Galen dan Zayed bergantian terjaga untuk menjaga Elena dan Aruna semalaman.
Bukan tanpa alasan. Kedua pria itu tiba-tiba was-was juga waspada terhadap sesuatu tak kasat mata yang sedang mengincar mereka. Sesuatu tak terlihat yang menghisap darah ungu mereka diam-diam, hingga perlahan kekuatan mereka mungkin memudar. Seperti yang terjadi pada Elena.
Kemungkinan terburuk, sesuatu tak kasat mata itu juga mengincar nyawa semua yang berhubungan dengan Purpura. Karenanya, sebisa mungkin bangsa Purpura tak boleh terendus keberadaannya di Durango. Jika ketahuan, sudah pasti gladi kotor kematian menanti tanpa permisi.
Galen Byakta, pemuda Thistle itu tak hentinya memandangi Elena, Aruna, dan gadis lain yang menerobos masuk ke dalam kamar Aruna dalam keadaan mabuk malam tadi.
Gwen nama gadis itu. Entah kenapa, Galen merasakan aura aneh pada Gwen. Namun, ia tak bisa menemukan apapun, selain mengetahui identitas Gwen adalah seorang Saram yang merupakan kekasih Han, si tuan rumah.
Tak hanya merasa ada yang aneh, dada Galen tiba-tiba sakit saat melihat Gwen untuk pertama kalinya. Wajahnya yang pucat, serta sorot matanya yang kabur jelas melukiskan gadis itu menyelam dalam kesedihan yang tak bisa ia ungkapkan. Juga, Galen bisa merasakan jika Gwen hidup dalam kemalangan tanpa bisa mengandalkan siapapun.
"Kak, Galen! Kak Han sudah kembali," kata Zayed seraya menatap ke arah bawah, tepat di halaman depan rumah Han di mana pemuda itu baru saja masuk ke dalam rumah tua ini.
Galen yang awalnya larut dalam pikirannya, tiba-tiba kesal. Bagaimana tidak, semalaman ia mencoba menelepon Han dan pemuda itu tak menjawabnya sama sekali. Padahal, Galen membutuhkan bantuannya untuk melindungi Elena dan Aruna dari pembunuh tak kasat mata yang tanpa terlihat menghisap darah ungu Elena, hingga gadis itu kehilangan kesadarannya lagi. Juga, terpaksa memulihkan kekuatannya yang belum tentu kembali seperti semula.
"Kak Han sudah pulang?" Zayed yang ramah menyapa Han yang baru saja masuk ke dalam kamar Aruna.
Han hanya mengulas sekilas senyum yang terhapus. Keadaannya terlihat kacau. Rambut hingga baju yang ia pakai acak-acakan. Aroma minuman keras begitu pekat tercium saat Han masuk.
Sudah jelas, Han semalaman mabuk-mabukkan hingga kehilangan kesadarannya dan lupa untuk pulang ke rumah.
"Tuan Han, darimana saja kamu?! Aku menunggumu semalaman! Berani sekali kamu tak menjawab teleponku?!" Galen terlihat kesal sambil melipat kedua tangannya di dada.
Han menatap Galen dalam keadaan linglung. Fokus kesadarannya belum kembali utuh, sehingga ia hanya mendengar perkataan Galen sebagai ocehan burung di pagi hari.
"Maaf," kata Han datar.
Galen mendesah pelan. "Aku membutuhkan bantuanmu untuk menemukan seseorang. Ah! Mungkin satu keluarga."
Han mengernyitkan dahinya bingung. Kemudian berjalan ke arah kasur milik Aruna dan duduk di pinggirnya, lalu meneguk segelas air yang berada di atas nakas.
Han tidak bisa mencerna kalimat Galen untuk sesaat. Kesadarannya belum sepenuhnya sulit. Ia masih merasakan pening di kepalanya akibat alkohol yang ia nikmati semalaman bersama dengan Freya.
"Woy! Apa kamu mendengarkanku, Tuan Han?!" pekik Galen kesal.
Han mengangguk seraya memberikan isyarat dengan tangannya. "Tunggu aku sampai benar-benar sadar, Baginda Raja."
Memijat pelipisnya pelan, Han yang masih linglung kemudian menatap ke arah tempat tidur, di mana ia baru saja menyadari ada tiga gadis yang tidur terlelap.
