"Kamu mau 'kan, kencan sama aku?" tanya Tama lqgi. "Ok, aku mau. Tapi, ada syaratnya.""Apa itu?""Aku mau di kencan pertama kita, kamu ajak aku keliling naik motor. Bagaimana?" Peduli setan dengan apa yang akan Tama pikirkan tentang pengajuan syaratku. Lagian, suruh siapa ngajakin kencan anak gadis yang belum pernah deket sama cowok, yaitu resikonya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupku, di usia kepala 3 aku baru mengalami yang namanya kencan. Jika dingat-ingat, semasa aku hidup, tidak ada satu pun lelaki yang mendekati, ataupun berusaha mengajakku kencan. Apa aku sejelek itu hingga tak ada satu pun lelaki yang mau mengajakku kencan?Setelah kejadian siang tadi di ruangan Tama, aku memilih kembali ke meja kerja. Pria itu sebenarnya belum menyanggupi persyaratan yang aku buat, tetapi karena suatu alasan membuatku tak bisa berlama-lama di sana.Kini, jam pulang kerja sudah selesai beberapa waktu yang lalu. Akan tetapi, pria tua di dalam sana belum juga keluar ruangan. Aku menghela
"Cie, yang kemarin habis kencan!"Aku langsung menarik tangan Nadia untuk masuk ke dalam lift. Kami baru saja menikmati makan siang bersama, sednagkan Tama sedang rapat dengan klien didampingi oleh Gilang. Entah alasannya apa, tetapi pria itu terlihat masam saat akan berangkat tadi.Aku juga sudah menanyakan, tetapi dia bilang baik-baik saja. Jadi, di sinilah aku sekarang, kantin. Namun, Nadia justru membuatku hampir kena serangan jantung karena berkata dengan begitu polosnya di depan banyak orang. "Gak usah berisik, deh! Lagian, kamu itu sengaja yah, bikin aku makin dibenci sama karyawan sini, yah?" Aku mendengkus. Nadia lalu memeluk lenganku dan membiarkan kami berdiri layaknya sepasang kekasih yang sedang tengkar. "Maaf, Bestie. Soalnya, sedari tadi pagi udah kutahan di tenggorokan. Jadi, waktu udah kelar ngisi bensin auto tancap gas, sampai lupa nginjek rem.""Alasan!"Kurasakan tanganku terus digelendoti oleh Nadia dan sebenarnya aku sedikit kesulitan. Tubuh Nadia sedikit beris
Menurut kalian, apa hal yang paling menakutkan di dunia ini?Punya pacar kaya, baik, royal, tapi punya calon mertua yang super duper bawel?Atau,Punya calon suami dingin, nyebelin, suka ninggalin pas lagi sayang-sayangnya, tapi calon mertua super duper baik pakai telor?Duh, kayaknya kok hidupku ribet banget, yah. Mau dapat cowok saja rasanya susah seperti mau kencan sama bias. Oh, mending berhalu yang pastinya gak bikin sakit hati. Jika dalam dunia nyata, justru ternyata lebih perih dan pahit.Taehyung~ah, tarik aku ke duniamu!Jiah, mulai lagi kan kegilaanku. Semua bermula dari kejadian tadi siang di kantor. Saat itu nyonya Anggun yang main nyelonong masuk ruangan Tama memergoki aku dan Tama sedang dalam posisi yang pasti akan membuat orang tua salah paham. Tapi, please! Kami tidak melakukan hal lain, selain main pangku-pangkuan saja. Jika pun hendak bertindak lebih, salahkan saja Tama Kacrut itu. Dia yang mesum. Dia juga yang selalu membuatku terbang, tetapi juga sering dihempas
