Bulan jauh lebih terang dari biasanya, Naura duduk dengan postur tegak dan raut wajahnya terlihat pasrah. Sebab, malam ini, dia harus merelakan suaminya tidur dengan wanita lain.
Evelyn Junet adalah wanita yang rahimnya dibeli oleh Naura seharga satu miliar. Kini, Evelyn telah mengenakan piyama tipis berwarna putih, duduk di hadapan Naura dan Zafir. "Sudah bisa dimulai" kata Naura, matanya menatap dingin ke arah Evelyn dan Zafir. Naura lantas pergi tanpa menunggu tanggapan dari Evelyn ataupun suaminya. Dengan kepala yang mengangguk kecil, ia berjalan keluar dari kamar tersebut tanpa melirik ke arah mereka lagi. Namun, begitu pintu kembali tertutup, kedua mata Naura perlahan mengalirkan air mata. Tubuhnya mendadak lemas, seolah tulang-tulang miliknya menjadi lunak seketika. "Nyonya..." Kate, asisten pribadi Naura yang menunggu di luar kamar segera mendekati majikannya begitu ia keluar. Naura meremas lengan Kate, kemudian matanya menatap kosong ke depan sambil terus mengeluarkan air mata. "Tubuhku lemas, Kate. Tolong... Bantu aku...." Kate mengangguk lembut, diam-diam kedua matanya juga merasa panas dan mulai berkaca-kaca, wanita itu sangat mengerti bagaimana perasaan Naura sekarang. Hancur. Untuk Naura, malam itu hanya berisi dengan tangisan kehancuran. Keesokan harinya, Naura beraktivitas seperti biasa, tetapi... Suasana hatinya jauh lebih kosong pagi ini. Jadwalnya hari ini adalah mengunjungi ibu mertuanya, hal tersebut rutin ia lakukan setiap minggu. Ketika kakinya hendak melangkah menuju ruang makan untuk sarapan, ia melewati kamar yang digunakan oleh Zafir dan Evelyn bercinta. Langkahnya terhenti kala mendengar gelak tawa wanita itu dan suaminya. "Tidak! Jangan tarik selimutku, Zafir!" "Hei! Geli!" "Ahh...! Hentikan...! Ahhh...!" Raut wajah Naura berubah suram, napasnya memburu tak beraturan. Kate yang juga ikut mendengar ini karena mengikuti langkah Naura pun turut merasa sedih. "Nyonya? Anda baik-baik saja?" tanya Kate dengan hati-hati. Naura mengangguk, kemudian menggelengkan kepalanya kecil untuk menyadarkan pikirannya. Dengan cepat ia melanjutkan langkah kakinya. "Aku sarapan di mobil saja, Kate. Ibu pasti sudah menunggu." Kate menghela napas diam-diam. "Baik, nyonya." Begitu berada di dalam mobil, Naura sama sekali tidak menyentuh sarapannya. Dia hanya diam dan menatap kosong ke arah luar, sesekali ia diam-diam menghapus air matanya. Begitu sampai di rumah ibu mertuanya, Naura disambut oleh kakak ipar perempuannya, kakak kandung Zafir. "Naura? Ibu ada di kamar, mau masuk?" tanya Isabella Wajendra, satu-satunya keluarga Wajendra yang tidak banyak bicara mengenai kehamilannya. Tetapi, belum sempat Naura menjawab kalimat Isabella, suara ibu mertuanya dari dalam kamar sudah lebih dulu terdengar. "Isabella, Naura datang?" Isabella dan Naura saling pandang, kemudian mereka bergegas masuk ke dalam kamar. Naura tersenyum tipis melihat ibu mertuanya, Malini Wajendra. "Ibu menunggu Naura?" tanya Naura sambil mendekat dan duduk tepat di samping ibu mertuanya. "Tentu saja. Bagaimana? Apa sudah ada hasil baik dari jamu yang ibu berikan minggu lalu?" Malini langsung menuju pada pertanyaan inti, tidak ada basa-basi seperti menanyakan kabar atau yang lainnya. Senyum Naura perlahan menjadi sedikit pahit, kemudian ia menggeleng pelan. "Belum, tetapi... Aku merasa tubuhku jauh lebih enteng dan--" "Ya Tuhan... Mau sampai kapan seperti ini?" Malini menyela kalimat Naura, wanita itu hanya fokus pada kehamilannya saja. Isabella yang melihat Naura terlihat tidak nyaman segera mengelus pundak adik iparnya sambil menatap ibunya. "Ibu, ini baru satu minggu sejak jamu yang kamu pesan khusus dari China itu diberikan pada Naura. Satu minggu terlalu terburu-buru untuk melihat hasilnya." Malini menggelengkan kepalanya pelan, saat mulutnya hendak mengucapkan kalimat lain, tiba-tiba ia terbatuk keras, membuat Naura dan Isabella terkejut. Naura