"Kali ini gagal lagi, ya."
Arxen jatuh berlutut dengan tubuh yang gemetar hebat dan tangan yang menutupi telinganya, berharap suara-suara yang terus bermunculan di otaknya segera menghilang saat itu juga. Peluh membasahi seluruh tubuh pria itu dan menetes turun seperti bulir darah. Mata hazel terangnya yang terbuka lebar--setengah melotot--terlihat memerah dan bergetar.Di depan Arxen telah berdiri sosok pria misterius yang tubuhnya terlihat bersinar dengan cahaya tipis yang menyelimuti. Rambut seputih salju yang dimiliki pria itu panjangnya nyaris mencapai mata kaki, dilengkapi dengan mata abu-abu yang menatap Arxen tanpa riak apa pun."Aruna ... mati lagi." Suara serak Arxen terdengar pelan bahkan nyaris seperti bisikan. "Aku ... gagal menyelamatkannya lagi.""Sejak awal, ini memang tidak mudah." Pria di depan Arxen menghela napas pelan. Kedua tangannya dia lipat di depan dada saat kepalanya menunduk sedikit pada Arxen yang terlihat berantakan. "Apalagi, kepribadian aslimu terlalu lembut. Kau tidak akan bisa meraih apa pun jika kau terus seperti ini."Arxen tertegun. Tubuhnya membeku.Kepribadiannya terlalu ... lembut?Itu ... yang menjadi alasan dari setiap kegagalannya selama ini?Pria dengan rambut berwarna marigold dan pemilik mata hazel terang itu lalu terkekeh setelah menyadari sesuatu."Benar. Ini kesalahanku." Setetes air mata berhasil lolos dari mata itu. Arxen lalu melanjutkan dengan lirih, "Aruna mati karena kesalahanku. Karena aku yang lemah dan terlalu memercayai orang-orang busuk itu, Aruna yang harus menjadi korban. Ini semua ... kesalahanku.""Lalu, sekarang kau mau bagaimana?"Arxen langsung mengangkat wajah setelah mendengar pertanyaan pria itu. Dia memperbaiki posisinya dan menatap pria di depannya dengan tatapan memohon.Arxen menyatukan kedua tangannya di depan dada, lagi-lagi mengemis hanya untuk satu orang yang sama. Sosok orang yang selama ini tak pernah berhenti menjadi alasan dari setiap tindakan dan keputusan yang Arxen ambil."Tolong berikan kesempatan padaku lagi, dewa. Aku ... benar-benar ingin menyelamatkan Aruna."Suara Arxen terdengar putus asa.Kali ini, dia bersujud dengan mukanya sampai ke lantai. Untuk yang kesekian kalinya, Arxen kembali membuang harga diri dan kebanggaannya dan mengemis untuk keselamatan Aruna.Dia sangat ingin menyelamatkan Aruna, gadis yang paling dicintainya di dunia ini. Arxen ingin hidup bersama Aruna, melindunginya, dan mencurahkan seluruh cintanya pada gadis itu.Arxen ingin hidup bahagia bersama Aruna meski hanya untuk satu kehidupan saja."Aku sangat mencintainya. Aku tidak ingin berpisah dengan Aruna seperti ini." Air mata Arxen mulai keluar membasahi lantai. Dia terlihat hancur dan hanya fokus dengan permohonan kepada sosok dewa di depannya yang dianggap sebagai satu-satunya penyelamat yang dimilikinya."Dewa Khranos ... hanya dewa saja yang bisa menolongku." Tangan Arxen terkepal erat. "Aku mohon, bantu aku, dewa.""Jiwamu sudah nyaris hancur." Pria yang dipanggil dewa itu terlihat tenang. Manik abu-abunya menyorot Arxen dalam. "Sekali saja kau gagal lagi, jiwamu akan hancur sepenuhnya dan menghilang. Kau tidak akan bisa bereinkarnasi.""Aku tidak peduli, dewa. Aku hanya menginginkan Aruna." Arxen langsung mengangkat kepala dan menatap Khranos di depannya. Mata sembab Arxen terlihat