Mataku mengerjap kaget saat mendapati Bang Kai berada di lantai paling atas. “Oh, aku baik-baik saja. Kamu ngapain di sini?” “Aku mau–”Belum selesai Bang Kai mengatakan tujuannya, satu tangan besar tiba-tiba menarik tubuhku dari dekapan Bang Kai. “Ada apa, Pak? A-apa Anda membutuhkan sesuatu?” tanyaku linglung.Ada apa dengan dua lelaki ini. Bang Kai datang secara tiba-tiba, sedangkan lelaki di depanku justru menatapku dengan tatapan sulit kuartikan. Pria itu bukannya menjawab, tetapi semakin mendekatkan wajahnya ke arahku dan hal itu tepat di depan 3 orang yang ada di sana. “P-pak, Anda mau ngapain? I-itu– ada orang di belakang kita,” ujarku berusaha mengingatkan.Akan tetapi, Tama sama sekali tak terusik dan tetap mendekatkan wajah kami hingga bibir kami saling bertemu. Cup. Aku terdiam, shock, hingga sulit berkata-kata sampai lumatan-lumatan kecil itu menyadarkanku. “P-pak,” ujarku berusaha lepas dari pelukannya.Akan tetapi, tangan pria itu semakin mengerat di pinggangku dan da
Setelah 6 tahun aku mengabdi di kantor ini, baru kali ini aku mendengar sebuah pemecatan yang sangat tidak masuk akal. Aku berkali-kali berusaha untuk mencari tahu letak di mana kesalahanku, tapi tidak ada. “Apa alasan kamu memecatku?” Sudah muak aku beramah tamah selama ini. Kupandang wajah bos yang selama ini sudah membuat hidupku tidak karuan. Namun, karena sebuah kesalahan yang tidak ku ketahui, nasib pekerjaanku berada di ujung tanduk.“Aku hanya tidak ingin mempunyai sekretaris yang suka mencuri barang milik orang lain?”“What? Mencuri?” Tuduhan itu membuyarkan semua harapan dan juga keinginanku untuk menjadi seorang wanita sukses. Aku tertawa gamang, lalu kutatap wajah Tama dengan sorot mata kecewa. “Serius kamu menganggap aku mencuri?” tanyaku sekali lagi.Tama masih mempertahankan wajah datarnya dan itu benar-benar membuatku tak habis pikir. Jika memang ini adalah kenyataan, alias bukan mimpi, atau sekadar prank maka dia berhasil membuatku kecewa.“Dengar, Gartama Wirasesa. A
Aku sudah seperti jalang handal yang pandai memuaskan lelaki mana pun. Padahal, ini adalah kali pertama aku bersikap di luar nalarku. Semua berawal dari perasaan muak dan juga emosi hingga terus membiarkan ciuman kami berlangsung panjang. Aku bahkan terus mendorongnya hingga bibir kami terus saling serang tanpa peduli di mana kami sedang berada. Sampai ketika aku merasa tubuhku didorong olehnya.“Tidak, Naina!” Tama melepaskan pagutan yang sedang kami lakukan. Matanya berkilat takut dan juga cemas. Dia bahkan tak berani menatapku dan lebih memilih melihat ke arah lain.Aku mencebik. “Kenapa? Ini aku Naina, Tama. Seorang sekretaris yang sering menggoda para karyawan, bahkan klien.” Tanganku kini sengaja kutaruh di atas bahunya, lalu menari-nari di atasnya sampai ketika tanganku dengan berani melepaskan jas milik si bos.Kegilaanku sepertinya sudah menutupi kewarasanku sampai-sampai aku tak peduli sedang di mana kami berada sekarang. Cctv? Ah, aku langsung mendongak ke bagian pojok r
Bayangan akan melakukan hal yang sama sekali tidak pernah kulakukan membuatku merinding, bahkan aku langsung berjengit kaget ketika tangan pria itu menyusup ke belakang kepalaku. Ada rasa asing yang menyelinap masuk ke dalam perasaanku, tetapi membuatku seolah ketagihan. Aku membuka mata dan melihatnya sedang menatapku dengan tatapan sayu dan hal itu menghipnotisku hingga sebuah benda kenyal kembali merangkum bibirku.Kupejamkan mata saat Tama kembali mengabsen isi rongga mulutku. Geli, aneh, tetapi aku suka. Bukankah ini salah? Tapi, kenapa aku tak bisa menghentikannya? Astaga! Sepertinya aku memang benar-benar sudah haus akan belaian pria tua di hadapanku.Ciumannya yang begitu lembut dan tanpa tanpa nafsu ini semakin membuatku terlena. Aku mulai terbuai hingga tanpa sadar tangan ini ikut mengalung indah di belakang kepalanya seolah memintanya memperdalam ciuman kami.Akan tetapi, ketika tangan pria itu mulai menyusup di balik blouse yang kugunakan, aku segera mendorong tubuhnya.
