"Perbuatan tidak sopan macam apa ini, Aruna?!"
Teriakan murka Beroz membuat sang putri yang masih kecil berjengit kaget. Gadis kecil itu meringis kesakitan saat sang ayah menarik kasar tangannya, dan hanya bisa menunduk takut saat wajah ayahnya terlihat menyeramkan di matanya."Bukankah ayah sudah menyuruhmu untuk diam di kamarmu hari ini?!" Beroz masih saja meluapkan amarahnya pada Aruna. Seolah tidak peduli pada sekelilingnya, dia terus saja meneriaki putrinya yang kini terlihat ketakutan. "Kau selalu saja membuatku malu!""Kalian juga! Dasar orang-orang tidak berguna!" Kali ini Beroz memarahi para pelayan Aruna. Dia berdecih pada mereka, "mengurus seorang anak saja tidak becus! "Sialan. Kurang ajar. Dasar sampah.Arxen terus mengumpati Beroz dalam hatinya. Arxen dengan wajah bocahnya itu terlihat geram. Tangannya terkepal erat saat dia menimbang antara apakah dia harus memukul Beroz hingga pria itu mati di sini dan menerima semua konsekuensi nantinya, atau dia hanya harus menggunakan kekuasaannya dan membuat Beroz berhenti meski hanya saat dirinya dan Bellanca ada di kediaman ini?Arxen menghela napas panjang untuk berusaha menenangkan diri yang seperti akan menggila. Dia tidak bisa diam lebih lama lagi saat Aruna yang masih kecil terlihat mulai akan menangis.Arxen baru akan membuka mulut, tapi suara dari seorang wanita di sampingnya lebih dulu terdengar."Memarahi putrimu sendiri di depan orang lain sepertinya adalah perbuatan yang lebih tidak sopan lagi, Tuan Beroz."Arxen menoleh dan sedikit mengangkat kepala melihat Ibunya yang tanpa ragu mengkritik tindakan Beroz. Bocah itu berkedip dua kali saat tatapan Ibunya terlihat datar."Ah, apakah aku terlalu ikut campur dalam urusan keluarga kalian," Bellanca kini melihat Macario, "Grand Duke?"Ekspresi Macario pada awalnya terlihat tidak terlalu baik. Apalagi, saat dia mendelik pada sang putra yang kemudian langsung melepaskan Aruna.Pria tua itu menunduk di depan Bellanca. "Sama sekali tidak, Yang Mulia. Justru saya yang memohon maaf karena Anda harus melihat hal memalukan yang telah dilakukan oleh putra dan cucu saya ini.""Aku hanya berharap hal seperti ini tidak akan terjadi lagi untuk ke depannya.""Tentu saja. Saya akan memastikan kalau Anda tidak akan pernah merasa kecewa dengan perbuatan anggota keluarga Evanthe lagi."Bellanca mengangguk. Dia lalu beralih pada Aruna yang menatapnya dengan mata bulat milik gadis itu. "Apa kau baik-baik saja, Nak?"Pada awalnya, Aruna terdiam beberapa detik sambil berkedip berkali-kali. Tapi lalu gadis itu tersenyum lebar. Dia mengangguk semangat dan menjawab, "ya!"Aruna kemudian menoleh dan menatap dengan bingung saat 'kakak yang tadi menyelamatkannya saat dia jatuh' tiba-tiba mengelus kepalanya. Apalagi, bocah yang lebih tinggi dari Aruna itu menatapnya dengan tatapan yang sama sekali tidak dapat Aruna pahami."Berhati-hatilah."Arxen mengucapkannya kemudian berlutut agar Aruna bisa menatapnya dengan lebih mudah. Tangan Arxen masih senantiasa mengelusi rambut berwarna lilac milik Aruna. Sedangkan bibirnya mengelus senyum kecut.Sejujurnya, Arxen masih sangat merindukannya. Dadanya masih berdetak dengan menyakitkan saat