Sisa-sisa sinar matahari di kota Jakarta menampakkan warna merah saga yang indah. Namun perlahan memudar dan menghitam. Menyisakan gulita pada lengkung langit tanpa bintang, pada Jakarta yang semakin temaram.
Seminggu berlalu sejak Bolasaeg Choseungdal, Jakarta mulai mendapatkan nyawanya kembali. Tak ada halimun tipis yang menyelimuti Batavia yang ramai. Semuanya perlahan membaik, sejak sinar Orchid Trabem pada bulan sabit seminggu lalu membuat beberapa manusia menjadi limpung, seperti Han.
Han berjalan masuk ke dalam kamar milik adiknya dengan membawa beberapa makanan dan minuman.
Sudah satu minggu ia tidak bisa beraktivitas seperti biasa karena harus menjaga adiknya dan orang-orang Purpura yang menyambangi rumahnya. Ia sedikit menyesal waktu itu pernah menolong gadis Orchid dan juga Baginda Raja Purpura yang menyebalkan, Galen. Sekarang, ia harus mengurus mereka. Termasuk Zayed, bocah laki-laki bersurai merah, yang tidak diketahui identitasnya.
"Makanlah. Kalian pasti lapar," kata Han datar.
"Terimakasih, kak Han," Zayed tersenyum manis, lalu mengambil makanan dan minuman yang ternyata memang sangat cocok di lidahnya sebagai seorang Saram yang menghabiskan seluruh hidupnya di Purpura.
Han menatap Galen yang hanya diam dan memain sebuah rubik di sisi jendela yang terbuka lebar. Semenjak kejadian seminggu lalu, sepertinya Han tak pernah bertegur sapa dengan Galen yang menyebalkan dan menakutkan untuknya.
"Woy!" Han terlihat gugup untuk menyapa Galen. "Kamu juga harus makan. Aku tidak ingin kesusahan karena kematianmu," katanya sedikit kesal.
Galen menyeringai, lalu membuang rubik di tangannya di antara pohon-pohon yang daunnya terayun-ayun menari bersama angin. Pemuda Thistle itu kemudian beranjak dan menghampiri Han dengan tatapan sedikit sinis.
Sementara Han yang bergidik ketakutan terus mundur, hingga tubuhnya terjebak di antara tembok dan Galen yang menurutnya menyeramkan.
"Kau harus memiliki sopan santun! Aku seorang raja, panggilah aku Yang Mulia Baginda Raja," tukas Galen.
Han menatap Galen tajam, namun semburat senyum terlukis di wajahnya. "Asal kamu tahu, Indonesia adalah sebuah negara demokrasi yang dipimpin oleh seorang presiden. Kamu tidak berhak untuk mengaturku di negara yang bebas ini. Ini bukan Purpura," tukas Han yang langsung disambut tawa Zayed. Menertawakan Galen si raja menyebalkan yang selalu haus akan kekuasaan.
"Sialan!" Galen mendengus kesal.
Han yang kesal mengerahkan keberaniannya untuk beranjak pergi dari Galen, lalu duduk di samping Aruna yang masih terlelap tidur. Aruna dan Elena, dua gadis itu sudah tak sadarkan diri selama satu minggu sejak peristiwa Bolasaeg Choseungdal.
"Sebenarnya kapan mereka akan terbangun?" tanya Han. "Waktuku benar-benar tersita karena harus mengurus kalian semua. Aku tidak bisa kuliah atau bertemu teman-temanku," gumam Han kesal.
"Apa kamu menyesal? Apa kamu ingin aku menunjukkan kekuatan superku untuk membunuhmu sekarang juga?" Galen tiba-tiba mengepalkan kedua tangannya, sorot matanya penuh amarah.
Han yang mendengar kalimat menakutkan itu tiba-tiba langsung meneguk salivanya. Ketakutan. Ingatan satu minggu lalu masih jelas membekas dalam kepalanya. Rasanya menakutkan saat merasakan kesakitan karena hal yang tidak bisa dilihat.
"Bukan begitu... aku... ha- hanya ingin tahu kapan mereka akan bangun. A-aku h-harus k-kuliah juga melakukan aktivitasku yang lain," Han tergagap.
"WOY!" Galen berteriak, lalu mendekati Han dan berniat untuk mencekiknya. Namun, digagalkan oleh Zayed.
Galen mengembuskan napasnya pasrah. Jika Zayed sudah bertindak mengagalkannya, tentu saja ia tak bisa melepaskan semua marah dalam dirinya kepada Han. Pemuda yang entah kenapa sangat Galen benci tanpa alasan hanya dengan melihat.
Pertama kali melihat Han malam itu, entah kenapa Galen merasa seperti terikat dengannya. Padahal, seorang Saram untuknya hanya makhluk rendahan yang tak sebanding dengannya. Sehingga, sampai kapan pun, Galen tak ingin terikat dengan manusia-manusia yang tak memiliki darah ungu dalam tubuhnya.
"Kau seharusnya menjaga kami. Seperti kakekmu menjaga gadis Purpura yang lemah itu. Kau adalah Abaronca, seorang Saram yang harus melindungi kami," tukas Galen.
"Kak, dia bukan Abaronca," kata Zayed lirih yang membuat Galen berbalik menatap ke arahnya. "Dia bahkan tak memiliki tanda bulan sabit kemerahan," jelas Zayed.
