Renata tak menyangka kalau ternyata sepupu suaminya adalah Bram--cinta pertamanya di masa lalu. Meski lelaki itu masih menyukai dan mengejar Renata, ia memilih setia pada pernikahannya sampai .... ia menemukan fakta bahwa suaminya selalu berselingkuh dengan banyak wanita sejak awal hubungan! Lantas, apa yang dilakukan Renata? Akankah memilih setia atau malah terjebak dengan rayuan sepupu suaminya itu?
View More"Bram, lepaskan!" Seorang wanita meronta-ronta di dalam pelukan lelaki tampan yang mengenakan jas hitam nan mewah.
"Biarkan aku seperti ini sebentar. Karena aku hanya memelukmu saja, tak lebih!" Bram semakin mengeratkan pelukannya, tidak ingin melepaskan. Renata merasa sangat risih, tetapi tentu saja tak akan bisa melepaskan diri dari tubuh kekar dan besar dengan tubuh mungilnya. Namun, suara batuk seorang lelaki agak familiar terdengar di telinga. "Lepaskan! Walau kau bilang hanya, tetapi ini salah karena aku sudah menikah dan suamiku berada di rumah!" teriak Renata tertahan, ia sangat merasa gelisah dan takut kalau suaminya datang ke dapur. Bram memegangi kepalanya dengan tertawa kecil, padahal tidak ada yang lucu dari perkataan Renata, tetapi lelaki tersebut malah tertawa. "Renata!" panggil seorang lelaki dengan berteriak nyaring. Renata gelagapan, ia ingin segera melepaskan diri dari Bram, tetapi masih tidak bisa. Alhasil ia memilih menginjak kaki lelaki tersebut dengan kuat menggunakan hak high heels yang dirinya pakai. "Renata!" Bram menjerit sambil memegangi kakinya yang terasa sakit. "Apa? Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan saja. Semua itu pantas untukmu, karena kau adalah sepupu suamiku sendiri dan aku sudah menikah!" Renata melengos pergi meninggalkan Bram yang diam mematung Bram yang ditinggalkan malah tersenyum tipis, ia menyugar rambutnya secara kasar. "Hal inilah yang membuatku suka kepadamu." Bram mendekat dengan cepat, ia menahan tangan Renata yang sudah berada di ambang pintu dapur. Tidak ingin kalau sampai wanita itu mendatangi lelaki yang sekarang sedang terbaring dalam keadaan mabuk di sofa ruang tamu. "Berapa kali kukatakan, kalau aku sudah menikah! Tapi kenapa kau seakan tuli?" Renata menarik tangannya dengan kuat, namun tetap dicengkram kuat oleh Bram. "Rena, aku mencintaimu dan aku yakin kau juga mencintaiku. Jadi ayo kita pergi dari sini dan menikah." Bram menatap memelas wanita cantik yang berada di depan mata, berharap Renata akan luluh dengan dirinya. Renata ingin berbicara, tetapi Bram menutupi mulut wanita itu dengan tangannya. "Aku yakin kau akan mengulangi perkataan yang sama, jadi jangan katakan itu. Karena aku sangat yakin kau juga tak bahagia dengan suamimu. Kalau kau setuju denganku lebih baik menganggukkan kepala saja, sehingga aku yakin kau ingin pergi bersamaku." Tatapan yang sama masih Renata lihat dari Bram, sehingga ia memilih memalingkan wajah. "Kau tak berhak mengurusi rumah tanggaku, Bram. Kau hanyalah masa lalu dan tak akan bisa menjadi masa depanku lagi." "Untuk apa melanjutkan pernikahan ini, kalau kau sendiri tidak bahagia, Renata?" Wajah Bram menjadi sayu, ia merasa sedih dengan keputusan Renata. "Terserah diriku, Bram! Sebaiknya kau pergi dari sini, takutnya suamiku melihatmu di sini." Renata mendorong dada bidang Bram dengan pelan, dengan harapan