mengingat tentang kegagalannya yang berkali-kali tidak bisa menyelamatkan Aruna. Seperti kehidupannya yang lalu, juga saat ini. Lagi-lagi, Arxen masih saja terlalu lemah hingga tidak bisa menyelamatkan Aruna.Jauh di lubuk hatinya, Arxen merasa takut. Meski saat di depan dewa dia berkata dengan sangat yakin, sebenarnya Arxen sempat ragu. Sejak pertama kali mengulang waktu hingga detik ini, Arxen selalu dibayangi oleh pertanyaan-pertanyaan yang dia sendiri tidak tahu jawabannya.Apakah dia akan berhasil, atau justru dia akan gagal lagi?Apakah kali ini dia bisa bahagia, atau justru dia akan kembali menderita? Apakah ... dia bisa meraih cintanya? Atau alih-alih balas mencintainya, Aruna justru malah membencinya karena semua kegagalan dan kelemahannya?Dalam semua perputaran waktu kehidupan yang dijalaninya, tidak pernah sekali pun Arxen tidak merasa akan gila. Setiap detiknya Arxen terus dibayang-bayangi hal-hal yang menakutkan hingga rasanya dia ingin menghilang saja.Namun setiap kali melihat Aruna ... Arxen merasa seperti kembali dibersihkan dari semua hal-hal buruk yang menyiksanya itu."Kakak."Arxen tertegun saat Aruna meraih sebelah tangannya yang bebas dan menggenggamnya erat dengan tangan mungil gadis itu.Aruna tersenyum manis pada Arxen. "Ayo main bersamaku!"Ajakan Aruna terdengar sangat manis di telinga Arxen dan langsung membuat jantungnya lagi-lagi menggila. Senyuman Aruna bahkan berhasil menjangkit Arxen hingga dia ikut tersenyum dengan pipi yang memerah.Benar, kan?Hanya Aruna saja yang sanggup membuat Arxen bisa langsung merasakan kedamaian dan kebahagiaan walau sebelumnya dia merasa seperti akan gila dengan semua hal yang membelenggunya."Aruna, Yang Mulia Pangeran tidak datang ke mari untuk bermain denganmu." Macario mencoba memberi tahu pada cucunya. Tersenyum manis meski sorot matanya menunjukkan hal yang berlawanan. "Kau kembalilah ke kamarmu dan bermainlah di sana dengan para pelayan.""Ibu."Arxen sama sekali tidak memedulikan ucapan Macario. Dia justru balas menggenggam erat tangan Aruna dan melihat sang Ibu. "Aku boleh pergi bersama Aruna, kan?""Pangeran, Anda tidak perlu menuruti keegoisan putri saya." Ibu kandung Aruna, Yeslyhn kali ini bersuara. Dia terlihat sedikit panik dan mengulurkan tangan pada Aruna. "Ayo ikut bersama ibu, Aruna. Ibu akan menemanimu bermain."Aruna menggeleng kencang. Dia segera mendekatkan tubuhnya saat Arxen berdiri. "Tidak! Aku ingin bersama kakak!""Hm. Aku akan menemanimu dengan senang hati."Arxen terlihat berseri saat Aruna benar-benar menempel padanya. Tatapannya pada Aruna sangat lembut dan hangat, seperti tatapan pada seseorang yang sudah lama dia sayangi.Semua itu tidak luput dari pandangan Bellanca. Dia terus memerhatikan sejak tadi, dan dia sadar kalau tatapan putranya pada Aruna terasa berbeda. Anaknya itu terlihat sangat menyayangi Aruna dan seperti sudah lama mengenalnya.Bellanca sangat mengenal Arxen. Putranya itu tidak pernah bersikap sehangat ini bahkan pada saudara tirinya sendiri. Bellanca tahu Arxen memang sengaja menjaga jarak dari saudara tirinya karena tahu kalau Bellanca tidak suka melihatnya dekat dengan mereka. Tapi Bellanca sadar saat Arxen