"Memangnya apa saja yang kalian lakukan?! Kenapa bisa seperti ini?" Rey bertanya dengan tegas, namun masih menjaga nada suaranya agar tidak mengganggu pasien lain di rumah sakit itu. Saat ini dia berada di lorong rumah sakit bersama beberapa penjaga di apartemennya.
Beberapa penjaga itu hanya bisa tertunduk tanpa mengucapkan sepatah kata. Mereka tahu bahwa hanya keajaiban yang bisa menyelematkan mereka dari situasi seperti ini.
Sementara itu, Helen yang sudah sadarkan diri bisa mendengar suara Rey dari balik pintu itu sebelum kemudian dia melihat Rey masih ke ruang tempat dia dirawat.
"Sampai seperti ini yang kau lakukan hanya demi bisa lepas dariku?" Rey bertanya sambil berjalan mendekat. Helen menatap pria itu dengan was-was. Dia merasa kalau tulang-tulangnya sudah remuk sekarang.
"Apa yang dikatakan dokter?" tanya Helen berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia belum siap menerima amukan Rey saat ini.
"Tidak ada. Hanya ada beberapa bagian yang bermasalah, tapi tak sampai patah tulang," jawab Rey. Helen entah kenapa akhirnya merasa lega.
Helen merasa tidak punya waktu untuk meladeni Rey saat ini. Dia memilih untuk memejamkan mata dan tidak peduli pada apa pun yang akan dilakukan oleh Rey.
Ketika dia membuka matanya, ternyata Rey sudah tidak ada di sana. Namun Rey kembali dengan membawa makanan dan juga obat yang harus diminum oleh Helen nantinya.
"Kau harus segera keluar dari rumah sakit ini. Jadi aku ingin kau cepat sembuh. Setelah ini, jangan pernah berpikir bisa melarikan diri lagi dariku." Rey mengangkat sendok dan hendak menyuapi makanan itu pada Helen.
Dengan sedikit takut dan ragu, Helen pun membuka mulutnya, menerima suapan dari Rey. Dia tidak mau menambah masalah kali ini. Memilih untuk mengalah dan menurut ketika Rey memintanya untuk menghabiskan obat dari dokter.
"Bagus, setidaknya kau akan sembuh dengan cepat. Istirahatlah. Kau masih harus menginap dalam beberapa di sini." Rey akhirnya pergi dari sana. Membiarkan Helen beristirahat.
Namun jangan mengira hanya karena hal ini, Helen kapok dengan usahanya untuk melarikan diri. Sebagaimana yang dia rasakan di awal, seumur hidup terlalu lama untuk dihabiskan bersama orang seperti Rey.
Ketika Helen merasa suasana rumah sakit sudah cukup sepi, dia beranjak dari kasurnya dan berpura-pura ke kamar mandi. Rey tidak akan mengetahuinya karena sedang terlelap di kamar rumah sakit yang sudah dipesannya.
Namun kendalanya di sini adalah para penjaga. Sehingga ketika Helen sampai di kamar kecil itu, dia mencari sesuatu yang setidaknya bisa menolongnya.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?"
Helen tersentak ketika mendengar suara seorang wanita. Sebelumnya dia memang terdiam beberapa detik di depan wastafel sehingga mungkin membuat heran wanita yang ada di depannya ini yang ternyata adalah salah seorang perawat.
"Ah, tidak. Saya baik-baik saja," jawab Helen, namun pandangannya terpaku pada pakaian dan juga masker medis milik perawat itu. Suatu ide muncul di kepalanya.
"Kalau begitu, saya permisi, Nona." Perawat itu hendak pergi dari sana, namun langsung dicegah oleh Helen.
"Tunggu, bolehkah saya meminjam pakaian dan masker medis itu?"
Perawat itu kembali berbalik mendengar permintaan Helen. Dia langsung menatap pakaiannya, sementara Helen hanya bisa tersenyum gugup.