jujur dan putus asa di saat yang bersamaan. "Menghilang selamanya pun tidak apa-apa."Khranos terdiam cukup lama hingga Arxen khawatir kalau permintaannya akan ditolak. Arxen takut. Jika Khranos menolak untuk memenuhi permintaannya ... maka semua akan berakhir sia-sia.Tapi di luar dugaan, sang dewa justru melontarkan pertanyaan yang tak disangka olehnya."Apa kau tidak lelah?" Suara Khranos terdengar datar, tapi Arxen merasa ada sesuatu dibaliknya. "Menghabiskan puluhan tahun untuk mengulang kehidupan yang sama berulang kali pasti sangat menyiksa seorang manusia biasa sepertimu."Mata Arxen sedikit melebar mendengar pertanyaan itu. Tapi lalu dia justru mengulas senyuman lemah dan menjawab tanpa ragu."Itu memang sangat menyiksa." Arxen menjawab jujur. "Aku selalu merasa cemas dan menderita hingga rasanya akan gila. Aku tahu hal-hal yang akan terjadi di sana, entah itu hal baik atau pun hal buruk. Semua itu terasa seperti beban yang mencoba meremukkanku.""Lalu kenapa kau tidak berhenti?""Aku tidak bisa." Senyum Arxen semakin melebar seiring dengan pipinya yang basah oleh air mata yang mengalir semakin deras. "Semua hal itu memang menyiksaku. Tapi yang paling membuatku hancur ... adalah saat aku terpaksa harus melihat wanita yang kucintai mati di depan mataku, karena ketidakberdayaanku untuk menyelamatkannya."Jawaban Arxen membuat tubuh Khranos menjadi kaku. Manik kelabunya bergetar dan berkilat merah saat urat-urat di dahinya mulai menonjol. Tapi sang dewa berusaha keras mengontrol emosi yang dirasakannya sebelum mata Arxen bisa menangkap perubahan tersebut. "Karena itu, meski jiwaku akan hancur dan menghilang selamanya, aku tidak akan menyesali ini." Arxen berucap yakin. "Aku akan tetap menyelamatkan Aruna.""Kuharap kau akan memegang perkataanmu ini."Sang dewa mulai mengangkat sebelah tangannya. Saat itu juga, muncul sebuah lingkaran raksasa yang dipenuhi angka dan belasan jarum panjang terukir di lantai yang mereka pijaki. Tanda itu mengeluarkan cahaya terang dan angin yang entah berasal dari mana menerpa mereka dengan cukup kuat.Penampilan dewa itu juga ikut berubah. Manik abu-abunya kini jadi berwarna perak dan memiliki ukiran sebuah simbol rumit berwarna keemasan. Sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyum yang tidak dapat diartikan."Aku akan menghapus beberapa ingatan yang tidak penting agar jiwamu bisa bertahan." Seiring dengan ucapannya itu, jarum raksasa di bawah mereka mulai berputar dengan perlahan. Senyum Khranos semakin mengembang, "sekarang, jiwamu bisa mendapat sedikit ketenangan dan kau bisa fokus dengan tujuanmu."Setelah mengatakan itu, jarum tiba-tiba berputar dengan sangat cepat dan seperti tak terkendali, lalu secara tiba-tiba membawa Arxen menghilang dari sana.Khranos masih diam di tempatnya saat suasana di tempat itu berangsur-angsur kembali tenang. Jam raksasa menghilang, dan angin pun reda. Iris perak yang muncul mulai memudar dan mengembalikan iris abu-abu yang semula."Sepertinya, kau benar-benar berniat menghancurkan dunia ini hanya untuk keturunan gadis setengah peri itu, ya. Kau bahkan sampai memanfaatkan manusia yang putus asa dan bergantung padamu itu."Khranos menoleh saat mengenali suara menyebalkan seseorang. Dia lalu membalikkan badannya, menatap datar seorang pria berambut navy yang