Dengan sepasang atensi yang membulat sempurna, Galen menatap Zayed bingung. "Benarkah?" tanyanya dengan raut wajah yang terlihat bodoh.
"Lalu, dia siapa sebenarnya, Zay?" tanya Galen heran.
Zayed menggelengkan kepalanya. Ia juga tidak tahu siapa sebenarnya seorang Han Satya Aibek. Ia bahkan tak mengerti kenapa kakek Aydin menginginkannya untuk menjaga Han saat Galen mencoba untuk mencelakainya di pertemuan pertama mereka, minggu lalu.
"Aku yang akan membantu kalian untuk menemukan manusia Lavender," kata Han tiba-tiba menarik perhatian Galen dan Zayed.
"Omong kosong! Kamu bahkan tak percaya bahwa dunia yang kutinggali ada nyatanya!" tukas Galen.
"Menurut buku yang pernah aku baca, sangat sulit untuk menemukan Yang Mulia Lavender. Dia adalah manusia biasa yang bahkan tak sadar bahwa dia sebenarnya adalah manusia suci yang dilahirkan karena satu alasan dan takdir yang mengikatnya," sahut Zayed.
Han tiba-tiba menghampiri Galen dan Zayed yang berdiri berdampingan. "Lalu, bagaimana dengan ini?" tanyanya seraya menunjukkan sebuah kalung berliontin bulan sabit berwarna ungu yang bersinar, melingkar di lehernya.
Kalung misterius itu berkilau, menembakkan cahaya keunguan setiap kali bertatapan langsung dengan seorang Purpura.
"Dalanseok?" Galen tercengang saat melihat kalung yang sudah lama menghilang. Ia pernah melihatnya di perpustakaan kerajaan, namun tak pernah melihat wujud sesungguhnya yang nampak menawan dan anggun.
***
Liliana Moon sendirian seperti biasa. Di dunia yang bukan tempat kelahirannya, gadis bersurai ungu itu menikmati segelas wine sembari menatap jauh kota Jakarta dari ketinggian.
Lili, begitu gadis itu dipanggil menenggak minumannya pelan-pelan, seraya menatap lekat satu-persatu cahaya lampu kota Jakarta yang berkilauan serupa berlian dalam gulita malam. Bukan untuk menikmati pemandangan malam Jakarta, Lili mencara seseorang yang harus ia bunuh dalam kurun waktu lima tahun.
Ia harus menemukan Orchid dan menghabisinya.
"Di Durango, aku akan dengan mudah menghabisimu," gadis Violeta itu menyeringai dengan senyuman sinis yang menakutkan.
"Menghabisi apa?"
Lili terkejut saat mendengar seorang pemuda tepat di belakangnya. Namun, sedetik kemudian ia tersenyum saat melihat bayangan yang nampak pada kaca besar yang ia pandangi.
Liliana Moon, gadis itu kemudian menoleh ke belakang dan menghampiri pemuda yang baru saja tiba di kamar apartemen miliknya.
"Menghabiskan wine bersamamu semalaman?" gadis itu tersenyum dengan senyuman yang sangat menggoda. Pakaian tidur tipis yang ia pakai menampakkan lekuk tubuhnya yang sempurna, semakin menggoda pemuda di hadapannya.
Pemuda itu tersenyum dan mendekatinya. Merengkuh Liliana dan menangkup dagunya, kemudian mencium bibirnya singkat.
Liliana tersenyum. Pemuda itu, Arganta Chand Japa kemudian memeluknya dari belakang dan menyeretnya menuju jendela. Menikmati malam kota Jakarta yang lebih cerah dibandingkan seminggu lalu saat ia berada di kamar milik Liliana.
"Kamu pasti sudah menungguku lama, Lili," lirih Arga seraya menciumi tengkuk leher milik Liliana, membuat gadis itu menggeliat geli, mengerang tertahan.
"Mmmh... akhu merindukanhmu..." kata Liliana seraya mendesah pelan, menikmati kenikmatan yang diberikan Arga kepadanya.
Sudah lama Arga tak menyentuhnya semenjak pergi. Tentu saja Liliana sangat merindukannya.
Arga tersenyum. Menarik Liliana mendekatinya, merengkuh tubuhnya erat ke dadanya hingga membuat gadis itu memejamkan matanya bersama halimun yang kembali dibawa Arga.
"Bagaimana Bandung dan orang tuamu, sayang?" tanya Arga.
"Bandung menyenangkan... Orang tuaku juga terlihat lebih bahagia, tak seperti biasanya," jawab Liliana.
Arga menatap Liliana datar. Sementara jemarinya menyusuri rambut ungu Liliana yang berkilauan saat ia mengarahkan bibirnya ke leher Liliana lagi. Kali ini hanya kecupan singkat, tak meninggalkan bekas.
Kamu pandai berbohong, Violeta bodoh. Aku tahu segalanya. Batin Arga.
"Aku ingin kamu terus berada di sampingku, Lili. Aku tidak ingin kesepian terus-terusan kamu tinggalkan di sini," bisik Arga tepat di telinga Liliana.
Lebih tepatnya, Arga tak ingin Liliana melakukan hal yang macam-macam dan mencelakai Elena An, gadis Orchid yang sangat Arga cintai.
Sama seperti Liliana, Arga adalah seorang Purpura keturunan terakhir Plum yang terikat dengan anak-anak yang dilahirkan di bawah Bolasaeg Choseungdal, termasuk Liliana dan Elena.
