Naura seperti biasa menghabiskan waktunya di ruang kerja, sejak hari di mana Evelyn dinyatakan positif hamil, Naura sesekali mengirim makanan ataupun minuman yang baik untuk kandungannya. Dia mungkin tidak menyukai situasi ini, namun semua hal akan ia lakukan untuk calon anaknya yang tengah dikandung Evelyn. Dia tidak boleh egois.
"Nyonya, nona Evelyn meminta izin untuk masuk." Kate membisikkan hal tersebut ke telinga Naura, membuat Naura mengalihkan tatapannya dari laporan perusahaan. "Apa barang-barang yang ia minta tidak dikirim tepat waktu?" tanya Naura, dia tidak mengerti alasan Evelyn mengunjunginya. Sebab seharusnya Zafir sudah memperingatinya untuk tidak terlalu sering menemui Naura di ruang kerja. Kate menggeleng. "Tidak, semuanya sudah diberikan tepat waktu." Naura menghela napas tipis, kemudian ia mengangguk singkat. "Biarkan dia masuk." Kate dengan cepat berjalan ke arah pintu dan mempersilahkan Evelyn masuk. Evelyn mengenakan dress merah muda, rambut panjangnya terkepang manis menggunakan pita. Wanita itu masuk dengan senyum manisnya. "Kak Naura, lihat apa yang aku bawa!" Suara Evelyn yang mulai terbiasa Naura dengar kini tidak terlalu mengganggunya lagi. Tetapi, kali ini panggilan yang digunakan wanita itu untuk menyebutnya sangat mengganggu, Naura tidak pernah mengizinkan Evelyn memanggilnya dengan sangat akrab seperti itu. Beruntung saat ini Naura tidak ada selera untuk mempermasalahkan hal kecil seperti itu, jam kerjanya yang belakangan ini mulai terganggu karena kedatangan Evelyn yang tanpa alasan sudah cukup menguras energinya. "Apa ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Naura, dia tidak ingin membuang waktu untuk pertemuan yang sia-sia. Tidak langsung menjawab, Evelyn justru menyodorkan kotak berwarna cokelat untuk Naura, saat dibuka, kotak itu berisi kue cookies cokelat yang masih hangat. "Kamu yang membuatnya?" Naura menatap kue itu sekilas, kemudian kembali menatap Evelyn. Evelyn mengangguk. "Iya, benar. Zafir bilang bahwa kak Naura sangat menyukai cookies cokelat." Naura tersenyum tipis, kemudian menutup kotak itu dan menaruhnya di atas meja, kedua matanya kembali melihat ke kertas laporan perusahaan. "Terima kasih banyak, Evelyn. Jika tidak ada yang-" "Kak Naura, bolehkah aku meminta sesuatu?" Evelyn menyela kalimat Naura yang ingin mengakhiri pertemuan mereka. Naura kembali menatap Evelyn, kedua sudut alisnya menyatu. "Apa?" "Zafir berkata besok lusa anda akan mengunjungi pertemuan besar di Jakarta Barat bersamanya. Tidak bisakah... Aku juga ikut? Aku... Merasa sedikit bosan berada di dalam mansion. Dokter juga bilang bahwa--" Belum selesai Evelyn bicara, Naura sudah memotong kalimatnya cepat. "Aku akan membicarakannya lagi dengan Zafir, terima kasih banyak cookies-nya, Evelyn." Naura tersenyum simpul, itu adalah senyum pahit yang biasa ia lakukan jika berada di lingkungan yang tidak nyaman. Evelyn mengedipkan mata bulatnya, wajahnya yang polos kini terlihat sedih. Namun, dia tidak berani untuk berbicara lebih banyak di hadapan Naura, mau tidak mau akhirnya wanita itu melangkah keluar dari ruangan Naura. Begitu sosok Evelyn lenyap, Naura meremas pulpen yang berada di atas mejanya. Telapak tangan yang ia gunakan mencengkeram pulpen sampai terlihat putih pekat, emosinya benar-benar naik