"Maksudnya bertukar pakaian? Tapi untuk apa?" tanya perawat itu. Helen merasa bingung harus menjawab apa, namun dia berusaha melakukan apa pun agar bisa mendapatkan pakaian itu untuk menyamar dan tidak perlu ada yang mengenalinya.
"Tolong, ini keadaan darurat. Saya hanya memerlukannya dalam beberapa waktu. Saya akan mengembalikannya sesegera mungkin."
Pada akhirnya mereka pun berhasil bertukar pakaian dan Helen berhasil keluar dari rumah sakit itu tanpa diketahui oleh siapa pun.
Akan tetapi, salah satu bawahan Rey yang menyadari kalau Helen tidak kembali dari kamar mandi langsung melaporkan hal itu pada Rey. Rey pun meminta pada para petugas rumah sakit untuk memutar rekaman CCTV.
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menemukan wanita yang kini mengenakan pakaian pasien milik Helen. Tak butuh waktu lama pula bagi mereka untuk mengetahui apa yang baru saja terjadi, karena wanita itu langsung menceritakannya begitu saja.
"Cari dia! Aku yakin dia belum terlalu jauh dari rumah sakit ini." Rey langsung memerintahkan anak buahnya untuk mencari Helen.
Helen yang pada saat itu mengira sudah lolos dari Rey, hendak mencari tempat untuk menginap. Namun sayangnya, dia bahkan tidak membawa uang sepeser pun.
Dengan sangat bingung, dia hanya bisa duduk di pinggir jalan raya dan tidak tahu harus melakukan apa. Helen awalnya berpikir untuk mencari berbagai macam cara, namun belum sempat dia mendapatkan satu ide saja, mendadak seseorang membekap mulutnya dari belakang hingga dia pingsan.
Helen sudah tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Hal yang dia ketahui ketika terbangun dari pingsannya adalah dia telah berada di peti mati. Helen langsung panik dan berusaha membuka peti mati itu walaupun sia-sia.
"Tidak, tolong! Tolong keluarkan aku!" Helen berusaha berteriak. Dia tahu kalau Rey yang melakukan ini padanya.
"Hai, Helen." Terdengar suara Rey dari luar. "Kupikir ini ide yang cukup bagus, bukan? Daripada kau terus menerus berusaha kabur atau berpikir mendapatkan lelaki lain, lebih baik kau mati saja. Setidaknya tidak akan ada orang yang memilikimu."
Helen menggeleng tak mau. Dia tidak menyangka obsesi Rey terhadap dirinya akan separah ini. Rey hendak menguburnya hidup-hidup. Membiarkannya mati perlahan karena sesak napas.
"Lepaskan aku, Rey!"
Rasanya percuma saja Helen berteriak karena sekarang dia merasakan peti itu diangkat. Beberapa saat setelahnya dia mendengar suara pasir di atas tutup peti mati itu. Helen hanya bisa menangis ketika dia sudah tidak mendengar suara apa pun. Dia tahu kalau semua orang sudah pergi.
"Tolong, aku belum mati." Helen masih berusaha berteriak sambil memukul-mukul tutup peti mati itu. Berharap ada orang orang di atas sana yang mendengarnya.
"Siapa pun di sana, kumohon tolong aku!"
***
Gavin hendak mengunjungi makam saudara angkatnya hari itu. Hendak menaruh bunga dan berdoa untuknya di sana. Suasana makam itu sepi di sore hari. Tidak ada orang selain dirinya.
"Tolong!"
Gavin terpaku ketika mendengar suara seseorang meminta tolong. Dia baru saja akan meninggalkan makam itu, namun terpaksa berbalik lagi untuk mencari sumber suara. Karena Gavin tidak melihat apa pun, dia berpikir kalau dia hanya berhalusinasi.
"Tolong, keluarkan aku!"