tersenyum padanya.Sosok itu terlihat agung. Sekeliling tubuh pria itu memiliki sinar tipis yang lebih terang dari miliknya dan kakinya juga memijak di udara, seolah lantai ruangan ini sama sekali tidak layak untuk menjadi pijakannya.Khranos sangat mengenalnya. Orang itu adalah salah satu dari dua orang selain dirinya sendiri yang bisa masuk dengan mudah ke ruang dimensi yang dia ciptakan ini."Kau melakukan sejauh ini hanya untuk mengubah takdir si Putri Perak?" Senyum pria misterius itu semakin manis saat dia melanjutkan, "Kau akan menghancurkan dunia ini karena keegoisanmu. "Khranos mengernyit mendengar ucapan yang dilontarkan orang di depannya. Terasa sangat menjengkelkan sampai dia rasanya ingin melontarkan kekuatannya pada pria berambut navy itu."Apa yang kau inginkan dengan datang ke sini, Althopheus?"Khranos memberi aura yang tak bersahabat dengan datangnya sosok dewa yang dia panggil sebagai Althopheus. Amarah dan dendam lama terhadap orang itu yang hampir berhasil dia kubur kini menguar lagi dengan kedatangan pria itu. Apalagi, setelah mendengar perkataan Arxen tadi membuat sebuah tragedi lama yang memilukan kembali teringat olehnya."Apakah aku tidak boleh datang menemui saudaraku sendiri?" Althopheus menjawab dengan kekehan. Sama sekali tidak terusik dengan aura permusuhan yang dilayangkan dewa Khranos padanya. "Lagi pula, Vheroz secara khusus memohon padaku untuk menyeretmu kembali ke Caeleus karena kau terlihat berencana untuk menghancurkan dunia ini karena terobsesi dengan seorang gadis manusia.""Hentikan omong kosongmu, dan enyah dari sini jika kau datang hanya untuk mengajakku berkelahi.""Kau sangat dingin terhadap orang yang kau mintai tolong dulu, ya." Althopheus geleng-geleng dengan senyum guyonnya. Namun ekspresinya berubah sedetik kemudian.Dia terlihat serius saat menatap Khranos. "Aku datang untuk menagih balasan atas bantuanku padamu dulu, Khranos."***Pelan-pelan, kelopak mata itu mulai terbuka hingga menampilkan iris hazel terang yang indah. Mengangkat wajah dari buku yang menjadi bantal tidurnya, seorang anak laki-laki dengan rambut marigold itu mengerjap berkali-kali untuk memfokuskan pandangannya yang masih mengabur. Butuh beberapa detik agar kesadarannya bisa kembali pulih seutuhnya. Menoleh ke kanan-kiri, terlihat bahwa sekelilingnya penuh dengan rak-rak raksasa berisi ratusan bahkan mungkin ribuan buku dengan berbagai jenisnya masing-masing. Kembali meluruskan pandangan, dia mendapati berbagai jenis buku yang terbuka dan memenuhi meja di depannya. Mulai dari buku strategi perang, ilmu politik, sejarah terbentuknya kekaisaran, hingga buku usang yang sempat dijadikan bantal tidurnya tadi. Sebuah buku arkais berjudul "Sejarah Kerajaan Kuno Ellverho". Sudah dipastikan kalau dia sekarang tengah berada di sebuah perpustakaan besar nan megah. Lalu karena suasana di sekitarnya sepi dan tak seorang pun dapat dilihat oleh mata hazel