Arga sudah lama menjalin hubungan dengan Liliana Moon, gadis Violeta yang kejam. Pembunuh berdarah dingin yang tersenyum saat melihat seseorang mati dalam genggamannya.
Namun, Arga tak pernah jatuh cinta padanya. Ia hanya berpura-pura menjadi seorang Saram bodoh yang jatuh cinta kepadanya. Memikat Liliana terperangkap dalam jebakannya dan menghentikan aksi gila yang akan menghancurkan dunia.
Baik Liliana maupun Arga sebenarnya sudah lama berada di dunia Saram dan menyamar. Mereka berdua tahu bagaimana caranya melarikan diri ke Durango, jauh sebelum pintu waktu terbuka pada malam Bolasaeg Choseungdal minggu lalu.
Mereka berdua sama-sama tahun tentang rahasia di balik dunia yang saling bertentangan. Berpura-pura menjadi Saram untuk melancarkan misi masing-masing.
***
"Aku belum pernah menemukan ramalan tentang seseorang yang memiliki kalung Dalanseok," Galen bergumam datar, dengan sepasang netra yang menatap heran ke arah kalung yang melingkar di leher milik Han.
Han Satya Aibek, si pemilik kalung itu nampak bingung. Jika Galen dan Zayed yang lebih mengetahui tentang Purpura tak tahu apapun, lalu bagaimana dengan dirinya? Han bahkan masih belum bisa mempercayai bahwa Purpura itu nyata. Sulit untuk mempercayai hal tak kasat mata.
Segalanya yang tampak tak kasat mata bagi Han hanyalah khayalan di dalam mimpinya.
"Kak Han, bagaiman dengan tanda bulan sabit ungu? Apa kak Han memilikinya?" tanya Zayed penasaran.
Han mengangguk. Tanpa diperintah, pemuda itu melepas satu-persatu kancing kemeja yang ia pakai dan memperlihatkan dada bidangnya yang berotot juga bertato.
"Itu bunga lilac, bodoh," kata Galen ketus saat melihat salah satu tato bunga yang nampak di dada Han.
Han yang kesal langsung melepaskan sebuah plester yang menempel di dadanya. Nampak sebuah tanda bulan sabit berwarna ungu lebih muda bergradasi ungu sedikit tua yang menyilaukan mata Galen dan Zayed.
"Woah, aku belum pernah melihat tanda seperti itu," Zayed terlihat takjub dengan apa yang dilihatnya.
"Aku juga belum pernah melihatnya," Galen menatap bingung. "Zay, kamu tahu kan jika aku pernah tidur bersama gadis Violeta, Thistle, dan Plum? Tapi aku tidak pernah melihat tanda seperti itu."
"Ah! Apa Elena memilikinya? Aku belum pernah tidur dengannya," gumam Galen seraya memegangi sesuatu yang tiba-tiba mengeras di bawah. Membayangkan Elena membuatnya benar-benar hanyut dalam fantasi yang tak akan mungkin menjadi nyata.
Han dan Zayed melemparkan tatapan sinis mendengar Galen dan melihat kelakuan joroknya.
"Baginda! Kamu raja! Apa pantas berperilaku seperti itu? Kamu benar-benar tergila-gila pada wanita untuk memuaskan nafsumu?" tukas Han kesal.
Galen menoleh sekilas dan memasang raut wajah datar. Sial! Han benar-benar merusak fantasi Galen yang indah.
"Yah, kamu hanya iri! Setidaknya aku pernah mencumbu perempuan dan menghabiskan malam yang indah dengan mereka. Tidak sepertimu!" tukas Galen.
"Kak Galen!" pekik Zayed. "Kamu baru saja menjatuhkan harga dirimu sebagai seorang raja!" tukasnya.
"Fokuslah pada kalung itu dan identitas kak Han! Jangan terus-terusan berfantasi dengan perempuan dalam khayalanmu!" Zayed terlihat sangat kesal.
Pria Thistle itu menghela napasnya berat. Galen lalu menatap Han yang berdiri berhadapan dengannya. Dengan mata batin yang ia miliki, Galen mencoba untuk mencari tahu asal-sul kalung itu. Namun, kekuatan kalung itu sangat luar biasa sehingga masa lalunya tak bisa ditembus.
Dalanseok, kalung itu seolah memiliki kekuatan yang tak pernah Galen temui di sudut Purpura manapun.
"Jika aku memiliki kalung ini, apakah aku memiliki keterikatan dengan kalian?" tanya Han penasaran. Pertanyaan itu terus memenuhi isi kepalanya yang kacau selama seminggu ini.
"Mungkin saja," kata Galen dan Zayed bersamaan.
Sepasang netra kecokelatan milik Han membulat sempurna. Pemuda itu terkejut. "Bagaimana bisa?" tanyanya bingung.
"Sederhananya, kalung itu memilihmu," jawab Galen datar.
"Mungkin saja kita memiliki takdir yang terikat. Bisa saja kak Han salah satu manusia yang penting. Seperti Lavender," kata Zayed.
"Lavender?" tanya Han.
Zayed mengangguk. "Lavender yang dilahirkan sebagai seorang Saram. Dia dilahirkan sebagai pelindung Orchid dan kunci," kata Zayed seraya menoleh ke arah Elena yang masih tertidur, memulihkan energinya.
Han beralih menatap Elena lalu diam.