Gavin berbalik lagi ketika mendengar suara itu. Terlanjur penasaran, dia pun benar-benar menjadi pusat suara itu yang ternyata datang dari salah satu kuburan yang tampak baru ditimbun.
Tak mau menunggu lama, dia memutuskan mencari benda apa saja yang bisa membantunya menggali kubur. Sebuah potongan batang pohon yang cukup untuk dijadikan skop.
Gavin membuka peti mati itu. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat seorang gadis yang masih membuka mata dengan wajah yang sangat pucat di sana. Gavin meraih tangannya dan mengangkat tubuh Helen.
"Ikut aku."
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Gavin sambil mengelap wajah Helen dengan handuk kecil. Helen menyapu pandangannya ke segala penjuru ruangan itu. Gavin membawanya menuju sebuah mini house. Helen menebak kalau mungkin rumah itu adalah milik Gavin sendiri."Dia menguburku hidup-hidup," jawab Helen. Gavin menghentikan gerakan tangannya. Helen melihat lelaki itu mengerutkan kening ke arahnya."Dia? Dia siapa? Apa dia berniat mencelakaimu?" tanya Gavin lagi sambil menyodorkan roti isi pada Helen. Karena memang merasa lapar, Helen langsung menghabiskan roti isi itu. Tidak sadar kalau Gavin menahan senyum ketika melihatnya yang begitu lahap menikmati roti itu. "Rey. Dia tunanganku. Orang yang dijodohkan denganku. Sejak dulu dia terobsesi padaku dan mengurungku di dalam rumahnya. Aku tidak diperbolehkan bekerja dan beraktivitas di luar." Helen meminum segelas susu di sana. Merasa lega karena perutnya sudah terisi.Gavin mengerutkan kening. Awalnya merasa heran, namun setelah mendengar kata
"Kau punya pengalaman sebagai sekretaris?"Helen menghela napas. Ternyata posisi yang ditawarkan oleh Gavin adalah sebagai sekretaris. Itu berarti kalau dia menerima tawaran pekerjaan itu, maka dia harus keluar rumah dan bekerja di kantor Gavin. Apakah itu aman baginya?Helen masih sangat ragu. Tindakan Rey yang menguburnya hidup-hidup sudah cukup membuatnya sangat trauma. Dia tidak akan membiarkan dirinya bertemu lagi dengan Rey atau juga dengan salah satu penjaganya. Helen mungkin tidak akan keluar rumah sampai ada yang menjamin bahwa dia tidak akan bertemu dengan Rey selamanya."Aku tidak yakin kalau harus bekerja di kantor. Aku tidak punya pengalaman kerja apa pun. Aku takut seseorang yang berhubungan dengan Rey mengenaliku dan melaporkanku padanya." Helen mengusap wajah. Dia menghabiskan jus jeruk itu bahkan juga lanjut menghabiskan pizza di sana, padahal tadi dia sudah cukup kenyang.Dia melihat Rey yang tampak juga ikut bingung dengan permasalahannya sekarang. Helen benar-benar
"Tidak perlu terlalu gugup seperti itu. Mereka tidak akan menggigitmu." Helen berjalan mondar-mandir di kamar itu sambil meremas jemarinya. Dia terlalu terkejut ketika Gavin mengatakan bahwa kedua orangtua angkat lelaki itu akan datang besok dan menemuinya. Dia takut apabila dia melakukan kesalahan di hadapan kedua orangtua Gavin. Dia memikirkan segala kemungkinan buruk. Bagaimana kalau kedua orang tua Gavin tidak menyukainya dan memecatnya dari rumah ini. Jika sampai itu terjadi, dia mungkin tidak akan punya harapan lagi karena tidak terlalu berani untuk bekerja di luar sana ketika modalnya belum cukup. "Apa yang akan mereka katakan kalau mereka tahu bahwa aku sudah lama di sini dan bahwa kau membiarkanku tinggal di rumah ini sebelum kemudian kau jadikan sebagai koki?" Helen merasa cukup bingung harus mengatakan apa lagi. Dia mengambil segelas air putih dan meminumnya. Setidaknya cukup untuk membuatnya tenang beberapa saat. "Sudah kukatakan kau tidak perlu terlalu khawatir. Merek
