keunguan.
"Galen, kamu lihat itu!” Elena menunjuk ke arah langit. “Bulan sabitnya sudah berubah warna,” gadis itu tersenyum begitu puas, mengetahui penantiannya tak sia-sia.
Galen langsung mendongakkan kepalanya dan menatap bulan sabitnya dengan perasaan yang dongkol. Bulan sabit itu benar-benar berwarna keunguan seperti yang dikatakan ramalan dupuluh tahun lalu.
"Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Kamu bahkan tak tahu bagaimana caranya bisa pergi ke Durango!" tukas Galen.
Elena menyeringai. "Kamu salah menilaiku, sayang. Apa kamu berpikir aku tidak tahu apa-apa? Kamu mau ikut denganku, jika aku bisa?” tanya Elena.
Galen hanya diam. Tidak ada yang tahu bagaimana caranya masuk ke dalam dunia yang berbeda itu, kecuali Lavender dan Laviosa yang telah tiada.
Elena memejamkan matanya saat bulan sabit sudah menampakkan warna Orchid Trabem yang telah ia tunggu sejak lama. Setelah beberapa detik, ia kemudian membuka matanya kembali dan menatap bulan sabit itu.
Sinar berwarna Orchid dari bola matanya bak laser menembak langsung ke arah bulan sabit. Galen yang melihat itu terlihat bingung. Seumur hidupnya, ia tak pernah melihat seorang Purpura yang melakukan hal seperti itu.
"Elena, apa yang kamu lakukan? Bagaimana bisa matamu bersinar seperti laser?" tanya Galen bingung.
Elena tak menjawabnya. Ia fokus menatap bulan sabit itu sambil terus menembakkan sinar dari matanya. Tangan kanannya bergerak seolah menarikan sesuatu, sedangkan tangan sebelah kirinya memegangi tanda lahir berbentuk bulan sabit di dekat matanya.
Setelah itu, Elena tiba-tiba berputar sebanyak lima kali dan menarikan tarian spirit. Tarian yang dipercaya akan menuntunnya menuju dunia yang berbeda.
"Galen, pegang tanganku!" Elena menjulurkan tangannya. Tanpa basa-basi, Galen langsung meraihnya, seolah mempercayai si gadis Orchid itu.
Elena tersenyum. "Kamu ikut denganku."
Kemudian Elena menari kembali bersama dengan Galen dalam genggamannya. Galen tak mengerti apa yang dilakukan Elena. Tapi, entah kenapa ia percaya bahwa apa yang dilakukannya adalah salah satu cara untuk dapat keluar dari Purpura yang menyesakkan ini.
Setelah menari, Elena kemudian berhenti. Tangan kanannya memegangi dadanya, kemudian ia memejamkan matanya.
"Aku, Elena An. Keturunan terakhir bangsa Lavender yang terlahir sebagai seorang Orchid akan membuka gerbang Sateunik antara Purpura dan juga Durango,” yutur Elena.
Untuk membalaskan dendamku. Batin Elena.
Setelah itu, Elena membuka matanya. Sebuah cahaya besar berwarna putih berdiri di hadapannya. Cahaya itu adalah gerbang Sateunik yang akan membawanya menuju Durango, dunia tempat manusia bernama Saram tinggal.
"Kamu benar-benar membuka gerbang Sateunik?" tanya Galen tak percaya.
Elena tersenyum, kemudian menatap Galen serius. Sampai mata laki-laki itu juga bersinar sesuai dengan warna yang ia miliki, Thistle yang cantik. "Jangan pernah lepaskan tanganku, sampai kita tiba di Durango."
Galen mengangguk. Dia telah dihipnotis oleh kekuatan alam semesta yang dimiliki Elena.
Mereka berdua kemudian melangkah perlahan memasuki gerbang Sateunik. Elena dan Galen menjadi orang ketiga dan keempat yang mengunjungi Durango, setelah duapuluh tahun berlalu.
Di sisi lain, seorang gadis bersurai panjang keunguan menyeringai menatap sebuah cahaya berwarna Orchid menembak bulan.