"Gwen?" Han yang sedikit terkejut melihat Gwen hanya dengan memakai tanktop langsung berdiri, menghampirinya dan memberikan Gwen jaket miliknya.
Han menyipitkan matanya dan menatap Galen sedikit sinis. "Punyamu tidak berdiri kan melihat Gwen? Kamu tidak macam-macam, kan?" tanya Han curiga.
Galen membulatkan matanya dan mengepalkan kedua tangannya. Mimik kesal di wajahnya jelas terlihat. "Aku tidak tertarik sama sekali pada kekasihmu! Jaga ucapanmu!" tukasnya kesal.
Han langsung memalingkan wajahnya, tak peduli Galen yang marah. Pemuda itu kemudian menatap Gwen yang masih tertidur. Terlihat sangat jelas jika gadis itu juga mabuk semalam, sama seperti dirinya.
"Kak Han sudah pulang?" Aruna tiba-tiba terbangun. Kepalanya sakit sekali mendengar keributan di pagi hari yang seharusnya cerah ini.
Han menatap Aruna sedikit terkejut, namun juga merasa lega dan bahagia melihat Aruna membuka matanya setelah seminggu terlelap.
"Aruna!" Han langsung memeluk Aruna. Namun, si gadis belia itu menolaknya dan mendorong tubuh Han.
"Argh! Kak Han bau alkohol!" pekik Aruna kesal.
Han tersenyum, lalu dengan sengaja menciumi pipi Aruna hingga membuat gadis itu risih. "Aku hanya minum sedikit."
Aruna lagi-lagi mendorong tubuh Han. Gadis itu sangat kuat. "Jika kakek tahu, nama Han Satya Aibek akan dihapus dari kartu keluarga!"
Han tidak peduli. Jika dihapus dari kartu keluarga, tentu saja Han akan bahagia. Ia akan hidup seenaknya, menikmati masa mudanya dengan bersenang-senang. Ia tak akan memikirkan apapun selain kebahagiaannya dan akan memutuskan takdir sialan yang mengikatnya dengan Purpura.
"Apa Elena tak sadarkan diri lagi atau hanya tidur?" tanya Han bingung saat melihat Elena hampir seperti orang mati.
"Sesuatu terjadi dan mengharuskannya kembali tidur untuk mengisi energi. Elena... dia kehilangan banyak darah," kata Galen.
Han sedikit terperangah. Ditatapnya Elena yang kini terlihat semakin pucat, terbaring lemah di tempat tidur seperti mayat hidup. Seingatnya, semalam saat Elena terbangun, gadis itu baik-baik saja. Terlihat sangat normal meskipun nyatanya dia lemah.
"Apa yang bisa aku lakukan agar Elena cepat bangun dan pulih lagi?" tanya Han.
"Pergi ke dapur dan buatkan aku makanan yang lezat. Aku lapar!" tukas Galen.
Han menatap Galen sinis dan berdecak kesal. "Aku bukan pembantumu! Lagi pula apa hubungannya dengan kesadaran Elena?!" ketus Han.
"Aku yang akan mengembalikan kesadarannya! Aku butuh energi untuk melakukannya!" tukas Galen tak kalah ketus.
Han menatapnya jengah lalu bangkit dari tempatnya duduk dan menghampiri Galen.
"Dasar raja manja! Bisakah kamu mengurus hidupmu sendiri?! Aku lelah dengan semuanya! Kepalaku sakit! Aku butuh ketenangan! Bisakah kamu membuat makanan sendiri? Aku bukan pelayanmu, Yang Mulia Thistle!" Han meluapkan semua emosi dalam dirinya.
Jujur saja, Han sudah tak tahan menahan kekesalannya pada Galen, hingga membuat pria Thistle itu terkejut.
Dalam duapuluh tahun hidupnya, Galen belum pernah dibentak oleh siapapun, selain Elena. Han benar-benar membuat harga dirinya terinjak. Ah, atau mungkin jatuh ke dasar jurang. Ia benar-benar merasa terhina karena Han.