"Aku tidak menyangka sama sekali ketika ibumu memintaku untuk menemanimu ke pesta itu. Aku tidak sampai hati apabila harus menolaknya, meskipun aku masih cukup takut untuk pergi keluar." Helen merasa sangat gelisah. Dia duduk di sofa, sedangkan Gavin saat ini mempersiapkan pakaian yang akan dia kenakan di pesta itu. Helen melihat Gavin hanya tersenyum menanggapi perkataannya tadi. "Dan aku juga tidak menyangka kau menyetujuinya. Kau tidak perlu terlalu khawatir, aku akan memastikan semuanya baik-baik saja." Helen menghela nafas. Itu sama sekali tidak cukup untuk menenangkan dirinya. Dia lebih mengenal Rey daripada Gavin. Dia juga tahu bahwa Rey begitu terkenal, dan mungkin tidak ada orang kaya di kota ini yang tidak bersahabat atau memiliki hubungan dengan Rey. "Masalahnya aku sangat takut apabila seandainya Rey ada di pesta itu. Dia jelas akan mengenaliku dan akan membawaku pulang." Helen menyadari kalau Gavin menatap kasihan padanya. Dia berharap Gavin memiliki solusi yang lebih
"Oh, Drew. Aku tidak menyangka kita bisa bertemu di sini," ucap Gavin yang berbalik menatap lelaki muda yang berada di belakangnya. Sedangkan Helen masih terpaku karena merasa takut apabila lelaki yang memanggil dirinya tadi adalah salah satu orang yang bekerja untuk Rey dan kebetulan mengenal Gavin. Dia masih tidak berani untuk berbalik. "Yah, aku juga tidak menyangka kalau kau akhirnya punya teman kencan malam ini." Helen mendengar kembali suara lelaki itu. Dia berbalik perlahan karena sadar kalau tindakannya ini tidaklah sopan. Dia pun menatap wajah lelaki yang dipanggil dengan nama Drew itu sambil tersenyum. "Namanya Helen," ucap Gavin memperkenalkan Helen pada Drew. "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?" tanya Gavin lagi pada Drew. Helen melihat Drew hanya tersenyum. Lelaki itu mengangkat bahu yang semakin membuat Helen was-was. Selama ini Helen memang tidak bisa menghafal siapa saja orang yang bekerja pada Rey. Rey selalu dan mempekerjakan banyak orang. "Ah, tidak. Kukira
"Kau yakin tidak pernah berkomunikasi dengan siapa pun selama kau tinggal di rumahku? Kau mungkin pernah mengenal seseorang di luar sana." Helen menggeleng dengan gelisah. Hanya dengan pesan singkat itu sudah cukup membuatnya merasa sangat panik. Dia tidak tahu siapa yang menghubunginya semalam, dia takut kalau itu adalah salah satu orang yang diperintahkan oleh Rey untuk mencarinya. Sebenarnya hingga saat ini dia juga tidak yakin kalau Rey sudah mengetahui bahwa dia tidak ada dalam kuburan itu. Namun entah kenapa kemungkinan terburuk itu selalu saja menghantuinya. Dia selalu berharap bahwa hingga saat ini Rey belum mengetahuinya. "Apa kau menimbun kuburan itu kembali setelah mengeluarkanku dari sana? Kau tidak mungkin membiarkan tanahnya terbuka begitu saja, bukan? Itu akan membuat Rey sangat mudah mengetahui bahwa aku sudah tidak ada dalam kuburan itu." Helen menatap dalam mata Gavin. Berharap bahwa Gavin tidak akan berbohong padanya hanya untuk menyenangkan dirinya. "Aku menyur