sekarang. "Dia berani meminta hal seperti itu pasti karena Zafir setuju," ucap Naura, tubuhnya gemetar karena marah. "Apa sekarang Zafir ingin perlahan mengajaknya muncul ke atas media?" sambung Naura, kemudian ia membanting pulpen tersebut ke atas meja dan mengusap wajahnya kasar. "Nyonya, sepertinya... Tuan hanya ingin nona Evelyn menikmati suasana luar." Kate berusaha menenangkan majikannya, dia sendiri juga terkejut karena Zafir mengizinkan wanita itu ikut ke pertemuan besar perusahaan yang akan dihadiri oleh berbagai macam wartawan. Belum lagi sebelumnya ia mendengar Evelyn menyebut majikannya dengan sapaan 'kakak', Naura pasti kesal. Setelah pekerjaannya selesai, Naura segera menemui Zafir di ruang kerjanya. Sesuai dugaannya, Evelyn berada di dalam ruangan pria itu. Melihat kedatangan Naura dengan raut wajah yang tidak baik-baik saja membuat pria itu meminta Evelyn untuk segera keluar. Wajah Evelyn yang terlihat sedih bercampur takut begitu melihat sosok Naura pun sedikit menunduk. Namun, tak lama wanita itu kembali tersenyum untuk menatap Zafir dengan sangat manis. "Baiklah... Jangan lupa janjimu untuk bermain denganku malam ini!" Zafir terkekeh dan hanya mengangguk menanggapi Evelyn, setelah wanita itu keluar mata Zafir kembali jatuh pada Naura. "Ada apa, sayang? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Zafir, keningnya terlipat bingung. "Ada. Untuk apa kamu ingin membawa wanita itu ke pertemuan besar besok lusa? Wartawan dari berbagai penjuru Indonesia akan tiba di sana untuk menyaksikan peresmian tambang besar." Naura langsung menuju pada inti permasalahan. Zafir menghela napas, raut wajah pria itu seolah sudah menduga bahwa Naura akan membahas masalah ini. Dengan tenang pria itu berjalan ke arah Naura dan meletakkan kedua tangannya lembut di atas bahu Naura. "Evelyn saat ini tengah mengandung anak impian kita, Sayang. Dia tidak bisa mendekam terus menerus di dalam mansion, dokter menjelaskan bahwa itu akan mempengaruhi kehamilannya jika ia merasa frustasi. Kamu tentu ingin mengharapkan yang terbaik untuk calon anak kita, bukan?" Bak sihir indah yang menari di telinga Naura, suara Zafir yang lembut selalu membuatnya tak berdaya. "Namun, bagaimana jika media mulai menangkap sesuatu yang janggal?" Naura menatap sulit suaminya. Zafir menggeleng pelan. "Tidak, Naura akan menyamar sebagai salah satu asisten barumu, bagaimana?" Naura menarik napas dalam dan menghembuskannya gusar. "Aku sangat menghindari media, mereka seperti serigala yang mengincar mangsa. Sekecil apa pun aromanya, pasti akan terendus." Zafir menggeleng lagi, kemudian kembali memeluk Naura. "Hei, tenang... Semua akan baik-baik saja." Baru saja Naura ingin melepas penatnya, hidung wanita itu mencium aroma Evelyn di tubuh suaminya. Naura ingin meledak marah, namun sekedar berbicara sedikit saja saat ini energinya sudah tidak menyanggupi. Perlahan, Naura melepas pelukan Zafir dan mengambil langkah mundur dua kali. "Apa dia harus terus menerus berada di sekitarmu?" Zafir yang mendengar ini kembali mengerutkan keningnya. "Kamu tidak merasa senang dengan kehadiran Evelyn? Bukankah kamu sendiri yang memilihnya?" Naura mengangguk singkat. "Benar, aku yang memilihnya. Tetapi... Apakah harus seintens itu dia berada si sisimu?" "Aku tidak memiliki maksud