"Sial! Kau baru saja memben-"
"APA? KENAPA? AKU BARU SAJA MEMBENTAK SEORANG RAJA? SUDAH KUBILANG INI NEGARA MERDEKA! INI NEGARA DEMOKRASI YANG BEBAS! BERHENTI MENYURUH-NYURUHKU! AUGH!" pekik Han. Pria itu terlihat sangat frustasi dan langsung meninggalkan kamar Aruna dengan peluh dingin yang mengucur, membasahi tubuhnya.
Dalam hening pagi, semua orang menatap Han kebingungan. Termasuk Gwen yang baru saja terbangun dari tidurnya.
"Apa dia benar kakakku?" Yujin bertanya kebingungan. Jujur saja, Han yang ia kenal jarang sekali marah hingga berteriak seperti itu.
"Benar. Dia kekasihku," sahut Gwen dalam lirih.
Mungkin, untuk orang lain ini pertama kalinya seorang Han Satya Aibek emosi sampai meluapkannya seperti itu. Namun, untuk Gwen, ini bukan pertama kalinya.
Gwen sudah sering melihat Han marah, bahkan sampai memukulnya.
***
Han mengambil beberapa minuman di dapur. Pemuda itu benar-benar terlihat kacau terlepas apakah dia sadar atau berada di bawah pengaruh alkohol. Untuk sesaat, kemarahan Han memudar, berubah menjadi kebingungan.
"Kenapa aku begitu kesal?" gumamnya lirih.
Han menghela napas dan terlihat berusaha keras untuk mengendalikan amarah yang menguasainya. Ia mengusap wajah tampannya dengan kasar. Benar-benar frustasi.
Tiba-tiba tatapan mata Han tertuju pada seseorang yang memantul pada kulkas yang sedang ditatapannya. Menoleh ke belakang, Han melihat gadis bersurai hitam panjang sedang menatapnya datar. Namun, sepasang atensinya berbicara banyak, meski ekspresi wajahnya sulit untuk dipahami Han.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Gwen sedikit gugup, entah kenapa.
Han yang selalu dingin kepada Gwen, menyeringai singkat tanpa menjawab pertanyaannya. Kemudian, wajahnya langsung terlihat muram saat Galen berjalan menghampiri mereka berdua.
"Tuan Galen? Bisakah kamu menghilang dari pandanganku? Sehari saja! Aku muak melihat wajahmu!" tukas Han seraya memberikan tatapan sinis pada Galen.
Galen mendelik sinis, lalu menggebrak meja membuat Gwen terkejut. Emosinya membuncah setiap kali berurusan dengan Han Satya. Setiap kali berhadapan dengan Han, hampir saja Galen menggunakan kekuatannya untuk membunuh pemuda itu.
"Jika aku memiliki pilihan lain, aku tidak akan tinggal di rumahmu, bodoh!" ketus Galen. Pria keturunan Thistle itu kemudian berjalan ke arah dapur untuk mencari makanan karena merasa lapar.
Kali ini Han benar-benar kesal. Han mungkin menganggap Galen pemuda Purpura yang selalu banyak omong dan menyebalkan, sehingga emosinya selalu tersulut ketika berduanya berhadapan. Han hanya ingin membunuhnya atau membuatnya menghilang hanya sehari. Galen selalu meremehkannya, Han membencinya.
"Han..." panggil Gwen. Gadis cantik tanpa riasan yang masih di bawah pengaruh alkohol itu menghampiri Han, lalu berdiri tepat di hadapannya.
"Kenapa kamu ada di sini? Apa kamu mabuk lagi semalam?" tanya Han sinis.
Gwen mengangguk. "Aku hanya minum sedikit dan mabuk. Saat berjalan pulang, aku tiba-tiba merindukan apel dari pohon milik kakekmu. Jadi, aku datang kemari," Gwen berujar.
"Lebih baik kamu tidak usah datang lagi! Kita sudah putus, Gwen," kata Han.
Gwen menunjukkan wajah sedih dengan matanya yang memerah. Ia kemudian memeluk Han dengan erat, lalu mengeluarkan buliran berlian bening dari kedua sudut matanya. Gwen menangis, Han acuh, dan Galen menontonnya dalam hening.
"Hanya kamu yang meminta putus, aku tidak. Lagipula aku tidak terima jika kamu jatuh cinta pada Freya! Dia licik, Han! Dia yang membuat semua orang menjauhiku!" tukas Gwen.
