“Bukan gempa bumi, ini adalah pertanda kemunculan pasukan Bodem,” ucap Ogan mantap.
“Aku bisa merasakan kehadiran mereka,” tambahnya.
Sementara benda-benda rumah Mauli bergetar, Ogan hanya diam dengan kedua tangan menyeimbangkan badan.
Ogan tampak merasakan kehadiran pasukan yang terbuat dari baja itu, seribu pasukan yang bakal memporak-porandakan Miranda. Ogan waspada dan mempersiapkan diri menyambut kehadiran mereka.
“Petaka akan datang, kita harus waspada!” Ogan memperingatkan.
“Kita harus menghentikan mereka,” seru Mauli. Ogan menoleh ke arah Mauli lalu menatapnya.
“Aku sudah temuka
Ogan masih menatap manusia yang mengomandoi pasukan besi. Sedangkan Mauli sedikit menjauh dari posisi mendaratnya. Tiba-tiba Ogan langsung memberi serangan terhadap Profesor. “Bug!” tubuh Ogan jatuh. Sebenarnya Profesor tidak memberi serangan namun, karena pantulan energi dari kalung itu sangat kuat hingga sulit di tembus dan membuat Ogan terpental. “Hei.. kau tidak apa-apa?” tanya Mauli yang berjarak lima meter. “Tidak masalah,” ucap Ogan sambil bangkit. Profesor mengetahui keberadaan Ogan, ia memerintah pasukannya untuk menggempur Ogan. “Singkirkan mereka!” perintah Profesor.
Akibat benturan tersebut membuat Mauli kaget hingga ia menjerit. Kemudian Profesor menoleh ke arah Mauli. Pria berkalung itu lantas turun. Matanya tajam sambil menatap Mauli. Ogan menyadari bahwa Profesor hendak menyakiti Mauli. Ia melempar Akuadron ke arah Profesor. Benda itu mengenai tubuh Profesor bagian belakang hingga laki-laki itu jatuh tersungkur. Mauli hanya melotot melihat orang itu jatuh dengan kepala duluan. “Dia belum mati,” Mauli ketakutan. Ketika Akuadron kembali ke tangan Ogan, ia langsung memberi pukulan pada pasukan Bodem yang berada di belakangnya. Ogan mengincar kepala hingga jatuh ke samping kiri. Ogan berdiri sambil mengatur mengatur nafas. Sementara benda logam berbent
Ogan Membawa tubuh Mauli terbang menjauh. Profesor bangun dengan wajah kesal. Ia berjalan sambil memandang ke arah dua manusia itu. Usai mendarat Ogan kemudian meletakkan tubuh Mauli di atas tempat tidur. Ogan kembali sibuk, ia mencari sesuatu di atas meja tamu. Ogan membuka laci, tak menemukan sesuatu, Ogan kembali ke ruang kamar. Ogan meraih tas Mauli lalu tangannya menggenggam ponsel. Tak lama suara HP berdering, panggilan suara itu ternyata tertuju kepada Beni. “Halo” “Mauli sedang terluka tolong datang kesini,” kata Ogan panik. “Ada apa?” Beni penasaran. “Tidak usah banyak ci
Iwan dan Beni menatap Ogan. Ogan menatap mereka balik sambil mengeluarkan informasi penting, ”Profesor sebentar lagi akan menguasai Miranda.” “Dari mana kau tau?” sahut Iwan serius. “Kekuatan kalung itu, Profesor memiliki hasrat menguasai wilayah bersama pasukan Bodem,” jelas Ogan. “Siapa Bodem?” Beni penasaran. “Pasukan logam yang tidak bisa mati, aku sudah bertempur dengan mereka namun mereka bisa bangkit kembali,” jelasnya. “Bagaimana untuk menghadapi mereka?” kata dokter itu. Ogan berjalan sambil melipat tangan sedangkan kepalanya nunduk. “Hanya ada satu cara, memisahkan kalung itu
Profesor Garung berjalan seolah pejabat negara diiringi oleh ajudan berkekuatan super. Makhluk-makhluk besi itu menyebar di pusat kota dan membuat onar. “Hahaha.. kota ini adalah milikku, tidak ada yang bisa menghalangiku dalam memimpin wilayah ini,” Profesor menatap ke langit. Laksana di tilang polisi, pria itu kini dikepung oleh pasukan polisi. Mereka siap siaga satu dengan satu hitungan bisa melesatkan ribuan peluru. “Menyerahlah Profesor!” (suara nyaring). “Lebih baik menyerah daripada kau harus menanggung akibatnya,” kata Komandan Bram. Dengan congkak Profesor melangkah ke depan sambil tertawa sinis. Pria itu berdiri sepuluh meter dari
Di rumah Mauli, tiga orang sedang mengeluarkan tubuh Mauli dari rumah. Beni dan Iwan berusaha memasukan Mauli ke dalam mobil berwarna kuning milik Beni. “Kita harus cari tempat jauh dari kota ini untuk sementara,” Iwan membuka pintu mobil. Mauli duduk di belakang bersandar tubuh Iwan, Beni menjadi sopir, sementara Ogan di sampingnya. Mobil itu melaju mengikuti jalan poros ke arah selatan. Perasaan tak tenang menghantui mereka melihat Miranda mulai digempur oleh Profesor Garung. “Mau kemana kita?” Ogan tolah-toleh. “Ke selatan, di sana ada tempat jauh dari kota ini, kita akan aman di sana,” kata Beni sambil membetulkan kacamata.
“Kita harus pergi, tidak ada waktu lagi Ben,” teriak Iwan. Beni sempat menatap Ogan yang terkapar. Matanya berkaca-kaca, dengan berat hati Beni masuk kembali. Beni tancap gas, sementara pasukan itu berusaha mengejar, namun Ogan menghalangnya. Sebuah menara besar berhasil Ogan robohkan dengan menggunakan Akuadron. Lemparan jarah jauh itu mampu merobohkan menara itu hingga menghalangi jalan pasukan Bodem. “Hehehe…” Terlihat senyum berat dari Ogan sementara tetesan darah dari mulutnya telah keluar. Kepuasan Ogan sangat terlihat hingga Profesor merasa jengkel. “Dasar!” Profesor melang
Miranda mengeluarkan asap-asap hitam yang berasal dari gedung rusak akibat dihancurkan oleh pasukan Bodem. Mereka terpana melihat wajah kota yang tercemar. Iwan menjatuhkan kayu bakar yang ia genggam, sementara ia malah melongo. “Aku lupa membawa Bleki,” ucap Iwan pelan. Beni mendengar suara lirih itu, “Siapa Bleki?” “Tidak!” “Dia hanya seekor anjing, aku baru membeli kemarin, ia tertinggal di rumah,” jawab Iwan. “Bodoh!” “Kenapa kau biarkan dia sendiri, dia bisa mati,” Beni mendekat sambil meninggikan nada. “Kau gila?” “Menyelamatkan diri sendiri saja hampir tidak bisa, Ogan menyelamatkan kita, kau ingat?” balas Iwan. “Yaaa… setidaknya ada suara anjing di sini agar tidak sepi tempat ini,” Beni mengeluarkan ekspresi sedih sambil duduk lesu. “Kita tak tau ap