lelaki itu akan mengerti. Tak diduga oleh Renata, Bram malah merengkuh pinggang mungil miliknya, sehingga posisi wajah lelaki itu tepat berada di atasnya. "Mata bulatmu itu selalu mempesona sedari dulu, jadi bagaimana bisa aku melupakanmu begitu mudah." Bram memiringkan kepalanya, sehingga jarak mereka semakin dekat. Renata tahu apa yang akan dilakukan oleh Bram, tetapi tubuhnya membeku tidak bisa digerakkan sedikit pun. Alhasil sekarang kedua insan tersebut semakin dekat dan hanya berjarak ujung hidung saja. "Tidak, Bram! Kumohon jangan paksa aku." Renata menangkupkan kedua tangannya dengan kedua sudut mata yang meneteskan bulir bening. Bram yang semula ingin mendekatkan bibirnya menjadi urung dan memilih untuk merengkuh tubuh mungil tersebut dengan sangat erat. Ia selalu tak bisa melihat ekspresi wajah dari Renata yang seperti itu. "Kau pasti akan menderita kalau terus bersama dengan suamimu itu, jadi lebih baik kau pergi bersamaku dan membangun keluarga baru. Aku pasti akan membahagiakanmu sampai kau melupakan semua yang kau tinggalkan di sini." Bram berbisik lembut di telinga Renata, mengeluarkan semua rayuan yang dibisa. Wajah Renata memerah dengan gigi terus bergemeretak. "Masalah aku bahagia atau tidak itu bukanlah urusanmu, tetapi urusanku! Lebih baik kau segera pulang dari sini dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih karena telah mengantarkan suamiku." Renata menatap tajam dengan wajah yang masih memerah karena marah atas perkataan Bram. Merasa kalau lelaki itu terlalu ikut campur dengan urusan rumah tangganya. "Rena, kumohon! Harus berapa kali aku memohon kepadamu supaya kau ingin bersamaku?" Bram memegangi tangan Renata dengan lembut, bahkan sesekali akan mengelus tangan wanita tersebut. "Dan berapa kali aku mengatakan kalau kita sudah tidak bisa bersama lagi? Lupakanlah aku, Bram!" tolak Renata tegas. Bram tidak bisa mendengar setiap penolakan dari Renata, sehingga ia memilih untuk berjalan mendekati wanita tersebut. Namun, wanita itu malah terus berjalan mundur sampai terbentur dinding, tak bisa lagi melangkahkan kaki untuk menjauh. "Bram, apa yang ingin kau lakukan?" Renata memandang dengan tubuh yang gemetar, ia beberapa kali melirik ke arah pintu untuk memastikan sang suami tak datang kemari. "Kau tahu kan aku sudah dari dulu sangat tidak suka mendengar penolakan apapun? Tapi sedari tadi kau terus saja menolak sampai membuatku menjadi bosan, padahal aku lebih baik dari suamimu itu." Bram memainkan rambut Renata, tak lupa ia pun akan menyesap aroma wangi dari rambut tersebut. Renata terdiam, percuma mengatakan apapun kepada lelaki yang berada di depan matanya sekarang. Karena Bram pasti tetap akan bersikeras dengan perkataan lelaki itu sendiri. Seorang lelaki sedang berdiri sambil berpegangan dengan dinding menatap tajam ke arah Renata dan Bram. Wajahnya memerah dan nafas terdengar memburu memandang kedua orang yang saling berdekatan itu. Lelaki itu pun melangkahkan kakinya pelan mendekati kedua insan yang sekarang tak tahu dengan keberadaannya. Tangan mengepal kuat menahan amarah bergejolak di dalam dada. Lantas segera menarik Bram untuk menjauh dari Renata. "Gio?" Mata Renata membulat menatap sang suami yang sekarang sedang berdiri dengan tatapan penuh amarah kepada mereka berdua. Tubuh Renata