diam-diam menyayangi para saudara tirinya dan benar-benar menganggap mereka keluarga.Bellanca tahu semua jenis ekspresi yang dikeluarkan Arxen.Karena itu ... dia juga tahu ekspresi macam apa yang ditunjukkan sang putra yang baru pertama kali bertemu dengan Aruna."Ibu, aku bisa pergi, kan?"Bellanca tersenyum saat sang putra kembali bertanya. Dia lalu mengangguk tanpa ragu. "Tentu, kau bisa pergi bermain bersama Aruna.""Terima kasih, Ibu." Arxen semakin semringah."Kami pergi dulu!"Aruna segera membawa Arxen pergi dari sana. Para pelayan Aruna buru-buru mengikuti karena takut dimarahi lagi."Saya benar-benar memohon maaf." Macario menghela napas. "Cucu saya itu memang sangat keras kepala.""Dia sangat manis." Bellanca memuji jujur.Aruna yang masih kecil memang terlihat sangat lucu dan cantik. Bellanca yakin saat besar nanti, Aruna akan tumbuh menjadi gadis rupawan yang akan dipuji sebagai bunga Kekaisaran.Lebih dari itu ...,"Kalau begitu, mari kita masuk ke dalam, Yang Mulia."Bellanca mengangguk dan mulai mengikuti Macario memasuki kediaman megah milik Evanthe.Bellanca masih mengingat pertanyaan yang dilayangkan Arxen padanya tadi. Jenis pertanyaan yang seperti menuntut yang selama ini tidak pernah berani keluar dari mulut putranya yang penakut dan lemah.Arxen sudah sangat berubah di hari ini. Apalagi saat putranya menghadapi Aruna dengan sangat hati-hati dan penuh kasih membuatnya sadar kalau Arxen memandang Aruna dengan berbeda.Ini semua ... membuat Bellanca semakin tertarik untuk melihat apa yang akan terjadi ke depannya.Satu hal yang dia yakini. Di masa depan nanti, sosok Aruna pasti akan cukup memberi dampak dalam hidup putranya.***Angin yang bertiup melewati celah pepohonan membuat rambut lilac Aruna melambai-lambai. Namun gadis kecil itu seperti tak memedulikannya. Dia dengan semangat menarik Arxen untuk masuk lebih dalam lagi ke taman luas yang terletak di samping kediaman itu. Banyak bunga yang bermekaran dengan indah di taman itu, tapi semuanya seolah tidak bisa menarik perhatian Arxen yang sejak tadi hanya melihat pada sosok Aruna. Hanya Aruna dan Aruna. Satu-satunya yang ada di mata hazel itu hanya Aruna saja, seolah hal lain tidak menarik perhatiannya. "Nah, kita sampai!" Aruna melepaskan tarikannya pada Arxen saat mereka telah berhenti di tengah taman. Tidak memberi kesempatan pada Arxen untuk membuka mulutnya, Aruna segera membawa Arxen untuk duduk di salah satu bangku taman yang ada di sana. "Kakak tunggulah di sini, aku akan mengambil bunga untuk kita berdua.""Tidak, tunggu dulu." Arxen buru-buru menahan tangan Aruna sebelum gadis kecil itu benar-benar melesat pergi. Arxen tersenyum geli. Aruna k
"Genio Evanthe dan Gielza Evanthe memberi salam pada sang Bulan yang agung, Yang Mulia Permaisuri."Bellanca memerhatikan dua anak yang baru masuk dan memberi salam padanya. Yang satu adalah seorang anak laki-laki berambut lilac, dan yang satu lagi adalah seorang anak perempuan berambut cokelat. Mereka adalah anak kembar keluarga Evanthe, kakak dari Aruna. Usia mereka dua tahun lebih tua dari Arxen. "Kemari, duduklah di dekatku agar aku bisa melihat kalian dengan mudah." Bellanca memasang senyum