Saat cahaya berwarna Orchid menembak bulan sabit di malam Bolasaeg Choseungdal, seorang Violeta harus menemukannya dan membunuhnya.
"Kau akan celaka!"
Gadis itu tersenyum sinis, kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik rambutnya. Pisau berwarna Violeta yang sangat tajam.
"Akhirnya aku akan menemukanmu, Orchid Purpura,” tutur gadis itu.
Gadis bernama Liliana Moon itu kemudian melangkahkan kakinya dan melakukan tarian spirit. Setelah beberapa saat, gadis itu menghilang bersama cahaya berwarna putih yang hilang di telan bulan sabit.
Gadis itu pergi untuk menemukan Orchid yang harus dibunuhnya.
Setelah melalui gerbang Sateunik untuk mencapai Durango, akhirnya Elena dan Galen telah sampai di dunia tempat Saram atau manusia biasa tinggal. Elena menatap datar ke arah orang-orang dan juga bangunan-bangunan yang berdiri tegak tepat di depan matanya. Durango tidak jauh berbeda dengan Purpura. Dua dunia yang sangat berbeda itu memiliki kehidupan yang hampir sama, hanya saja Purpura lebih unggul dalam segalanya. Purpuramemiliki kekuatan yang tak dimiliki oleh manusia biasa di Durango yang lemah. "Tuan putri, kita ada di mana?" tanya Galen kebingungan. Fokus dan sadarnya masih belum kembali setelah sebelumnya ia di hipnotis Elena saat berada di Purpura. Galen juga merasakan pusing luar biasa, kepalanya serasa ingin pecah. "Galen, tataplah mataku," kata Elena seraya menangkup wajah pemudaThistleitu. Galen langsung menurutinya dan menatap mata Elena denga
Han membawa Elena dan Galen ke rumahnya dengan dibantu oleh sahabatnya Gavin yang sengaja ia telepon untuk membantunya.Ia tak pernah mengira kelimpungannya malam ini justru membuatnya bertemu dengan dua manusia aneh yang tiba-tiba pingsan di jalan. Benar-benar sangat merepotkan menjadi orang yang baik.Han memandangi gadis yang kini sedang terpejam di kamar milik adiknya. Entah kenapa ia merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia merasakan suatu ikatan dengan gadis bersurai ungu itu saat melihatnya berjalan di jalanan sampai akhirnya gadis itu pingsan dan Han tanpa sadar berlari ke arahnya, dengan perasaan yang berkecamuk. Seolah pernah bertemu sebelumnya."Han Satya Aibek, apa dia pacarmu?" tanya Gavin penasaran. "Freya bagaimana?" tanyanya lagi, seraya memperlihatkan layar ponsel miliknya di mana Freya terus-terusan menghubunginya untuk mengetahui kabar Han.Han menepis ponsel milik Gavin, tak tertarik sama sekali. "Bukan. Aku hanya menolongny
Sisa-sisa sinar matahari di kota Jakarta menampakkan warna merah saga yang indah. Namun perlahan memudar dan menghitam. Menyisakan gulita pada lengkung langit tanpa bintang, pada Jakarta yang semakin temaram.Seminggu berlalu sejakBolasaeg Choseungdal,Jakarta mulai mendapatkan nyawanya kembali. Tak ada halimun tipis yang menyelimuti Batavia yang ramai. Semuanya perlahan membaik, sejaksinarOrchid Trabempada bulan sabit seminggu lalu membuat beberapa manusia menjadi limpung, seperti Han.Han berjalan masuk ke dalam kamar milik adiknya dengan membawa beberapa makanan dan minuman.Sudah satu minggu ia tidak bisa beraktivitas seperti biasa karena harus menjaga adiknya dan orang-orang Purpura yang menyambangi rumahnya. Ia sedikit menyesal waktu itu pernah menolong gadis Orchid dan juga Baginda RajaPurpura yang menyebalkan, Galen. Sekarang, ia harus mengurus mereka. Termasuk Zayed, bocah l