Han melepaskan pelukan Gwen dengan kasar, lalu menatapnya tajam. Seolah ada api yang berkobar dalam sorot matanya, penuh amarah. "Jaga ucapanmu! Gwen, kamu yang licik. Kamu yang membuat Freya menderita dan memfitnahnya. Aku sudah tidak percaya lagi kepadamu!"
"Dia bukan gadis licik! Kenapa kamu menyebut Freya seperti itu?" tanya Han ketus.
"Ka-"
"Karena dia merebutmu darinya," Galen tiba-tiba memotong kalimat Gwen, lalu menatap Han sinis. Sementara dua manusia itu kompak menatap Galen dengan dua tatapan yang sangat jauh berbeda.
"Jangan ikut campur urusanku!" tukas Han.
"Tapi pria tampan itu benar!" Gwen tiba-tiba merajuk.
Han terperangah dan menatap Gwen heran. Dia tidak salah dengar. Gwen baru saja menyebut Galen pria tampan. "Ta-tampan? Kamu menyebutnya tampan?"
Gwen dengan wajah polosnya langsung mengangguk. "Dia lebih tampan darimu," katanya.
"Gwen!" Han tiba-tiba berteriak. Gwen yang tersentak langsung mundur, hingga tak sengaja menabrak Galen yang sedang minum di belakangnya.
Ada ketakutan pada sorot mata Gwen yang teduh. Jantungnya pun berdebar lebih kencang, hampir membuatnya sulit untuk bernapas. Gwen takut pada Han. Begitulah yang bisa Galen lihat saat ini.
Suasana di dapur tiba-tiba memanas. Gwen terus mundur seraya menatap Han yang marah dan kesal. Sementara Galen memegangi bahu Gwen dan menahannya agar tak terus mundur.
"Sepertinya Gwen takut kepadamu. Apa kamu suka menyiksanya?" tanya Galen pada Han yang disambut dengan suara cegukan Gwen, seolah mengiyakan pertanyaannya.
Han menghela napasnya berat. Ia mencoba menahan diri agar tak marah, tapi ucapan Galen benar-benar membuatnya kesal. Ditambah, Gwen benar-benar terlihat takut kepadanya. Padahal, seingat Han, ia tidak pernah menyiksa Gwen. Hanya memarahinya.
"Kak Galen!"
Tiba-tiba terdengar suara Zayed berteriak di dekat tangga. Semua mata langsung tertuju pada remaja bersurai merah itu. Mimik wajah Zayed nampak serius.
"Ada apa, Zay?" tanya Galen.
"Kak Elena sudah sadar," kata Zayed. "Dan aku sudah tahu bagaimana cara untuk melindungi kak Elena dan dirimu dari pembunuh tak kasat mata," Zayed terlihat bersemangat.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Galen langsung berlari menaiki tangga seraya menarik tangan Gwen. Gwen yang tak mengerti apa pun hanya mengekorinya meninggalkan Han yang sempat terdiam. Bergeming.
Tak lama, Han juga mengikutinya. Ia penasaran dengan pembunuh tak kasat mata itu.
***
Elena terbangun dengan wajah yang lebih segar daripada sebelumnya. Hanya saja, sebuah luka berbentuk bulan sabit malah membekas di wajah cantiknya.
Galen yang bahagia melihat Elena sudah sadar langsung berlari memeluknya. Namun, si gadis Orchid itu langsung mendorong tubuhnya dan menatap Galen datar.
"Jangan sembarangan memelukku! Aku akan membunuhmu!" tukas Elena.
Galen tersenyum. "Sebelum kamu membunuhku, sudah kupastikan kamu akan kubunuh dulu," ujarnya santai.
"Bukankah kita harus menelepon polisi? Mereka akan saling membunuh," kata Gwen tiba-tiba. Wajah polosnya terlihat bingung, juga ada separuh ketakutan terlukis di sana.
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Mereka berdua selalu seperti itu. Hanya bercanda," Zayed tertawa.
Gwen yang polos hanya menatap Elena dan Galen datar, tanpa reaksi tambahan.
"Zay, jadi bagaimana caranya melindungiku dan Elena?" tanya Galen pada Zayed.
"Kenapa aku harus dilindungi? Aku memiliki kekuatan alam semesta dalam genggamanku," tukas Elena.