menjadi gemetar hebat dengan bibir memucat bahkan keringat dingin mulai membanjiri keningnya. Ia tak dapat mengucapkan satu patah kata pun untuk mengatakan alasan yang pas kepada sang suami saat memergoki dirinya hanya berdua bersama dengan seorang lelaki di dapur. Tatapan Renata mengiba menatap Bram, meminta untuk lelaki itu menjelaskan kepada sang suami kalau sekarang sedang salah paham. Namun, yang ditatap malah memalingkan wajah sambil tersenyum amat lebar sehingga semakin membuat ia menjadi gemetar ketakutan. Seiring Gio mulai mendekat, Renata menjadi memejamkan matanya sambil berharap di dalam hati kalau lelaki itu tak akan terlalu marah kepadanya. "Ya Tuhan! Tolonglah aku." Renata bergumam pelan sambil menggigit bibirnya kuat, lantaran Gio sudah berada di depan matanya.Gio terdiam membeli mendengar perkataan dari Renata. Ia melirik kedua wanita itu sekilas secara bergantian, memikirkan keputusan apa yang akan diambil.“Kau tidak mau?” Renata menautkan kedua alisnya, sorot matanya penuh selidik.Rosetta langsung mendekati Gio dengan mata berkaca-kaca. “Jangan tinggalkan aku, Gio! Aku sedang mengandung anakmu, apakah kau akan tega meninggalkan kami?” Ia mengelus perutnya yang masih rata.Renata terkekeh kecil, “Kau yakin itu anak Gio?” tanyanya dengan nada mengejek.Wajah Rosetta memerah, “Kenapa kau berkata seperti itu? Tentu… saja ini anak Gio,” jawabnya gugup, ia beberapa kali meneguk ludahnya secara kasar.Renata yang sedari tadi memperhatikan gerak”gerik dari Rosetta merasa kalau wanita itu sedang menutupi sesuatu. Sehingga ia semakin menatap untuk mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya wanita tersebut pikirkan.Namun, semakin ditatap Rosetta malah terlihat semakin gugup.“Tapi aku ingin melihat surat hasil pemeriksaanmu, jadi mana surat itu?”
Isakan tangis Rosetta memenuhi seisi kamar, memantul di dinding seperti gema yang tak kunjung padam. Namun, Renata tak bergeming. Ia menatap kosong ke depan, seolah suara itu hanyalah bisikan angin yang tak mampu menembus kekacauan dalam kepalanya.Pikiran Renata sibuk merangkai kepingan kenyataan yang baru saja menghancurkan seluruh dinding pertahanannya.“Apa kau tidak bisa diam?” suara Gio mendesis tajam, tangannya memijat pangkal hidung, nafasnya berat. “Sedari tadi kau terus saja menangis... membuat kepalaku semakin sakit!”Renata memalingkan wajahnya perlahan. Tatapannya tajam, seperti pisau dingin yang menusuk satu per satu orang di ruangan itu.“Bisakah kalian keluar dari kamarku?” ucap Renata, dingin dan datar.Bram hanya mengangguk pelan, lalu dengan tenang mengenakan kembali bajunya. Namun, sorot matanya mengandung ragu. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang enggan meninggalkan Renata sendirian. Namun,Renata tak memberinya pilihan.“Apa kalian tidak dengar? Kalian semua kel
