"Bram, lepaskan!" Seorang wanita meronta-ronta di dalam pelukan lelaki tampan yang mengenakan jas hitam nan mewah.
"Biarkan aku seperti ini sebentar. Karena aku hanya memelukmu saja, tak lebih!" Bram semakin mengeratkan pelukannya, tidak ingin melepaskan. Renata merasa sangat risih, tetapi tentu saja tak akan bisa melepaskan diri dari tubuh kekar dan besar dengan tubuh mungilnya. Namun, suara batuk seorang lelaki agak familiar terdengar di telinga. "Lepaskan! Walau kau bilang hanya, tetapi ini salah karena aku sudah menikah dan suamiku berada di rumah!" teriak Renata tertahan, ia sangat merasa gelisah dan takut kalau suaminya datang ke dapur. Bram memegangi kepalanya dengan tertawa kecil, padahal tidak ada yang lucu dari perkataan Renata, tetapi lelaki tersebut malah tertawa. "Renata!" panggil seorang lelaki dengan berteriak nyaring. Renata gelagapan, ia ingin segera melepaskan diri dari Bram, tetapi masih tidak bisa. Alhasil ia memilih menginjak kaki lelaki tersebut dengan kuat menggunakan hak high heels yang dirinya pakai. "Renata!" Bram menjerit sambil memegangi kakinya yang terasa sakit. "Apa? Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan saja. Semua itu pantas untukmu, karena kau adalah sepupu suamiku sendiri dan aku sudah menikah!" Renata melengos pergi meninggalkan Bram yang diam mematung Bram yang ditinggalkan malah tersenyum tipis, ia menyugar rambutnya secara kasar. "Hal inilah yang membuatku suka kepadamu." Bram mendekat dengan cepat, ia menahan tangan Renata yang sudah berada di ambang pintu dapur. Tidak ingin kalau sampai wanita itu mendatangi lelaki yang sekarang sedang terbaring dalam keadaan mabuk di sofa ruang tamu. "Berapa kali kukatakan, kalau aku sudah menikah! Tapi kenapa kau seakan tuli?" Renata menarik tangannya dengan kuat, namun tetap dicengkram kuat oleh Bram. "Rena, aku mencintaimu dan aku yakin kau juga mencintaiku. Jadi ayo kita pergi dari sini dan menikah." Bram menatap memelas wanita cantik yang berada di depan mata, berharap Renata akan luluh dengan dirinya. Renata ingin berbicara, tetapi Bram menutupi mulut wanita itu dengan tangannya. "Aku yakin kau akan mengulangi perkataan yang sama, jadi jangan katakan itu. Karena aku sangat yakin kau juga tak bahagia dengan suamimu. Kalau kau setuju denganku lebih baik menganggukkan kepala saja, sehingga aku yakin kau ingin pergi bersamaku." Tatapan yang sama masih Renata lihat dari Bram, sehingga ia memilih memalingkan wajah. "Kau tak berhak mengurusi rumah tanggaku, Bram. Kau hanyalah masa lalu dan tak akan bisa menjadi masa depanku lagi." "Untuk apa melanjutkan pernikahan ini, kalau kau sendiri tidak bahagia, Renata?" Wajah Bram menjadi sayu, ia merasa sedih dengan keputusan Renata. "Terserah diriku, Bram! Sebaiknya kau pergi dari sini, takutnya suamiku melihatmu di sini." Renata mendorong dada bidang Bram dengan pelan, dengan harapan lelaki itu akan mengerti. Tak diduga oleh Renata, Bram malah merengkuh pinggang mungil miliknya, sehingga posisi wajah lelaki itu tepat berada di atasnya. "Mata bulatmu itu selalu mempesona sedari dulu, jadi bagaimana bisa aku melupakanmu begitu mudah." Bram memiringkan kepalanya, sehingga jarak mereka semakin dekat. Renata tahu apa yang akan dilakukan oleh Bram, tetapi tubuhnya membeku tidak bisa digerakkan sedikit pun. Alhasil sekarang kedua insan tersebut semakin dekat dan