Baru sekitar dua detik pesan tulisan Radit sampai, Irna sudah langsung menghubungi kekasihnya itu.
"Halo?" Sapa Radit, dia cukup terkejut melihat nama Irna muncul di layar ponselnya. Mengapa tiba-tiba kekasihnya menghubungi dirinya, tanya Radit dalam hati.
Entah mengapa Radit merasa bersalah pada kekasih hatinya itu. Seharian ini dia bersama gadis lain, yang baru dia jumpai 2 kali saja, tapi gadis itu seperti sudah Radit kenal bertahun-tahun. Radit bisa langsung akrab. Hatinya pun terasa nyaman berada di dekat Raina.
"Ujiannya gimana?" Tanya Irna, mengulangi pertanyaannya yang sudah dia tanya di pesan tulisan tadi.
"Enggak masalah Sayang, bisa kok" jawab Radit dengan tenang.
"Aku pikir kamu lagi kesel karena ujiannya sulit, makanya sampai enggak kabari aku" ucap Irna, mulai menyindir Radit karena tidak langsung menghubungi dirinya setelah ujian selesai.
Radit tertawa. Berusaha menyabarkan dirinya. Radit sudah bisa menebak apa yang dimaksud oleh Irna sebenarnya. Pasti kekasihnya itu akan menyindir dirinya yang akhir-akhir ini kurang perhatian padanya.
"Enggaklah Sayang, everything is fine, kamu lagi apa?" Radit mencoba mengalihkan pembicaraan. Daripada mereka ujung-ujungnya bertengkar.
"Lagi nungguin cowo aku telpon aku sih tadi" jawab Irna, pura-pura kesal.
Radit tertawa lagi, kekasihnya ini memang sering seperti ini. Irna senang bila Radit merasa bersalah dan pada akhirnya Radit akan meminta maaf.
"Maaf ya, aku tadi keasyikan ngobrol sama temen yang sama-sama ujian," jelas Radit, dia mengerti Irna pasti merasa kesal karena akhir-akhir ini memang dia jarang menghubungi Irna.
Irna dan Radit sudah berpacaran selama lima tahun. Selain kepindahan orang tua Radit, Irna adalah salah satu alasan mengapa Radit memilih Bandung untuk melanjutkan sekolah spesialisasinya. Radit ingin lebih dekat dengan Irna. Dia tidak mau pacaran jarak jauh lagi.
Saat mereka menjalani hubungan pacaran jarak jauh selama lima tahun, semuanya baik-baik saja. Setiap komunikasi yang mereka buat diisi dengan kalimat sayang penuh kerinduan. Tidak ada kalimat menyindir. Irna pun jarang marah dan uring-uringan seperti sekarang. Sesekali Radit pergi ke Bandung, memberi kejutan pada Irna. Mereka bisa mempertahankan hubungan mereka selama lima tahun walau jarak yang memisahkan.
Sekitar enam bulan terakhir, Radit pindah ke Bandung, dan Irna mulai melanjutkan pendidikan profesi dokter sebagai koasisten, hubungan percintaan mereka malah terasa lesu. Tidak ada kerinduan yang menyergap hati mereka seperti saat mereka masih berhubungan jarak jauh dulu.
Jarak yang dekat justru membuat mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing, Radit sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian spesialis, sementara Irna juga sedang koasisten di bagian bedah, bagian yang cukup sibuk di divisi kedokteran. Mungkin hal ini juga yang membuat Radit merasa nyaman berbincang dengan Raina sebelumnya, gadis itu punya banyak hal seru untuk diobrolkan. Berbeda dengan Irna, pacarnya lebih sering mengeluh mengenai hari-hari barunya sebagai koasisten saja, Radit mengerti kalau Irna hanya ingin berbagi dengannya, dia juga dulu seperti itu saat menjalani koasisten, tapi selama enam bulan Irna selalu cerita hal yang sama berulang-ulang, tentu saja Radit kadang merasa sedikit bosan. Terkadang dia ingin membicarakan tentang topik lain.
Selain itu, Irna juga punya sifat cemburuan. Sifat ini semakin menjadi-jadi saat Radit sudah pindah ke Bandung. Rasanya dulu tidak seperti ini. Hal ini kadang mengganggu hubungan mereka, tapi Radit selalu mencoba sabar, dia selalu mencoba mengerti kalau Irna masih muda dan sifat kekanak-kanakan nya kadang masih sering terlihat. Mau bilang apa, jarak usia mereka memang cukup jauh, hampir 6 tahun. Radit harus lebih dewasa dan mengesampingkan ego nya.