ramahnya. Mendengar ucapan sang permaisuri, dua anak itu tanpa ragu segera mendekat dan duduk di sofa samping permaisuri, berhadapan dengan kedua orang tua mereka. "Mereka berdua adalah anak-anak kebanggaan Evanthe, Yang Mulia." Macario terlihat percaya diri saat dia mulai memuji kedua cucunya itu. "Genio telah menunjukkan kepintarannya sejak dia masih berumur delapan tahun, dan juga bakat pedangnya sejak umurnya masih sepuluh tahun. Saat ini, sihir pedangnya juga tumbuh dengan sangat baik d
Sebagai seseorang yang terlahir dengan menyandang nama Evanthe, Aruna dipaksa hidup dengan berbagai peraturan yang tidak bisa dia pahami. Aruna tidak diijinkan keluar dari kediaman. Kata orang tuanya, dunia luar itu keras. Aruna yang masih kecil dan belum membangkitkan kekuatannya tidak boleh menginjakkan kaki di luar kediaman agar tidak mempermalukan nama keluarga Evanthe.Akibatnya, selama ini Aruna tidak mempunyai teman yang seumuran dengan dirinya. Ada begitu banyak larangan dan tuntutan yang diberikan padanya. Membuat Aruna rasanya jadi tidak bisa bergerak dengan bebas. Namun, Aruna yang masih kecil tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak terlalu mengerti dengan hal lain selain bermain, makan, tidur, dan bermain lagi. Jadi, Aruna yang masih berumur tujuh tahun hanya bisa menuruti semua ucapan yang dilontarkan oleh orang tua dan kakeknya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya Aruna bertemu dengan seorang anak yang bukan bagian dari keluarganya
"Baiklah, jika kau memang seyakin itu, Ibu akan menunda sebentar masalah pertunangan ini."Setelah suasana terdiam sangat lama setelah Arxen menyampaikan isi pikirannya, akhirnya Bellanca mengambil keputusan yang menyenangkan hati Arxen saat kereta yang mereka naiki ini memasuki istana permaisuri. Lagi pula ... Bellanca yakin keyakinan Arxen bukan keyakinan kosong yang tidak berdasar. Hanya dalam semalam, Arxen berubah jadi sosok yang sangat berbeda. Dia terlihat lebih pandai, berani, dan mulai menilai situasi yang dihadapinya dengan lebih bijaksana. Arxen yang dulu memiliki sifat yang lemah dan penakut, kini mulai mengutarakan pikirannya dengan berani. Arxen yang seperti itu pasti memiliki alasan kuat di balik dirinya yang seperti bersikeras demi putri bungsu Evanthe. Bellanca melirik putranya, "sebagai gantinya, kau tidak keberatan, kan, jika Ibu meminta keluarga Evanthe untuk segera mendidik gadis kecil itu?" Arxen tidak
Arxen melanjutkan perjalanan menuju ke istananya sendiri setelah meninggalkan Damon dan Daryan. Kakinya melangkah dengan ringan dan pasti, tanpa keraguan sedikit pun. Tubuhnya tegap dengan tatapan mata yang terlihat teguh. Memancarkan aura agung yang dimiliki oleh si bocah berambut marigold dan bermata hazel terang tersebut. Sepanjang perjalanan, ada beberapa selir dan para pangeran serta putri yang menyapanya, tapi Arxen tidak memedulikan mereka. Seolah mereka adalah sesuatu yang tak terlihat oleh matanya, Arxen mengabaikan semua sapaan mereka. "Selamat datang kembali, Yang Mulia Pangeran." Para pelayan yang berbaris rapih langsung memberi sambutan hangat dengan penuh hormat saat Arxen menginjakkan kaki di istananya sendiri."Apakah perjalanan Anda menyenangkan?" Menanggapi dengan anggukan singkat, Arxen tidak terlalu memedulikan tatapan dari banyak pelayan yang seperti bersinar ke arahnya. Arxen tahu arti tatapan itu. Semua pasti penasaran karena tahu Arxen pergi ke kediaman Eva
