Dua sepasang manusia itu berjalan di tepi jalan, wanita berambut gelombang itu terlihat cantik ketika menggunakan topi rajut berwarna coklat. Sementara Ogan terlihat seperti pria pekerja keras dengan tubuhnya kekar berotot.
Hari ini mereka akan berkeliling dengan mengunjungi beberapa tempat wisata. Miranda adalah tempat yang sejuk serta tidak begitu tercemar dengan polusi udara. Tempat yang penuh dataran tinggi dan perbukitan itu akan diperkenalkan oleh Mauli.
Ogan berjalan mengikuti jejak Mauli dari kanan, Sementara tas hitam selalu melekat di punggung. "Kita mau kemana?" wajahnya menatap Mauli.
Mauli yang tubuhnya lebih pendek mendongak ke atas. "Kita akan bersenang-senang," jawab Mauli sambil senyum kecil.
Kedua orang itu berjalan di pinggir jalan menujur barat Miranda. Mereka menunggu busway di halte Miranda. Mauli dan Ogan duduk bersebelahan bersama dua orang tua tak dikenal.
Setelah menunggu delapan menit, muncul busway dengan tulisan di tubuh kendaraan tersebut 'Transmiranda' berwarna putih terang.
Mereka masuk ke dalam setelah dua orang lain bersama mereka tadi, Kondisi di dalam bus sedikit sumpek, hanya terdapat satu kursi kosong. Mauli duduk di tempat tersebut, sementara Ogan terpaksa berdiri.
Ogan menatap Mauli dengan senyuman, sementara tangan kanannya memegang pengaman di atas. Setelah satu jam, kendaraan tersebut telah melewati lima halte dan empat belokan, Mauli dan Ogan turun.
Mauli dan Ogan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki tanpa suara. Mata Ogan terlihat senang dengan keindahan siang bolong di Miranda. Ogan menghentikan langkahnya, kedua matanya terpesona dengan pemandangan sekeliling.
Tiba-tiba Mauli menaruh tangan Ogan lalu menarik lengan prajurit yang kini telah menjelma manusia modern. "Ayo, kita belum sampai!" ajak Mauli sambil menyeret Ogan.
"Bukankah tempat ini indah?" Ogan memperlihatkan wajah sumringah. Wanita itu lalu menjawab,"Indah sih, lebih indah jika malam hari."
Mereka berjalan lagi di pinggiran gedung melewati tiga kali belokan, setelah itu mereka sampai di suatu wahana yang menjadi salah satu tempat wisata warga Miranda.
Mereka masuk lalu membeli tiket, setelah menerima dua tiket masuk, Mauli kembali menarik Ogan di suatu wahana yang belum pernah ia coba. Sky Ride merupakan wahana berbentuk kereta yang hanya dinaiki oleh dua orang saja.
Mauli mengajak pria itu agar ia bisa merasakan bersanding berdua. Telah lama ia ingin merasakan benda tersebut bersama pasangan, namun Mauli sejauh ini belum mendapatkan kekasih.
Rahasia itu tidak ia ungkapkan kepada Ogan. Mauli tampak bahagia sekali bisa bersama orang spesial. Ogan masih belum tahu jika benda itu adalah impian Mauli sejak lama, Ogan dengan santai duduk di sebelah kiri Mauli.
"Kau pasti suka," Mauli terlihat bahagia. Ogan hanya membalas dengan senyuman.
Ketika benda itu berjalan dengan dengan kecepatan sedang, wanita itu berteriak keras seperti telah hilang kendali. Ia melepas suara lantang hingga mengguncang negeri itu. Ogan memperhatikan dengan tajam pergerakkan wanita itu.
Di dalam hati Ogan sempat berpikir bahwa betapa bahagianya Mauli ketika bersama Ogan. Mauli berlagak anak kecil yang baru saja mendapat mainan baru.
"Lihat, kau tahu gedung itu?" kata Mauli sambil menunjuk gedung di ujung selatan. Ogan lalu menengok apa yang dimaksud oleh Mauli.
"Itu adalah gedung rumah kita," ucap Mauli dengan rambut yang dibelai oleh angin. Ogan tak berucap namun memperhatikan Mauli.
Kereta itu bergerak mengitari perbukitan hingga turun lembah. Mereka bisa melihat pemandangan indah Miranda hanya lewat kereta yang berjalan pelan. Mauli lalu meminta Ogan untuk memperhatikan sebuah kebun binatang yang terlihat jelas dari atas.
"Setelah ini, kita ke sana," Mauli melihat wajah Ogan sebentar.