"Temen yang mana? Ada temen Kakak yang ikutan coba ujian spesialis?" Selidik Irna. Bertanya-tanya dalam hatinya apakah teman lelaki atau perempuan.
"Bukan, temen baru yang sama-sama ikut ujian," aku Radit, jujur. Dia memang terlalu cinta dengan Irna, Radit sulit untuk berbohong.
"Laki-laki?" Tanya Irna lagi mulai tidak sabar dengan jawaban pacarnya itu.
Radit tidak langsung menjawab, dia lebih dulu menghela napasnya, mengumpulkan kesabarannya. Sifat cemburuan Irna kumat lagi, batin Radit dalam hati.
"Perempuan, kita ketemu kemarin saat ujian psikotes, aku hampir tabrak dia, jadi aku cuman ngobrol sekalian minta maaf atas kejadian yang sebelumnya" jawab Radit lagi.
Irna tidak menjawab, wajahnya kesal mendengar jawaban dari Radit. Kekasihnya lupa menghubungi dirinya karena sedang bersama perempuan lain yang baru dikenal.
"Please stop cemburu Na, aku enggak punya teman sama sekali disini, aku hanya cari teman baru aja, masa tidak boleh?" Lanjut Radit lagi, suaranya meninggi, sedikit jengah dengan sikap kekasihnya ini. Rasanya terlalu berlebihan bila Irna merasa cemburu hanya karena dia mengobrol dengan teman perempuan.
"Emm, oke, lain kali jangan lupa kabari aku ya" balas Irna lagi. Sedikit meredam rasa cemburunya. Radit sepertinya sudah kesal.
"Maafkan ya sayang" balas Radit. Menyesali karena hampir membentak Irna.
"Nanti malam aku telpon lagi ya" balas Irna, langsung menutup sambungan teleponnya. Daripada mereka lanjut berbicara, mungkin mereka akan bertengkar sebentar lagi. Irna merasa perlu untuk menenangkan hatinya yang dipenuhi rasa cemburu.
Radit menatap layar ponselnya sambil menghembuskan napas berat. Lagi dan lagi Irna membuat dirinya kesal.
Ini bukan hubungan yang Radit inginkan. Hubungannya dan Irna saat ini terlalu dingin dan kaku, penuh rasa cemburu, jauh berbeda dengan hubungan mereka dulu, penuh kehangatan. Tapi itu bukan alasan yang tepat untuk memikirkan gadis lain seperti Raina. Radit harus tetap setia.
Radit menyayangi Irna dengan sepenuh hatinya. Irna gadis pertama yang membuat dirinya jatuh cinta setengah mati. Dulu sifat kekanakkan Irna masih bisa dia tolerir. Dia justru senang dengan sikap manja yang menggemaskan dari Irna. Radit selalu menyabarkan dirinya karena tahu jarak usia yang jauh diantara mereka berdua. Tapi akhir-akhir ini, hal itu semakin keterlaluan. Radit merasa Irna mulai membatasi pergaulannya. Banyak larangan yang mulai Irna keluarkan.
Tanpa sadar Radit mengambil ponselnya, menuliskan pesan pada Raina.
"Lagi apa?" Tulis Radit.
"Astaga!" Seru Radit, terkejut sendiri setelah mengirimkan pesan itu.
"Hai Dit, masih di jalan nih! Kenapa??" Balas Raina beberapa detik setelah pesan Radit sampai.
Radit tersenyum, membayangkan wajah Raina yang tersenyum lebar setiap berbicara dengan dirinya. Sedetik kemudian Radit secepatnya menghilangkan bayangan itu.
"Jangan bodoh Radit" ucap Radit pada dirinya sendiri.
"Enggak apa-apa, semoga kita lulus ya" balas Radit, mencoba menutup pembicaraan.
"Aamiin!!!" Balas Raina lagi.
Di ujung ponsel, Raina tersenyum menatap lekat ponselnya. Hatinya selalu berbunga-bunga setiap menerima pesan dari Radit. Rasanya dia memang mulai jatuh hati pada teman barunya itu.
___________
Hai..
Jangan lupa komentar di bawah yaa..
