Elena terbangun dari tidur panjangnya. Terperangah hebat, ia mendapati dirinya berada di ruangan yang tidak ia kenali sama sekali. Mengerjapkan matanya perlahan, Elena mencoba memperhatikan ruangan kosong yang didominasi dengan warna hitam. Menakutkan.
Gadis itu terkesiap, lalu terperanjat bangun. Menatap bingung dan memikirkan apa yang sebenarnya baru saja terjadi.
Seingatnya, ia baru saja tak sengaja menemukan Lavender, Han Satya di perpustakaan usang itu. Namun, apa yang terjadi setelahnya, Elena justru tidak mengingatnya sama sekali. Isi kepalanya seolah buyar, ingatannya perlahan menghilang.
"Han Satya... benar dugaanku. Kamu memang Lavender. Rasanya, aku pernah melihatmu jauh di dalam mimpiku, sebelum aku kesini," gadis bersurai ungu itu berujar lirih, nyaris tak terdengar.
Ya, memang benar. Jauh sebelum Elena ke Durango, gadis dengan bola mata berwarna ungu itu sempat memikirkan Han Satya yang memang memiliki ke
Lima bulan berlalu begitu saja sejak fenomena Bolasaeg Choseungdal membukakan pintu waktu Sateunik. Sudah lima bulan berlalu, waktu merangkak perlahan dengan malu-malu, tapi Elena belum mendapatkan apa yang ia inginkan. Elena tak bisa memulai membalaskan dendam pada sang ibu, karena sibuk mengurus Galen yang masih tak sadarkan diri sejak hari itu. Hari di mana Galen marah, meluapkan kekuatannya saat mengetahui siapa Han sebenarnya. Lalu, tak ada yang tersisa. Hari ini, sudah seharian Elena tidak keluar dari kamar miliknya. Banyak hal yang mengitari isi kepalanya, hingga membuat Elena lebih banyak terdiam. Sementara itu, sepasang atensinya sibuk menatap pohon apel dengan buah yang mulai membusuk karena musim telah berganti. "Apa yang harus aku lakukan?" gumam Elena pelan. Banyak pertanyaan memenuhi isi kepalanya yang ramai. Namun anehnya, pikirannya kosong. Elena tak bisa memikirkan apapun, termasuk jalan keluar yang harus ia tempuh u
Arga berjalan di antara dedaunan rapuh tertiup angin bulan Agustus yang berembus pelan. Namun, langkahnya terhenti saat Arga melihat sosok yang ia kenal. Pria keturunan Plumitu menatap lurus ke depan, pada sepasang manusia dari dunia berbeda. Elena dan Han.Arga melihat semuanya sebelum ia pergi dari tempat itu. Elena dan Han berciuman tepat di depan matanya.Jujur saja, saat ini Arga marah dan terbakar api cemburu. Sebelum memutuskan meninggalkanPurpura, ia dan Elena pernah bersama. Menjalin cerita bersama rasa yang hanya diketahui oleh hati masing-masing. Orang-orang menyebutnya cinta terlarang. Karena bagaimana pun, keturunanPlumhanya diperbolehkan menjalin hubungan dan menikah denganThistledanVioleta.BukanOrchid,keturunanLaviosadanLavenderyang sangat agung dan suci.Namun, layaknya pemuda yang dimabuk cin
Galen dengan anggun menyiram tanaman di halaman yang mulai kering karena pergantian musim. Tak niat sama sekali, pemudaThistleitu menyiram asal tanaman apa saja yang ada di hadapannya untuk mengaburkan isi kepalanya yang penuh tentang Elena. Sudah satu minggu Galen dan Elena musuhan. Sudah seminggu juga Galen tak melihat Elena di rumah Han. Juga, sudah seminggu Galen tak pernah ada di rumah dan memilih mengurus Gwen yang masih saja dalam keadaan koma. Seminggu ini, Galen tak akan mempedulikan Elena. Untuk apa dia menaruh peduli, jika gadis itu justru datang keDurangountuk berpacaran dengan Han dan melupakan tujuan awal ia datang ke sini menembus pintu waktu. Jika saja Galen tahu bagaimana caranya pulang kePurpura, ia akan menghipnotis Elena untuk kembali dan mengurungnya di ruang bawah tanah tepat di bawah kamarnya sendirian. Tak memberinya makan dan membiarkannya mati dalam kegelapan. Tapi saya
"Seharusnya kau tidak pernah datang!" Ayunda terkesiap. Wanita berusia hampir setengah abad itu terperanjat bangun dari tidurnya. Lagi-lagi, ia mendengar suara yang sangat ia kenal jelas berbisik kepadanya. Satya An– pria yang sangat ia cintai. Wanita itu mengerjapkan matanya perlahan. Menyusuri ruangan luas untuk mencari si pemilik suara. Namun, ia tak bisa menemukan siapapun kecuali Arga yang sibuk memeriksa cairan infus di sampingnya. "Di mana Yohan?" Ayunda bertanya dengan suara lirih. Arga menoleh, menatapnya cukup lama. Lalu, ia memutuskan duduk di samping Ayunda. "Bibi sudah bangun? Yohan sedang di kamarnya. Dia baik-baik saja." Ayunda akhirnya bernapas lega, namun tak sepenuhnya. Ia merasakan pening di kepalanya, membuat peluh dingin jatuh bersamaan degup jantung yang berdetak tak karuan. Setiap kali bermimpi buruk, ia khawatir setiap kali bangun, Yohan Algenubi– putranya akan celaka. "Arga, aku memimpikan anak itu menggo