Jika benar dia adalah seorang Lavender, lalu apa yang harus ia lakukan untuk melindungi gadis Orchid itu? Han tak mengerti. Bagaimana caranya seorang Saram melindungi Orchid yang memili kekuatan alam semesta dalam genggamannya?
Han benar-benar ingin mengakhiri hidupnya. Semuanya tak masuk akal.
"Takdir mereka sudah terikat, kak Han. Tapi sayang, berakhir tragis," Zayed tiba-tiba bersua.
Han menoleh ke arah Zayed, lalu menatapnya serius. "Tragis? Apa maksudnya?
Zayed tersenyum misterius, lalu duduk di samping Elena dan mengusap pucuk kepala kakak perempuan kesayangannya.
"Meskipun Saram Lavender seorang pelindung untuk Orchid, pada saatnya tiba nanti, dia hanya memiliki dua keputusan. Menyelamatkan Orchid dari kejahatan Violeta dan membunuhnya dengan tangannya sendiri. Atau membiarkannya hidup, namun dalam kesepian dan Saram Lavender yang akan berakhir tragis karena melanggar takdir," jelas Zayed.
"Melanggar takdir?" tanya Han. Pria itu semakin bingung dengan teori-teori yang dijelaskan oleh kedua pria di hadapannya. Lebih baik kembali berkuliah dan belajar ilmu kedokteran yang berada dalam jangkauannya.
"Yes, melanggar takdir. Takdir dari seorang Orchid adalah kematian yang tragis," kata Galen.
"Apakah Purpura mengetahui takdir kalian?"tanya Han.
Galen dan Zayed mengangguk pelan, bersamaan.
"Di Purpura, takdir setiap bayi yang lahir sudah diramalkan bahkan jauh sebelum mereka dilahirkan. Takdir kita sudah tertulis di sebuah puncak tertinggi Purpura, yaitu Bukit Garis Takdir," jawab Galen.
"Selalu ada konsekuensi dan harga yang dibayar jika berurusan dengan dunia kami. Begitupun dengan melanggar takdir yang sudah ditentukan. Gladi kotor kematian akan menanti," lanjutnya kemudian.
Han terdiam. Mencoba untuk memahami ucapan Galen. Han adalah orang yang percaya bahwa takdir memang sudah ditentukan. Namun, sebagai manusia biasa dia hanya bisa menerima dan membiarkannya tanpa tahu apa yang akan terjadi. Takdir adalah garis hidup yang dirahasiakan Tuhan kepada manusia. Setidaknya, begitulah yang Han percayai.
"Kak Han, apa kamu melihat bulan sabit berwarna ungu minggu lalu?" tanya Zayed.
"Bolasaeg Choseungdal," jawabnya dengan sebuah anggukkan kecil.
"Ada takdir lima manusia yang terikat di bawah sinar rembulan berwarna Orchid Trabem itu. Mereka dilahirkan secara bersamaan untuk melakukan suatu misi penting tentang dunia yang tak boleh diganggu keberadaannya, Purpura. Namun, salah satu dari mereka adalah manusia berdarah merah yang disebut Saram," jelas Zayed.
Han lagi-lagi terbelalak kaget saat mendengar penjelasan Zayed.
Berdasarkan cerita yang ia dengar dari sang kakek, Han dilahirkan di malam saat bulan sabit berwarna ungu duapuluh tahun lalu. Juga, satu minggu yang lalu segala hal aneh mulai terjadi saat ia melihat fenomena Bolasaeg Choseungdal untuk pertama kalinya. Bahkan sebuah kalung dan tanda misterius tiba-tiba muncul padanya.
Apa benar takdir kita memang terikat? Aku merasakan sesuatu yang aneh saat melihat gadis itu. Dadaku tiba-tiba sakit dan aku hanya ingin melihat padanya di jalanan itu. Batin Han.
"Kak Han? Aapa maksudmu? Dadamu sakit kenapa?" tanya Zayed pada Han.
Han yang mendengar pertanyaan itu langsung terkejut dan menatap Zayed penuh tanda tanya, begitupun dengan Galen. Han tak berbicara, ia hanya bergumam dalam hatinya dan Zayed An mendengarnya.
"Aku tidak berbicara," kata Han.
"Zay, apa kamu bisa mendengar suara spirit?" tanya Galen.
Zayed menatap Galen dan Han sejenak. Nampak limpung, sebelum akhirnya tertawa seperti orang bodoh.
"Sepertinya aku salah," katanya datar. "Apa mungkin benda kotak itu yang berbicara?" Zayed menunjuk sebuah ponsel dalam genggaman Han untuk mengubah arah pembicaraan.
Setelah itu, semuanya menjadi hening. Hanya ada suara sayup angin yang menelusup pelan melalui jendela kamar. Han yang masih tak bisa menerima kenyataan, menatap kedua gadis yang masih tertidur pulas hampir seperti orang mati.
"Hngg...."
Han, Galen, dan Zayed tersentak saat melihat salah satu gadis itu bergerak dan mengerjapkan matanya perlahan. Elena sudah sadar.
"Elena, kamu sudah bangun?" tanya Galen.
Elena mengerjapkan matanya serta menatap Galen dan Zayed bergantian, lalu memasang raut wajah sedih.
"Apakah aku baru saja bermimpi membuka gerbang Sateunik bersamamu, Galen?" tanya Elena dengan nada bicara sedikit kecewa.