Happy reading semuanya
Ponsel Raina berdering selama beberapa menit, sudah entah berapa kali Yasmin mencoba menghubungi Raina. Gadis itu baru saja selesai shift jaga malam pagi ini di klinik 24 jam tempat dia bekerja sementara, dia baru tertidur selama dua jam, tentu saja Raina tidak mendengar ponselnya yang berbunyi terus-menerus. Ibu masuk ke dalam kamar Raina karena sedari tadi mendengar ponsel anaknya berbunyi. Ibu mendapati Raina yang masih tertidur pulas. Dengan hati-hati, wanita paruh baya itu mengambil ponsel yang berada tepat di samping tubuh Raina. Ibu takut membangunkan anaknya itu, wajah Raina jelas kelelahan, siapa yang tidak lelah setelah jaga selama 24 jam. Ibu melihat di layar ponsel, ada nama Yasmin disana. "Na, lu tidur ya? Gue telpon berkali-kali lama bener angkat teleponnya, pasti kebo deh tidurnya" Omelan Yasmin langsung terdengar diujung sana. Ibu hanya tersenyum mendengar omelan sahabat anaknya itu. Memang Yasmin sel
"Naaaa... Nanaaaaaa!!!!!!" Teriak Yasmin saat Raina menjawab teleponnya. Raina masih setengah tertidur, dia spontan menjauhkan ponselnya dari telinganya. Terbangun karena teriakan sahabatnya itu. "Ada apaan sih Yas?" Tanya Raina lagi, matanya masih tertutup. Sementara tangan kanannya sudah bergerak untuk menahan ponselnya tetap berada di telinganya. "Jangan bilang lu baru bangun, lu masih jaga malam kan??? Ah Nanaaa kebangetan banget deh ini bocah!!! Cepetan banguuun!! Kita diminta kumpul satu jam lagi, di kamar jaga residen penyakit dalam, Na!!" Jawab Yasmin cepat. Kepala Raina masih kosong, dia masih terdiam. Otaknya belum berhasil mencerna kalimat Yasmin. "Raina! Cepetan bangun dan segera ke rumah sakit! Kalau enggak kita seangkatan bakal dihukum!!" Teriak Yasmin lagi. "Apa?! Dihukum?!" Batin Raina dalam hati. Raina langsung membuka m
"Untung kalian enggak terlambat, kalau terlambat bisa-bisa kita satu kelompok langsung kena hukuman" ucap lelaki dengan wajah dingin dan datar itu lagi saat melihat kehadiran Radit dan Raina. Lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah angkuh, memberikan tatapan dingin sedingin es batu. Raina membalas dengan tatapan sebal, siapa orang sombong ini, mukanya datar sekali, tanya Raina dalam hati. "Ayo ke kamar jaga, jangan sampai kita yang dicariin" lanjut lelaki dingin itu lagi. Raina masih mengatur napasnya, tiba-tiba dia sudah diminta berjalan lagi. Gadis itu langsung merutuk di dalam hati sambil memandang sengit lelaki itu. Rasanya dia baru berhenti selama beberapa detik saja untuk mengambil napas, tapi lelaki itu seperti tidak mau menunggu lama. Dasar lelaki tidak punya hati, maki Raina lagi. "Siapa sih dia? Baru juga pertama ketemu udah super jutek samabossy bener" b
Hari masih menunjukkan pukul 7 pagi, Raina baru saja turun ke dapur untuk membantu ibu memasak sarapan. Terhitung mulai hari ini dia memutuskan untuk tidak lagi bekerja di klinik manapun. Yasmin sudah memarahi dirinya berulang kali, belum lagi kejadian di hari perdana mereka bertemu senior itu membuat Raina sadar kalau sebagai residen paling junior, dia harus siap sedia setiap saat. Tiba-tiba ponselnya berdenting, ada pesan yang masuk. Raina mengambil ponselnya, semenjak kejadian beberapa hari yang lalu itu, Raina tidak pernah jauh-jauh dari ponselnya. Dia juga mengaktifkan volume paling tinggi supaya bunyi ponselnya selalu terdengar. Pesan itu dari Tama, si ketua angkatan yang sangat menyebalkan itu. Sebelum membuka pesan itu, Raina berdecak karena selalu kesal setiap melihat nama Tama. "Jarkom: Hari ini ketemuan sama ketua panitia pemilihan CR, dikamar jaga jam 3.30. Kita kumpul di kafe dekat kamar jaga jam 3 tepa