Hari ini adalah hari ke-7 aku menjadi seorang pengangguran. Menyedihkan sekali memang nasibku sekarang. Jika ditanya senang atau tidak menjadi pengangguran maka aku akan menjawab, 50:50. Why? Senangnya aku tidak perlu bertemu dan mengurusi hidupnya si pak tua itu lagi.Kabar buruknya, sekarang rekeningku tidak akan ada yang menyuntikan dan pastinya akan membuat hidupku dua bulan kedepan akan menjadi masa-masa paling suram.Untuk dua bulan ini sih, kehidupanku masih terjamin karena ada uang sisa pesangon. Untuk masalah cicilan apartemenku semua sudah kulunasi kemarin. Bersyukur banget sih aku. Mengingat akan saat di mana waktu itu bernego di kantor satu minggu kemarin, membuatku tertawa. Di mana aku meminta pesangon atas kerja kerasku dan juga kesetiaanku selama mengabdi di perusahaan Wirasesa dan apa yang diberikan oleh Tama?Coba tebak!Jika kalian mengira dia akan memberikanku pesangon puluhan juta salah. Salah besar! Karena kenyataannya dia justru memberikan black card. Iya, Bla
“Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju
Masa kehamilan adalah masa di mana semua para ibu harus bekerja extra untuk menjaga diri serta calon jabang bayi di dalam kandungan. Dia tidak boleh stres, tidak boleh makan makanannya yang terlalu manis, atau pedas, dan masih banyak pantangan lainnya.Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Pada trimester pertama dan kedua, aku tak begitu banyak keluhan. Namun, ketika trimester akhir, aku jadi sulit tidur, tidak leluasa bergerak, bahkan ketika bangun tidur pun kesulitan bangun.Oh my God. Ini jelas sangat menyiksa. Namun, tidak semua ibu hamil buruk, kok. Ada kalanya aku merasa menjadi orang yang spesial, yaitu ketika semua keluarga memberikan apa pun yang aku inginkan. Dari perhatian hingga semua kasih sayang tercurah untukku.I’m so happy.Kini di usia kehamilanku yang sudah mencapai 37 minggu, perutku sudah beberapa kali mengalami yang namanya kontraksi palsu. Aku sedikit ada cerita. Waktu itu, pada saat pertama kali mengalami kontraksi palsu, aku sampai heboh dan memanggil Mas T
“Ya, aku memang gila karena dirimu. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku! Mengerti!”Aku terkikik, mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan dengan menundukkan kepala sebagai tanda menyerah. “Ok, aku takut dikutuk eh kamu, Sayang. Jadi, kita akhiri inis emua sebelum merembet ke mana-mana!”“Nah, gitu, dong! Itu baru istri Gratama Wirasesa.” Senyumnya culas. Perdebatan kecil itu pun berakhir dengan kemenangan Mas Tama. Lebih tepatnya aku yang mengalah.Astaga, random banget emang itu calon bapak satu. Dia pikir manusia bisa memilih? Jelas tidak. Takdir itu sudah diatur oleh Tuhan. Jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati seseorang semua hanyalah Tuhan yang tahu. Jadi, daripada perdebatan kami tak selesai, akhirnya aku mengalah. “Mas, kita telpon kakek, yuk!”“Ah, benar. Sebentar, biar aku ambilkan ponselmu.”Aku menunggu dengan kaki selonjor yang digoyang-goyang, lucu. Apalagi sandal bulu dengan kepala boneka kelinci yang besar semakin membuat gak henti memainkannya.Mas Tama data
Setelah aku mengusir Mas Tama, aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Aku pikir, dia pergi dan lebih memilih mementingkan egonya. Tanpa sadar, aku mendengkus dan menitikkan air mata.Bodoh.Akan tetapi, aku langsung menghentikan tanganku yang hendak mengusap mata. Mataku mengerjap ketika merasakan sisi ranjang di belakang punggungku bergerak. Aku sedikit berjengit kala kepalaku diangkat olehnya.Akan tetapi, yang membuat bibirku tak bisa menahan senyum adalah saat tangan Mas Tama dijadikan bantalan untuk kepalaku. Semua emosi yang sempat mengisi relung hatiku seketika luruh. Digantikan oleh rasa hangat dan nyaman di mana darahku berdesir mendapati perhatian-perhatian kecil itu. Aku tetapi, aku tetap bergeming. Tak mengatakan apa-apa, walau kini tubuhku sudah ditarik untuk didekap erat olehnya. Bibir bagian bawahku seketika turun. Ragu, antara ingin tetap diam, atau bicara padanya.“Maaf, Naina,” bisiknya tepat di sisi telingaku.Aku melipat bibir ke dalam, menunggu kelanjutan ucapa