dengan cepat mengambil gelas yang berada tidak jauh dari ibu mertuanya, kemudian mengisinya dengan air untuk diberikan kepada ibu mertuanya. Malini perlahan meneguk air tersebut, kemudian menunjuk ke arah luar kamar. Isabella yang mengerti segera berkata, "Naura, tolong ambilkan stok obat ibu yang baru di ruang kerjaku! Aku lupa membawanya kemari!" Naura mengangguk, dia segera berjalan cepat keluar kamar. Sejujurnya, tubuh dan pikirannya sangat lelah sekarang, tetapi dia tidak bisa menunjukkan hal itu di sini, Naura hanya akan mendapatkan cibiran jika melakukan itu. Berhasil mendapatkan stok obat yang ia cari dari ruang kerja Isabella, Naura terburu-buru kembali menuju kamar ibu mertuanya. Tetapi, belum sempat ia masuk, langkahnya terhenti ketika mendengar percakapan hati-hati ibu mertua dan iparnya. "Jika tahu bahwa dia tidak bisa hamil, aku tidak akan memberinya restu enam tahun lalu, menyusahkan saja. Jika dibiarkan terus menerus, Naura hanya akan menjadi aib keluarga Wajendra." Bagai ditampar keras hingga berdarah, tubuh wanita itu menegang saat mendengar kalimat kejam mertuanya. "Zafir selalu menolak jika diminta menikah lagi, itu pasti karena Naura yang menghasutnya. Wanita itu terlalu egois! Ia mengenyampingkan kepentingan keluarga demi kebahagiaannya sendiri!" Jantung Naura berdegup sangat kencang, belakangan ini rasa sakit selalu beruntun memukul hatinya. Kata siapa Naura egois? Naura tidak pernah melarang Zafir untuk menikah lagi, bahkan dia selalu mencoba berbagai macam program kehamilan yang biayanya tidak sedikit. Naura memejamkan kedua matanya, kemudian menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba menarik ketenangan. Setelah dirasa cukup, wanita itu kembali menyunggingkan senyum tipis dan lanjut membuka pintu kamar ibunya lebih lebar dan berjalan masuk. "Ibu, ini obatnya." Memuakkan. Itulah keseharian Naura yang sesungguhnya, selalu memaksakan dirinya untuk tersenyum apa pun keadaannya. Begitu jam menunjukkan pukul jam satu siang, Naura berpamitan dengan ibu mertuanya. Wanita itu berjalan cepat menuju mobil, rasanya seperti baru saja melangkah keluar dari neraka. Naura menyandarkan tubuhnya di dalam mobil, kedua matanya terpejam sembari mengingat kalimat yang diam-diam ia dengar dari ibu mertuanya. Naura menghela napas gusar, saat kedua sudut alisnya tengah menyatu pening, tiba-tiba ponselnya bergetar. Kedua mata Naura dengan malas terbuka, lalu melihat nama kontak yang tertera di layar ponsel, 'Suamiku'. Tatapan mata Naura menjadi dingin, sejak pagi Zafir sama sekali tidak ada menghubunginya sama sekali, padahal ia tahu jelas bahwa tadi pagi pria itu sudah tertawa riang dengan Evelyn dari dalam kamar. Naura mengangkat telepon tersebut, dari ponsel terdengar suara Zafir yang sangat hangat. "Sayang, kamu ada di rumah ibu?" Naura terdiam beberapa detik untuk menjawab pertanyaan Zafir, wanita itu mengangguk tipis. "Iya, tapi sekarang udah di jalan pulang." "Oh... Baiklah, hati-hati. Aku baru saja selesai melakukan meeting online dengan calon partner kerjasama perusahaan asal Belanda, selanjutnya aku minta tolong bantuan kamu untuk menjadi jembatan diskusi." Naura mengangguk lagi. "Iya." "Hei, ada apa dengan suara lemas itu? Apa kamu bertengkar dengan ibu atau kak Isabella?" Zafir yang menyadari suara lemas istrinya segera bertanya. Naura menggeleng. "Tidak, ibu hanya memintaku untuk segera mengandung." "Hanya itu? Baiklah, jangan terlalu dipikirkan, kita sudah menemukan jalan keluarnya, kan?" Saat mendengar kalimat suaminya dari telepon, tanpa sadar telapak tangan kiri Naura mengepal erat. Dia merasa keberatan dengan kata 'hanya' yang dilontarkan Zafir. Kedua mata Naura sekali lagi mulai berkaca-kaca, wanita itu benar-benar muak. "Tetapi, ini bukan hanya--" "Sayang, orangtua hanya mengharapkan yang baik untuk anaknya. Seperti kedua orang tuamu yang ingin kamu bahagia, begitu juga dengan