"Baginda! Kumohon, ampuni dia demi putramu ini!" Pria itu bersujud dengan mukanya sampai ke lantai, memohon ampun pada sosok penuh wibawa yang kini berdiri di depannya dengan diliputi amarah. Sudah sejak beberapa menit yang lalu dia berada di posisi seperti ini. Membuang semua harga dirinya yang tersisa dan mengemis meminta ampunan demi orang yang dicintainya. "Beraninya kau melawanku hanya untuk wanita itu?!" Kaisar berteriak dengan wajahnya yang memerah dan urat-urat yang menonjol. "Sebagai seorang Putra Mahkota, kau harusnya malu! Kedua saudaramu kehilangan ibu mereka karena perbuatan bengis gadis iblis itu, dan kau masih ingin membelanya?!" "Tolong maafkan Aruna untuk kali ini saja, Ayah...." Arxen mengangkat kepalanya dan memberanikan diri menatap kaisar yang diliputi amarah. Pria itu menelan ludah. Keringat membasahi pelipisnya dan menetes hingga ke dagunya. Sorot matanya yang memelas dan penuh dengan permohonan serta rasa takut membuatnya yang berstatus sebagai Putra Mahkot
"Kali ini gagal lagi, ya."Arxen jatuh berlutut dengan tubuh yang gemetar hebat dan tangan yang menutupi telinganya, berharap suara-suara yang terus bermunculan di otaknya segera menghilang saat itu juga. Peluh membasahi seluruh tubuh pria itu dan menetes turun seperti bulir darah. Mata hazel terangnya yang terbuka lebar--setengah melotot--terlihat memerah dan bergetar. Di depan Arxen telah berdiri sosok pria misterius yang tubuhnya terlihat bersinar dengan cahaya tipis yang menyelimuti. Rambut seputih salju yang dimiliki pria itu panjangnya nyaris mencapai mata kaki, dilengkapi dengan mata abu-abu yang menatap Arxen tanpa riak apa pun. "Aruna ... mati lagi." Suara serak Arxen terdengar pelan bahkan nyaris seperti bisikan. "Aku ... gagal menyelamatkannya lagi." "Sejak awal, ini memang tidak mudah." Pria di depan Arxen menghela napas pelan. Kedua tangannya dia lipat di depan dada saat kepalanya menunduk sedikit pada Arxen yang terlihat berantakan. "Apalagi, kepribadian aslimu terlal
Pelan-pelan, kelopak mata itu mulai terbuka hingga menampilkan iris hazel terang yang indah. Mengangkat wajah dari buku yang menjadi bantal tidurnya, seorang anak laki-laki dengan rambut marigold itu mengerjap berkali-kali untuk memfokuskan pandangannya yang masih mengabur. Butuh beberapa detik agar kesadarannya bisa kembali pulih seutuhnya. Menoleh ke kanan-kiri, terlihat bahwa sekelilingnya penuh dengan rak-rak raksasa berisi ratusan bahkan mungkin ribuan buku dengan berbagai jenisnya masing-masing. Kembali meluruskan pandangan, dia mendapati berbagai jenis buku yang terbuka dan memenuhi meja di depannya. Mulai dari buku strategi perang, ilmu politik, sejarah terbentuknya kekaisaran, hingga buku usang yang sempat dijadikan bantal tidurnya tadi. Sebuah buku arkais berjudul "Sejarah Kerajaan Kuno Ellverho". Sudah dipastikan kalau dia sekarang tengah berada di sebuah perpustakaan besar nan megah. Lalu karena suasana di sekitarnya sepi dan tak seorang pun dapat dilihat oleh mata hazel
"Kalau begitu, harapanmu itu pasti berkaitan dengan hal yang Ibu inginkan darimu." Bellanca menebak tepat sasaran. Di sisi lain, diamnya Arxen membuat Bellanca jadi lebih yakin bahwa harapan yang dibilang putranya itu pasti berkaitan erat dengan keinginan Bellanca, atau setidaknya, harapan Arxen bisa dengan mudah diraih putranya saat dia berhasil memenuhi keinginan Bellanca.Bellanca sangat mengenal Arxen. Bagaimana pun, Bellanca sendiri yang merawat dan membesarkan Arxen, jadi dia tahu semua isi pikiran anak itu. Selama ini Arxen sering menolak keinginan Bellanca karena anak itu merasa apa yang diinginkan ibunya tidak sesuai dengan harapannya. Jadi Arxen tidak akan mungkin mengubah pikirannya hanya dalam semalam, jika tidak ada hal kuat yang mendasarinya. "Baiklah!" Bellanca bertepuk tangan sekali. Arxen jadi kembali fokus. "Ibu akan mengajukan pertanyaan padamu lagi, seperti kemarin.""Silakan tanyakan apa saja, Ibu." Arxen tersenyum percaya diri. "Aku pasti akan bisa menjawab se