lain, tetapi itu benar. Dia tidak memiliki siapapun di mansion ini, aku hanya mencoba mengusir kesepiannya, itu saja." Zafir berusaha menjelaskan situasi antara dia dan Evelyn. "Bahkan lebih dari aku?" tanya Naura. Pertanyaan ini sukses membuat Zafir menggelengkan kepalanya pelan dan menghela napas. "Naura, apa kamu ingin mengajakku berdebat sekarang? Bukankah kehadiran Evelyn adalah keputusan kita bersama?" Naura menggeleng cepat. "Tidak, tetapi aku hanya--" "Biarkan Evelyn mengandung anak kita dengan tenang, jangan mengganggunya. Kamu tahu betul bahwa wanita hamil berkali-kali lipat sensitif." Zafir dengan cepat memotong, membuat Naura sedikit membuka matanya karena terkejut. Astaga, sungguh suaminya mengucapkan hal seperti itu untuk wanita lain? Apa? Dirinya? Mengganggu Evelyn? Justru wanita itu yang terus menerus mengusiknya ke ruang kerja! "Aku tidak pernah mengusiknya, aku hanya ingin--" Sekali lagi, saat Naura mencoba bicara, Zafir memotongnya cepat. "Jangan pikir aku tidak tahu. Kamu selalu melempar pandangan dan kalimat ketus pada Evelyn, ayolah sayang... Evelyn hanya ingin berhubungan baik denganmu. Ada apa denganmu? Aku tidak pernah melihat sosokmu yang tidak pengertian seperti ini, seharusnya kita berterima kasih karena dia berhasil mengandung untuk kita." Zafir memijat keningnya pelan, dia merasa Naura sedang dibutakan oleh perasaan cemburu dengan sesuatu yang ia putuskan sendiri. Naura menelan seluruh rasa sakitnya, kedua matanya mulai sedikit berkaca-kaca. Naura tidak bisa berbicara lebih banyak lagi begitu mendengar Zafir membela Evelyn dengan sangat baik. Naura mengangguk. "Benar, aku minta maaf. Aku mungkin telah bersikap egois dan terlalu kasar pada Evelyn, seharusnya aku berterima kasih karena dia sedang mengandung anak kita." Tanpa menunggu jawaban Zafir, Naura berbalik dan meninggalkan ruangan pria itu tanpa mengucapkan kalimat lain. Saat melangkah keluar, Naura melihat sosok Evelyn yang ternyata sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Evelyn dengan cepat menunduk, raut wajahnya terlihat sangat sedih. Naura tidak ingin mengurus wanita itu sekarang, hatinya juga sangat hancur saat ini. Evelyn memiliki Zafir yang bisa menenangkannya saat ini, sedangkan dirinya? Bagaimana dengan dirinya?"Sepertinya belakangan ini aku justru membuat kak Naura merasa tidak nyaman." Evelyn duduk di atas sofa empuk yang berada di ruang kerja Zafir. Wanita itu hanya menghabiskan waktunya di sekitar Zafir, bahkan setelah Naura keluar dengan ekspresi buruk sebelumnya, Evelyn kembali memasuki ruangan Zafir. Zafir merapikan berkas-berkas yang sebelumnya ia gunakan, kemudian berdiri dari meja kerjanya sambil berkata, "Bagaimana bisa? Naura bahkan tidak keberatan jika kamu menyapanya dengan santai, bukan?" Evelyn menghela napas tipis, mengangguk kecil. "Iya, tapi... Sepertinya kak Naura memang--" "Terlalu cepat untuk menyerah, cepat atau lambat hubungan kalian pasti membaik." Zafir berusaha membangun pikiran positif untuk Evelyn, pria itu berjalan tenang menuju Evelyn dan mengusap kepalanya "Makan malam seperti biasa dengan teratur, aku perlu menjamu tamu penting bersama Naura," sambung Zafir setelah beberapa saat
