Tak lama Mauli meraih tasnya lalu angkat kaki. Wanita itu berjalan keluar ke arah timur. Setelah itu, Mauli masuk minimarket dengan plang ‘Ronamart’, di dalam mauli mengambil sebungkus gula lalu disodorkan ke kasir. Usai lakukan pembayaran Mauli menuju jalan pulang dengan membawa kantong plastik putih.
Sementara di rumah, Ogan sedang belajar masak telur, ia belajar memasak hasil menonton tutorial di Youtube, Ogan dengan teliti memperhatikan video itu sambil menggoreng.
Ogan juga telah menanak nasi dengan Rice Cooker. Prajurit tersebut sengaja memasak memberikan kejutan untuk Mauli. Ogan mempersiapkan peralatan makan seperti yang pernah dilakukan Mauli.
Dua piring yang masing-masing telah berisi telur ceplok, sementara di tengah meja terdapat seonggok nasi putih. Ogan juga tidak lupa menyiapkan dua gelas air putih. Ketika Ogan sedang sibuk menata, Mauli datang. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Ogan.
"Sedang apa?" Mauli melirik meja makan yang sudah rapi.
"Oh.. memasak telurku," jawab Ogan singkat.
Mendengar hal itu Mauli terkejut karena pikiran wanita itu langsung traveling. "Telurmu?" ucap Mauli terkejut.
"Bukan telur itu, maksudku telur ayam dari lemarimu," jelas Ogan.
“Oalah.. kirain,” balas Mauli.
Mauli akhirnya mengerti maksud pria itu. Ogan lalu meminta gadis itu untuk merasakan masakannya tersebut.
“Coba cicipi masakan ku!” pinta Ogan.
Mauli lalu menyuap nasi dengan potongan telur. Mauli mengunyah pelan sambil merasakan daging telur berwarna putih.
"Lumayan," ucap Mauli sambil melanjutkan.
Ogan hanya tersenyum senang karena karya pertamanya bisa diterima. Lalu Mereka menikmati makan malam.
Sementara diam-diam Mauli tampak terbuka hati pada laki-laki yang sudah berumur ribuan tahun itu. Meski sudah sangat tua Ogan masih terlihat berumur 30 tahun. Wajah tampan serta tubuh kekar juga menjadi nilai plus buat Mauli.
Hal itu terlihat ketika Mauli menatap Ogan dengan tajam.Wanita itu diam terpaku di hadapan Ogan.
"Hei.. kau tak apa?" Ogan menggerakkan tubuh Mauli. Mauli lalu tersadar, terlihat jelas wajah wanita itu merona.
Mauli tak berucap namun terlihat canggung, sementara Ogan masih biasa. Setelah selesai makan, Ogan membersihkan peralatan makan.
“Biar aku bantu,” ucap Mauli sembari mengangkat piring. Ogan menahan tangan Mauli.
“Tidak usah, sebaiknya kau pergi mandi saja,” tolak Ogan. Mauli lalu meletakkan piring tersebut.
Mauli nurut, akhirnya wanita yang masih bau keringat itu langsung pergi. Lalu membasahi tubuhnya dengan guyuran air di kamar mandi.
Ketika tengah malam, Ogan ke rooftop, ia berdiri tegak sambil memandangi indahnya kota Miranda, sementara hari telah pukul 11 malam.
Ogan tersenyum melihat kelap-kelip lampu. Angin malam memberikan kesegaran, sesekali Ogan menoleh ke atas yang ramai dengan cahaya bintang.
Tak disangka Mauli tiba-tiba datang menghampiri. Mauli melangkah ragu-ragu, ia berusaha mendekati Ogan yang tampak senang.
"Apakah zamanmu seperti ini juga?" Mauli tiba-tiba berada di samping kanan Ogan.
"Tidak, kotamu jauh lebih indah dari zaman Sriwijaya," kata Ogan. Hembusan angin membelai rambut gondrongnya.
"Mungkin kau butuh pengenalan lebih lanjut tentang kota ini," Mauli melihat Ogan sejenak.
"Besok kita jalan-jalan, kau pasti senang dengan kota ini!," ajak Mauli sambil nyender ke pembatas.
Mendengar ajakan gadis itu Ogan langsung menyetujui ajakan Mauli. “Boleh!” sahut Ogan. Ajakan tersebut ia lakukan agar Ogan jauh mengenali tentang Miranda. Selain itu, wanita itu juga tertarik terhadap Ogan.
Tak lama kemudian, Mauli izin hendak pergi ke kamar karena sudah mengantuk. “Sebaiknya aku pergi ke kamar,” Tangan Mauli menunjuk ke pintu.
“Oh.. tentu, sebaiknya kau istirahat,” balas Ogan.
Mauli melangkah pelan, wanita yang menggunakan pakaian tidur tersebut pergi dengan wajah malu-malu. Setelah itu, Ogan balik badan lalu memperhatikan kepergian Mauli yang menggunakan pakaian putih motif bunga-bunga.
Ketika wanita itu hilang dari pandangan, Ogan kembali membalik badan. Matanya tertuju pemandangan malam kota Miranda.
Dua sepasang manusia itu berjalan di tepi jalan, wanita berambut gelombang itu terlihat cantik ketika menggunakan topi rajut berwarna coklat. Sementara Ogan terlihat seperti pria pekerja keras dengan tubuhnya kekar berotot. Hari ini mereka akan berkeliling dengan mengunjungi beberapa tempat wisata. Miranda adalah tempat yang sejuk serta tidak begitu tercemar dengan polusi udara. Tempat yang penuh dataran tinggi dan perbukitan itu akan diperkenalkan oleh Mauli. Ogan berjalan mengikuti jejak Mauli dari kanan, Sementara tas hitam selalu melekat di punggung. "Kita mau kemana?" wajahnya menatap Mauli. Mauli yang tubuhnya lebih pendek mendongak ke atas. "Kita
“Tak ku sangka benda itu sakti,” ucapnya pelan. Tak lama, ia menutup tas berwarna hitam lalu meletakkan di lemari dengan rapi. Setelah itu bedu melayani pengunjung yang lain. Setelah itu, sang pemilik muncul, ia lalu meminta tas yang barusan ia titipkan. “Nomor 25,” kata Ogan sambil menyodorkan kartu kecil warna putih. Penjaga itu lalu membuka loker nomor 25 serta mengambil tas Mauli dan Ogan. Setelah menerima barang mereka, penjaga itu angkat bicara. "Dari mana kau dapatkan benda itu?" Bedu menatap Ogan. "Maksudmu benda ini?" jawab Ogan sambil mengangkat tas. "Ini adalah Akuadron, senjata pamungkasku, hanya sekali pukulan gunung pun bisa terbelah," kata Ogan dengan bangga. Bedu hanya berekspresi biasa, sebelum Ogan menambah kalimatnya, Mauli langsung menarik lengan Ogan. “Hei, apa yang kau lakukan? Mauli,” Og
Mereka lalu berjalan di lorong sebelah kanan, Mauli melihat sekelompok Harimau Sumatera yang sedang diberi makan oleh penjaga. Mauli dan Ogan hanya memperhatikan dua ekor harimau yang sedang makan potongan daging segar. "Pernah dengar manusia harimau di tanah Sumatera tidak?" Mauli melihat wajah Ogan. Ogan tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak hingga akhirnya membuka mulut. "Di zamanku tidak pernah mendengar tentang hal tersebut," ungkap pria yang berdiri di samping kanan Mauli. Mauli melanjutkan pembicaraannya, "Aku yakin hewan juga bisa mengerti bahwa manusia bukanlah musuh." "Kau tau bahwa harimau menjadi simbol sakral di tanah Sumatera," ucap wanita itu lagi. Mulutnya terus bersuara namun menatap ke arah harimau yang berada di depannya. "Ada apa dengan hewan tersebut?" Ogan berjalan pindah ke sisi kiri. "Di tanah Sumatera sangat t
Mendengar suara tersebut, mereka langsung mundur dan melepaskan pelukkan. Mereka malah jadi aneh hingga Mauli langsung pergi dari tempat tersebut. Mauli berjalan agak cepat menjauh dari keramaian. Ogan mengejar wanita itu, Ogan juga mempercepat langkah kaki sembari menyebut nama Mauli. "Mauli tunggu," teriak Ogan sambil menghindari dari orang yang berjalan berlawanan. Mauli terus berjalan hingga jauh dari keramaian, ia berhenti di sebuah pagar hitam setinggi dada manusia. Dia berdiri menatap ke atas sambil memperhatikan bintang-bintang. Setelah Ogan mendekat, Mauli mengeluarkan kalimat, " Coba kau lihat, bintang itu indah bukan?" "Mereka hanya ben
Suatu ketika, Profesor membersihkan kalung permata, setelah terlihat jelas bentuk serta keindahan permata tersebut. Timbul rasa iseng Profesor untuk memakai benda tersebut. Pria itu lalu menghadap sebuah cermin kecil. Profesor terkagum dengan liontin permata itu. Tiba-tiba liontin tersebut bercahaya terang, seluruh tubuh Profesor seperti merasakan sesuatu yang aneh. Dari benda itu mengeluarkan radiasi yang menyebabkan tubuh Profesor kaku. Profesor berusaha melepaskan benda itu namun tak bisa. Energi sangat kuat berusaha mempengaruhi Profesor. Profesor meronta-ronta kesakitan, Pria berjubah putih itu kejang-kejang hingga jatuh ke lantai. Kondisi ilmuwan tersebut seperti tengah mengalami sakaratul maut. Seluruh tubuhnya mengeras hin
Mauli mencoba menghubungi Beni, sementara Ogan masih memperhatikan layar TV. Terdengar nada sambung tidak begitu keras namun nyaring. Mauli tak tenang hingga terlihat sedikit aneh. Tuutt… tuuut..! Mauli memperhatikan layar ponsel, setelah layar tersebut muncul waktu yang berjalan ia langsung bicara. “Apa yang terjadi dengan Profesor?” Mauli menempelkan ponsel di telinga kanan. “Aku tidak tahu, tapi banyak menyaksikan ia berubah setelah memakai kalung liontin berwarna merah yang pernah ia bahas beberapa hari lalu,” jelas Beni melalui jaringan telepon. “Kau tau keberadaan Profesor sekarang?” tanya Mauli lebih dalam. “Entahlah, sepertinya Profesor terpengaruh oleh kalung tersebut,” ungkap Beni. “Bagaimana kau yakin?” Mauli bergerak menjauh dari Ogan. Sementara Mauli masih berc
Besoknya, Ogan pergi ke sebuah museum. Ogan berdiri memandangi gedung yang menyimpan berbagai benda kuno itu. Tertulis jelas ‘Museum Miranda’ dari ukuran semen berwarna merah pekat di atas gedung. Beberapa orang berbondong-bondong masuk ke tempat itu. Ogan terlihat tak membawa Akuadron, ia nyempil lalu ikut masuk ke dalam. Tetapi, tidak banyak yang ia temukan di dalam, Ogan hanya mendapati beberapa benda-benda logam yang digunakan zaman Sriwijaya seperti keris, trisula, serta mata uang logam. Ogan berkeliling di tempat benda-benda yang di berada kotak kaca serta jadi perhatian semua pengunjung. Ia melewati beberapa patung manusai purba yang mirip dengan kera. Benda itu juga dilindungi oleh kaca tebal. Suatu ketika ia dapati seorang pemuda yang sedang memperhatikan mata uang kuno. Melihat hal tersebut Ogan tergugah untuk menghampiri pria yang menggunakan pakaian rapi.
“Bukan gempa bumi, ini adalah pertanda kemunculan pasukan Bodem,” ucap Ogan mantap. “Aku bisa merasakan kehadiran mereka,” tambahnya. Sementara benda-benda rumah Mauli bergetar, Ogan hanya diam dengan kedua tangan menyeimbangkan badan. Ogan tampak merasakan kehadiran pasukan yang terbuat dari baja itu, seribu pasukan yang bakal memporak-porandakan Miranda. Ogan waspada dan mempersiapkan diri menyambut kehadiran mereka. “Petaka akan datang, kita harus waspada!” Ogan memperingatkan. “Kita harus menghentikan mereka,” seru Mauli. Ogan menoleh ke arah Mauli lalu menatapnya. “Aku sudah temuka