"Elena, kamu tidak apa-apa?" Galen bertanya setelah kesunyian singkat yang membuat semua terdiam.Elena menatap pemuda itu. Bukan Galen, melainkan Han.Gadis Orchid yang biasa kuat itu tak bisa menyembunyikan mimik terkejut pada wajahnya, saat ia mencoba mengira-ngira apa yang terjadi dengan tubuhnya yang tiba-tiba kesakitan."K-kamu... baik-baik saja?" tanya Han tergagap.Mengangkat wajah, Elena yang mulai pucat bergeming melihat raut wajah Han yang nampak ketakutan.Elena terguncang menahan rasa sakit luar biasa di sekujur tubuhnya. Seumur hidupnya, baru kali ini ia merasa tak berdaya. Sampai tak bisa mengucap sepatah kata pun.Ia tak pernah merasakan sakit seperti ini meski terus-terusan memakai kekuatannya. Karena seharusnya, saat ia tertidur dengan waktu yang lama, kekuatannya perlahan akan pulih. Tapi, yang terjadi sekarang sangatlah berbeda."Kak Elena, apa kakak bisa mendengarku? Kakak tidak seperi biasanya seperti in
Galen dan Zayed bergantian terjaga untuk menjaga Elena dan Aruna semalaman.Bukan tanpa alasan. Kedua pria itu tiba-tiba was-was juga waspada terhadap sesuatu tak kasat mata yang sedang mengincar mereka. Sesuatu tak terlihat yang menghisap darah ungu mereka diam-diam, hingga perlahan kekuatan mereka mungkin memudar. Seperti yang terjadi pada Elena.Kemungkinan terburuk, sesuatu tak kasat mata itu juga mengincar nyawa semua yang berhubungan dengan Purpura. Karenanya, sebisa mungkin bangsa Purpura tak boleh terendus keberadaannya di Durango. Jika ketahuan, sudah pasti gladi kotor kematian menanti tanpa permisi.Galen Byakta, pemuda Thistle itu tak hentinya memandangi Elena, Aruna, dan gadis lain yang menerobos masuk ke dalam kamar Aruna dalam keadaan mabuk malam tadi.Gwen nama gadis itu. Entah kenapa, Galen merasakan aura aneh pada Gwen. Namun, ia tak bisa menemukan apapun, selain mengetahui identitas Gwen adalah seorang
Setelah kesalahpahaman yang mengusik pagi milik Gwen, suasana menjadi lebih kondusif.Namun, tidak dengan Gwen. Gadis itu duduk tepat di dekat jendela kamar miliknya, dengan kaki yang terus bergoyang tak mau diam. Sementara mulutnya sibuk mengigit jari-jari tangannya yang semakin pendek. Gwen benar-benar terlihat gelisah dengan apa yang baru saja terjadi.Untuk sejenak, Gwen tak sanggup menoleh pada seseorang yang kini sedang menatapnya. Ia begitu terpaku mengingat wajah mengerikan Zayed yang mencekiknya tadi. Ia sempat melihatnya. Pada masa lalu yang ingin ia lupakan."Gwen apa ada yang salah?" tanya seseorang yang tak lain adalah Arga, sahabatnya.Gwen masih bergeming. Tak ingin berbicara pada Arga. Isi kepalanya berkecamuk. Bayangan tentang kematiannya terngiang jelas."Gwen?" sekali lagi Arga mencoba untuk memanggilnya.Gwen menoleh, tak bisa tersenyum. Gadis itu menatap dalam-dalam mata ungu yang menatapnya khawatir."Arga, bunuh