Galen dan Zayed hanya diam dan menatap Elena bingung. Mereka berdua tak bereaksi pada pertanyaan Elena itu.
Elena yang merasa diabaikan hanya bisa mengernyitkan bibirnya, kesal. Gadis Orchid itu kemudian mencoba untuk bangun dari tempat tidurnya dan tak sengaja bibirnya menyentuh bibir milik Han yang berada tepat di depannya.
Baik Elena maupun Han sama-sama terkejut dengan sentuhan kecil itu. Mereka bergeming, saling menatap satu sama lain dalam kebingungan.
"Sialan!" Galen tiba-tiba berteriak, membuat Elena dan Han saling menjauhkan diri dengan wajah keduanya yang tiba-tiba berubah menjadi merah, entah kenapa.
Elena kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan tempatnya berada. Ia mendapati dua orang yang tak ia kenal, termasuk pria yang menyentuh bibirnya. Gadis Orchid itu kemudian menatap Han sedikit sinis.
"K-kau siapa?" tanya Elena ketus. Kedua bola matanya tiba-tiba mengeluarkan sinar berwarna Orchid yang seperti laser langsung menembak ke arah kalung Dalanseok yang melingkar pada garis leher Han.
Elena tiba-tiba kehilangan fokus pandangannya dan menjadi lemah kembali.
Saat itu, Galen dan Zayed mulai menyadari, bahwa takdir mereka berdua memang terikat melalui kalung misterius milik Laviosa.
Mungkin saja Han adalah Saram Lavender yang terikat pada takdir Bolasaeg Choseungdal bersama Elena, Galen, dan dua manusia Purpura lainnya yang entah di mana.
Kemungkinan lain, Han adalah seseorang lain yang tidak diketahui identitasnya. Seseorang yang dapat mengancam nyawa Elena dan Galen, juga anak-anak lain yang terlahir bersama saat sinar Orchid Trabem menyinari malam kelam di Purpura dan Durango duapuluh tahun yang lalu.
Tak ada satupun di antara mereka mengetahui takdir apa yang sebenarnya terikat di antara lima bayi yang menangis, memecah malam sepi di antara gulita yang temaram pada malam Bolasaeg Choseungdal duapuluh tahun lalu.
"Elena, kamu tidak apa-apa?" Galen bertanya setelah kesunyian singkat yang membuat semua terdiam.Elena menatap pemuda itu. Bukan Galen, melainkan Han.Gadis Orchid yang biasa kuat itu tak bisa menyembunyikan mimik terkejut pada wajahnya, saat ia mencoba mengira-ngira apa yang terjadi dengan tubuhnya yang tiba-tiba kesakitan."K-kamu... baik-baik saja?" tanya Han tergagap.Mengangkat wajah, Elena yang mulai pucat bergeming melihat raut wajah Han yang nampak ketakutan.Elena terguncang menahan rasa sakit luar biasa di sekujur tubuhnya. Seumur hidupnya, baru kali ini ia merasa tak berdaya. Sampai tak bisa mengucap sepatah kata pun.Ia tak pernah merasakan sakit seperti ini meski terus-terusan memakai kekuatannya. Karena seharusnya, saat ia tertidur dengan waktu yang lama, kekuatannya perlahan akan pulih. Tapi, yang terjadi sekarang sangatlah berbeda."Kak Elena, apa kakak bisa mendengarku? Kakak tidak seperi biasanya seperti in
Galen dan Zayed bergantian terjaga untuk menjaga Elena dan Aruna semalaman.Bukan tanpa alasan. Kedua pria itu tiba-tiba was-was juga waspada terhadap sesuatu tak kasat mata yang sedang mengincar mereka. Sesuatu tak terlihat yang menghisap darah ungu mereka diam-diam, hingga perlahan kekuatan mereka mungkin memudar. Seperti yang terjadi pada Elena.Kemungkinan terburuk, sesuatu tak kasat mata itu juga mengincar nyawa semua yang berhubungan dengan Purpura. Karenanya, sebisa mungkin bangsa Purpura tak boleh terendus keberadaannya di Durango. Jika ketahuan, sudah pasti gladi kotor kematian menanti tanpa permisi.Galen Byakta, pemuda Thistle itu tak hentinya memandangi Elena, Aruna, dan gadis lain yang menerobos masuk ke dalam kamar Aruna dalam keadaan mabuk malam tadi.Gwen nama gadis itu. Entah kenapa, Galen merasakan aura aneh pada Gwen. Namun, ia tak bisa menemukan apapun, selain mengetahui identitas Gwen adalah seorang
Setelah kesalahpahaman yang mengusik pagi milik Gwen, suasana menjadi lebih kondusif.Namun, tidak dengan Gwen. Gadis itu duduk tepat di dekat jendela kamar miliknya, dengan kaki yang terus bergoyang tak mau diam. Sementara mulutnya sibuk mengigit jari-jari tangannya yang semakin pendek. Gwen benar-benar terlihat gelisah dengan apa yang baru saja terjadi.Untuk sejenak, Gwen tak sanggup menoleh pada seseorang yang kini sedang menatapnya. Ia begitu terpaku mengingat wajah mengerikan Zayed yang mencekiknya tadi. Ia sempat melihatnya. Pada masa lalu yang ingin ia lupakan."Gwen apa ada yang salah?" tanya seseorang yang tak lain adalah Arga, sahabatnya.Gwen masih bergeming. Tak ingin berbicara pada Arga. Isi kepalanya berkecamuk. Bayangan tentang kematiannya terngiang jelas."Gwen?" sekali lagi Arga mencoba untuk memanggilnya.Gwen menoleh, tak bisa tersenyum. Gadis itu menatap dalam-dalam mata ungu yang menatapnya khawatir."Arga, bunuh