Brak!! Naura menutup kasar pintu kamarnya, kali ini ia tidak bisa membendung emosinya. Dia melepas seluruh perhiasannya dengan kasar, membantingnya ke meja rias, tidak peduli apakah akan hancur atau tidak. "Naura!" Zafir mengikutinya ke kamar, pria itu tidak mengerti mengapa istrinya menjadi sangat marah. Ia membuka pintu cepat dan menutupnya kembali, lalu menatap heran Naura dari ambang pintu. "Apa yang membuatmu menjadi semarah ini?" tanya Zafir, wajahnya menunjukkan perasaan frustasi. Siang tadi mereka sempat hampir berdebat, kemudian malamnya kembali meledak. Pria itu merasa lelah sekarang. Naura menatap tajam suaminya, kemudian menunjuk Zafir dengan jari telunjuknya. "Wanita itu, apa yang--!" "Jangan salahkan Evelyn! Wanita itu tidak bersalah, aku lah yang mengajaknya untuk ikut!" Zafir memotong kalimat penuh amarah Naura, membuat Naura mengerutkan keningny
Peresmian perusahaan tambang semakin dekat, Naura semakin sibuk di ruangan kerjanya, sementara Kate membantu Evelyn untuk belajar bagaimana sikap seseorang yang menjadi bagian dari Wajendra. Di tengah kesibukannya, dering telepon dari atas meja kerjanya berbunyi. Tanpa mengalihkan pandangannya, Naura mengambil gagang telepon dan mendekatkannya ke telinga. "Dengan nyonya Wajendra?" Suara pria yang berat dan jernih terdengar, membuat Naura sedikit mengerutkan keningnya dan berhenti dari aktivitas sibuknya. Hatinya sedikit merasa heran, karena sepertinya orang yang menghubunginya saat ini adalah sosok yang memiliki latar belakang tidak biasa, sebab biasanya ketika menerima panggilan Naura sering mendengar kalimat sapaan dan pembuka yang manis serta bertele-tele."Benar?" jawab Naura, ada sedikit nada bertanya di jawabannya. "Maaf jika saya menghubungi anda secara tiba-tiba, tetapi... ini soal tambang yang besok akan kita buka secara
"Jika seperti itu masalahnya, maka lebih baik menggunakan langkah yang kamu usulkan. Tetapi... Aku sejujurnya sedikit terkejut karena pihak Renjana akan menyerahkan masalah ini pada kita." Zafir duduk di kursi kerjanya, raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang berpikir serius. Naura mengangguk setuju. "Benar, aku juga berpikir demikian. Aku kira dia akan serakah dan mengisi posisi kosong itu dengan orang-orang dari pihak mereka."Zafir tersenyum tipis. "Itu bagus, berarti kita tidak salah dalam memilih partner bisnis."Naura mengangguk lagi, bibirnya pun ikut tersenyum tipis. Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba Zafir terdiam beberapa saat dan memperhatikan wajah Naura. Saat pandangan mereka bertemu, suasana tiba-tiba menjadi canggung. Zafir terbatuk pelan, kemudian tangan kanannya bergerak menarik laci kerjanya dan mengeluarkan kotak perhiasan kecil berwarna merah. Pria itu kemudian berdiri dan berjalan ke arah Naura."Soal kemari
"Evelyn, hati-hati..." Zafir membantu Evelyn berjalan, wanita itu terlihat sangat lemah dan rapuh. Naura melihat mereka sekilas dari dalam mobil, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah laptop iPad yang saat ini ia pegang. Dia mencoba untuk tidak peduli. Tak lama setelahnya, Zafir menyusul ke dalam mobil mereka dan duduk tepat di samping Naura, sementara Evelyn berada di mobil yang berbeda. "Jika kesehatannya benar-benar buruk lebih baik biarkan Evelyn beristirahat di mansion," ucap Naura, kedua matanya masih terpaku pada iPad-nya.Zafir menggeleng pelan. "Wanita itu menolak untuk ditinggal, dan lagi... Terlalu mengkhawatirkan jika dia kita tinggal begitu saja."Naura tersenyum tipis. "Kamu mengkhawatirkannya terlalu berlebihan, Wajendra tidak pernah kekurangan pekerja."Zafir menghela napas tipis. "Anggap saja ini menjadi bagian dari menyenangkan perasaannya agar janin-nya ikut sehat."Naura mengangguk-angguk kecil sambil be