Setelah sepanjang pagi membantu ibu, Raina segera bersiap-siap. Siang ini dia memoles wajahnya dengan riasan tipis, memakai dress terbaiknya, menata sedikit rambutnya dan menyemprotkan parfum favoritnya. Dia tidak mau Radit menunggu lama. Saat Raina keluar dari kamar, ibu sampai terheran-heran melihat penampilan anak gadis satu-satunya itu. "Harum banget Na" puji ibu. Sedikit penasaran karena penampilan Riana seperti gadis yang akan berkencan atau pacaran. Tidak seperti penampilan mahasiswa baru yang akan menemui seniornya. Kalau ibu sebelumnya tidak tahu kalau Raina akan pergi untuk menemui seniornya, mungkin ibu sudah menyangka kalau Raina sudah punya pacar baru. Setelah patah hati dulu, Raina memang tidak pernah lagi berdandan seperti siang ini, batin Ibu. "Ketemu senior harus rapi dan harum Bu" balas Raina sengaja berkelit. Dia sudah bisa membaca apa yang ada didalam kepala ibu kandungnya itu. "Oh
Dari tempat duduknya, Tama melirik ke arah Raina dan Radit. Kedua sejoli itu sibuk mengobrol, kadang jelas terdengar suara tawa mereka atau pukulan manja dari Raina ke lengan Radit. Menyebalkan sekali harus menyaksikan pemandangan seperti itu, batin Tama dlam hati. Awalnya Tama tidak mau peduli, tapi ini sudah hampir 10 menit mereka mengacuhkan dirinya, lama kelamaan Tama jadi kesal juga, ditambah teman mereka yang lain juga belum menampakkan batang hidungnya. Dia mulai kesal karena merasa seperti nyamuk atau mungkin juga seperti kambing congek diantara sepasang "sejoli" itu, yang hari ini merasa dunia hanya milik mereka berdua saja. Seolah-olah keduanya adalah sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Dunia sekitar tidak ada artinya, hanya mereka berdua saja. "Yang lain pada kemana sih? Jarkom sampai kan?" Ucap Tama, tiba-tiba dengan sengaja. Raina dan Radit berhenti mengobrol. Keduanya mengalihkan perhatian
Raina, Radit dan Yasmin sibuk mengobrol, Septian dan Adrian sibuk memilih makanan di menu, sedangkan Tama hanya bisa melihat semua teman seangkatannya yang akan selalu bersama-sama selama 4 tahun kedepan sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Sementara dia sedang berpikir keras bersama kertas dan pulpen dihadapannya, untuk membagi tugas selama masa residensi, tapi sepertinya semua temannya itu tidak ada yang perduli, batin Tama dalam hati. Belum lagi mereka juga sepertinya tidak ada yang perduli, padahal Mela belum juga datang."Ehem!!" Tama berdehem cukup keras, berusaha mendapatkan perhatian semua rekan-rekannya. Dia berhasil, semuanya berhenti dan mengalihkan perhatiannya."Apa Mela sudah ada kabar?" Tanya Tama. Raina orang pertama yang langsung mencibir saat mendengar pertanyaan dari mulut pria yang baru saja dia beri julukan "kanebo kering"."Biar gue telpon" ucap Raina, langsung mengajukan diri untuk membantu menelpon, setidaknya bukan Tama ya
"Bu, katering masih bisa terima pesanan kan?" Tanya Raina pada Ibu segera setelah sampai ke rumah. Hari ini Radit tidak mengantarkan dirinya pulang, katanya ada keperluan dengan temannya, terpaksa Raina pulang dengan Yasmin sampai di tengah jalan dan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkutan kota karena Yasmin harus menjemput pacarnya. Hal ini membuat hati Raina bertambah kesal."Buat kapan?" Tanya Ibu, sedikit heran, jarang sekali anak gadisnya ini menanyakan masalah usaha kateringnya."Ada acara dua minggu lagi Bu. Acara pemilihan CR, tadi aku tawarin katering Ibu buat konsumsinya, lumayan Bu untuk sekitar 100 porsi" jelas Raina."Dua minggu lagi?" Tanya Ibu ulang. Raina mengangguk."Bisa" jawab Ibu, wajahnya berubah cerah, kateringnya dapat kerjaan lagi, batin ibu senang."Tapi senior minta tester masakan Bu" lanjut Raina lagi."Boleh, mau kapan?" Balas Ibu. Riana menaikkan bahunya tanda tidak tahu, dia harus me