"Elena An?" Seorang pemuda berujar lirih bersama halimun tipis berwarna ungu yang perlahan pudar. Halimun itu memudar, menyelinap kembali dalam telapak tangan sang pemuda bersama dengannya yang nampak nyata setelah melebur bersama angin. Arganta, pemuda keturunanPlumitu menghentikan langkahnya saat akan masuk ke dalam rumah milik Han. Tak sengaja, atensinya menangkap cahaya berwarna ungu yang bersinar. Awalnya, cahaya ungu itu mengaburkan sosok wanita bersurai panjang yang tampak tidak jelas, dikaburkan gelap malam. Arga kira dia adalah Gwen atau Freya. Namun, saat cahaya ungu kabur yang berkilauan nampak dari seorang gadis berkulit putih, surai keunguan yang jelas, serta tanda bulan sabit di bawah matanya yang kabur, Arga yakin gadis itu Elena An. Tak berani menampakkan diri, Arga memilih menatap Elena yang berbincang dengan Han dari kejauhan. Ia tak percaya bahwa gadis yang selalu terkurung di istanaPurpurap
"Lepaskan aku, atau kubunuh kau!"Elena memekik cukup kencang saat Galen tiba-tiba menggunakan kekuatannya. Menahan Elena di tempat tidur dan hanya bisa meronta-ronta, tanpa bisa bangkit.Galen sungguh tak mempedulikan Elena. Pria itu bergeming, duduk menyilangkan kaki dan memakan apel berwarna merah merekah yang dipetiknya."Hei! Galen! Lepaskan aku!" Elena berteriak sekali lagi. Gadis itu kini terlihat sedikit murka."Tidak akan aku lepaskan," kata Galen dengan santainya.Elena mendengus kesal. Ia bahkan tidak tahu alasan Galen melakukan ini secara tiba-tiba. Galen benar-benar menguras emosi Elena."Apa kamu tidak takut kepadaku?! Aku bisa menghancurkanmu dengan satu jentikan jari!" ketus Elena.Galen menyeringai, lalu menatap Elena dengan tatapan mengejek. "Jika kamu bisa menghancurkanmu, kamu pasti bisa melepaskan pengaruh kekuatanku," kata Galen.Elena menatap Galen jengah. Seumur hidup Elena, pria itu benar-benar menggang
Elena terbangun dari tidur panjangnya. Terperangah hebat, ia mendapati dirinya berada di ruangan yang tidak ia kenali sama sekali. Mengerjapkan matanya perlahan, Elena mencoba memperhatikan ruangan kosong yang didominasi dengan warna hitam. Menakutkan.Gadis itu terkesiap, lalu terperanjat bangun. Menatap bingung dan memikirkan apa yang sebenarnya baru saja terjadi.Seingatnya, ia baru saja tak sengaja menemukanLavender, Han Satya di perpustakaan usang itu. Namun, apa yang terjadi setelahnya, Elena justru tidak mengingatnya sama sekali. Isi kepalanya seolah buyar, ingatannya perlahan menghilang."Han Satya... benar dugaanku. Kamu memang Lavender. Rasanya, aku pernah melihatmu jauh di dalam mimpiku, sebelum aku kesini," gadis bersurai ungu itu berujar lirih, nyaris tak terdengar.Ya, memang benar. Jauh sebelum Elena keDurango, gadis dengan bola mata berwarna ungu itu sempat memikirkan Han Satya yang memang memiliki ke
Lima bulan berlalu begitu saja sejak fenomena Bolasaeg Choseungdal membukakan pintu waktu Sateunik. Sudah lima bulan berlalu, waktu merangkak perlahan dengan malu-malu, tapi Elena belum mendapatkan apa yang ia inginkan. Elena tak bisa memulai membalaskan dendam pada sang ibu, karena sibuk mengurus Galen yang masih tak sadarkan diri sejak hari itu. Hari di mana Galen marah, meluapkan kekuatannya saat mengetahui siapa Han sebenarnya. Lalu, tak ada yang tersisa. Hari ini, sudah seharian Elena tidak keluar dari kamar miliknya. Banyak hal yang mengitari isi kepalanya, hingga membuat Elena lebih banyak terdiam. Sementara itu, sepasang atensinya sibuk menatap pohon apel dengan buah yang mulai membusuk karena musim telah berganti. "Apa yang harus aku lakukan?" gumam Elena pelan. Banyak pertanyaan memenuhi isi kepalanya yang ramai. Namun anehnya, pikirannya kosong. Elena tak bisa memikirkan apapun, termasuk jalan keluar yang harus ia tempuh u