"Orang itu memata-mataiku, Gavin. Dia tahu apa yang aku lakukan. Aku harus apa?! Bagaimana kalau dia menculikku nanti?!" Helen melepaskan semua tangisnya. Dia merasa tidak bisa mengendalikan emosinya saat ini. Dia bahkan sudah tidak peduli ketika Gavin memeluknya sekarang. Helen meninggalkan pizza itu di depan rumah setelah melihat dan membaca secarik kertas kecil di sana. Dia terlalu ketakutan hingga kemudian Gavin pulang ke rumah dengan membawa dua kotak pizza untuk mereka nikmati malam ini. Hal yang tidak tahu apa yang dilakukan oleh Gavin dengan pizza yang ada di depan pintu. Entah Gavin membuangnya atau malah menyimpannya. "Tenanglah dulu. Kita akan mengatasinya bersama." Helen menggeleng, merasa kalau kalimat dari Gavin sama sekali tidak efektif untuk menenangkan dirinya saat ini. Dia masih terlalu takut membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini, terutama apabila Gavin benar-benar pergi meninggalkannya untuk urusan pekerjaan minggu depan. "Bagaimana mungkin
"Aku hanya asisten di rumahnya. Bagaimana mungkin kami saling jatuh cinta. Lagi pula aku sangat yakin kalau dia pasti punya perempuan yang jauh lebih berkelas daripada aku di luaran sana. Bukankah orang kaya memang seperti itu?" Helen cukup terkejut ketika Drew menanyakan pertanyaan semacam itu. Atau mungkin memang wajar saja, dia tidak terlalu tahu bagaimana cara lelaki berpikir. Jelas bisa dibilang sangat berbeda dari cara berpikir perempuan. Helen juga berpikir kalau selama ini barangkali Drew sangat peka melihat kedekatannya dengan Gavin. Biar bagaimanapun dia tidak tahu apa yang dibicarakan oleh dua sahabat itu di luar atau di tempat kerja mereka. "Bisa saja, bukan? Tidak mungkin Gavin tidak merasakan apa pun padamu ketika kalian tinggal bersama." Helen hanya tersenyum sambil menghabiskan jus jeruknya. Dia tidak pernah berpikir akan hal itu. Tidak pernah berharap juga untuk berada di posisi semacam itu. Untuk saat ini dia tidak tertarik menjalani hubungan romantis dengan siapa
"Kau sudah baik-baik saja?" tanya Albert setelah kembali melihat Helen hari ini. Dari wajah Albert saja sudah bisa ditebak bahwa dia memikirkan banyak hal, terutama ketika mengingat bahwa Helen baru saja mengalami keguguran. Alisnya sedikit berkerut. Wajahnya yang biasanya tegar dan kuat sekarang terlihat was-was.Perasaan campur aduk terlihat jelas di dalam mata Albert. Dia mungkin merasa bersalah karena insiden tersebut, dan perasaannya terhadap Helen, yang juga merupakan teman dekatnya, terasa sangat salah. Helen tersenyum manis dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, merasa lebih lega sekarang. Dia seperti merasakan sesuatu yang jauh lebih bebas daripada hari sebelumnya. Dia tidak tahu perasaan semacam apa ini. Dia hanya merasa jauh lebih bahagia. Mungkin karena memang faktor hormon yang selalu berubah-ubah. "Yah, kau tidak perlu terlalu khawatir. Aku sudah baik-baik saja." Albert menghela napas lega. Dia menatap mata Helen yang sama sekali tidak balas menatapnya. "Aku me