"Elena An?" Seorang pemuda berujar lirih bersama halimun tipis berwarna ungu yang perlahan pudar. Halimun itu memudar, menyelinap kembali dalam telapak tangan sang pemuda bersama dengannya yang nampak nyata setelah melebur bersama angin. Arganta, pemuda keturunanPlumitu menghentikan langkahnya saat akan masuk ke dalam rumah milik Han. Tak sengaja, atensinya menangkap cahaya berwarna ungu yang bersinar. Awalnya, cahaya ungu itu mengaburkan sosok wanita bersurai panjang yang tampak tidak jelas, dikaburkan gelap malam. Arga kira dia adalah Gwen atau Freya. Namun, saat cahaya ungu kabur yang berkilauan nampak dari seorang gadis berkulit putih, surai keunguan yang jelas, serta tanda bulan sabit di bawah matanya yang kabur, Arga yakin gadis itu Elena An. Tak berani menampakkan diri, Arga memilih menatap Elena yang berbincang dengan Han dari kejauhan. Ia tak percaya bahwa gadis yang selalu terkurung di istanaPurpurap
"Lepaskan aku, atau kubunuh kau!"Elena memekik cukup kencang saat Galen tiba-tiba menggunakan kekuatannya. Menahan Elena di tempat tidur dan hanya bisa meronta-ronta, tanpa bisa bangkit.Galen sungguh tak mempedulikan Elena. Pria itu bergeming, duduk menyilangkan kaki dan memakan apel berwarna merah merekah yang dipetiknya."Hei! Galen! Lepaskan aku!" Elena berteriak sekali lagi. Gadis itu kini terlihat sedikit murka."Tidak akan aku lepaskan," kata Galen dengan santainya.Elena mendengus kesal. Ia bahkan tidak tahu alasan Galen melakukan ini secara tiba-tiba. Galen benar-benar menguras emosi Elena."Apa kamu tidak takut kepadaku?! Aku bisa menghancurkanmu dengan satu jentikan jari!" ketus Elena.Galen menyeringai, lalu menatap Elena dengan tatapan mengejek. "Jika kamu bisa menghancurkanmu, kamu pasti bisa melepaskan pengaruh kekuatanku," kata Galen.Elena menatap Galen jengah. Seumur hidup Elena, pria itu benar-benar menggang
Elena terus menarik tangan Han menyusuri jalan setapak kecil yang berada di samping istana utama Purpura, sementara yang lainnya mengekor dari belakang dengan tatapan tak tenang. Gadis itu seolah tak takut oleh apa pun, meski semak belukar dan rumput yang menjulang tinggi menghalangi pandangannya.“Aku takut. Bagaimana jika bangsa Chad ada di sini?” tanya Freya ketakutan.“Aku juga. Seumur hidupku di Purpura, aku tak pernah berada di sini,” sahut Arganta.“Tenang saja. Kalian aman. Ini adalah jalan menuju tempat paling aman di Purpura. Istana terluar, tempat Elena menghabiskan waktu denganku seumur hidupnya,” ujar Galen.“Benar kata Galen. Kalian aman di sini, karena aku penguasanya,” ujar Elena seraya membuka sebuah gerbang kasat mata dengan kalung miliknya.Sebuah istana megah tiba-tiba terpampang nyata di hadapan mereka. Istana bernuansa ungu itu nampak mewah dengan dinding penyangga yang berkilauan, berlapiskan berlian Koh-I-Noor yang legendaris dan tenggelam dalam misteri. Tak pe
“DASAR TIDAK BERGUNA!”Liliana terlempar hingga kepalanya membentur kaca menjadi pecah. Gaun putihnya yang bersih kini berubah menjadi ungu, bersimbah darah ungu segar dari kepalanya.“Aku sudah berusaha,” Liliana berujar lirih sambil berlutut tak berdaya pada sosok lelaki dengan kemeja kotak-kotak berwarna kuning dan topi putih yang menutupi sebagian wajahnya.Laki-laki itu berjongkok lalu meraih dagu Liliana dan mulai mencekiknya. “Berusaha kau bilang? Berusaha untuk jadi bodoh?! Bagaimana seorang Plum akhirnya mengetahui identitasmu?!” tukasnya.Liliana menangis. Pening di kepala sulit untuk membuatnya berbicara. Ia juga saat ini merasa dikhianati oleh kekasihnya sendiri. Liliana pikir, Arga bisa menjadi tempatnya bersandar saat misinya selesai. Tapi Liliana salah. Arga selama ini hanya memata-matainya untuk membantu Orchid.“Dasar gadis sinting!”Laki-laki bermata hijau be
