Sereia Paman, aku sudah mendiskusikannya dengan adik-adikku dan mereka setuju untuk ikut. Tidak. Mereka memang harus ikut. Aku memaksa mereka. Kalau tidak, mereka tidak mau. Itu karena mereka berpikir paman dan anggota keluarga yang lain jahat sehingga mereka menolak untuk tinggal disana. Namun, paman akhirnuya menawari kami dengan sendirinya untuk tinggal disana sehingga aku pikir paman dan yang lain berubah. Meskipun begitu, sulit untuk meyakinkan ketiga adik-adikku. Mereka menyayangkan harus berpisah dengan teman-temannya tetapi seiring berjalannya waktu, hati mereka pasti akan terbuka pada kalian kalau kalian bersikap baik. Sekali lagi terima kasih paman. "Kamu akan menabrak batu jika tidak melihat jalan."Seseorang berkata dibelakang Sereia. Sereia tidak menoleh karena sudah tahu siapa yang berbicara. Dia tidak menanggapi dan berjalan semakin cepat. Ekspresi wajahnya yang tenang berubah menjadi dingin. Meskipun El tidak melihat wajah Sereia, tetapi dia tahu perempuan itu marah
Sepanjang perjalanan, Sereia tidak memberontak. Tetapi ditawari makanan dan minuman juga tidak mau. Yang dilakukan perempuan itu hanya diam seribu bahasa. El akhirnya menyerah dan memutuskan untuk membawakan Sereia minuman seadanya yang berada di rumahnya yaitu teh hangat. "Aku membawa beberapa makanan dari tempatku bekerja. Kamu mau memakannya?" tanya El. Sereia masih saja diam dan menatap ke depan dengan tatapan kosong. "Minumlah! Aku akan mengambilkan makanan!" kata El. Karena takut Sereia kabur, jadi El membuat es teh di depan perempuan itu. Tetapi untuk mengambil makanan, dia harus ke belakang. Dia mewaspadai Sereia bakal kabur. Dia pun melakukannya dengan terburu-buru. Setelah kembali ke depan, EL menghela nafas lega. Sereia tidak kabur. El menaruh makanan di atas meja di depan Sereia disampng segelas teh. Sereia bahkan masih belum emminum tehnya."Apakah yang satu ini aku juga harus memaksamu?" tanya El. "Tenang saja. Aku tidak menaruh sesuatu di dalamnya.""Mau sampai kap
"Kakak, aku tidak suka tinggal disini," keluh Flosie. Sudah beberapa hari berlalu semenjak Sereia dan ketiga adiknya tinggal di rumah keluarga besar ayahnya. Erix masih belum ingin berdamai dengan Sereia. Sementara Kai dan Flosie sering mengeluh ingin pulang ke rumah orang tuanya saja. Sereia sendiri dipusingkan oleh masalah pekerjaan meskipun dia lebih banyak terlibat dengan bosnya tetapi tampaknya rekan-rekan kerjanya mulai menunjukkan sifat dan perilaku tidak suka kepadanya. "Sabar ya, tunggu kakak punya banyak uang terus kita bisa mencari tempat tinggal yang lebh baik," jawab Sereia."Kenapa kita tidak pulang ke rumah saja kak? Kenapa harus mencari rumah lagi?" tanya Ki.Tentu saja alasanannya karena Elias. Sereia yakin saat ini lelaki itu sedang mencari-cari dirinya. Semenjak hari itu, dia memutuskan untuk menghilang tanpa meninggalkan jejak supaya El tidak mudah menemukannya. JIka lelaki itu sampai menemukannya, entah apa yang akan dia lakukan padanya dan adik-adiknya. "Karen
Sereia berangkat kerja pagi-pagi sekali. Karena rumah pamannya ini dekat sekali dengan kota, sehingga dia tidak begitu mengalami kesulitan dalam mencari angkutan umum untuk menuju kantor. Sereia menghela nafas saat sudah berada di dalam bus. Dia telah membicarakan dengan pamannya niatnya ingin menyekolahkan adik-adiknya di sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya sekarang. Namun, dia harus pergi bekerja sehingga dia mungkin tidak akan sempat. Lalu pamannya menawarkan diri akan mengambil alih melakukan itu.Sereia tidak begitu lega. Dia sekarang mencemaskan ketiga adiknya. Terutama Erix. "Kupikir ini adalah keputusan yang paling tepat untuk menjauhinya tetapi jika sampai membuat mereka menderita, maka aku begitu bodoh," batin Sereia. Sereia lagi-lagi menyalahkan El. Sesampainya di kantor, Sereia langsung waspada. Dia berharap El tidak mencarinya sampai kesini. Dia telah izin pada Samuel libur sementara waktu untuk mengurus kepindahannya dan bosnya itu mengizinkannya. Tak masalah