"Kalau begitu, harapanmu itu pasti berkaitan dengan hal yang Ibu inginkan darimu." Bellanca menebak tepat sasaran. Di sisi lain, diamnya Arxen membuat Bellanca jadi lebih yakin bahwa harapan yang dibilang putranya itu pasti berkaitan erat dengan keinginan Bellanca, atau setidaknya, harapan Arxen bisa dengan mudah diraih putranya saat dia berhasil memenuhi keinginan Bellanca.Bellanca sangat mengenal Arxen. Bagaimana pun, Bellanca sendiri yang merawat dan membesarkan Arxen, jadi dia tahu semua isi pikiran anak itu. Selama ini Arxen sering menolak keinginan Bellanca karena anak itu merasa apa yang diinginkan ibunya tidak sesuai dengan harapannya. Jadi Arxen tidak akan mungkin mengubah pikirannya hanya dalam semalam, jika tidak ada hal kuat yang mendasarinya. "Baiklah!" Bellanca bertepuk tangan sekali. Arxen jadi kembali fokus. "Ibu akan mengajukan pertanyaan padamu lagi, seperti kemarin.""Silakan tanyakan apa saja, Ibu." Arxen tersenyum percaya diri. "Aku pasti akan bisa menjawab se
Kerajaan Kuno Ellverho. Sebuah kerajaan yang berdiri hampir seribu tahun lalu, tepatnya saat sebelum Kekaisaran Hillario yang sekarang terbentuk. Dikisahkan bahwa kerajaan itu ada pada masa di mana sihir berada pada puncaknya, dan masa di mana berkat langsung dari para dewa dan dewi tidak lepas dari kehidupan sehari-hari manusia pada zaman itu. Berdasarkan hal itu, dikatakan juga bahwa diantara keturunan keluarga Kerajaan Ellverho, pasti akan ada satu orang yang menerima berkat dari sang dewa perang. Masa saat kerajaan itu berdiri sangat berbeda dengan sekarang. Semua hal yang dianggap biasa di masa itu, sekarang menjadi sesuatu yang langka, atau juga mustahil untuk didapatkan. Itu juga salah satu alasan kenapa Arxen awalnya menganggap Kerajaan Kuno Ellverho sebenarnya hanyalah dongeng buatan seseorang. Karena semua yang menyangkut Kerajaan tersebut sangatlah misterius dan luar biasa. Tidak bisa dipahami dan dijelaskan dengan hal yang ada sekarang.Tapi semakin terang sebuah cahaya
"Bangsawan Evanthe memberi salam pada Yang Mulia Permaisuri, dan sang bintang Kekaisaran, Yang Mulia Pangeran." Sekelompok orang menunduk memberi hormat dengan serentak. Dipimpin oleh seorang pria yang usianya sudah tidak muda lagi, dan diikuti oleh anggota keluarganya dan beberapa pelayan yang mengikut mereka untuk menyambut sang bulan dan bintang Kekaisaran."Tegakkan badan kalian." Bellanca memberi senyuman formalnya setelah orang-orang di depannya melakukan seperti yang dia perintahkan. Dia lalu mulai berucap lagi, "aku ingin berterima kasih karena kau menyetujui kunjunganku ini, Grand Duke. Kalian pasti telah melewati waktu yang sibuk karena kunjunganku dan putraku ke mari.""Itu tidak benar, Yang Mulia. Justru keluarga Evanthelah yang beruntung karena Anda berdua mau datang ke kediaman kami. " Pria tua itu menjawab dengan rendah hati. "Tentu sudah sepatutnya kami melakukan yang terbaik untuk menyambut Anda dan Yang Mulia Pangeran." Pria tua itu bersikap dengan sangat baik dan
"Perbuatan tidak sopan macam apa ini, Aruna?!" Teriakan murka Beroz membuat sang putri yang masih kecil berjengit kaget. Gadis kecil itu meringis kesakitan saat sang ayah menarik kasar tangannya, dan hanya bisa menunduk takut saat wajah ayahnya terlihat menyeramkan di matanya. "Bukankah ayah sudah menyuruhmu untuk diam di kamarmu hari ini?!" Beroz masih saja meluapkan amarahnya pada Aruna. Seolah tidak peduli pada sekelilingnya, dia terus saja meneriaki putrinya yang kini terlihat ketakutan. "Kau selalu saja membuatku malu!""Kalian juga! Dasar orang-orang tidak berguna!" Kali ini Beroz memarahi para pelayan Aruna. Dia berdecih pada mereka, "mengurus seorang anak saja tidak becus! "Sialan. Kurang ajar. Dasar sampah.Arxen terus mengumpati Beroz dalam hatinya. Arxen dengan wajah bocahnya itu terlihat geram. Tangannya terkepal erat saat dia menimbang antara apakah dia harus memukul Beroz hingga pria itu mati di sini dan menerima semua konsekuensi nantinya, atau dia hanya harus menggun