Gulita malam melahap langit Jakarta malam ini. Kota yang terbiasa ramai kini menjadi sunyi dengan halimun yang perlahan menebal. Itu ulah Arga. Arga yang terbakar emosi karena Liliana. Kilat di matanya terlihat jelas saat ia melihat Liliana tengah bersantai di bak mandi bertabur bunga. Bersantai di tengah isi kepala Arga yang kini kacau setelah melihat kondisi Elena yang tak berdaya, hampir mati. Tapi lihatlah, seorang Violeta selamanya memang akan menjadi pembunuh berdarah dingin. Tanpa rasa bersalah, Liliana dengan tenang menikmati kota Jakarta dari ketinggian di balik bunga-bunga itu sambil meneguk anggur kesukaannya. "Arga?" Liliana menoleh saat ia melihat pantulan tubuh besar sedang menatapnya. Untuk waktu yang lama, Liliana sudah menyadari kehadiran Arga. Namun, ia memilih diam dan berpura-pura tenang sambil meyakinkan diri bahwa itu benar Arga, bukan Adias. "Sejak kapan kamu di sini?" tanya Liliana seraya berbalik dan menutupi
"Siapa gadis itu?" seorang gadis bergaun merah bertanya dengan sorot mata menyala usai melihat Saka dan Kale bersimbah darah, menggendong gadis yang hampir telanjang. Kale menatap gadis itu sebentar, lalu menghampirinya dan mencoba memeluknya. Tapi gadis itu menolak dengan acuh dan menghampiri Saka, mengabaikan Kale, kekasihnya. "Siapa dia?" tanya Kinan pada Saka, kekasih Kale yang kini sudah terbakar api cemburu melihat gadis yang tak ia kenal dibawa oleh Kale ke rumahnya. "Dia sepupu Gwen, Freya," jawab Saka. Kinan masih tak puas dengan jawaban Saka. Gadis itu kemudian duduk di samping Freya yang tak sadarkan diri dan memindai seluruh tubuhnya. "Apa yang kalian lakukan padanya? Bermain-main?" tanya Kinan curiga dengan nada sarkas yang membuat Saka geram, sementara Kale tersenyum simpul melihat sang kekasih cemburu. "Cemburu?" tanya Kale seraya menggoda Kinan dengan mengelus paha mulus Kinan. Namun, Kale malah mendapatkan gigitan di l
Elena terluka sangat hebat. Kakinya yang dilukai Yohan terus mengeluarkan darah ungu, hingga membuat gadis itu lemah tak sadarkan diri. Darah ungu Elena mungkin berbeda dengan bangsa Purpura lainnya. Darah itu bukan darah suci yang dipuja, tapi selalu jadi incaran. Darah itu selalu mengundang perasaan aneh, serta hawa dingin menakutkan seperti saat ini. Galen dan Zayed terlihat bersiaga di jendela kamar sesampainya Elena di kediaman Han. Mereka kompak memandang keluar, menajamkan mata elang miliknya untuk melihat kemungkinan Pembunuh Tak Kasat Mata berkeliaran mencuri energi Elena. Sementara Han mencoba mengobati luka Elena. Menjahitnya dengan kemampuan seorang mahasiswa kedokteran yang seharusnya mulai magang. Selama belajar soal kedokteran, baru kali ini Han mengobati luka dan menjahitnya. “Elena, kenapa kamu membahayakan dirimu?” gumam Han pelan seraya menatap wajah Elena yang terlelap penuh kekhawatiran, serta ketakutan. “Han, apa