"Kenapa kau terlihat sangat marah? Kau marah karena kehilangan bayinya atau kau marah padaku?" Gavin menatap wajah Helen yang sejak tadi seakan tidak mau menatapnya balik.Kamar rumah sakit itu hening, suasana tegang menggantung seperti awan. Cahaya pucat dari lampu langit-langit menyinari ruangan, memantulkan kebisuan. Suara detak jam dinding terdengar seperti dentingan waktu, semakin menegaskan keheningan yang melingkupi mereka berdua. Di tengah ruangan, Helen dan Gavin saling diam setelah apa yang baru saja terjadi. Meskipun suara mereka rendah dan terkontrol, kemarahan itu terasa begitu kentara, seperti medan magnetik yang bertabrakan, menciptakan gelombang kemarahan yang tak terucapkan. Helen juga tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Ada suatu gejolak besar dari dalam hatinya yang sama sekali tidak bisa dia jelaskan di saat seperti ini. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan kepada Gavin. Helen beranjak dari kasur itu dan menatap mata Gavin. Kesunyian itu seakan membun
"Mohon maaf, dia keguguran." Gavin langsung terpaku di tempat ketika mendengar apa yang dikatakan oleh dokter itu. Butuh waktu beberapa lama baginya untuk mencerna makna dari kalimat singkat itu. Ada sesuatu yang ingin dia katakan, sesuatu yang menyampaikan segala kebingungannya, namun kalimat itu seakan berhenti di ujung lidah, tidak bisa keluar begitu saja. Di belakang Gavin, Albert juga berdiri kaku. Ada banyak hal yang menjejali kepala dua lelaki itu. Gavin merasa sangat terkejut setelah mengetahui bahwa ternyata selama ini Helen sedang hamil. Sedangkan Albert juga ingin menanyakan banyak hal kepada Gavin tentang kehamilan Helen. Koridor rumah sakit itu terasa lebih sepi daripada biasanya, padahal masih ada banyak dokter dan para perawat yang lalu lalang. Gavin merasakan seolah tak ada nyawa lagi di rumah sakit ini. Terasa hampa dan sangat hambar. Semua menguap karena rasa terkejut dari dalam hati kecilnya. "Maksud, Dokter? Maaf, saya tidak mengerti sama sekali," ucap Gavin ag
"Apa yang terjadi pada Helen?" suara panik Gavin memecah keheningan lokasi syuting. Dia dengan cepat melangkah ke arah tubuh Helen yang tergeletak di tanah. Orang-orang di sekitarnya hanya bisa menatap tanpa melakukan apa pun, bahkan malah banyak orang yang merekamnya.Tanpa ragu, Gavin dengan cepat mengangkat tubuh Helen yang tidak sadarkan diri, mengangkatnya dengan hati-hati. Albert tentu saja juga khawatir, dia mengikuti Gavin yang membawa Helen ke mobil yang terparkir tidak jauh dari lokasi syuting. Gavin segera berlari ke sisi pengemudi dan menyalakan mesin mobil. Dengan cepat dan hati-hati, dia memacu mobil menuju rumah sakit terdekat. Gavin tidak tahu kalau Albert mengikutinya dari belakang.Sambil berkendara, Gavin terus mencoba membangunkan Helen. "Helen, bangunlah," bisiknya dengan suara lembut, namun tidak membuahkan hasil sama sekali. Di belakang mereka, Albert menjaga jarak, menngikuti setiap pergerakan mobil Gavin. Hatinya berdebar, terus berharap agar Helen baik-baik s
"Aku akan membicarakannya dengan Albert," ucap Helen sebelum berangkat ke lokasi syuting. Dia tersenyum ke arah Gavin, membiarkan lelaki itu yang mengantarnya hari ini. Albert sebenarnya sudah mengirim pesan pada Helen agar mereka berangkat bersama pagi ini seperti biasa. Namun karena kejadian tadi malam, Helen tentu saja menolak tawaran dari Albert.Helen keluar dari mobil setelah mereka sampai. Dia melambaikan tangan ke arah Gavin sebelum kemudian lelaki itu pergi ke tempat kerjanya sendiri.Dia langsung menemui Albert di lokasi syuting itu. Melihat Albert duduk sendirian di salah satu kursi, tepat di samping para pemain lainnya. Dengan gugup Helen menghampiri lelaki itu. Berbisik sejenak pada Albert agar bisa sedikit menjauh dari para aktor lainnya dan mereka bisa berbicara berdua. Albert yang walaupun merasa heran, tetap mengusahakan untuk menuruti apa yang dikatakan Helen. Mereka duduk berdua, jauh dari orang-orang.Helen mengambil napas dalam-dalam, menatap ke arah Albert, mera