Selama perjalanan menuju tempat peresmian, Naura hanya diam dan sesekali menanggapi perbincangan. Sejujurnya dia tidak memiliki lebih banyak tenaga lagi setelah bertengkar dengan Zafir, namun dia tidak bisa bersikap seenaknya di hadapan media umum. Hanya lirikan yang tidak disengaja, Naura menatap Evelyn dan fokus dengan kalung yang dikenakan wanita itu. Keningnya sedikit terlipat, perasaan marah kembali bergejolak di dalam diri Naura. Bagaimana tidak? Pria itu mengenakan kalung yang sama persis seperti yang ia kenakan? Zafir sungguh membiarkan hal ini terjadi? Pria itu gila! Naura tidak mempermasalahkan kenyataan bahwa Zafir membelikan kalung Evelyn yang serupa dengannya, tetapi... Bagaimana bisa Evelyn menggunakannya juga di acara ini? Kalung yang mereka kenakan bukanlah kalung berlian dengan harga ratusan juta, tetapi menyentuh miliaran dan tidak banyak orang Indonesia yang memilikinya. Jika Evelyn mengenakannya di depan media itu pasti akan sangat menarik perhatian, akan ada
"Zafir... Sudah cukup, kak Naura sudah menangis." Evelyn beranjak dari tempat tidurnya dan melingkarkan tangannya di lengan pria itu, kedua wajahnya yang sangat manis berusaha menenangkan Zafir. Naura menggertakkan giginya, menjijikan. Bagaimana bisa dirinya dikasihani oleh Evelyn?Naura menegakkan posisi berdirinya, dia menghapus air matanya dengan kasar. "Kamu mencintainya?" Kedua mata dingin Naura menatap Evelyn datar. Evelyn terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaan Naura, wanita itu segera menundukkan kepalanya dalam dan melingkarkan tangannya lebih kuat di lengan Zafir. "Iya... Aku... Mencintai Zafir." Dia memberi jeda sedikit untuk kemudian menambahkan,"Tetapi bukanlah Zafir juga mencintaiku?" Kepalanya mendongak untuk menatap Zafir.Naura mengepalkan kedua tangannya lebih erat, matanya langsung tertuju pada Zafir. Zafir terlihat rumit sekarang, pria itu menatap Naura dengan tatapan yang tidak biasa, seolah ada beban berat di pundaknya.
Naura terbangun dari tidur kala mendengar ketukan pintu yang terburu-buru. Dengan berat wanita itu beranjak bangkit dan membuka pintu tersebut, terlihat wajah Kate yang sedikit panik. "Nyonya, para wartawan menunggu di lobby utama. Sepertinya kejadian tadi siang cukup membuat media gempar," ucap Kate, membuat Naura yang baru saja terbangun kembali mengingat hal menyakitkan. Naura mendapatkan kembali kesadarannya, kemudian ia berjalan masuk ke dalam kamarnya lagi yang diikuti oleh Kate. Kate terlihat panik, wanita itu bergerak secepat yang ia bisa untuk membantu Naura bersiap. Di tengah kesibukan Kate yang membantu Naura bersiap, Naura menatap kosong bayangannya di cermin sambil bertanya,"Bagaimana dengan Zafir?"Kate berhenti sejenak dari aktivitasnya, kemudian berpikir keras untuk menyiapkan jawaban yang tidak melukai Naura. "Tuan... Tuan berkata lebih baik untuk tidak terlalu menunjukkan perasaan emosional dan berbicara yang tidak perlu di ha