"Hmmm, pemandangan yang indah, film yang bagus, makanan yang enak dan teman yang menyenangkan. Ini malam minggu terbaik" celetuk Radit, mengalihkan pandangannya kepada Raina."Eh?" Raina bergumam tanpa sadar. Tapi dia segera menutup mulut nakalnya."Ya, rasanya kita bisa malam mingguan lagi kapan-kapan" balas Radit."Malam mingguan lagi?" Tanya Raina ulang. Jantungnya berdetak cepat. Apa ini berarti Radit mengajaknya berkencan lagi? Ingin rasanya Raina menari saking girangnya."Ya, mungkin lain kali kita bisa nonton lagi.." balas Radit, sedikit menggantungkan kalimatnya. Radit menyadari wajah terkejut dari Raina. Apa gadis ini menjadi sedikit salah mengerti mendengar dia menyebutkan kalimat tadi, pikir Radit."Sekalian mengajak Yasmin, Tama dan teman angkatan kita lainnya" Radit cepat-cepat melanjutkan kalimatnya. Khawatir Raina semakin salah sangka.&nbs
"Akhirnya tenang juga" ucap Raina, menarik napas dalam-dalam sambil menutup mata. Mereka saat ini sedang berada di gedung bioskop dan sedang mengantre memesan tiket nonton. Bioskop memang ramai, tapi tidak berdesakan seperti kafe tempat makan mereka sebelumnya. Raina merasa jauh lebih lega. "Kafe tadi terlalu berisik ya?" tanya Radit, dia baru sadar kalau Raina merasa tidak nyaman sebelumnya, sedikit merasa bersalah karena dia yang memaksa untuk makan disana, padahal jelas-jelas kafe tadi padat pengunjung. "Oh, enggak, hanya. Emm, sedikit penuh saja, kita enggak bisa ngobrol enak" balas Raina langsung, khawatir Radit merasa tidak enak hati. Bukan masalah kafe tadi penuh dan sesak oleh pengunjung, tapi letak masalahnya ada pada Rian dan Mischa. "Masih lama waktu nonton, mau minum kopi? Atau makan makanan kecil lain sebelum nonton?" tawar Radit. Rasa bersalah membuat dia menawari Raina untuk ke tempat lain
"Makan disini enggak apa-apa?" Tanya Radit. Mereka saat ini masuk di sebuah kafe yang berada di dalam mall. Kafe itu memang terlihat padat pengunjung. Wajar saja karena kota Bandung di akhir pekan tidak mungkin tidak ramai. Selain itu, kafe ini juga sedang naik daun di media sosial. Raina sedikit mengernyitkan keningnya, sedikit tidak setuju karena terlalu ramai. Raina tidak terlalu penyuka keramaian. Dia lebih suka suasana yang sepi, karena dia bisa makan dan mengobrol dengan tenang. Apalagi ini kali pertama dia bisa berduaan dengan Radit, Raina ingin suasana yang tenang, tidak riuh seperti ini. "Kalau enggak mau juga enggak apa, kita cari lagi tempat lain" balas Radit setelah melihat wajah enggan dari Raina. "Enggak apa-apa, disini aja Dit" tolak Raina cepat. Dia melirik wajah Radit dan melihat kalau lelaki itu sepertinya ingin sekali makan di tempat ini. Walaupun
Akhir pekan akhirnya datang. Kata orang hari-hari di akhir pekan adalah siksaan untuk orang yang baru saja putus. Radit baru tahu rasanya sekarang. Sabtu ini dia tidak punya janji apapun dengan siapapun. "Hah, membosankan sekali" gumam Radit. Sepanjang pagi dia hanya menyetel televisi dan menonton dengan pikiran kosong. Dia mengambil ponselnya dan mulai melihat-lihat film apa yang sedang diputar minggu ini di bioskop. "Apa ajak jalan anak kosan ya?" Radit mulai menemukan ide di kepalanya saat melihat film action yang terlihat cukup seru sudah tayang mulai minggu ini. Radit segera melihat jadwal jaga, baik Yasmin, Tama maupun Raina tidak ada yang jaga hari ini. Lelaki itu segera keluar dari kamar untuk mencari teman kosnya. Saat baru menuruni tangga, Radit bertemu dengan Raina. Gadis itu berjalan ke arah kulkas yang terletak di dapur kos dengan mata setengah terpejam, rambut berantakan dan dia mas