Helen hanya bisa menahan nafas ketika Gavin menggagahinya. Gavin tidak mungkin mabuk. Helen cukup tau bahwa seorang pria tidak akan bisa ereksi ketika sedang mabuk. Jangankan ereksi, untuk bangun dari tempat tidur saja rasanya sulit. Helen sudah tidak mengenakan pakaian apa pun. Gavin melemparnya ke tempat tidur begitu saja. Entah harus disebut apa, namun Helen sama sekali tidak merasa kalau Gavin memperkosanya, meskipun memang caranya cukup kasar, namun Helen cukup menikmatinya. Bahkan dia juga mendesah. "Gavin, aku lelah. Tolong, cepatlah keluar." Helen mengeluh karena merasa kalau sebentar lagi dia akan pingsan jika seandainya Gavin tetap melanjutkan permainan ini. Dia merasakan gairah dan juga kemarahanGavin dalam permainan ini. Helen tahu kalau Gavin sudah marah padanya, dia belum menyadari penyebab dari kemarahan lelaki itu. Helen tetap saja bergerak cepat di atasnya. Sedikit perih namun juga geli di bagian kemaluannya. Setelah beberapa menit akhirnya Gavin mengerang, tidak
Helen sudah pasti salah sangka, namun dia tidak menyadarinya sama sekali. Selama proses syuting hari ini, Gavin sama sekali tidak menelepon walau hanya satu kali. Padahal biasanya Gavin selalu menyempatkan diri menelepon Helen minimal sekali untuk memastikan keadaannya.Dan karena hal ini juga Helen merasa gelisah karena takut terjadi sesuatu yang salah. Dia tidak mau kalau hubungannya dengan Gavin jadi renggang karena sesuatu yang dia sendiri tidak sadari."Ayolah, Gavin. Kenapa kau tidak mengangkat teleponnya?" Helen menempelkan smartphone itu ke telinganya. Dia merasa gelisah karena Gavin sejak tadi tidak mengangkat telepon darinya.Suara berisik di sekitar lokasi syuting semakin membuatnya merasa frustasi. Helen menutup kedua telinga. Panggilan itu masih berdering dan tidak digubris sama sekali oleh Gavin."Kau terlihat kesal sekali. Apa ada sesuatu yang terjadi hari ini? Atau mungkin kau sedang menstruasi?"Helen tersentak ketika seseorang mendadak duduk di sampingnya dan mengelap
"Siapa lelaki itu?" Helen mengangkat alis ketika Gavin bertanya dengan nada dingin. Dia memang baru saja pulang dari lokasi syuting. Kali ini dia pulang bukan dijemput oleh Gavin atau juga menaiki kendaraan umum, dia diantar oleh salah satu lawan mainnya. Helen menoleh ke belakang ketika orang yang mengantarnya tadi sudah berbalik dan siap untuk meninggalkan beranda apartemen mereka. Helen hanya tersenyum sambil mengangkat bahu ke arah Gavin. "Dia hanya temanku. Dia salah satu lawan mainku. Namanya Albert," jawab Helen dengan tenang sambil melemparkan ranselnya begitu saja ke atas sofa ruang tamu. Dia juga melepas ikat rambutnya, bersiap untuk mandi. Walau cuaca kali ini memang masih dingin, namun dia merasa kalau tubuhnya sangat lengket. Dia harus mandi dengan air hangat sekarang. "Oh, ternyata begitu." Gavin termenung. