Share

Orang Ketiga di Ranjang Perkawinanku
Orang Ketiga di Ranjang Perkawinanku
Penulis: nanadvelyns

Bab 1. Suamiku Tidur Dengan Wanita Lain

Bulan jauh lebih terang dari biasanya, Naura duduk dengan postur tegak dan raut wajahnya terlihat pasrah. Sebab, malam ini, dia harus merelakan suaminya tidur dengan wanita lain.

Evelyn Junet adalah wanita yang rahimnya dibeli oleh Naura seharga satu miliar. Kini, Evelyn telah mengenakan piyama tipis berwarna putih, duduk di hadapan Naura dan Zafir.

"Sudah bisa dimulai" kata Naura, matanya menatap dingin ke arah Evelyn dan Zafir.

Naura lantas pergi tanpa menunggu tanggapan dari Evelyn ataupun suaminya. Dengan kepala yang mengangguk kecil, ia berjalan keluar dari kamar tersebut tanpa melirik ke arah mereka lagi.

Namun, begitu pintu kembali tertutup, kedua mata Naura perlahan mengalirkan air mata. Tubuhnya mendadak lemas, seolah tulang-tulang miliknya menjadi lunak seketika.

"Nyonya..." Kate, asisten pribadi Naura yang menunggu di luar kamar segera mendekati majikannya begitu ia keluar.

Naura meremas lengan Kate, kemudian matanya menatap kosong ke depan sambil terus mengeluarkan air mata. "Tubuhku lemas, Kate. Tolong... Bantu aku...."

Kate mengangguk lembut, diam-diam kedua matanya juga merasa panas dan mulai berkaca-kaca, wanita itu sangat mengerti bagaimana perasaan Naura sekarang. Hancur.

Untuk Naura, malam itu hanya berisi dengan tangisan kehancuran.

Keesokan harinya, Naura beraktivitas seperti biasa, tetapi... Suasana hatinya jauh lebih kosong pagi ini. Jadwalnya hari ini adalah mengunjungi ibu mertuanya, hal tersebut rutin ia lakukan setiap minggu.

Ketika kakinya hendak melangkah menuju ruang makan untuk sarapan, ia melewati kamar yang digunakan oleh Zafir dan Evelyn bercinta. Langkahnya terhenti kala mendengar gelak tawa wanita itu dan suaminya.

"Tidak! Jangan tarik selimutku, Zafir!"

"Hei! Geli!"

"Ahh...! Hentikan...! Ahhh...!"

Raut wajah Naura berubah suram, napasnya memburu tak beraturan. Kate yang juga ikut mendengar ini karena mengikuti langkah Naura pun turut merasa sedih.

"Nyonya? Anda baik-baik saja?" tanya Kate dengan hati-hati.

Naura mengangguk, kemudian menggelengkan kepalanya kecil untuk menyadarkan pikirannya. Dengan cepat ia melanjutkan langkah kakinya. "Aku sarapan di mobil saja, Kate. Ibu pasti sudah menunggu."

Kate menghela napas diam-diam. "Baik, nyonya."

Begitu berada di dalam mobil, Naura sama sekali tidak menyentuh sarapannya. Dia hanya diam dan menatap kosong ke arah luar, sesekali ia diam-diam menghapus air matanya.

Begitu sampai di rumah ibu mertuanya, Naura disambut oleh kakak ipar perempuannya, kakak kandung Zafir.

"Naura? Ibu ada di kamar, mau masuk?" tanya Isabella Wajendra, satu-satunya keluarga Wajendra yang tidak banyak bicara mengenai kehamilannya.

Tetapi, belum sempat Naura menjawab kalimat Isabella, suara ibu mertuanya dari dalam kamar sudah lebih dulu terdengar.

"Isabella, Naura datang?"

Isabella dan Naura saling pandang, kemudian mereka bergegas masuk ke dalam kamar. Naura tersenyum tipis melihat ibu mertuanya, Malini Wajendra.

"Ibu menunggu Naura?" tanya Naura sambil mendekat dan duduk tepat di samping ibu mertuanya.

"Tentu saja. Bagaimana? Apa sudah ada hasil baik dari jamu yang ibu berikan minggu lalu?" Malini langsung menuju pada pertanyaan inti, tidak ada basa-basi seperti menanyakan kabar atau yang lainnya.

Senyum Naura perlahan menjadi sedikit pahit, kemudian ia menggeleng pelan. "Belum, tetapi... Aku merasa tubuhku jauh lebih enteng dan--"

"Ya Tuhan... Mau sampai kapan seperti ini?" Malini menyela kalimat Naura, wanita itu hanya fokus pada kehamilannya saja.

Isabella yang melihat Naura terlihat tidak nyaman segera mengelus pundak adik iparnya sambil menatap ibunya. "Ibu, ini baru satu minggu sejak jamu yang kamu pesan khusus dari China itu diberikan pada Naura. Satu minggu terlalu terburu-buru untuk melihat hasilnya."

Malini menggelengkan kepalanya pelan, saat mulutnya hendak mengucapkan kalimat lain, tiba-tiba ia terbatuk keras, membuat Naura dan Isabella terkejut.

Naura dengan cepat mengambil gelas yang berada tidak jauh dari ibu mertuanya, kemudian mengisinya dengan air untuk diberikan kepada ibu mertuanya.

Malini perlahan meneguk air tersebut, kemudian menunjuk ke arah luar kamar. Isabella yang mengerti segera berkata, "Naura, tolong ambilkan stok obat ibu yang baru di ruang kerjaku! Aku lupa membawanya kemari!"

Naura mengangguk, dia segera berjalan cepat keluar kamar. Sejujurnya, tubuh dan pikirannya sangat lelah sekarang, tetapi dia tidak bisa menunjukkan hal itu di sini, Naura hanya akan mendapatkan cibiran jika melakukan itu.

Berhasil mendapatkan stok obat yang ia cari dari ruang kerja Isabella, Naura terburu-buru kembali menuju kamar ibu mertuanya. Tetapi, belum sempat ia masuk, langkahnya terhenti ketika mendengar percakapan hati-hati ibu mertua dan iparnya.

"Jika tahu bahwa dia tidak bisa hamil, aku tidak akan memberinya restu enam tahun lalu, menyusahkan saja. Jika dibiarkan terus menerus, Naura hanya akan menjadi aib keluarga Wajendra."

Bagai ditampar keras hingga berdarah, tubuh wanita itu menegang saat mendengar kalimat kejam mertuanya.

"Zafir selalu menolak jika diminta menikah lagi, itu pasti karena Naura yang menghasutnya. Wanita itu terlalu egois! Ia mengenyampingkan kepentingan keluarga demi kebahagiaannya sendiri!"

Jantung Naura berdegup sangat kencang, belakangan ini rasa sakit selalu beruntun memukul hatinya. Kata siapa Naura egois? Naura tidak pernah melarang Zafir untuk menikah lagi, bahkan dia selalu mencoba berbagai macam program kehamilan yang biayanya tidak sedikit.

Naura memejamkan kedua matanya, kemudian menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba menarik ketenangan. Setelah dirasa cukup, wanita itu kembali menyunggingkan senyum tipis dan lanjut membuka pintu kamar ibunya lebih lebar dan berjalan masuk.

"Ibu, ini obatnya."

Memuakkan. Itulah keseharian Naura yang sesungguhnya, selalu memaksakan dirinya untuk tersenyum apa pun keadaannya.

Begitu jam menunjukkan pukul jam satu siang, Naura berpamitan dengan ibu mertuanya. Wanita itu berjalan cepat menuju mobil, rasanya seperti baru saja melangkah keluar dari neraka.

Naura menyandarkan tubuhnya di dalam mobil, kedua matanya terpejam sembari mengingat kalimat yang diam-diam ia dengar dari ibu mertuanya. Naura menghela napas gusar, saat kedua sudut alisnya tengah menyatu pening, tiba-tiba ponselnya bergetar.

Kedua mata Naura dengan malas terbuka, lalu melihat nama kontak yang tertera di layar ponsel, 'Suamiku'.

Tatapan mata Naura menjadi dingin, sejak pagi Zafir sama sekali tidak ada menghubunginya sama sekali, padahal ia tahu jelas bahwa tadi pagi pria itu sudah tertawa riang dengan Evelyn dari dalam kamar.

Naura mengangkat telepon tersebut, dari ponsel terdengar suara Zafir yang sangat hangat.

"Sayang, kamu ada di rumah ibu?"

Naura terdiam beberapa detik untuk menjawab pertanyaan Zafir, wanita itu mengangguk tipis. "Iya, tapi sekarang udah di jalan pulang."

"Oh... Baiklah, hati-hati. Aku baru saja selesai melakukan meeting online dengan calon partner kerjasama perusahaan asal Belanda, selanjutnya aku minta tolong bantuan kamu untuk menjadi jembatan diskusi."

Naura mengangguk lagi. "Iya."

"Hei, ada apa dengan suara lemas itu? Apa kamu bertengkar dengan ibu atau kak Isabella?" Zafir yang menyadari suara lemas istrinya segera bertanya.

Naura menggeleng. "Tidak, ibu hanya memintaku untuk segera mengandung."

"Hanya itu? Baiklah, jangan terlalu dipikirkan, kita sudah menemukan jalan keluarnya, kan?"

Saat mendengar kalimat suaminya dari telepon, tanpa sadar telapak tangan kiri Naura mengepal erat. Dia merasa keberatan dengan kata 'hanya' yang dilontarkan Zafir.

Kedua mata Naura sekali lagi mulai berkaca-kaca, wanita itu benar-benar muak. "Tetapi, ini bukan hanya--"

"Sayang, orangtua hanya mengharapkan yang baik untuk anaknya. Seperti kedua orang tuamu yang ingin kamu bahagia, begitu juga dengan orangtuaku. Kita tidak boleh menyalahkan rasa cemas dan perhatian mereka kepada kita."

Naura menggigit bibir dalamnya saat Zafir memotong kalimatnya dengan ucapan yang sama sekali tidak membuat Naura merasa adil ataupun tenang.

Naura memejamkan kedua matanya sambil menarik napas dalam, sekali lagi dia mengalah. "Kamu benar, maafkan aku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status