hanya berjarak ujung hidung saja. "Tidak, Bram! Kumohon jangan paksa aku." Renata menangkupkan kedua tangannya dengan kedua sudut mata yang meneteskan bulir bening. Bram yang semula ingin mendekatkan bibirnya menjadi urung dan memilih untuk merengkuh tubuh mungil tersebut dengan sangat erat. Ia selalu tak bisa melihat ekspresi wajah dari Renata yang seperti itu. "Kau pasti akan menderita kalau terus bersama dengan suamimu itu, jadi lebih baik kau pergi bersamaku dan membangun keluarga baru. Aku pasti akan membahagiakanmu sampai kau melupakan semua yang kau tinggalkan di sini." Bram berbisik lembut di telinga Renata, mengeluarkan semua rayuan yang dibisa. Wajah Renata memerah dengan gigi terus bergemeretak. "Masalah aku bahagia atau tidak itu bukanlah urusanmu, tetapi urusanku! Lebih baik kau segera pulang dari sini dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih karena telah mengantarkan suamiku." Renata menatap tajam dengan wajah yang masih memerah karena marah atas perkataan Bram. Merasa kalau lelaki itu terlalu ikut campur dengan urusan rumah tangganya. "Rena, kumohon! Harus berapa kali aku memohon kepadamu supaya kau ingin bersamaku?" Bram memegangi tangan Renata dengan lembut, bahkan sesekali akan mengelus tangan wanita tersebut. "Dan berapa kali aku mengatakan kalau kita sudah tidak bisa bersama lagi? Lupakanlah aku, Bram!" tolak Renata tegas. Bram tidak bisa mendengar setiap penolakan dari Renata, sehingga ia memilih untuk berjalan mendekati wanita tersebut. Namun, wanita itu malah terus berjalan mundur sampai terbentur dinding, tak bisa lagi melangkahkan kaki untuk menjauh. "Bram, apa yang ingin kau lakukan?" Renata memandang dengan tubuh yang gemetar, ia beberapa kali melirik ke arah pintu untuk memastikan sang suami tak datang kemari. "Kau tahu kan aku sudah dari dulu sangat tidak suka mendengar penolakan apapun? Tapi sedari tadi kau terus saja menolak sampai membuatku menjadi bosan, padahal aku lebih baik dari suamimu itu." Bram memainkan rambut Renata, tak lupa ia pun akan menyesap aroma wangi dari rambut tersebut. Renata terdiam, percuma mengatakan apapun kepada lelaki yang berada di depan matanya sekarang. Karena Bram pasti tetap akan bersikeras dengan perkataan lelaki itu sendiri. Seorang lelaki sedang berdiri sambil berpegangan dengan dinding menatap tajam ke arah Renata dan Bram. Wajahnya memerah dan nafas terdengar memburu memandang kedua orang yang saling berdekatan itu. Lelaki itu pun melangkahkan kakinya pelan mendekati kedua insan yang sekarang tak tahu dengan keberadaannya. Tangan mengepal kuat menahan amarah bergejolak di dalam dada. Lantas segera menarik Bram untuk menjauh dari Renata. "Gio?" Mata Renata membulat menatap sang suami yang sekarang sedang berdiri dengan tatapan penuh amarah kepada mereka berdua. Tubuh Renata menjadi gemetar hebat dengan bibir memucat bahkan keringat dingin mulai membanjiri keningnya. Ia tak dapat mengucapkan satu patah kata pun untuk mengatakan alasan yang pas kepada sang suami saat memergoki dirinya hanya berdua bersama dengan seorang lelaki di dapur. Tatapan Renata mengiba menatap Bram, meminta untuk lelaki itu menjelaskan kepada sang suami kalau sekarang sedang salah paham. Namun, yang ditatap malah memalingkan wajah sambil tersenyum amat lebar sehingga semakin membuat ia menjadi gemetar ketakutan. Seiring Gio mulai mendekat, Renata