“Tempat apa itu?” Ogan ingin tahu.
“Kebun Binatang,” jawabnya senang.
"Kenapa kau senang sekali hari ini?" tanya Ogan.
Mauli tidak langsung menjawab, wanita itu masih menikmati segarnya angin. "Karena wanita butuh kebahagian, hari ini harus aku tebus," tandasnya.
“Maksudmu? Ogan belum mengerti.
“Iya, hari ini adalah hari paling bahagia, kita habiskan waktu bersama,” ucap wanita itu. Mauli mengangkat kedua tangan.
Sementara, kejadian aneh terjadi di tempat penitipan barang. Seorang penjaga hampir gila di buat tas berwarna hitam milik Ogan. Tas Ogan tidak bisa jatuh ke tanah, benda itu melayang anteng di ketinggian satu jengkal dari lantai.
Berulang kali penjaga menjatuhkan benda itu namun, tetap tidak bisa menyentuh lantai. Hal tersebut terungkap ketika hendak menyimpan di lemari namun, karena ceroboh benda itu jatuh dan hampir mengenai kaki kirinya.
"Aneh, benda ini tak bisa menyentuh lantai," kata penjaga itu. Penjaga tersebut memiliki nama Bedu, namanya terpampang di dada kiri.
Bedu penasaran dengan benda tersebut, kemudian penjaga yang berseragam serba hitam itu membuka tas panjang itu. Ketika dibuka, terlihat sebuah tongkat dengan ukiran batik motif bunga berwarna biru muda.
Penjaga itu kaget serta tidak menyangka jika benda tersebut sangat sakti hingga tak bisa bersentuhan dengan wajah bumi.
“Tak ku sangka benda itu sakti,” ucapnya pelan. Tak lama, ia menutup tas berwarna hitam lalu meletakkan di lemari dengan rapi. Setelah itu bedu melayani pengunjung yang lain. Setelah itu, sang pemilik muncul, ia lalu meminta tas yang barusan ia titipkan. “Nomor 25,” kata Ogan sambil menyodorkan kartu kecil warna putih. Penjaga itu lalu membuka loker nomor 25 serta mengambil tas Mauli dan Ogan. Setelah menerima barang mereka, penjaga itu angkat bicara. "Dari mana kau dapatkan benda itu?" Bedu menatap Ogan. "Maksudmu benda ini?" jawab Ogan sambil mengangkat tas. "Ini adalah Akuadron, senjata pamungkasku, hanya sekali pukulan gunung pun bisa terbelah," kata Ogan dengan bangga. Bedu hanya berekspresi biasa, sebelum Ogan menambah kalimatnya, Mauli langsung menarik lengan Ogan. “Hei, apa yang kau lakukan? Mauli,” Og
Mereka lalu berjalan di lorong sebelah kanan, Mauli melihat sekelompok Harimau Sumatera yang sedang diberi makan oleh penjaga. Mauli dan Ogan hanya memperhatikan dua ekor harimau yang sedang makan potongan daging segar. "Pernah dengar manusia harimau di tanah Sumatera tidak?" Mauli melihat wajah Ogan. Ogan tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak hingga akhirnya membuka mulut. "Di zamanku tidak pernah mendengar tentang hal tersebut," ungkap pria yang berdiri di samping kanan Mauli. Mauli melanjutkan pembicaraannya, "Aku yakin hewan juga bisa mengerti bahwa manusia bukanlah musuh." "Kau tau bahwa harimau menjadi simbol sakral di tanah Sumatera," ucap wanita itu lagi. Mulutnya terus bersuara namun menatap ke arah harimau yang berada di depannya. "Ada apa dengan hewan tersebut?" Ogan berjalan pindah ke sisi kiri. "Di tanah Sumatera sangat t
Mendengar suara tersebut, mereka langsung mundur dan melepaskan pelukkan. Mereka malah jadi aneh hingga Mauli langsung pergi dari tempat tersebut. Mauli berjalan agak cepat menjauh dari keramaian. Ogan mengejar wanita itu, Ogan juga mempercepat langkah kaki sembari menyebut nama Mauli. "Mauli tunggu," teriak Ogan sambil menghindari dari orang yang berjalan berlawanan. Mauli terus berjalan hingga jauh dari keramaian, ia berhenti di sebuah pagar hitam setinggi dada manusia. Dia berdiri menatap ke atas sambil memperhatikan bintang-bintang. Setelah Ogan mendekat, Mauli mengeluarkan kalimat, " Coba kau lihat, bintang itu indah bukan?" "Mereka hanya ben
Suatu ketika, Profesor membersihkan kalung permata, setelah terlihat jelas bentuk serta keindahan permata tersebut. Timbul rasa iseng Profesor untuk memakai benda tersebut. Pria itu lalu menghadap sebuah cermin kecil. Profesor terkagum dengan liontin permata itu. Tiba-tiba liontin tersebut bercahaya terang, seluruh tubuh Profesor seperti merasakan sesuatu yang aneh. Dari benda itu mengeluarkan radiasi yang menyebabkan tubuh Profesor kaku. Profesor berusaha melepaskan benda itu namun tak bisa. Energi sangat kuat berusaha mempengaruhi Profesor. Profesor meronta-ronta kesakitan, Pria berjubah putih itu kejang-kejang hingga jatuh ke lantai. Kondisi ilmuwan tersebut seperti tengah mengalami sakaratul maut. Seluruh tubuhnya mengeras hin
Mauli mencoba menghubungi Beni, sementara Ogan masih memperhatikan layar TV. Terdengar nada sambung tidak begitu keras namun nyaring. Mauli tak tenang hingga terlihat sedikit aneh. Tuutt… tuuut..! Mauli memperhatikan layar ponsel, setelah layar tersebut muncul waktu yang berjalan ia langsung bicara. “Apa yang terjadi dengan Profesor?” Mauli menempelkan ponsel di telinga kanan. “Aku tidak tahu, tapi banyak menyaksikan ia berubah setelah memakai kalung liontin berwarna merah yang pernah ia bahas beberapa hari lalu,” jelas Beni melalui jaringan telepon. “Kau tau keberadaan Profesor sekarang?” tanya Mauli lebih dalam. “Entahlah, sepertinya Profesor terpengaruh oleh kalung tersebut,” ungkap Beni. “Bagaimana kau yakin?” Mauli bergerak menjauh dari Ogan. Sementara Mauli masih berc
Besoknya, Ogan pergi ke sebuah museum. Ogan berdiri memandangi gedung yang menyimpan berbagai benda kuno itu. Tertulis jelas ‘Museum Miranda’ dari ukuran semen berwarna merah pekat di atas gedung. Beberapa orang berbondong-bondong masuk ke tempat itu. Ogan terlihat tak membawa Akuadron, ia nyempil lalu ikut masuk ke dalam. Tetapi, tidak banyak yang ia temukan di dalam, Ogan hanya mendapati beberapa benda-benda logam yang digunakan zaman Sriwijaya seperti keris, trisula, serta mata uang logam. Ogan berkeliling di tempat benda-benda yang di berada kotak kaca serta jadi perhatian semua pengunjung. Ia melewati beberapa patung manusai purba yang mirip dengan kera. Benda itu juga dilindungi oleh kaca tebal. Suatu ketika ia dapati seorang pemuda yang sedang memperhatikan mata uang kuno. Melihat hal tersebut Ogan tergugah untuk menghampiri pria yang menggunakan pakaian rapi.
“Bukan gempa bumi, ini adalah pertanda kemunculan pasukan Bodem,” ucap Ogan mantap. “Aku bisa merasakan kehadiran mereka,” tambahnya. Sementara benda-benda rumah Mauli bergetar, Ogan hanya diam dengan kedua tangan menyeimbangkan badan. Ogan tampak merasakan kehadiran pasukan yang terbuat dari baja itu, seribu pasukan yang bakal memporak-porandakan Miranda. Ogan waspada dan mempersiapkan diri menyambut kehadiran mereka. “Petaka akan datang, kita harus waspada!” Ogan memperingatkan. “Kita harus menghentikan mereka,” seru Mauli. Ogan menoleh ke arah Mauli lalu menatapnya. “Aku sudah temuka
Ogan masih menatap manusia yang mengomandoi pasukan besi. Sedangkan Mauli sedikit menjauh dari posisi mendaratnya. Tiba-tiba Ogan langsung memberi serangan terhadap Profesor. “Bug!” tubuh Ogan jatuh. Sebenarnya Profesor tidak memberi serangan namun, karena pantulan energi dari kalung itu sangat kuat hingga sulit di tembus dan membuat Ogan terpental. “Hei.. kau tidak apa-apa?” tanya Mauli yang berjarak lima meter. “Tidak masalah,” ucap Ogan sambil bangkit. Profesor mengetahui keberadaan Ogan, ia memerintah pasukannya untuk menggempur Ogan. “Singkirkan mereka!” perintah Profesor.