Aruna menunduk dalam, tidak berani mengangkat kepala dan melihat situasi yang sedang terjadi di depannya. Gadis kecil itu memainkan jemarinya yang dingin saat dia merasakan atmosfer tak mengenakkan. "Tuan, Nyonya, tolong pikirkanlah sekali lagi." Seorang pelayan tetap berusaha untuk mengutarakan isi pikirannya pada Beroz dan Yeslyhn meski dia juga terlihat takut dan seluruh tubuhnya gemetar. "Mendidik etika Nona mungkin masuk akal, tapi masih tidak benar bagi Nona yang masih kecil mengikuti pelatihan untuk membangkitkan kekuatan sihirnya."Pelayan itu berusaha membela. Sebenarnya, meski sangat ketakutan hingga rasanya dia tidak sanggup berdiri tegak, dia tetap berusaha menyampaikan apa yang dipikirkannya. Bagaimana pun, kejadian beberapa hari lalu saat Aruna dihukum dengan kejam dan dia hanya diam tidak bisa melakukan apa pun itu cukup disesalinya. Apalagi, saat mengingat tatapan permintaan tolong dan kekecewaan Aruna yang gadis kecil itu layangkan membuat hatinya seperti diiris. Dia
Hanya dalam satu kedipan mata, lima buah sasaran yang terbuat dari kayu itu meledak dan hancur berkeping-keping. Mengundang sorakan penuh kekaguman dari orang-orang yang masih tidak menyangkanya. Orang-orang langsung memandang ke satu titik, melihat Arxen yang memasang wajah tanpa ekspresi. "Luar biasa, Pangeran!" Seorang pria mendekati Arxen. Salah satu penyihir tingkat atas di Kekaisaran Hillario yang dipercaya untuk menjadi guru sihir para pangeran. Dia memuji dengan wajah berseri, "sihir anda telah tumbuh dengan sangat baik dalam beberapa hari ini. Tingkat akurasi serta intensitasnya pun nyaris sempurna! Ini benar-benar sebuah kemajuan yang luar biasa!" "Arxen, kau benar-benar hebat!" "Ah, kau membuatku iri. Orang yang memiliki bakat sihir sepertimu sangat berbeda dariku." Berbagai jenis ucapan itu tidak membuat Arxen bereaksi. Meski para pangeran lain bahkan gurunya sendiri memuji performa kekuatan sihirnya hari ini, Arxen sama sekali tid
"Ibu." Arxen memasuki kamar Permaisuri dan memanggil saat tidak ada orang yang menyadari keberadaannya. Panggilan Arxen lantas membuat semua orang menoleh. Ibunya yang tengah menikmati waktu minum tehnya, juga para pelayan yang langsung menunduk memberi hormat padanya. "Oh? Kau datang?" Bellanca menurunkan cangkir tehnya dan membuat gerakan yang mengisyaratkan agar sang putra mendekat. "Kebetulan aku sedang mencicipi teh yang dikirim pamanmu. Kemarilah, cobalah ini bersamaku." Arxen mengangguk kemudian mengambil tempat di sofa depan ibunya. Duduk manis, menunggu pelayan mempersiapkan cangkir dan menuangkan teh untuknya. "Aromanya cukup kuat." Arxen menyesap teh di cangkir setelah menghirup aromanya. "Ini teh dari Catheossirus?""Oh? Bagaimana kau tahu?" Bellanca tidak menyangka kalau putranya akan tahu asal teh yang bahkan baru pertama kali dia coba. "Kudengar kalau paman berhasil membangun kerja sama dengan Bangsawan Aradea