Arga berjalan di antara dedaunan rapuh tertiup angin bulan Agustus yang berembus pelan. Namun, langkahnya terhenti saat Arga melihat sosok yang ia kenal. Pria keturunan Plumitu menatap lurus ke depan, pada sepasang manusia dari dunia berbeda. Elena dan Han.Arga melihat semuanya sebelum ia pergi dari tempat itu. Elena dan Han berciuman tepat di depan matanya.Jujur saja, saat ini Arga marah dan terbakar api cemburu. Sebelum memutuskan meninggalkanPurpura, ia dan Elena pernah bersama. Menjalin cerita bersama rasa yang hanya diketahui oleh hati masing-masing. Orang-orang menyebutnya cinta terlarang. Karena bagaimana pun, keturunanPlumhanya diperbolehkan menjalin hubungan dan menikah denganThistledanVioleta.BukanOrchid,keturunanLaviosadanLavenderyang sangat agung dan suci.Namun, layaknya pemuda yang dimabuk cin
Elena terus menarik tangan Han menyusuri jalan setapak kecil yang berada di samping istana utama Purpura, sementara yang lainnya mengekor dari belakang dengan tatapan tak tenang. Gadis itu seolah tak takut oleh apa pun, meski semak belukar dan rumput yang menjulang tinggi menghalangi pandangannya.“Aku takut. Bagaimana jika bangsa Chad ada di sini?” tanya Freya ketakutan.“Aku juga. Seumur hidupku di Purpura, aku tak pernah berada di sini,” sahut Arganta.“Tenang saja. Kalian aman. Ini adalah jalan menuju tempat paling aman di Purpura. Istana terluar, tempat Elena menghabiskan waktu denganku seumur hidupnya,” ujar Galen.“Benar kata Galen. Kalian aman di sini, karena aku penguasanya,” ujar Elena seraya membuka sebuah gerbang kasat mata dengan kalung miliknya.Sebuah istana megah tiba-tiba terpampang nyata di hadapan mereka. Istana bernuansa ungu itu nampak mewah dengan dinding penyangga yang berkilauan, berlapiskan berlian Koh-I-Noor yang legendaris dan tenggelam dalam misteri. Tak pe
“DASAR TIDAK BERGUNA!”Liliana terlempar hingga kepalanya membentur kaca menjadi pecah. Gaun putihnya yang bersih kini berubah menjadi ungu, bersimbah darah ungu segar dari kepalanya.“Aku sudah berusaha,” Liliana berujar lirih sambil berlutut tak berdaya pada sosok lelaki dengan kemeja kotak-kotak berwarna kuning dan topi putih yang menutupi sebagian wajahnya.Laki-laki itu berjongkok lalu meraih dagu Liliana dan mulai mencekiknya. “Berusaha kau bilang? Berusaha untuk jadi bodoh?! Bagaimana seorang Plum akhirnya mengetahui identitasmu?!” tukasnya.Liliana menangis. Pening di kepala sulit untuk membuatnya berbicara. Ia juga saat ini merasa dikhianati oleh kekasihnya sendiri. Liliana pikir, Arga bisa menjadi tempatnya bersandar saat misinya selesai. Tapi Liliana salah. Arga selama ini hanya memata-matainya untuk membantu Orchid.“Dasar gadis sinting!”Laki-laki bermata hijau be
Gulita malam melahap langit Jakarta malam ini. Kota yang terbiasa ramai kini menjadi sunyi dengan halimun yang perlahan menebal. Itu ulah Arga. Arga yang terbakar emosi karena Liliana. Kilat di matanya terlihat jelas saat ia melihat Liliana tengah bersantai di bak mandi bertabur bunga. Bersantai di tengah isi kepala Arga yang kini kacau setelah melihat kondisi Elena yang tak berdaya, hampir mati. Tapi lihatlah, seorang Violeta selamanya memang akan menjadi pembunuh berdarah dingin. Tanpa rasa bersalah, Liliana dengan tenang menikmati kota Jakarta dari ketinggian di balik bunga-bunga itu sambil meneguk anggur kesukaannya. "Arga?" Liliana menoleh saat ia melihat pantulan tubuh besar sedang menatapnya. Untuk waktu yang lama, Liliana sudah menyadari kehadiran Arga. Namun, ia memilih diam dan berpura-pura tenang sambil meyakinkan diri bahwa itu benar Arga, bukan Adias. "Sejak kapan kamu di sini?" tanya Liliana seraya berbalik dan menutupi
"Siapa gadis itu?" seorang gadis bergaun merah bertanya dengan sorot mata menyala usai melihat Saka dan Kale bersimbah darah, menggendong gadis yang hampir telanjang. Kale menatap gadis itu sebentar, lalu menghampirinya dan mencoba memeluknya. Tapi gadis itu menolak dengan acuh dan menghampiri Saka, mengabaikan Kale, kekasihnya. "Siapa dia?" tanya Kinan pada Saka, kekasih Kale yang kini sudah terbakar api cemburu melihat gadis yang tak ia kenal dibawa oleh Kale ke rumahnya. "Dia sepupu Gwen, Freya," jawab Saka. Kinan masih tak puas dengan jawaban Saka. Gadis itu kemudian duduk di samping Freya yang tak sadarkan diri dan memindai seluruh tubuhnya. "Apa yang kalian lakukan padanya? Bermain-main?" tanya Kinan curiga dengan nada sarkas yang membuat Saka geram, sementara Kale tersenyum simpul melihat sang kekasih cemburu. "Cemburu?" tanya Kale seraya menggoda Kinan dengan mengelus paha mulus Kinan. Namun, Kale malah mendapatkan gigitan di l