"Tapi kamu tertidur lama sekali. Seperti orang mati. Kamu yakin memiliki kekuatan tak masuk akal itu?" tanya Han dengan sedikit tawa mengejek di wajahnya.
Elena langsung menatapnya sinis tanpa mengatakan apapun lagi. Mulai sekarang, Elena akan membencinya. Han, pria itu begitu menyebalkan. Elena tak akan sanggup menghadapinya.
"Apa kalian pernah mendengar tentang manusia Lavender dan Plum?" tanya Aruna tiba-tiba.
Elena dan Galen kompak mengangguk. "Tentu saja aku mengetahuinya. Aku harus menemukan manusia Lavender itu," ujar Elena.
"Kenapa memangnya?" tanya Galen.
"Dia yang akan melindungi kalian dari pembunuh tak kasat mata dan juga Violeta," ujar Aruna.
"Kenapa? Kenapa harus dia? Dia hanya Lavender yang terlahir sebagai manusia. Aku yang lebih pantas untuk menjaga Elena," tukas Galen.
"Bukankah semua yang berhubungan dengan Purpura sudah tertulis takdirnya bahkan sebelum mereka lahir?" tanya Gwen tiba-tiba.
Gwen, gadis itu tersenyum simpul. Namun, senyuman itu hanya bertahan sekilas, menghilang seketika saat ia tak sengaja menyadari sesuatu dan membulatkan matanya. Fokusnya hanya pada Elena dan Galen.
"Lavender? Apakah kamu seorang Orchid Purpura? Lalu apa kamu Thistle? Plum?" Gwen terkejut sambil menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
"Aku Thistle! Kedudukanku lebih tinggi dari Plum!" Galen terlihat sedikit kesal. Ia memang paling tidak suka jika bangsanya disebut bersamaan dengan Plum, pengkhianat.
"Aku tahu itu, bodoh! Kamu raja bangsa Purpura, kan? Aku mengetahuinya!" tukas Gwen yang membuat semua atensi beralih menatapnya.
"Gwen, kamu baru saja menghinanya," Han tiba-tiba terlihat khawatir. Takut hal yang terjadi padanya, terjadi juga pada Gwen.
"Aku menghinanya secara sadar," Gwen berujar datar. "Lagipula dia memang lebih bodoh. Aku lebih mengetahui tentang dunianya," Gwen tiba-tiba menyombongkan diri.
Gadis yang tadi terlihat sangat ketakutan itu, tiba-tiba berubah menjadi gadis yang kuat. Entah kenapa, Gwen terlihat seperti menemukan kekuatannya hingga berani berbicara dan menghina Galen.
"Apa yang kamu ketahui?!" tukas Galen.
"Semuanya! Termasuk bagaimana cara menemukan Lavender, Shadows, dan melindungi diri dari pembunuh tak kasat mata. Aku bahkan pernah menghadapi seorang Purpura bodoh. Aku juga tahu cara menari spirit saat pintu waktu Sateunik terbuka. Aku pernah menyusup ke Purpura dan tinggal di sana selama lima tahun saat aku kecil," Gwen berujar panjang lebar, berhasil membuat semua orang menatapnya tak percaya dan bergeming hanya mendengarkannya.
Gwen memutar matanya ke arah Elena dan Galen, lalu mengulas sekilas senyum yang terhapus. "Kalian berdua ingin aku bercerita yang mana dulu?" tanya Gwen.
"Ceritakan saja semuanya," jawab Elena.
"Gwen, jangan ngaco! Apa kamu yakin mengetahui semua itu?" tanya Han.
Gwen langsung mengangguk. "Saka, mantan kekasihku adalah seorang Purpura. Kamu mengenalnya juga, kan?" tanya Gwen pada Han.
"Saka Raynar Arrayan?" tanya Elena, Galen, dan Zayed bersamaan.
Gwen tiba-tiba tersentak. "Bingo! Apa kalian mengenalnya? Dia memiliki wajah yang rupawan. Tapi sangat bodoh."
"Saka adalah tahanan Purpura yang kabur. Kita bertiga sangat mengenalnya," kata Elena.
"Tahanan?" tanya Gwen dan Han bersamaan.