orangtuaku. Kita tidak boleh menyalahkan rasa cemas dan perhatian mereka kepada kita." Naura menggigit bibir dalamnya saat Zafir memotong kalimatnya dengan ucapan yang sama sekali tidak membuat Naura merasa adil ataupun tenang. Naura memejamkan kedua matanya sambil menarik napas dalam, sekali lagi dia mengalah. "Kamu benar, maafkan aku."Sesampainya di mansion, Naura berjalan masuk menuju ruang kerjanya untuk mengurus pekerjaan-pekerjaan baru yang sudah menunggu. Menjadi istri dari keluarga konglomerat elite sama sekali tidak membuatnya dapat bermalas-malasan menikmati harta. Di tengah perjalanannya menuju ruang kerja, suara Evelyn dari belakang membuat langkahnya terhenti. "Nyonya Naura." Naura menoleh, kedua matanya menatap Evelyn bingung, untuk apa wanita itu memanggilnya? Padahal, Naura berniat menghindari kontak sekecil apa pun dengan wanita ini agar hatinya baik-baik saja. "Jika nyonya tidak keberatan, bolehkah aku bertanya di mana ruang kerja Zafir?" Suara manis wanita itu menari di telinga Naura, membuat gejolak emosi Naura aktif. Tetapi, sekeras mungkin Naura menekan apa yang saat ini sedang ia rasakan. "Zafir? Di sana." Tangan kanan Naura menunjuk salah satu pintu ruangan yang berada tidak jauh dari mere
Naura seperti biasa menghabiskan waktunya di ruang kerja, sejak hari di mana Evelyn dinyatakan positif hamil, Naura sesekali mengirim makanan ataupun minuman yang baik untuk kandungannya. Dia mungkin tidak menyukai situasi ini, namun semua hal akan ia lakukan untuk calon anaknya yang tengah dikandung Evelyn. Dia tidak boleh egois. "Nyonya, nona Evelyn meminta izin untuk masuk." Kate membisikkan hal tersebut ke telinga Naura, membuat Naura mengalihkan tatapannya dari laporan perusahaan. "Apa barang-barang yang ia minta tidak dikirim tepat waktu?" tanya Naura, dia tidak mengerti alasan Evelyn mengunjunginya. Sebab seharusnya Zafir sudah memperingatinya untuk tidak terlalu sering menemui Naura di ruang kerja. Kate menggeleng. "Tidak, semuanya sudah diberikan tepat waktu." Naura menghela napas tipis, kemudian ia mengangguk singkat. "Biarkan dia masuk." Kate dengan cepat berjalan ke arah
"Sepertinya belakangan ini aku justru membuat kak Naura merasa tidak nyaman." Evelyn duduk di atas sofa empuk yang berada di ruang kerja Zafir. Wanita itu hanya menghabiskan waktunya di sekitar Zafir, bahkan setelah Naura keluar dengan ekspresi buruk sebelumnya, Evelyn kembali memasuki ruangan Zafir. Zafir merapikan berkas-berkas yang sebelumnya ia gunakan, kemudian berdiri dari meja kerjanya sambil berkata, "Bagaimana bisa? Naura bahkan tidak keberatan jika kamu menyapanya dengan santai, bukan?" Evelyn menghela napas tipis, mengangguk kecil. "Iya, tapi... Sepertinya kak Naura memang--" "Terlalu cepat untuk menyerah, cepat atau lambat hubungan kalian pasti membaik." Zafir berusaha membangun pikiran positif untuk Evelyn, pria itu berjalan tenang menuju Evelyn dan mengusap kepalanya "Makan malam seperti biasa dengan teratur, aku perlu menjamu tamu penting bersama Naura," sambung Zafir setelah beberapa saat
Brak!! Naura menutup kasar pintu kamarnya, kali ini ia tidak bisa membendung emosinya. Dia melepas seluruh perhiasannya dengan kasar, membantingnya ke meja rias, tidak peduli apakah akan hancur atau tidak. "Naura!" Zafir mengikutinya ke kamar, pria itu tidak mengerti mengapa istrinya menjadi sangat marah. Ia membuka pintu cepat dan menutupnya kembali, lalu menatap heran Naura dari ambang pintu. "Apa yang membuatmu menjadi semarah ini?" tanya Zafir, wajahnya menunjukkan perasaan frustasi. Siang tadi mereka sempat hampir berdebat, kemudian malamnya kembali meledak. Pria itu merasa lelah sekarang. Naura menatap tajam suaminya, kemudian menunjuk Zafir dengan jari telunjuknya. "Wanita itu, apa yang--!" "Jangan salahkan Evelyn! Wanita itu tidak bersalah, aku lah yang mengajaknya untuk ikut!" Zafir memotong kalimat penuh amarah Naura, membuat Naura mengerutkan keningny
Peresmian perusahaan tambang semakin dekat, Naura semakin sibuk di ruangan kerjanya, sementara Kate membantu Evelyn untuk belajar bagaimana sikap seseorang yang menjadi bagian dari Wajendra. Di tengah kesibukannya, dering telepon dari atas meja kerjanya berbunyi. Tanpa mengalihkan pandangannya, Naura mengambil gagang telepon dan mendekatkannya ke telinga. "Dengan nyonya Wajendra?" Suara pria yang berat dan jernih terdengar, membuat Naura sedikit mengerutkan keningnya dan berhenti dari aktivitas sibuknya. Hatinya sedikit merasa heran, karena sepertinya orang yang menghubunginya saat ini adalah sosok yang memiliki latar belakang tidak biasa, sebab biasanya ketika menerima panggilan Naura sering mendengar kalimat sapaan dan pembuka yang manis serta bertele-tele."Benar?" jawab Naura, ada sedikit nada bertanya di jawabannya. "Maaf jika saya menghubungi anda secara tiba-tiba, tetapi... ini soal tambang yang besok akan kita buka secara
"Jika seperti itu masalahnya, maka lebih baik menggunakan langkah yang kamu usulkan. Tetapi... Aku sejujurnya sedikit terkejut karena pihak Renjana akan menyerahkan masalah ini pada kita." Zafir duduk di kursi kerjanya, raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang berpikir serius. Naura mengangguk setuju. "Benar, aku juga berpikir demikian. Aku kira dia akan serakah dan mengisi posisi kosong itu dengan orang-orang dari pihak mereka."Zafir tersenyum tipis. "Itu bagus, berarti kita tidak salah dalam memilih partner bisnis."Naura mengangguk lagi, bibirnya pun ikut tersenyum tipis. Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba Zafir terdiam beberapa saat dan memperhatikan wajah Naura. Saat pandangan mereka bertemu, suasana tiba-tiba menjadi canggung. Zafir terbatuk pelan, kemudian tangan kanannya bergerak menarik laci kerjanya dan mengeluarkan kotak perhiasan kecil berwarna merah. Pria itu kemudian berdiri dan berjalan ke arah Naura."Soal kemari
"Evelyn, hati-hati..." Zafir membantu Evelyn berjalan, wanita itu terlihat sangat lemah dan rapuh. Naura melihat mereka sekilas dari dalam mobil, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah laptop iPad yang saat ini ia pegang. Dia mencoba untuk tidak peduli. Tak lama setelahnya, Zafir menyusul ke dalam mobil mereka dan duduk tepat di samping Naura, sementara Evelyn berada di mobil yang berbeda. "Jika kesehatannya benar-benar buruk lebih baik biarkan Evelyn beristirahat di mansion," ucap Naura, kedua matanya masih terpaku pada iPad-nya.Zafir menggeleng pelan. "Wanita itu menolak untuk ditinggal, dan lagi... Terlalu mengkhawatirkan jika dia kita tinggal begitu saja."Naura tersenyum tipis. "Kamu mengkhawatirkannya terlalu berlebihan, Wajendra tidak pernah kekurangan pekerja."Zafir menghela napas tipis. "Anggap saja ini menjadi bagian dari menyenangkan perasaannya agar janin-nya ikut sehat."Naura mengangguk-angguk kecil sambil be
Selama perjalanan menuju tempat peresmian, Naura hanya diam dan sesekali menanggapi perbincangan. Sejujurnya dia tidak memiliki lebih banyak tenaga lagi setelah bertengkar dengan Zafir, namun dia tidak bisa bersikap seenaknya di hadapan media umum. Hanya lirikan yang tidak disengaja, Naura menatap Evelyn dan fokus dengan kalung yang dikenakan wanita itu. Keningnya sedikit terlipat, perasaan marah kembali bergejolak di dalam diri Naura. Bagaimana tidak? Pria itu mengenakan kalung yang sama persis seperti yang ia kenakan? Zafir sungguh membiarkan hal ini terjadi? Pria itu gila! Naura tidak mempermasalahkan kenyataan bahwa Zafir membelikan kalung Evelyn yang serupa dengannya, tetapi... Bagaimana bisa Evelyn menggunakannya juga di acara ini? Kalung yang mereka kenakan bukanlah kalung berlian dengan harga ratusan juta, tetapi menyentuh miliaran dan tidak banyak orang Indonesia yang memilikinya. Jika Evelyn mengenakannya di depan media itu pasti akan sangat menarik perhatian, akan ada