"Apa Kakak enggak kangen sama aku? Setelah putus Kakak sama sekali enggak pernah hubungi aku," keluh Irna. Dia merasa tidak nyaman dengan perubahan sikap Radit padanya setelah putus. Irna pikir Radit akan mengejar-ngejar dirinya setelah dia meminta putus, tapi kenyataannya justru Radit malah mendiamkan dirinya dan sama sekali tidak pernah menghubungi dirinya. "Aku rasa, kita butuh momen untuk sama-sama sendiri, supaya kita bisa pikirkan bagaimana hubungan kita selama ini" balas Radit. Dia masih sangat menyukai Irna, tapi kembali menjadi kekasih Irna masih sedikit sulit bagi Radit. Lelaki itu masih butuh waktu untuk memikirkan hubungan mereka yang dia rasa mulai tidak sehat. "Aku kangen Kakak" ucap Irna tiba-tiba. Dia merasa harus jujur tentang hal ini. "Rindu?" ucap Radit dalam hati, dia cukup terkejut dengan kejujuran Irna. Detak jantung Radit menjadi cepat saat mendengar ucapan mantan kek
Entah Raina harus bahagia atau justru waspada dengan keadaan yang saat ini dia hadapi, yang pasti selama Radit putus dari kekasihnya, lelaki itu selalu menempel pada Raina, dimana pun dan kapan pun. Tidak terasa sudah dua minggu Radit putus dari Irna. Dalam hati Radit merasa sangat nyaman, tidak ada lagi yang mengatur dengan kejam semua kehidupannya. Dia bisa menjalani kehidupan residensi dengan nyaman. Semakin hari keduanya semakin lengket, dimana ada Raina pasti ada Radit disana. "Na, selesai dari rumah sakit, kita makan dulu ya sebelum pulang ke kos" ajak Radit disela-sela acara ilmiah. "Em" balas Raina langsung mengiyakan tanpa pikir panjang, dia bahkan lupa kalau hari ini orang tuanya datang untuk melihat kamar kosnya. Sudah dua minggu Raina belum juga mengizinkan ayah ibunya untuk datang. "Oke!" balas Raina dengan bersemangat sambil mengacungkan jempolnya. Dia selalu senang setiap diajak makan
(3 menit sebelumnya) "Gue jawab telepon dulu ya, agak berisik disini" ucap Radit, beranjak pergi menuju sudut di luar bioskop. "Gue jawab telepon dulu ya, agak berisik disini" ucap Radit berdiri, dia tidak bisa menjawab telepon Irna di tengah suasana gaduh begini. Pasti kekasihnya itu akan bertambah kesal. "Jangan lama-lama, bentar lagi teaternya mau buka" balas Raina, mengingatkan. Radit mengangguj sambil melambaikan tangannya. "Ada yang mau beli minum?" Tanya Yasmin, Raina langsung mengiyakan. "Gue enggak, enggak seru nonton sambil makan minum, terlalu mengganggu" balas Tama, menggeleng. Dia lebih suka menikmati film tanpa gangguan makan dan minum. Sayang sekali kal
"Oke, Raina ikut juga" ucap Radit. "Oh, oke" balas Yasmin, melirik Raina sambil tersenyum geli. Bukan Yasmin namanya kalau tidak bisa menebak isi kepala sahabatnya yang paling drama itu."Oke, Raina ikut juga" ucap Radit. "Oh, oke" balas Yasmin, melirik Raina sambil tersenyum geli. Bukan Yasmin namanya kalau tidak bisa menebak isi kepala sahabatnya yang paling drama itu. Beberapa detik kemudian Tama terlihat menuruni tangga. Raina yang pertama menyadari, dia langsung melirik kesal ke arah Tama. "Buat apa si kanebo kering itu ikut-ikutan?" Batin Raina dalam hati.
"Tadi sih curhat berantem hebat sama pacarnya" balas Yasmin. "Tadi sih curhat berantem hebat sama pacarnya" balas Yasmin. Yasmin teringat cerita Radit beberapa hari terakhir. Radit cukup nyaman untuk berkeluh kesah dengan Yasmin, mungkin karena Radit tahu Yasmin punya hubungan serius dengan kekasih Yasmin dan gaya berpacaran Yasmin dan kekasihnya dewasa sekali. Radit mengagumi itu, berbeda dengan gaya pacaran dirinya dan Irna. Kekasihnya masih manja, seenaknya dan jauh dari kata dewasa. Setiap hari selalu ada saja bahan untuk bertengkar. Radit kadang merasa lelah sendiri menghadapi sikap kekanakan dari Irna.