Belum sempat Renata melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Ia mendengar suara pukulan yang sangat kuat dari arah belakang. Lagi-lagi Gio menghajar Bram, tetapi kali ini Bram melawan serangan dari suaminya.“Kalian hentikan sekarang juga!” teriak Renata sambil berlari mendekat.Saat Renata ingin mendekat, ia merasa sangat takut sekali kena pukulan salah sasaran dari salah satu lelaki itu. Sehingga menjadi urung, lantas hanya berusaha melerai dengan mencoba membujuk secara halus. Namun, usaha itu gagal.“Kalian berdua tolong hentikan sekarang juga!” Renata menggeram marah, ia merasa kesal tidak bisa menghentikan kedua lelaki itu.Bram dan Gio menjadi memandang ke arah Renata, wajah wanita itu sekarang sangatlah mengerikan sehingga membuat mereka berdua menjadi berhenti.“Kau tahu sendirian kalau dia yang mulai duluan, aku hanya tidak ingin babak belur karena ulahnya. Wajarkan kalau melawan?” Bram menunjuk Gio dengan geram.Wajah Gio memerah, ia mengepalkan tangannya. “Apa yang maksudmu
Renata tersentak, jantungnya berdetak keras ketika suara Gio yang menggelegar memecah udara pagi yang dingin.Gio berteriak marah, "Apa yang kalian lakukan sekarang?"Tubuh Renata seketika menegang. Ia melirik ke sisi ranjang—Bram masih di sana, duduk santai, satu tangan menyisir rambut acak-acakan, seolah teriakan itu tak berarti apa-apa.‘Astaga... aku tak terbangun tadi malam?’ pikir Renata panik, kedua matanya membelalak, nafasnya tercekat.Wajah Gio memerah, rahangnya mengatup erat. Tangan mengepal, tubuhnya sedikit bergetar—amarahnya jelas menari di balik kulit yang menegang."Apa lagi? Seperti yang kau lihat," kata Bram tenang, menoleh perlahan dengan senyum sinis di sudut bibirnya.Tatapan mata Bram menusuk, tajam dan penuh ejekan. Renata menahan napas. Komentar itu seperti bensin yang menyambar nyala api di dada Gio.Bukannya diam saja, Bram justru memperkeruh suasana.Namun... hati Renata tetap dingin. Ingatan tentang video semalam—tubuh Gio bersama perempuan lain—menghapus
Tanpa mengatakan apapun lagi Renata langsung mengecup bibir Bram. Ia semakin larut menenggelamkan dirinya ke dalam lautan paling dalam, tak ada terbesit di dalam dirinya untuk naik ke atas, fokusnya hanya ingin melupakan rasa sakit yang semakin menjadi dengan membalas sesuai apa yang diberikan.Tak disangka oleh Renata, Bram malah mendorong dirinya untuk menjauh. Lelaki itu menyeka mulut dengan kasar.“Kenapa? Bukannya kau juga menginginkan hal ini?” Renata menatap penuh selidik, tak menyangka kalau Bram akan menolak dirinya.“Aku tidak ingin melakukan hal yang dapat kau sesali nanti.” Bram memalingkan wajahnya yang memerah, ia berusaha menahan diri untuk tidak melakukan hal lebih.Renata tersenyum kecut mendengar perkataan dari Bram. "Kau tidak usah memikirkan hal itu karena aku tidak akan menyesalinya.” Renata menarik kerah Bram kembali, ia tidak tahu kalau sekarang lelaki yang berada di depannya bukanlah seorang lelaki biasa melainkan seekor binatang buas. Binatang buas yang sudah
Renata tersengal, ia merasa kalau lehernya sekarang sedang dicekik oleh seseorang. Namun, ternyata dirinya berada di ranjang kamarnya sendiri bersama Bram yang sedang memandanginya.“Tenang, Renata! Tarik nafasmu secara perlahan!” perintah Bram sembari mengelus punggung tangan wanita itu untuk menenangkan.Renata memegangi dadanya yang terasa sangat sesak, bagaikan ditusuk dengan ribuan pisau tajam, terasa menyakitkan dan perih. Namun, tidak ada setetes darah pun keluar dari saja. Alhasil dirinya hanya diam mematung, berusaha menetralkan perasaan terguncang dengan rekaman sang terus berputar di dalam kepala layaknya kaset.“Aku sangat tahu kalau apa yang kau tunjukan kepadaku itu hanyalah sebuah omong kosong. Mana mungkin Gio melakukan itu dan bagaimana kau bisa mendapatkan rekamannya?” Renata menutupi separuh wajahnya menggunakan tangan, ia tertawa keras sambil beberapa tetes bulir bening dari kedua matanya.Renata yang terlalu terpukul menjadi berusaha menyangkal semua yang sudah di