Elena terluka sangat hebat. Kakinya yang dilukai Yohan terus mengeluarkan darah ungu, hingga membuat gadis itu lemah tak sadarkan diri. Darah ungu Elena mungkin berbeda dengan bangsa Purpura lainnya. Darah itu bukan darah suci yang dipuja, tapi selalu jadi incaran. Darah itu selalu mengundang perasaan aneh, serta hawa dingin menakutkan seperti saat ini. Galen dan Zayed terlihat bersiaga di jendela kamar sesampainya Elena di kediaman Han. Mereka kompak memandang keluar, menajamkan mata elang miliknya untuk melihat kemungkinan Pembunuh Tak Kasat Mata berkeliaran mencuri energi Elena. Sementara Han mencoba mengobati luka Elena. Menjahitnya dengan kemampuan seorang mahasiswa kedokteran yang seharusnya mulai magang. Selama belajar soal kedokteran, baru kali ini Han mengobati luka dan menjahitnya. “Elena, kenapa kamu membahayakan dirimu?” gumam Han pelan seraya menatap wajah Elena yang terlelap penuh kekhawatiran, serta ketakutan. “Han, apa
Freya melenguh pelan dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Perlahan, gadis itu mencoba membuka mata dan mengerjapkannya.Sepasang atensinya membulat saat ia terbangun di ruangan gelap, nyaris tanpa cahaya. Freya hanya bisa melihat hitam pekat, sementara bau anyir khas darah memenuhi indera penciumannya, membuat Freya mual.Freya, gadis itu tiba-tiba menggigil ketakutan bersama dingin yang menelusup pelan. Freya tak bisa melihat apapun. Namun, ia bisa merasakan bahwa tubuhnya tak mengenakan sehelai kain, kecuali celana dalam. Payudaranya menyembul dengan tangan yang diikat ke atas. Sementara kakinya diikat pada sisi yang berlawanan terbuka lebar, seolah memperlihatkan celah di antara kedua pahanya.Panik, Freya mulai menangis. Napasnya memburu. Freya ingin sekali kabur dari tempat asing itu. Tapi, ia benar-benar terjebak. Tak bisa melarikan diri. Freya ingin menjerit, namun mulutnya tersumpal kain.Sementara itu, Freya tak menyadari jika seseorang d
"Seharusnya kau tidak pernah datang!" Ayunda terkesiap. Wanita berusia hampir setengah abad itu terperanjat bangun dari tidurnya. Lagi-lagi, ia mendengar suara yang sangat ia kenal jelas berbisik kepadanya. Satya An– pria yang sangat ia cintai. Wanita itu mengerjapkan matanya perlahan. Menyusuri ruangan luas untuk mencari si pemilik suara. Namun, ia tak bisa menemukan siapapun kecuali Arga yang sibuk memeriksa cairan infus di sampingnya. "Di mana Yohan?" Ayunda bertanya dengan suara lirih. Arga menoleh, menatapnya cukup lama. Lalu, ia memutuskan duduk di samping Ayunda. "Bibi sudah bangun? Yohan sedang di kamarnya. Dia baik-baik saja." Ayunda akhirnya bernapas lega, namun tak sepenuhnya. Ia merasakan pening di kepalanya, membuat peluh dingin jatuh bersamaan degup jantung yang berdetak tak karuan. Setiap kali bermimpi buruk, ia khawatir setiap kali bangun, Yohan Algenubi– putranya akan celaka. "Arga, aku memimpikan anak itu menggo
Galen dengan anggun menyiram tanaman di halaman yang mulai kering karena pergantian musim. Tak niat sama sekali, pemudaThistleitu menyiram asal tanaman apa saja yang ada di hadapannya untuk mengaburkan isi kepalanya yang penuh tentang Elena. Sudah satu minggu Galen dan Elena musuhan. Sudah seminggu juga Galen tak melihat Elena di rumah Han. Juga, sudah seminggu Galen tak pernah ada di rumah dan memilih mengurus Gwen yang masih saja dalam keadaan koma. Seminggu ini, Galen tak akan mempedulikan Elena. Untuk apa dia menaruh peduli, jika gadis itu justru datang keDurangountuk berpacaran dengan Han dan melupakan tujuan awal ia datang ke sini menembus pintu waktu. Jika saja Galen tahu bagaimana caranya pulang kePurpura, ia akan menghipnotis Elena untuk kembali dan mengurungnya di ruang bawah tanah tepat di bawah kamarnya sendirian. Tak memberinya makan dan membiarkannya mati dalam kegelapan. Tapi saya
Arga berjalan di antara dedaunan rapuh tertiup angin bulan Agustus yang berembus pelan. Namun, langkahnya terhenti saat Arga melihat sosok yang ia kenal. Pria keturunan Plumitu menatap lurus ke depan, pada sepasang manusia dari dunia berbeda. Elena dan Han.Arga melihat semuanya sebelum ia pergi dari tempat itu. Elena dan Han berciuman tepat di depan matanya.Jujur saja, saat ini Arga marah dan terbakar api cemburu. Sebelum memutuskan meninggalkanPurpura, ia dan Elena pernah bersama. Menjalin cerita bersama rasa yang hanya diketahui oleh hati masing-masing. Orang-orang menyebutnya cinta terlarang. Karena bagaimana pun, keturunanPlumhanya diperbolehkan menjalin hubungan dan menikah denganThistledanVioleta.BukanOrchid,keturunanLaviosadanLavenderyang sangat agung dan suci.Namun, layaknya pemuda yang dimabuk cin