Galen dan Elena mengangguk. Sudah lama mereka tak mendengar kabar tentang Saka. Ternyata, pemuda itu bersembunyi di Durango.
"Dia banyak membunuh bangsa Purpura dengan kekuatan aneh yang dimilikinya," kata Zayed.
"Kak Saka seorang pembunuh?" Aruna terlihat terkejut.
Aruna tak percaya jika Saka, pemuda polos yang selalu tersenyum kepadanya dan memiliki hati yang hangat adalah seorang pembunuh. Setahu Aruna, Saka tak tega melihat orang atau binatang yang kesakitan. Karenanya, pemuda bernama Saka Raynar Arrayan itu memutuskan kuliah di kedokteran.
"Kak, jangan-jangan Saka sebenarnya bukan bangsa Thistle. Tapi pembunuh tak kasat mata yang menyamar untuk menuntaskan misi tertentu," kata Zayed seraya menatap Galen dan Elena.
Elena dan Galen langsung terdiam. Mereka berdua seperti teringat sesuatu. Suatu malam mengerikan di Purpura saat semua darah bercampur menjadi hitam yang pekat. Banyak bangsa Purpura yang meninggal secara mendadak karena pembunuhan yang dilakukan oleh Saka Raynar Arrayan, keturunan Thistle berdarah dingin yang mengerikan. Dia seperti iblis berwujud manis.
"Kurasa bukan. Pembunuh tak kasat mata adalah seorang perempuan. Aku bahkan bertemu dengannya tadi malam," kata Gwen.
"Bukankah semalam kamu mabuk?" tanya Han.
"Benar. Kak Gwen mabuk beat," sambung Aruna.
"Tapi aku benar-benar melihatnya. Dia seorang perempuan. Lagipula Saka benar seorang Thistle. Aku pernah membuatnya berdarah dan mengeluarkan darah ungu muda seperti bangsanya," ujar Gwen.
"Pembunuh tak kasat mata adalah bangsa Chad yang memiliki kekuatan supranatural bak cenayang," kata Zayed.
Gwen mengangguk setuju. "Dia memiliki wajah menipu. Saat melakukan aksinya, dia mengeluarkan sinar berwarna putih dari kedua matanya."
Elena langsung terperangah dan menatap Gwen. Ia teringat sesuatu sesaat sebelum darah berwarna ungu mengalir deras dari pipinya. Ia melihat sinar berwarna putih di balik semak-semak dan pepohonan di halaman rumah tua yang ia tinggali. Saat sinar itu mulai menghilang, ia justru melihat Gwen muncul diantaranya.
"Aku melihatnya! Itu kamu!" Elena menatap Gwen dan nampak ragu.
Semua orang kini menatap bingung ke arah Elena, termasuk Gwen yang kini menjadi Saram paling dicurigai sebagai pembunuh tak kasat mata.
Zayed kemudian menghampiri Gwen dan mencekiknya. Han yang berada di sebelahnya langsung mencoba untuk melepaskan cengkeraman kuat Zayed pada gadis tak berdaya itu,
"Apa yang kamu lakukan?!" Han terlihat sangat khawatir.
Eunsang bergeming terhadap pertanyaan Han."Yah! Tunjukkanlah sinar putihmu jika kamu benar pembunuh itu!" tukas Zayed.
Gwen terlihat kesakitan. Seluruh wajahnya memerah. Gadis itu kemudian mengangkat jarinya dan menunjukkan sebuah tanda pada jari telunjuknya. Tiga bintang berwarna hitam.
Zayed langsung melepaskannya dan semua orang kini berdiri menghampirinya. Termasuk Galen dan Elena yang langsung mengetahui identitasnya.
"Shadows?"
Setelah kesalahpahaman yang mengusik pagi milik Gwen, suasana menjadi lebih kondusif.Namun, tidak dengan Gwen. Gadis itu duduk tepat di dekat jendela kamar miliknya, dengan kaki yang terus bergoyang tak mau diam. Sementara mulutnya sibuk mengigit jari-jari tangannya yang semakin pendek. Gwen benar-benar terlihat gelisah dengan apa yang baru saja terjadi.Untuk sejenak, Gwen tak sanggup menoleh pada seseorang yang kini sedang menatapnya. Ia begitu terpaku mengingat wajah mengerikan Zayed yang mencekiknya tadi. Ia sempat melihatnya. Pada masa lalu yang ingin ia lupakan."Gwen apa ada yang salah?" tanya seseorang yang tak lain adalah Arga, sahabatnya.Gwen masih bergeming. Tak ingin berbicara pada Arga. Isi kepalanya berkecamuk. Bayangan tentang kematiannya terngiang jelas."Gwen?" sekali lagi Arga mencoba untuk memanggilnya.Gwen menoleh, tak bisa tersenyum. Gadis itu menatap dalam-dalam mata ungu yang menatapnya khawatir."Arga, bunuh
"Elena An?" Seorang pemuda berujar lirih bersama halimun tipis berwarna ungu yang perlahan pudar. Halimun itu memudar, menyelinap kembali dalam telapak tangan sang pemuda bersama dengannya yang nampak nyata setelah melebur bersama angin. Arganta, pemuda keturunanPlumitu menghentikan langkahnya saat akan masuk ke dalam rumah milik Han. Tak sengaja, atensinya menangkap cahaya berwarna ungu yang bersinar. Awalnya, cahaya ungu itu mengaburkan sosok wanita bersurai panjang yang tampak tidak jelas, dikaburkan gelap malam. Arga kira dia adalah Gwen atau Freya. Namun, saat cahaya ungu kabur yang berkilauan nampak dari seorang gadis berkulit putih, surai keunguan yang jelas, serta tanda bulan sabit di bawah matanya yang kabur, Arga yakin gadis itu Elena An. Tak berani menampakkan diri, Arga memilih menatap Elena yang berbincang dengan Han dari kejauhan. Ia tak percaya bahwa gadis yang selalu terkurung di istanaPurpurap
"Lepaskan aku, atau kubunuh kau!"Elena memekik cukup kencang saat Galen tiba-tiba menggunakan kekuatannya. Menahan Elena di tempat tidur dan hanya bisa meronta-ronta, tanpa bisa bangkit.Galen sungguh tak mempedulikan Elena. Pria itu bergeming, duduk menyilangkan kaki dan memakan apel berwarna merah merekah yang dipetiknya."Hei! Galen! Lepaskan aku!" Elena berteriak sekali lagi. Gadis itu kini terlihat sedikit murka."Tidak akan aku lepaskan," kata Galen dengan santainya.Elena mendengus kesal. Ia bahkan tidak tahu alasan Galen melakukan ini secara tiba-tiba. Galen benar-benar menguras emosi Elena."Apa kamu tidak takut kepadaku?! Aku bisa menghancurkanmu dengan satu jentikan jari!" ketus Elena.Galen menyeringai, lalu menatap Elena dengan tatapan mengejek. "Jika kamu bisa menghancurkanmu, kamu pasti bisa melepaskan pengaruh kekuatanku," kata Galen.Elena menatap Galen jengah. Seumur hidup Elena, pria itu benar-benar menggang
Elena terbangun dari tidur panjangnya. Terperangah hebat, ia mendapati dirinya berada di ruangan yang tidak ia kenali sama sekali. Mengerjapkan matanya perlahan, Elena mencoba memperhatikan ruangan kosong yang didominasi dengan warna hitam. Menakutkan.Gadis itu terkesiap, lalu terperanjat bangun. Menatap bingung dan memikirkan apa yang sebenarnya baru saja terjadi.Seingatnya, ia baru saja tak sengaja menemukanLavender, Han Satya di perpustakaan usang itu. Namun, apa yang terjadi setelahnya, Elena justru tidak mengingatnya sama sekali. Isi kepalanya seolah buyar, ingatannya perlahan menghilang."Han Satya... benar dugaanku. Kamu memang Lavender. Rasanya, aku pernah melihatmu jauh di dalam mimpiku, sebelum aku kesini," gadis bersurai ungu itu berujar lirih, nyaris tak terdengar.Ya, memang benar. Jauh sebelum Elena keDurango, gadis dengan bola mata berwarna ungu itu sempat memikirkan Han Satya yang memang memiliki ke