Freya melenguh pelan dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Perlahan, gadis itu mencoba membuka mata dan mengerjapkannya.Sepasang atensinya membulat saat ia terbangun di ruangan gelap, nyaris tanpa cahaya. Freya hanya bisa melihat hitam pekat, sementara bau anyir khas darah memenuhi indera penciumannya, membuat Freya mual.Freya, gadis itu tiba-tiba menggigil ketakutan bersama dingin yang menelusup pelan. Freya tak bisa melihat apapun. Namun, ia bisa merasakan bahwa tubuhnya tak mengenakan sehelai kain, kecuali celana dalam. Payudaranya menyembul dengan tangan yang diikat ke atas. Sementara kakinya diikat pada sisi yang berlawanan terbuka lebar, seolah memperlihatkan celah di antara kedua pahanya.Panik, Freya mulai menangis. Napasnya memburu. Freya ingin sekali kabur dari tempat asing itu. Tapi, ia benar-benar terjebak. Tak bisa melarikan diri. Freya ingin menjerit, namun mulutnya tersumpal kain.Sementara itu, Freya tak menyadari jika seseorang d
"Seharusnya kau tidak pernah datang!" Ayunda terkesiap. Wanita berusia hampir setengah abad itu terperanjat bangun dari tidurnya. Lagi-lagi, ia mendengar suara yang sangat ia kenal jelas berbisik kepadanya. Satya An– pria yang sangat ia cintai. Wanita itu mengerjapkan matanya perlahan. Menyusuri ruangan luas untuk mencari si pemilik suara. Namun, ia tak bisa menemukan siapapun kecuali Arga yang sibuk memeriksa cairan infus di sampingnya. "Di mana Yohan?" Ayunda bertanya dengan suara lirih. Arga menoleh, menatapnya cukup lama. Lalu, ia memutuskan duduk di samping Ayunda. "Bibi sudah bangun? Yohan sedang di kamarnya. Dia baik-baik saja." Ayunda akhirnya bernapas lega, namun tak sepenuhnya. Ia merasakan pening di kepalanya, membuat peluh dingin jatuh bersamaan degup jantung yang berdetak tak karuan. Setiap kali bermimpi buruk, ia khawatir setiap kali bangun, Yohan Algenubi– putranya akan celaka. "Arga, aku memimpikan anak itu menggo
Galen dengan anggun menyiram tanaman di halaman yang mulai kering karena pergantian musim. Tak niat sama sekali, pemudaThistleitu menyiram asal tanaman apa saja yang ada di hadapannya untuk mengaburkan isi kepalanya yang penuh tentang Elena. Sudah satu minggu Galen dan Elena musuhan. Sudah seminggu juga Galen tak melihat Elena di rumah Han. Juga, sudah seminggu Galen tak pernah ada di rumah dan memilih mengurus Gwen yang masih saja dalam keadaan koma. Seminggu ini, Galen tak akan mempedulikan Elena. Untuk apa dia menaruh peduli, jika gadis itu justru datang keDurangountuk berpacaran dengan Han dan melupakan tujuan awal ia datang ke sini menembus pintu waktu. Jika saja Galen tahu bagaimana caranya pulang kePurpura, ia akan menghipnotis Elena untuk kembali dan mengurungnya di ruang bawah tanah tepat di bawah kamarnya sendirian. Tak memberinya makan dan membiarkannya mati dalam kegelapan. Tapi saya
Arga berjalan di antara dedaunan rapuh tertiup angin bulan Agustus yang berembus pelan. Namun, langkahnya terhenti saat Arga melihat sosok yang ia kenal. Pria keturunan Plumitu menatap lurus ke depan, pada sepasang manusia dari dunia berbeda. Elena dan Han.Arga melihat semuanya sebelum ia pergi dari tempat itu. Elena dan Han berciuman tepat di depan matanya.Jujur saja, saat ini Arga marah dan terbakar api cemburu. Sebelum memutuskan meninggalkanPurpura, ia dan Elena pernah bersama. Menjalin cerita bersama rasa yang hanya diketahui oleh hati masing-masing. Orang-orang menyebutnya cinta terlarang. Karena bagaimana pun, keturunanPlumhanya diperbolehkan menjalin hubungan dan menikah denganThistledanVioleta.BukanOrchid,keturunanLaviosadanLavenderyang sangat agung dan suci.Namun, layaknya pemuda yang dimabuk cin