Kerajaan Kuno Ellverho. Sebuah kerajaan yang berdiri hampir seribu tahun lalu, tepatnya saat sebelum Kekaisaran Hillario yang sekarang terbentuk. Dikisahkan bahwa kerajaan itu ada pada masa di mana sihir berada pada puncaknya, dan masa di mana berkat langsung dari para dewa dan dewi tidak lepas dari kehidupan sehari-hari manusia pada zaman itu. Berdasarkan hal itu, dikatakan juga bahwa diantara keturunan keluarga Kerajaan Ellverho, pasti akan ada satu orang yang menerima berkat dari sang dewa perang. Masa saat kerajaan itu berdiri sangat berbeda dengan sekarang. Semua hal yang dianggap biasa di masa itu, sekarang menjadi sesuatu yang langka, atau juga mustahil untuk didapatkan. Itu juga salah satu alasan kenapa Arxen awalnya menganggap Kerajaan Kuno Ellverho sebenarnya hanyalah dongeng buatan seseorang. Karena semua yang menyangkut Kerajaan tersebut sangatlah misterius dan luar biasa. Tidak bisa dipahami dan dijelaskan dengan hal yang ada sekarang.Tapi semakin terang sebuah cahaya
"Bangsawan Evanthe memberi salam pada Yang Mulia Permaisuri, dan sang bintang Kekaisaran, Yang Mulia Pangeran." Sekelompok orang menunduk memberi hormat dengan serentak. Dipimpin oleh seorang pria yang usianya sudah tidak muda lagi, dan diikuti oleh anggota keluarganya dan beberapa pelayan yang mengikut mereka untuk menyambut sang bulan dan bintang Kekaisaran."Tegakkan badan kalian." Bellanca memberi senyuman formalnya setelah orang-orang di depannya melakukan seperti yang dia perintahkan. Dia lalu mulai berucap lagi, "aku ingin berterima kasih karena kau menyetujui kunjunganku ini, Grand Duke. Kalian pasti telah melewati waktu yang sibuk karena kunjunganku dan putraku ke mari.""Itu tidak benar, Yang Mulia. Justru keluarga Evanthelah yang beruntung karena Anda berdua mau datang ke kediaman kami. " Pria tua itu menjawab dengan rendah hati. "Tentu sudah sepatutnya kami melakukan yang terbaik untuk menyambut Anda dan Yang Mulia Pangeran." Pria tua itu bersikap dengan sangat baik dan
"Perbuatan tidak sopan macam apa ini, Aruna?!" Teriakan murka Beroz membuat sang putri yang masih kecil berjengit kaget. Gadis kecil itu meringis kesakitan saat sang ayah menarik kasar tangannya, dan hanya bisa menunduk takut saat wajah ayahnya terlihat menyeramkan di matanya. "Bukankah ayah sudah menyuruhmu untuk diam di kamarmu hari ini?!" Beroz masih saja meluapkan amarahnya pada Aruna. Seolah tidak peduli pada sekelilingnya, dia terus saja meneriaki putrinya yang kini terlihat ketakutan. "Kau selalu saja membuatku malu!""Kalian juga! Dasar orang-orang tidak berguna!" Kali ini Beroz memarahi para pelayan Aruna. Dia berdecih pada mereka, "mengurus seorang anak saja tidak becus! "Sialan. Kurang ajar. Dasar sampah.Arxen terus mengumpati Beroz dalam hatinya. Arxen dengan wajah bocahnya itu terlihat geram. Tangannya terkepal erat saat dia menimbang antara apakah dia harus memukul Beroz hingga pria itu mati di sini dan menerima semua konsekuensi nantinya, atau dia hanya harus menggun
Angin yang bertiup melewati celah pepohonan membuat rambut lilac Aruna melambai-lambai. Namun gadis kecil itu seperti tak memedulikannya. Dia dengan semangat menarik Arxen untuk masuk lebih dalam lagi ke taman luas yang terletak di samping kediaman itu. Banyak bunga yang bermekaran dengan indah di taman itu, tapi semuanya seolah tidak bisa menarik perhatian Arxen yang sejak tadi hanya melihat pada sosok Aruna. Hanya Aruna dan Aruna. Satu-satunya yang ada di mata hazel itu hanya Aruna saja, seolah hal lain tidak menarik perhatiannya. "Nah, kita sampai!" Aruna melepaskan tarikannya pada Arxen saat mereka telah berhenti di tengah taman. Tidak memberi kesempatan pada Arxen untuk membuka mulutnya, Aruna segera membawa Arxen untuk duduk di salah satu bangku taman yang ada di sana. "Kakak tunggulah di sini, aku akan mengambil bunga untuk kita berdua.""Tidak, tunggu dulu." Arxen buru-buru menahan tangan Aruna sebelum gadis kecil itu benar-benar melesat pergi. Arxen tersenyum geli. Aruna k