Lima bulan berlalu begitu saja sejak fenomena Bolasaeg Choseungdal membukakan pintu waktu Sateunik. Sudah lima bulan berlalu, waktu merangkak perlahan dengan malu-malu, tapi Elena belum mendapatkan apa yang ia inginkan. Elena tak bisa memulai membalaskan dendam pada sang ibu, karena sibuk mengurus Galen yang masih tak sadarkan diri sejak hari itu. Hari di mana Galen marah, meluapkan kekuatannya saat mengetahui siapa Han sebenarnya. Lalu, tak ada yang tersisa. Hari ini, sudah seharian Elena tidak keluar dari kamar miliknya. Banyak hal yang mengitari isi kepalanya, hingga membuat Elena lebih banyak terdiam. Sementara itu, sepasang atensinya sibuk menatap pohon apel dengan buah yang mulai membusuk karena musim telah berganti. "Apa yang harus aku lakukan?" gumam Elena pelan. Banyak pertanyaan memenuhi isi kepalanya yang ramai. Namun anehnya, pikirannya kosong. Elena tak bisa memikirkan apapun, termasuk jalan keluar yang harus ia tempuh u
Arga berjalan di antara dedaunan rapuh tertiup angin bulan Agustus yang berembus pelan. Namun, langkahnya terhenti saat Arga melihat sosok yang ia kenal. Pria keturunan Plumitu menatap lurus ke depan, pada sepasang manusia dari dunia berbeda. Elena dan Han.Arga melihat semuanya sebelum ia pergi dari tempat itu. Elena dan Han berciuman tepat di depan matanya.Jujur saja, saat ini Arga marah dan terbakar api cemburu. Sebelum memutuskan meninggalkanPurpura, ia dan Elena pernah bersama. Menjalin cerita bersama rasa yang hanya diketahui oleh hati masing-masing. Orang-orang menyebutnya cinta terlarang. Karena bagaimana pun, keturunanPlumhanya diperbolehkan menjalin hubungan dan menikah denganThistledanVioleta.BukanOrchid,keturunanLaviosadanLavenderyang sangat agung dan suci.Namun, layaknya pemuda yang dimabuk cin
Galen dengan anggun menyiram tanaman di halaman yang mulai kering karena pergantian musim. Tak niat sama sekali, pemudaThistleitu menyiram asal tanaman apa saja yang ada di hadapannya untuk mengaburkan isi kepalanya yang penuh tentang Elena. Sudah satu minggu Galen dan Elena musuhan. Sudah seminggu juga Galen tak melihat Elena di rumah Han. Juga, sudah seminggu Galen tak pernah ada di rumah dan memilih mengurus Gwen yang masih saja dalam keadaan koma. Seminggu ini, Galen tak akan mempedulikan Elena. Untuk apa dia menaruh peduli, jika gadis itu justru datang keDurangountuk berpacaran dengan Han dan melupakan tujuan awal ia datang ke sini menembus pintu waktu. Jika saja Galen tahu bagaimana caranya pulang kePurpura, ia akan menghipnotis Elena untuk kembali dan mengurungnya di ruang bawah tanah tepat di bawah kamarnya sendirian. Tak memberinya makan dan membiarkannya mati dalam kegelapan. Tapi saya
"Seharusnya kau tidak pernah datang!" Ayunda terkesiap. Wanita berusia hampir setengah abad itu terperanjat bangun dari tidurnya. Lagi-lagi, ia mendengar suara yang sangat ia kenal jelas berbisik kepadanya. Satya An– pria yang sangat ia cintai. Wanita itu mengerjapkan matanya perlahan. Menyusuri ruangan luas untuk mencari si pemilik suara. Namun, ia tak bisa menemukan siapapun kecuali Arga yang sibuk memeriksa cairan infus di sampingnya. "Di mana Yohan?" Ayunda bertanya dengan suara lirih. Arga menoleh, menatapnya cukup lama. Lalu, ia memutuskan duduk di samping Ayunda. "Bibi sudah bangun? Yohan sedang di kamarnya. Dia baik-baik saja." Ayunda akhirnya bernapas lega, namun tak sepenuhnya. Ia merasakan pening di kepalanya, membuat peluh dingin jatuh bersamaan degup jantung yang berdetak tak karuan. Setiap kali bermimpi buruk, ia khawatir setiap kali bangun, Yohan Algenubi– putranya akan celaka. "Arga, aku memimpikan anak itu menggo