menjadi memejamkan matanya sambil berharap di dalam hati kalau lelaki itu tak akan terlalu marah kepadanya. "Ya Tuhan! Tolonglah aku." Renata bergumam pelan sambil menggigit bibirnya kuat, lantaran Gio sudah berada di depan matanya.Entah kenapa sekarang waktu berjalan dengan sangat lambat, sehingga membuat Renata menjadi semakin gugup. Ia beberapa kali meneguk ludah, mencari perkataan tepat untuk membuat sang suami tak marah lagi kepada dirinya."Gio, aku dan dia hanya—," perkataan Renata terpotong karena Gio jatuh ke pundaknya."Gio?" Renata mengerutkan alisnya, ia terus menatap sang suami."Sepertinya dia pingsan. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat apa yang dilakukan lelaki itu kalau melihat istrinya berdua dan sangat dekat dengan lelaki lain." Bram mengangkat kedua tangannya di udara sambil menggelengkan kepala, lantaran tak sesuai bayangan."Kau!" Renata langsung membekap mulutnya, lantaran sadar sekarang sang suami berada di dalam pelukan."Apa?" Bram menyeringai dengan lebar.Renata hanya mengepalkan tangannya kuat karena ia tidak bisa mengumpat lelaki yang berada di depan matanya ini. Ia sadar kalau melakukan hal itu pasti akan membuat suaminya menjadi terbangun.“Sudahlah kau pergi saja, karena sem
Lelaki yang sekarang berdiri di depan Renata adalah Bram, ia membawa segelas teh hangat untuk wanita tersebut.“Sebaiknya kau minum dulu, baru kau memarahiku.” Bram memberikan segelas teh hangat itu kepada Renata.Renata memalingkan wajahnya ke arah lain, karena ia merasa kesal setelah mengetahui ternyata Bram tidak pergi dari rumahnya."Bukankah aku bilang kau harus pergi dari rumahku, tetapi kenapa kau tidak kunjung pergi dan malah masih di sini?“ tanya Renata dengan ketus. Bram mengusap wajahnya dengan kasar, ia tidak menyangka kalau wanita di depannya ini masih memiliki tenaga untuk marah-marah. Padahal baru saja tersadar akibat terjatuh dari tangga.“Minum saja dulu.” Bram memberikan teh itu dengan kasar di tangan Renata.Renata mau tidak mau menerima pemberian dari Bram itu. Karena kalau ia tidak menyambut, maka isinya akan tumpah ke tubuhnya. Namun, ia tidak langsung meminum pemberian lelaki tersebut, lantaran merasa curiga.“Aku tidak menaruh apapun di dalam minuman itu, jadi
“Ya, aku sangat yakin sekali kalau aku sempat bangun, tapi ada seseorang yang memukulku! “ ucap Gio yakin.Renata terdiam sejenak mendengar cerita dari Gio. Karena ia mendengar dari Bram kalau lelaki tersebut sama sekali tidak bangun.‘Apa mungkin Bram yang memukul kepalanya dengan keras?’ gumam Renata di dalam hatinya.Kening Renata terus berkerut, ia memikirkan apakah perkataan Bram atau Gio yang harus dipercaya.“Apa terjadi sesuatu tadi malam, sehingga ada seseorang yang memukulku?” tanya Gio, masih dengan meringis kesakitan sambil memegangi bagian belakang kepalanya. Tiba-tiba Renata malah tertawa dengan keras, karena ia baru saja teringat apa yang terjadi sebenarnya.“Aku baru ingat kalau saat mengangkatmu tadi malam aku terjatuh dari tangga. Mungkin itu yang membuatmu merasa dipukul seseorang, karena aku pun juga merasa seperti itu,” ucap Renata terkekeh geli.Hanya saja raut wajah Gio berbeda, lelaki itu terlihat sangat tidak yakin dengan perkataan dari Renata. Namun, saat le
Renata membuka pintu itu, ternyata di sana hanya ada keran menyala dengan air yang terus keluar. Alhasil ia menghembuskan nafasnya lega, lantaran tadi sempat merasa takut kalau ada orang lain di dalam sana.“Rupanya dia lupa mematikan kerannya.” Renata langsung mematikan keran itu.Renata menutup pintunya kembali, ia menatap ke arah kamar yang sekarang sudah berantakan dengan menghela nafas.“Aku jadi membereskan ini dua kali." Renata memukul kepalanya pelan.Renata pun memilih untuk membereskan semua barang yang berserakan.“Memang apa yang dia cari sampai membuat kamar ini menjadi berantakan seperti ini!” gerutu Renata seorang diri, tangannya sambil memunguti pakaian kotor.Hanya saja Renata pun melihat kalau kemeja yang awalnya ia gantung di balik pintu menjadi terjatuh di lantai. Ia pun bergegas untuk memungutnya, lantaran dirinya sudah tahu kalau ada gelang emas di dalam saku kemeja tersebut. “Bisa-bisanya dia menjatuhkan ini ke bawah. Apa dia lupa kalau di sini ada barang berha
Renata menjadi tegang dengan apa yang dilakukan oleh Bram. Ia tidak menyangka lelaki itu malah langsung mengecup tangannya di depan Gio, yaang adalah suami Renata.“Apa yang kau lakukan?” Renata menarik tangannya dengan cepat, wajahnya sudah pucat pasi seperti mayat.Suasana menjadi terasa hening, Renata sangat ketakutan sekali kalau Gio memarahi dirinya lantaran perlakuan dari Bram. Namun, selama menunggu beberapa menit, tak kunjung terdengar suara dari sang suami. Membuat ia menjadi mendongak untuk mengetahui apa yang dipikirkan oleh Gio.Hanya saja Gio malah mendekati dirinya dan merangkul pundak Renata.“Gio, aku tidak tahu apa yang dia lakukan kepadaku. Tadi terlalu tiba-tiba dan aku tidak sempat menarik tanganku!” ucap Renata dengan terbata-bata, bingung menjelaskan seperti apa.Gio hanya diam, tetapi tiba-tiba falah tertawa dengan keras. “Kau ini terlalu menggoda Renata, lihatlah wajahnya sampai menjadi berkeringat karena merasa sangat gugup.” Ia memukul pundak Bram.“Kau tahuk
Gio tiba-tiba mencengkram tangan Renata dengan kuat, membuat wanita itu menjadi meringis kesakitan. "Apa yang kau pikirkan sendiri tadi? Sehingga kau tidak menggubris perkataanku!” Ia menaikkan sebelah alisnya, tatapan matanya sangat tajam menatap ke arah sang istri.“Sakit,Gio!”"rintih Renata."Jawab dulu pertanyaanku!" hardiknya.Lidah Renata terasa sangat kelu ingin mengucapkan sesuatu, lantaran melihat tatapan mata dari Gio yang sangat mengerikan. Lelaki itu menatapnya dengan tajam, sehingga membuat ia menjadi gemetar ketakutan.“Aku hanya merasa heran, kenapa kau tidak marah dengan perkataan dari Bram, itu saja,” jawab Renata dengan tergagap.Cengkraman dari tangan Gio mulai melunak, membuat Renata menjadi merasa sangat lega.“Oh, itu. Lagi pula itu kan sudah masa lalu kalian, jadi aku tidak akan mencampurinya dan bukankah semua orang sering memiliki masa lalu?” Gio mengedikkan bahunya, pertanda ia tidak mempermasalahkan semua itu.“Aku kira kau akan marah kepadaku.” Renata menun
Renata menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal, ia keceplosan mengatakan hal itu di depan Bram. Karena Gio selalu tidak suka kalau dirinya mengatakan hal itu di depan tamu, entah siapapun itu.“Aku tidak menyangka kalau kau tidak dapat merubah kebiasaanmu itu, yang selalu minta dilayani walau hal sekecil apapun," ejek Bram dengan tertawa kecil.“Apa maksudmu? Kau lihat sendiri kan kalau aku tidak melarangnya untuk ikut duduk bersama kita. Tapi dia lah yang memiliki kebiasaan selalu melayaniku lebih dulu. Baru setelah melakukan itu dia akan makan,” sahut Gio terdengar seperti sanggahan di telinga Bram.“Kau lucu sekali! Kalau kau memang seperti itu, kau tidak perlu menutupinya. Kalian kan suami-istri wajar saja seperti itu.“ Bram melirik dengan sinis.“Sayang, duduklah! Kamu makan saja bersama kami, karena lelaki ini tidak percaya kalau kamu sendiri yang menginginkan untuk melayaniku lebih dulu sebelum menyantap makananmu.” Gio mengisyaratkan dengan lirikan matanya supaya Rena
Suasana menjadi hening setelah Renata mengatakan hal itu. Ia pun menjadi menatap kedua lelaki itu secara bergantian, Bram ataupun Gio hanya memandangi dirinya saja.Renata menjadi sadar apa yang sekarang dirinya lakukan, sehingga ia langsung duduk kembali ke kursinya dengan wajah memerah menahan perasaan malu.Gio tertawa dengan terbahak-bahak melihat Renata menjadi malu."Kamu terlalu berlebihan, Renata. Lagipula Bram terlalu lama tinggal di luar negeri, jadi wajar saja kalau bicaranya itu terkadang keterlaluan. Kamu tidak perlu menanggapi dengan serius,” tutur Gio, ia mencoba menasehati Renata.Renata mendongakkan kepalanya menatap ke arah Gio yang berada di samping, matanya menjadi berkaca-kaca lantaran lelaki itu malah tidak ada rasa cemburu kepada lelaki lain padahal jelas-jelas Bram mengatakan ingin merebut dirinya. Namun, ia dengan cepat menundukan kepalanya sambil tangan terus mencengkeram ujung pakaian kuat. Berharap kalau perasaan sakit ya
Bram menjadi tersentak kaget saat melihat luka di tangan Renata. Namun, ia dengan cepat memilih untuk mengambil minuman dingin yang berada di dalam kulkas. Raut wajahnya berubah menjadi tanpa ekspresi, ia menatap datar ke arah Renata."Aku dengar ada teriakan di dapur sini, apa yang terjadi?” Gio melirik sekitar, ia melotot saat melihat Bram ada di dapur bersama dengan Renata.Hanya saja Bram tetap santai minum minuman dingin yang ada di tangannya sekarang. Ia terlihat cuek dengan tatapan dari Gio.“Tanganku hanya terluka saja saat memotong sayuran. Jadi tanpa sadar aku malah berteriak.” Renata tersenyum simpul, ia memperlihatkan tangannya yang terluka.Gio tidak terlalu mendengarkan perkataan dari Renata. Ia hanya menatap ke arah Bram dengan tatapan penuh curiga.“Kenapa kau menatapku seperti itu?" Bram menaikkan sebelah alisnya, ia membalas tatapan Gio dengan sinis.“Apa kau berlari kemari setelah mendengar te
Renata melangkahkan kakinya keluar dari kafe dengan ragu, matanya melihat ke sekitar memastikan apakah Gio masih berada di sana atau tidak. Setelah mengetahui semuanya aman, ia menghembuskan nafas lega karena sang suami sudah pergi dari sana. Lantas memilih untuk terus melangkahkan kaki menuju ke arah luar tanpa melihat keadaan sekitar lagi dan berakhir menabrak seseorang.“Astaga! Maaf!” Renata menundukkan kepalanya, ia terlalu takut untuk melihat ke depan lantaran mengira orang itu adalah Gio.“Pantas saja tadi yang mengenakan pakaianmu bukanlah kau, tetapi orang lain. Ternyata kau menggunakan cara yang sama sepertiku ya. Bedanya hanya bertukar jaket saja.” Bram menutupi mulutnya, ia berusaha menahan suara tawa kecil yang akan keluar dari mulutnya.Renata mendongak, ia menyipitkan mata menatap Bram dengan penuh selidik.“Ada apa dengan tatapanmu itu? Bukankah kau harus berterima kasih kepadaku, karena telah membantumu supaya tidak ketahuan oleh Gio?” Bram mengerutkan dahi, mata elan
Sementara Bram hanya tersenyum tipis melihat hal itu. Ia tidak berniat menghalangi Gio lebih jauh, malah terlihat menantikan apa yang akan terjadi di depan matanya.Saat tudung jaket itu terbuka, Gio menjadi terdiam sejenak menatap wanita yang berada di depan matanya itu. Namun, beberapa detik kemudian ia malah tertawa kecil melihat wanita itu.“Aku kira ada sesuatu yang spesial, tapi ternyata tidak.” Gio menutupi mulutnya untuk menahan suara tawa yang akan keluar dari sana.Bram mendekat, tetapi ia terlihat sangat acuh sekali.“Kau pergilah dari sini!” usir Bram dengan raut wajah sinis.Wanita itu dengan cepat meninggalkan kedua lelaki yang sekarang menatapnya dengan tatapan sinis tanpa menoleh ke belakang lagi.Bram menatap tajam ke arah Gio, ia melipat tangannya di dada. “Kau sudah puaskan?“Gio yang sedari tadi tertawa , melirik ke arah Bram. “Ah, Bram! Aku tidak bermaksud untu
Renata merasa tugasnya sudah selesai, sehingga ia ingin melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari hiruk-pikuknya kafe. Namun, saat ia sudah berada di dekat ambang pintu membuat matanya menjadi melotot lantaran merasa terkejut. Karena Bram sedang berbicara bersama dengan Gio.“Aku pikir mereka sudah pulang! Ternyata mereka masih ada di sana, tapi kenapa?“ Renata merapatkan tudung jaket hoodie yang sekarang ia kenakan.Renata memilih untuk bersembunyi di tempat yang aman sambil mengawasi tingkah Gio. Rupanya lelaki itu masih sangat penasaran sekali dengan wanita yang menjadi kekasih Bram, sehingga masih berada di sana untuk mencari tahu wajah wanita itu.Renata menjadi mondar-mandir merasa gelisah, sesekali akan menggigit kuku jarinya. Saat sedang memikirkan cara bagaimana keluar dengan aman, ia melihat seseorang yang mengenakan pakaian milik Bram sambil menghitung beberapa lembar uang kertas di tangan.“Hei, kau!” panggil Renata
Renata semakin panik mendengar langkah kaki yang kian dekat. Ia berusaha keras menenggelamkan wajahnya di dada bidang Bram, seolah tempat itu satu-satunya perlindungan dari situasi yang tidak ia harapkan. Bram mendesah pelan, kebingungan dengan tingkah wanita itu, namun senyum tipis tak bisa lepas dari wajahnya.“Bram, kenapa kau berada di sini?”Suara itu menyambar telinga Renata seperti petir di siang bolong. Suara Gio—tegas, dingin, penuh nada ingin tahu—membuat jantung Renata berdentam lebih kencang dari langkah kaki yang tadi ia dengar. Nafasnya tercekat, seperti tali transparan melilit lehernya, tak memberi celah untuk bernapas lega.Bram yang hendak menggeser tubuhnya untuk duduk lebih tegak, mendapati Renata justru mengikuti gerakannya, tetap menempel erat. Ia terkekeh pelan, merasa geli melihat betapa keras wanita itu mencoba menghindar dari pandangan Gio.“Kau bisa lihat sendiri, kan? Sekarang aku sedang kencan,” ujar Bram santai, melirik ke arah Renata yang kini semakin sal
Bram mengenakan setelan jas berwarna hitam, jam tangan warna kuning keemasan, sepatu pun mengkilap di bawah cahaya lampu kafe, membuat penampilan lelaki itu menjadi menarik perhatian orang lain. Sehingga Renata memilih untuk berusaha menutupi lelaki itu, supaya tidak terlalu kentara. Naasnya, tentu saja wajah tampan Bram tidak akan bisa ditutupi hanya dengan selembar kertas. Alhasil dirinya pun meletakkan menu tersebut ke meja dengan kasar.“Jangan melakukan hal itu! Bukankah kau tahu sendiri kalau kedua orang yang berada tidak jauh dari kita pasti akan mendengarnya?” Bram menaik turunkan alisnya, ia merasa heran sekali dengan apa yang yang dilakukan oleh Renata.Renata mendengus kesal, tangannya mengepal menu dengan sangat kuat dan memberikan tatapan bengis kepada Bram. “Kalaupun aku tidak melakukan hal itu,tetap saja akan ketahuan. Karena penampilanmu sekarang sangatlah mencolok!”Bukannya menjauh pergi, Bram menopang dagunya di atas ke
Renata beranjak dari kursi empuknya, ia ingin mengetahui kebenaran tentang semua pertanyaan yang ada di dalam pikirannya sekarang. Ia pun menjadi bergegas untuk mengambil jaket hoodie yang berada di lantai dua, tidak lupa mengenakan masker dan kacamata hitam untuk menutupi dirinya supaya tidak ketahuan oleh sang suami. Semua itu dilakukan untuk bisa mengetahui kebenaran, kalau misalkan memang benar Gio berselingkuh atau tidak Renata bisa segera mengetahuinya.“Ayolah, Renata! Kamu harus segera mengetahui semua kebenarannya, supaya tidak terjadi salah paham seperti sekarang ini!" Renata mengepalkan tangannya di udara, walaupun sekarang tangannya itu menjadi gemetar lantaran merasa takut. Renata melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ke lantai bawah supaya segera bisa ke tempat tujuan. Kali ini ia memilih untuk menggunakan taksi, supaya Gio tidak mengetahui kalau ia berada di tempat yang sama dengan lelaki itu.“Lama sekali taksinya datang! Bagaimana kalau mereka sudah keluar dari s
Gio yang masih berbicara di telepon mendengar suara langkah kaki seseorang, membuat ia menjadi menoleh ke arah tersebut. Tanpa mengatakan apapun ia langsung menutup panggilan secara sepihak dan mulai melangkahkan kaki dengan perlahan untuk melihat siapa orang di balik pintu tersebut. Matanya terkejut saat menyadari kalau pintu tersebut terbuka sedikit, dengan langkah cepat dan raut wajah panik langsung membuka pintu dengan lebar, tetapi ternyata tidak ada satu orang pun di sana."Sepertinya hanya perasaanku saja, karena tadi aku!” gumam Gio seorang diri.Gio pun memilih untuk segera bergegas keluar dari sana, supaya bisa mendatangi Bram dan Renata yang sekarang berada di ruang makan.“Ternyata kalian belum selesai makan?" Gio menatap ke arah kedua orang yang masih menyantap makanannya.“Iya, karena masakan istrimu sangatlah enak. Sehingga aku tanpa sadar sudah tambah dua kali.” Bram menyantap makanannya dengan sangat lahap.
Renata terus menatap tajam kepada Gio, ia tidak memalingkan wajahnya walaupun sedikit saja. Namun, lelaki tersebut tidak menggubrisnya, hanya diam tanpa bergerak sedikitpun. Suasana di dalam ruangan makan tersebut menjadi terasa menegangkan dan mencekam.Saat suasana seperti itu, Bram malah tertawa dengan keras seakan-akan pemandangannya di depan matanya adalah lucu.Renata yang melihat tersebut menjadi menatap ke arah Bram, ia tidak mengerti apa yang terjadi sehingga membuat lelaki tersebut menjadi tertawa.“Maafkan Aku! Ternyata sangat senang sekali menggoda kalian berdua, padahal yang kumaksud bukanlah kalian, tetapi orang lain.” Bram menutupi mulutnya supaya bisa menahan tawa.“Kau pikir ini adalah lucu apa? Memang mungkin cara bercandamu seperti ini, tetapi bagi sebagian orang ini tidaklah lucu!” Renata menggebrak meja dengan kuat, ia terus menatap tajam ke arah Bram.“Tapi walau pun ini adalah bukanlah kebohongan