Bram menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak, aku mabuk!”Renata menatap dengan sorot mata tajam, ia sangat yakin sekali kalau Bram tidaklah mabuk. Namun, lelaki itu hanya berpura-pura saja.“Mabuk cinta,” kekeh Bram.Bram terus tertawa keras, tetapi tangannya tidak pernah lepas dari tubuh Renata. Ia tak ingin kalau wanita itu melarikan diri, sehingga terus memegangi layaknya sedang memegangi seorang anak kecil.“Bram, tolonglah! Jangan seperti ini!” gonta Renata.“Kau tidak ingin sekedar berpegangan tangan denganku? Padahal suamimu sedang melakukan hal lebih dengan wanita lain.” Bram merogoh kantong celananya, ia memberikan ponsel miliknya kepada Renata.Renata terkesiap saat melihat ponsel Bram, sebuah video sepasang kekasih sedang memadu kasih di atas ranjang. Jantungnya berdegup dengan kencang, bumi terasa berputar dan membuat dirinya menjadi terduduk lemas di lantai dingin.Bagaimana tidak? Salah satu orang yang berada di video adalah suami Renata sendiri. Lelaki itu sedang bersama
Renata menggigil ketakutan, tetapi ia memilih mengintip siapa orang yang sekarang menggedor pintu itu. Ternyata orang itu adalah Bram, namun ia memilih untuk tidak membuka pintu tersebut.“Ck, kenapa aku malah terus berurusan dengan dia? Apalagi disaat Gio tidak ada di rumah.” Renata melipat tangannya dengan perasaan malas, tetapi sesekali akan mengintip keluar.Bram terlihat semakin tidak sabar, lantaran gedoran itu semakin kuat. Renata menjadi terpaksa membuka pintu itu lantaran khawatir Bram malah akan menarik perhatian.“Bisakah kau hentikan itu? Itu akan mengganggu ketenangan orang lain!” gerutu Renata kesal.Wajah Renata memerah, ia menatap Bram dengan penuh amarah membara. Namun, yang ditatap malah hanya terkekeh kecil, seakan ia sekarang hanya mengatakan sebuah lelucon.“Menginaplah di hotel atau tempat lain, Gio tidak ada di rumah sehingga aku malas berduaan denganmu!” Renata berbalik, ia tidak ingin menatap wajah Bram.Aroma minuman keras tercium sangat jelas dari Bram, memb
Entah kenapa Renata menjadi merasa merinding mendengar perkataan dari Gio. Ia lantas melepaskan pelukan lelaki itu, lantaran merasa sangat tidak nyaman sekali.“Aku akan pergi mencari Bram,” Renata memalingkan wajahnya, ia melangkah menjauh dari Gio.Renata bahkan tidak menoleh dari ke belakang, ia sangat tidak nyaman sekali mendengar perkataan dari sang suami. Dari cara bicara Gio, terdengar sangat jelas kalau lelaki itu posesif.‘Tidak! Itu hanya perasaanku saja!’ gumam Renata di dalam hati.Renata memeluk dirinya sendiri sambil mencari keberadaan Bram di kamar tamu. Langkahnya perlahan dan terasa ragu, lantaran rasa bersalah kembali menyelimuti perasaan.“Bram, apa kau di dalam?” Renata mengetuk pintu secara perlahan.Beberapa menit mengetuk pintu, Renata tidak mendapati suara apapun dari dalam.“Aku masuk!” seru Renata.Tangan Renata mulai perlahan mendorong pintu, ia khawatir kalau mendapati Bram yang ternyata sedang mandi. Namun, ternyata di dalam sana sangat sepi, seperti tidak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments