“Tak ku sangka benda itu sakti,” ucapnya pelan.
Tak lama, ia menutup tas berwarna hitam lalu meletakkan di lemari dengan rapi. Setelah itu bedu melayani pengunjung yang lain. Setelah itu, sang pemilik muncul, ia lalu meminta tas yang barusan ia titipkan. “Nomor 25,” kata Ogan sambil menyodorkan kartu kecil warna putih. Penjaga itu lalu membuka loker nomor 25 serta mengambil tas Mauli dan Ogan. Setelah menerima barang mereka, penjaga itu angkat bicara. "Dari mana kau dapatkan benda itu?" Bedu menatap Ogan. "Maksudmu benda ini?" jawab Ogan sambil mengangkat tas. "Ini adalah Akuadron, senjata pamungkasku, hanya sekali pukulan gunung pun bisa terbelah," kata Ogan dengan bangga. Bedu hanya berekspresi biasa, sebelum Ogan menambah kalimatnya, Mauli langsung menarik lengan Ogan. “Hei, apa yang kau lakukan? Mauli,” Ogan terpaksa mengikuti Mauli. Mereka menuju pintu keluar. Ketika sampai di tepi jalan, mereka naik angkutan kecil menuju kebun binatang. Setelah berjalan 20 menit, mereka sampai di pintu masuk kebun binatang Miranda. Mereka berdiri di pintu masuk, Mauli menatap Ogan dengan senyuman lalu berjalan maju. Mereka menuju ke penjualan tiket, Mauli membeli dua tiket, sementara Ogan hanya diam di belakang, Mauli lalu mengeluarkan lembaran uang. Penjaga loket itu malah memperhatikan Ogan. Di dalam hati penjaga loket yang merupakan sosok wanita gendut itu berkata,” Kok malah perempuan yang beli tiket!” “Dasar pria tidak tau malu, tidak modal!” Wanita itu menatap Ogan tajam, sementara tangannya sibuk menghitung uang kembalian Mauli. Ogan menyadari bahwa dirinya sedang dipantau oleh penjaga loket itu. Ogan berubah bertingkah aneh sambil garuk-garuk kepala. “Ayo!” ajak Mauli setelah menerima uang kembalian. Mauli memasukkan tiket ke dalam tas.Kemudian Mauli dan Ogan bergegas ke dalam. Sementara wanita penjaga itu melirik Ogan hingga titik pandang terakhir.
Mereka menemui sekelompok burung-burung kecil yang sengaja diliarkan. Namun, hewan berwarna hijau itu tidak takut terhadap manusia. Hewan bersayap itu salah satu objek yang menjadi perhatian utama pengunjung. Para pengunjung dengan suka cita memberi makan mereka hingga burung-burung mengeroyok. Salah satu penjaga sudah menyediakan makanan untuk memancing hewan itu datang. Hal tersebut juga dialami oleh Mauli, dengan teriakan senang Mauli tampak sedang memanggil burung-burung itu agar datang kepadanya. “Kemarilah burung kecil, ayo!” Mauli menyodorkan makanan di telapak tangan. Dalam sekejap wanita itu lalu dikerumuni, mereka berebut makanan. “Mauli, akan aku rebut semua darimu,” kata Ogan lalu meminta makanan burung dari penjaga. Mauli melirik sebentar. “Apa maksudmu?” Mauli melihat kumpulan burung yang berada di tangannya. “Burung-burung itu akan memilih siapa pria paling tampan,” ucap Ogan.“Hah.. coba saja kalau bisa,” Mauli acuh tak acuh. Ogan mulai bersiul hingga menarik perhatian Mauli. “Kenapa begitu?” Mauli penasaran. “Ini adalah cara untuk memanggil burung,” jawab Ogan. Mauli makin penasaran. Wanita itu mendekat sementara burung-burung itu mengikuti. “Kau tau nama burung ini?” Ogan tidak langsung menjawab, pria itu semakin melancarkan aksinya hingga suara siulan itu terdengar nyaring di udara. “Tentu saja aku tau, nama burung ini adalah Burung Serindit.” “Huh, sok tau,” Mauli terlihat sedikit kesal. Namun, Mauli tercengang setelah satu burung hinggap di tubuh Ogan. Lama-lama jumlah mereka semakin bertambah. “Lihat!” Ogan mengejek mauli dengan senyum lebar. Burung-burung itu hampir menutupi tubuh Ogan. Bahkan burung yang berada di tangan Mauli juga beralih hingga Mauli makin kesal.Merasa dicurangi Mauli lalu cemberut. “Kau curang!” Wajahnya mengerut.
“Kemarilah!” ajak Ogan senang. Mauli mendekat agak menyeret. Ogan lalu membagi makanan, “Tanganmu!” Mauli menengadah, Ogan meletakkan makanan. “Lihatlah!” kata Ogan memberi kejutan. Burung-burung yang hampir menutup tubuh Ogan sebagian berpindah ke tangan Mauli. Kini jumlah mereka makin banyak yang hinggap di tangan Mauli. Wajah seri terlihat kembali, Mauli kembali tersenyum ketika sebagian burung-burung itu beralih ke tubuhnya. Di saat itu Mauli curi pandang, Ogan geli ketika ada seekor burung hinggap di kepalanya.Mereka lalu berjalan di lorong sebelah kanan, Mauli melihat sekelompok Harimau Sumatera yang sedang diberi makan oleh penjaga. Mauli dan Ogan hanya memperhatikan dua ekor harimau yang sedang makan potongan daging segar. "Pernah dengar manusia harimau di tanah Sumatera tidak?" Mauli melihat wajah Ogan. Ogan tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak hingga akhirnya membuka mulut. "Di zamanku tidak pernah mendengar tentang hal tersebut," ungkap pria yang berdiri di samping kanan Mauli. Mauli melanjutkan pembicaraannya, "Aku yakin hewan juga bisa mengerti bahwa manusia bukanlah musuh." "Kau tau bahwa harimau menjadi simbol sakral di tanah Sumatera," ucap wanita itu lagi. Mulutnya terus bersuara namun menatap ke arah harimau yang berada di depannya. "Ada apa dengan hewan tersebut?" Ogan berjalan pindah ke sisi kiri. "Di tanah Sumatera sangat t
Mendengar suara tersebut, mereka langsung mundur dan melepaskan pelukkan. Mereka malah jadi aneh hingga Mauli langsung pergi dari tempat tersebut. Mauli berjalan agak cepat menjauh dari keramaian. Ogan mengejar wanita itu, Ogan juga mempercepat langkah kaki sembari menyebut nama Mauli. "Mauli tunggu," teriak Ogan sambil menghindari dari orang yang berjalan berlawanan. Mauli terus berjalan hingga jauh dari keramaian, ia berhenti di sebuah pagar hitam setinggi dada manusia. Dia berdiri menatap ke atas sambil memperhatikan bintang-bintang. Setelah Ogan mendekat, Mauli mengeluarkan kalimat, " Coba kau lihat, bintang itu indah bukan?" "Mereka hanya ben
Suatu ketika, Profesor membersihkan kalung permata, setelah terlihat jelas bentuk serta keindahan permata tersebut. Timbul rasa iseng Profesor untuk memakai benda tersebut. Pria itu lalu menghadap sebuah cermin kecil. Profesor terkagum dengan liontin permata itu. Tiba-tiba liontin tersebut bercahaya terang, seluruh tubuh Profesor seperti merasakan sesuatu yang aneh. Dari benda itu mengeluarkan radiasi yang menyebabkan tubuh Profesor kaku. Profesor berusaha melepaskan benda itu namun tak bisa. Energi sangat kuat berusaha mempengaruhi Profesor. Profesor meronta-ronta kesakitan, Pria berjubah putih itu kejang-kejang hingga jatuh ke lantai. Kondisi ilmuwan tersebut seperti tengah mengalami sakaratul maut. Seluruh tubuhnya mengeras hin
Mauli mencoba menghubungi Beni, sementara Ogan masih memperhatikan layar TV. Terdengar nada sambung tidak begitu keras namun nyaring. Mauli tak tenang hingga terlihat sedikit aneh. Tuutt… tuuut..! Mauli memperhatikan layar ponsel, setelah layar tersebut muncul waktu yang berjalan ia langsung bicara. “Apa yang terjadi dengan Profesor?” Mauli menempelkan ponsel di telinga kanan. “Aku tidak tahu, tapi banyak menyaksikan ia berubah setelah memakai kalung liontin berwarna merah yang pernah ia bahas beberapa hari lalu,” jelas Beni melalui jaringan telepon. “Kau tau keberadaan Profesor sekarang?” tanya Mauli lebih dalam. “Entahlah, sepertinya Profesor terpengaruh oleh kalung tersebut,” ungkap Beni. “Bagaimana kau yakin?” Mauli bergerak menjauh dari Ogan. Sementara Mauli masih berc
Besoknya, Ogan pergi ke sebuah museum. Ogan berdiri memandangi gedung yang menyimpan berbagai benda kuno itu. Tertulis jelas ‘Museum Miranda’ dari ukuran semen berwarna merah pekat di atas gedung. Beberapa orang berbondong-bondong masuk ke tempat itu. Ogan terlihat tak membawa Akuadron, ia nyempil lalu ikut masuk ke dalam. Tetapi, tidak banyak yang ia temukan di dalam, Ogan hanya mendapati beberapa benda-benda logam yang digunakan zaman Sriwijaya seperti keris, trisula, serta mata uang logam. Ogan berkeliling di tempat benda-benda yang di berada kotak kaca serta jadi perhatian semua pengunjung. Ia melewati beberapa patung manusai purba yang mirip dengan kera. Benda itu juga dilindungi oleh kaca tebal. Suatu ketika ia dapati seorang pemuda yang sedang memperhatikan mata uang kuno. Melihat hal tersebut Ogan tergugah untuk menghampiri pria yang menggunakan pakaian rapi.
“Bukan gempa bumi, ini adalah pertanda kemunculan pasukan Bodem,” ucap Ogan mantap. “Aku bisa merasakan kehadiran mereka,” tambahnya. Sementara benda-benda rumah Mauli bergetar, Ogan hanya diam dengan kedua tangan menyeimbangkan badan. Ogan tampak merasakan kehadiran pasukan yang terbuat dari baja itu, seribu pasukan yang bakal memporak-porandakan Miranda. Ogan waspada dan mempersiapkan diri menyambut kehadiran mereka. “Petaka akan datang, kita harus waspada!” Ogan memperingatkan. “Kita harus menghentikan mereka,” seru Mauli. Ogan menoleh ke arah Mauli lalu menatapnya. “Aku sudah temuka
Ogan masih menatap manusia yang mengomandoi pasukan besi. Sedangkan Mauli sedikit menjauh dari posisi mendaratnya. Tiba-tiba Ogan langsung memberi serangan terhadap Profesor. “Bug!” tubuh Ogan jatuh. Sebenarnya Profesor tidak memberi serangan namun, karena pantulan energi dari kalung itu sangat kuat hingga sulit di tembus dan membuat Ogan terpental. “Hei.. kau tidak apa-apa?” tanya Mauli yang berjarak lima meter. “Tidak masalah,” ucap Ogan sambil bangkit. Profesor mengetahui keberadaan Ogan, ia memerintah pasukannya untuk menggempur Ogan. “Singkirkan mereka!” perintah Profesor.
Akibat benturan tersebut membuat Mauli kaget hingga ia menjerit. Kemudian Profesor menoleh ke arah Mauli. Pria berkalung itu lantas turun. Matanya tajam sambil menatap Mauli. Ogan menyadari bahwa Profesor hendak menyakiti Mauli. Ia melempar Akuadron ke arah Profesor. Benda itu mengenai tubuh Profesor bagian belakang hingga laki-laki itu jatuh tersungkur. Mauli hanya melotot melihat orang itu jatuh dengan kepala duluan. “Dia belum mati,” Mauli ketakutan. Ketika Akuadron kembali ke tangan Ogan, ia langsung memberi pukulan pada pasukan Bodem yang berada di belakangnya. Ogan mengincar kepala hingga jatuh ke samping kiri. Ogan berdiri sambil mengatur mengatur nafas. Sementara benda logam berbent