"Bagaimana?" tanya Sereia pada Samuel. Setelah mengintip, Sereia kembali bekerja. Lalu ketika bertemu dengan bosnya, Sereia bertanya. "Dia mencarimu," jawab Samuel. "Aku tahu. Apakah dia mengatakan sesuatu selain mencariku? Dia tidak mengancammu kan?" "Apakah menurutmu orang seperti dia tidak suka mengancam orang lain? Dia tampaknya lebih kuat daripada preman-preman yang menyerangku waktu itu," kata Samuel. "Dia memiliki banyak teman," kata Sereia khawatir. "Kamu terlihat cemas," ujar Samuel. "Sudah makan siang apa belum?" "Bagaimana bisa aku bersantai-santai makan siang." "Tidak perlu khawatir. Dia tidak akan mengganggumu. Dia bertanya apakah kamu di dalam atau tidak. Jika aku mengatakan tidak, dia akan masuk secara paksa untuk mencarimu. Tetapi aku memgatakan kamu di dalam lalu dia langsung pergi begitu saja tidak berniat mencarimu di dalam." "Aku tidak pernah bertemu dengannya selama beberapa hari ini sejak aku pindah," kata Sereia. "Itu berarti kamu berhasil. Kamu beren
"Paman, tolong jelaskan ini kepadaku!"Sereia memperlihatkan lebam ungu kebiruan di kulit tangan Erix. Dia bertanya dengan nada marah dan sorot matanya terlihat begitu tajam. Pria yang dipanggil paman itu menelan ludahnya. "Mana mungkin paman tahu Sereia. Erix, apa yang kamu lakukan sampai mendapat luka seperti itu?" tanya pria itu.Erix hanya diam saja. Anak itu malah memandangi Samuel dari atas sampai bawah. Kakaknya, Sereia sebelumnya tidak memiliki bau wangi seperti ini dan penampilannya terkadang seperti habis berlari jauh. Namun sekarang, kakaknya masih terlihat cantik dan menawan. Kakaknya naik mobil bersama pria tampan itu. Erix tidak mempedulikan bagaimana paman dan bibinya memperlakukannya. Namun dia malah mempedulikan hubungan kakaknya dengan Samuel."Erix jawab! Kenapa kamu diam saja?!" tanya Sereia seraya merangkul pundak Erix."Ini semua salahmu Sereia. Gara-gara kamu membawa kita kesini padahal sudah tahu kalau kita akan selalu berakhir seperti ini," ucap Erix. Dia ak
"Apakah semuanya baik-baik saja?"Samuel menempelkan gelas berisi es kopi ke pipi Sereia yang sedang melamun. Sereia langsung tersadar dan tersenyum kepada Samuel."Iya.""Jangan sungkan untuk memberitahuku jika butuh sesuatu. Mengerti?"Sereia mengangguk. "Terima kasih."Samuel tersenyum semakin lebar dan menaruh gelas berisi es kopi di meja Sereia. Beberapa karyawan cemburu dengan perlakuannya."Bos jangan pilih kasih dong. Kami juga mau dibelikan es kopi gratis.""Kalian punya kaki kan? Tinggal turun sendiri apa susahnya!"Beberapa menatap Sereia kesal tetapi Sereia justru tersenyum ramah.Sereia tidak tahu kalau El berkeliaran di sekitar kantor Samuel. Dia merokok bersama beberapa temannya yang juga masih belum mendapatkan pekerjaan. El masuk sore sehingga dia masih bisa bersantai pagi ini."Jadi sekarang kau suka nongkrong disini ya El?""Kenapa kalian semua kesini?"El bertanya dengan dingin."Kalian tidak tahu? Sereia pindah bekerja disitu dan El disini hanya untuk mengawasinya
"Sereia."Sereia menoleh ke Gina. Dia sedang mengambil minuman kaleng. "Aku sudah memberikan pesananmu kepadanya. Awalnya dia menolakku dengan dingin tetapi akhirnya mau menerima makanannya juga bahkan berterima kasih.""Aku tidak pernah menyangka dia akan mengucapkan terima kasih," kata Sereia dengan ekspresi sedikit lega."Kenapa?""Karena dia tidak pernah berterima kasih padaku sebelumnya.""Dia itu kekasihmu bukan?""Bukan. Hanya seorang teman. Tapi aku malas berteman dengannya karena sikapnya yang buruk. Intinya hubungan kami tidak memiliki unsur romantis apapun.""Orang-orang menganggap kalau kalian berpacaran. Bahkan di restoran tadi ada yang bilang kalau waktu itu dia sempat menciummu.""Kamu belum tahu ya bagaimana dia kalau berada di hadapanku?"Gina menggelengkan kepalanya."Apakah aku harus mengetahuinya?""Kapan-kapan akan kuperkenalkan kepadamu."Gina melihat ke arah lain. "Tidak perlu Sereia.""Tidak apa-apa. Sudah kukatakan sebelumnya kan? Sangat aneh mendengarnya ber