Angin yang bertiup melewati celah pepohonan membuat rambut lilac Aruna melambai-lambai. Namun gadis kecil itu seperti tak memedulikannya. Dia dengan semangat menarik Arxen untuk masuk lebih dalam lagi ke taman luas yang terletak di samping kediaman itu. Banyak bunga yang bermekaran dengan indah di taman itu, tapi semuanya seolah tidak bisa menarik perhatian Arxen yang sejak tadi hanya melihat pada sosok Aruna. Hanya Aruna dan Aruna. Satu-satunya yang ada di mata hazel itu hanya Aruna saja, seolah hal lain tidak menarik perhatiannya. "Nah, kita sampai!" Aruna melepaskan tarikannya pada Arxen saat mereka telah berhenti di tengah taman. Tidak memberi kesempatan pada Arxen untuk membuka mulutnya, Aruna segera membawa Arxen untuk duduk di salah satu bangku taman yang ada di sana. "Kakak tunggulah di sini, aku akan mengambil bunga untuk kita berdua.""Tidak, tunggu dulu." Arxen buru-buru menahan tangan Aruna sebelum gadis kecil itu benar-benar melesat pergi. Arxen tersenyum geli. Aruna k
"Genio Evanthe dan Gielza Evanthe memberi salam pada sang Bulan yang agung, Yang Mulia Permaisuri."Bellanca memerhatikan dua anak yang baru masuk dan memberi salam padanya. Yang satu adalah seorang anak laki-laki berambut lilac, dan yang satu lagi adalah seorang anak perempuan berambut cokelat. Mereka adalah anak kembar keluarga Evanthe, kakak dari Aruna. Usia mereka dua tahun lebih tua dari Arxen. "Kemari, duduklah di dekatku agar aku bisa melihat kalian dengan mudah." Bellanca memasang senyum ramahnya. Mendengar ucapan sang permaisuri, dua anak itu tanpa ragu segera mendekat dan duduk di sofa samping permaisuri, berhadapan dengan kedua orang tua mereka. "Mereka berdua adalah anak-anak kebanggaan Evanthe, Yang Mulia." Macario terlihat percaya diri saat dia mulai memuji kedua cucunya itu. "Genio telah menunjukkan kepintarannya sejak dia masih berumur delapan tahun, dan juga bakat pedangnya sejak umurnya masih sepuluh tahun. Saat ini, sihir pedangnya juga tumbuh dengan sangat baik d
Sebagai seseorang yang terlahir dengan menyandang nama Evanthe, Aruna dipaksa hidup dengan berbagai peraturan yang tidak bisa dia pahami. Aruna tidak diijinkan keluar dari kediaman. Kata orang tuanya, dunia luar itu keras. Aruna yang masih kecil dan belum membangkitkan kekuatannya tidak boleh menginjakkan kaki di luar kediaman agar tidak mempermalukan nama keluarga Evanthe.Akibatnya, selama ini Aruna tidak mempunyai teman yang seumuran dengan dirinya. Ada begitu banyak larangan dan tuntutan yang diberikan padanya. Membuat Aruna rasanya jadi tidak bisa bergerak dengan bebas. Namun, Aruna yang masih kecil tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak terlalu mengerti dengan hal lain selain bermain, makan, tidur, dan bermain lagi. Jadi, Aruna yang masih berumur tujuh tahun hanya bisa menuruti semua ucapan yang dilontarkan oleh orang tua dan kakeknya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya Aruna bertemu dengan seorang anak yang bukan bagian dari keluarganya