Freya melenguh pelan dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Perlahan, gadis itu mencoba membuka mata dan mengerjapkannya.Sepasang atensinya membulat saat ia terbangun di ruangan gelap, nyaris tanpa cahaya. Freya hanya bisa melihat hitam pekat, sementara bau anyir khas darah memenuhi indera penciumannya, membuat Freya mual.Freya, gadis itu tiba-tiba menggigil ketakutan bersama dingin yang menelusup pelan. Freya tak bisa melihat apapun. Namun, ia bisa merasakan bahwa tubuhnya tak mengenakan sehelai kain, kecuali celana dalam. Payudaranya menyembul dengan tangan yang diikat ke atas. Sementara kakinya diikat pada sisi yang berlawanan terbuka lebar, seolah memperlihatkan celah di antara kedua pahanya.Panik, Freya mulai menangis. Napasnya memburu. Freya ingin sekali kabur dari tempat asing itu. Tapi, ia benar-benar terjebak. Tak bisa melarikan diri. Freya ingin menjerit, namun mulutnya tersumpal kain.Sementara itu, Freya tak menyadari jika seseorang d
Elena terluka sangat hebat. Kakinya yang dilukai Yohan terus mengeluarkan darah ungu, hingga membuat gadis itu lemah tak sadarkan diri. Darah ungu Elena mungkin berbeda dengan bangsa Purpura lainnya. Darah itu bukan darah suci yang dipuja, tapi selalu jadi incaran. Darah itu selalu mengundang perasaan aneh, serta hawa dingin menakutkan seperti saat ini. Galen dan Zayed terlihat bersiaga di jendela kamar sesampainya Elena di kediaman Han. Mereka kompak memandang keluar, menajamkan mata elang miliknya untuk melihat kemungkinan Pembunuh Tak Kasat Mata berkeliaran mencuri energi Elena. Sementara Han mencoba mengobati luka Elena. Menjahitnya dengan kemampuan seorang mahasiswa kedokteran yang seharusnya mulai magang. Selama belajar soal kedokteran, baru kali ini Han mengobati luka dan menjahitnya. “Elena, kenapa kamu membahayakan dirimu?” gumam Han pelan seraya menatap wajah Elena yang terlelap penuh kekhawatiran, serta ketakutan. “Han, apa
"Siapa gadis itu?" seorang gadis bergaun merah bertanya dengan sorot mata menyala usai melihat Saka dan Kale bersimbah darah, menggendong gadis yang hampir telanjang. Kale menatap gadis itu sebentar, lalu menghampirinya dan mencoba memeluknya. Tapi gadis itu menolak dengan acuh dan menghampiri Saka, mengabaikan Kale, kekasihnya. "Siapa dia?" tanya Kinan pada Saka, kekasih Kale yang kini sudah terbakar api cemburu melihat gadis yang tak ia kenal dibawa oleh Kale ke rumahnya. "Dia sepupu Gwen, Freya," jawab Saka. Kinan masih tak puas dengan jawaban Saka. Gadis itu kemudian duduk di samping Freya yang tak sadarkan diri dan memindai seluruh tubuhnya. "Apa yang kalian lakukan padanya? Bermain-main?" tanya Kinan curiga dengan nada sarkas yang membuat Saka geram, sementara Kale tersenyum simpul melihat sang kekasih cemburu. "Cemburu?" tanya Kale seraya menggoda Kinan dengan mengelus paha mulus Kinan. Namun, Kale malah mendapatkan gigitan di l
Gulita malam melahap langit Jakarta malam ini. Kota yang terbiasa ramai kini menjadi sunyi dengan halimun yang perlahan menebal. Itu ulah Arga. Arga yang terbakar emosi karena Liliana. Kilat di matanya terlihat jelas saat ia melihat Liliana tengah bersantai di bak mandi bertabur bunga. Bersantai di tengah isi kepala Arga yang kini kacau setelah melihat kondisi Elena yang tak berdaya, hampir mati. Tapi lihatlah, seorang Violeta selamanya memang akan menjadi pembunuh berdarah dingin. Tanpa rasa bersalah, Liliana dengan tenang menikmati kota Jakarta dari ketinggian di balik bunga-bunga itu sambil meneguk anggur kesukaannya. "Arga?" Liliana menoleh saat ia melihat pantulan tubuh besar sedang menatapnya. Untuk waktu yang lama, Liliana sudah menyadari kehadiran Arga. Namun, ia memilih diam dan berpura-pura tenang sambil meyakinkan diri bahwa itu benar Arga, bukan Adias. "Sejak kapan kamu di sini?" tanya Liliana seraya berbalik dan menutupi