Sebuah kecelakaan baru saja terjadi. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil yang lawan arah. “Ada apa ini?” Mas Tama keluar dari mobil untuk mengecek kondisi di luar.Sementara diriku hendak menyusul dan membuka pintu, tetapi mulutku langsung merintih kesakitan sambil memegang bagian perut. “Arkh, kenapa sakit sekali?” tanyaku bingung.Aku menarik napas, membuangnya lewat mulut, berusaha untuk menetralisir rasa sakit itu. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Perutku terasa melilit, seperti diaduk-aduk hingga membuat keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku.“M-mas,” panggilku tertatih. Aku mendongak, menatap Mas Tama dari kaca jendela. Dia sedang berdebat di luar. Aku kembali menunduk, memelukku perutku sendiri. Rasanya, aku ingin meraung dan menangis sejadi-jadinya. Ini benar-benar sakit sekali.“Nona.”Kepalaku mendongak saat mendengar bunyi pintu dibuka dan ditutup dari depan. Jack–supir pribadi Mas Tama– masuk untuk mengecek keadaanku. “Nona? Nona kenapa?” Wajah
"Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m
Tiga hari kemudian, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang tengah muntah-muntah. “Itu siapa, sih?” keluhku. Aku meraba ke sisi ranjang, mencari keberadaan suami tercintaku. Namun, kosong. Sontak, mataku terbuka. Rasa kantukku langsung hilang tatkala menyadari jika Mas Tama tak ada di mana-mana. “Mas, kamu di mana?” Suaraku serak. Aku segera bangun, duduk di atas ranjang dengan sedikit sisa kantuk. Aku mengucek kelopak mataku, lalu bergumam, “Mas Tama ke mana, sih? Masa iya, dia udah ke kantor?”Mulutku menguap, tetapi segera kututup dengan lengan. Setelah itu, mataku mengedar dengan tangan menggaruk rambut, linglung. Sekitar kosong, dan lagi-lagi suara itu kembali terdengar. “Itu siapa, sih, yang lagi muntah? Atau, jangan-jangan….”Mas Tama.Sontak, perasaanku dilingkupi cemas. “Mas, apa kamu di dalam?” Aku segera turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Rambut segera ku gelung ke atas agar tidak mengganggu. Ketika tiba di depan pintu kamar mandi yang terbuka, suara
Sepanjang perjalanan, Mas Tama tak pernah melepaskan tautan tangan kami. Dia bahkan melakukan pemindahan perseneling saja masih dengan tangan kami seperti itu.Seneng, sih, dapat perhatian, dan merasa disayang. Tapi, ngeri-ngeri sedep juga, kalau terjadi sesuatu. Apalagi, kita kan lagi di jalan raya, dan tahu dong, bagaimana kondisi lalu lintasnya? Mau heran, tapi dia suamiku. “Kita mau makan apa, Dear?” tanya Mas Tama. Dia melirik ke arahku sekilas, lalu kembali melihat ke arah depan.“Mas. Bukankah kita baru saja makan tadi di rumah mama?” Aku bertanya heran. Ya, kali perutnya yang udah kek roti sobek itu mau dihancurkan dengan makan malam, lagi. “Aku lapar, Sayang. Aku pengin makan di tempat langganan aku beli. Kamu mau ikut, kan?” Wajahnya begitu memelas. Aku pun menggaruk belakang kepala. Mau menolak, tetapi gak enak. Tapi, kalau aku iyakan, mau ditaruh mana itu makanan. Secara, aku masih kenyang. Kalaupun diisi, palingan hanya minuman saja yang muat.“Apa aku punya pilihan?”
Menjadi seorang istri adalah hal yang baru buatku. Namun, untuk membuatkan sarapan, menyiapkan teh, dan juga baju untuk Mas Tama, itu sudah menjadi kebiasaan untukku beberapa tahun lalu. Maksudnya, aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai saja. Untuk memasak, aku masih harus menjalani kursus agar tidak membakar apartemen suamiku.Tidak lucu, kan, kalau pasangan suami istri yang baru saja menikah dikabarkan mati, dikarenakan si istri membakar rumahnya karena lupa cara mematikan kompor. Itu jelas nanti akan sangat mencoreng nama baik Naina. Jadi, hari ini aku berkesempatan untuk mengikuti les memasak dengan para mama muda yang usianya di bawahku. Iya, kalian gak salah lihat. Seorang Naina rela meluangkan waktunya hanya untuk membuat dirinya dianggap sebagai istri yang pandai memasak. Aish, tolong jangan melihatku dengan syirik begitu. Santai saja.Tapi, aku sedikit canggung karena, you know lah, usiaku paling tua di sini. Huhuhu, nyesel banget sekarang. Kenapa gak sedari dulu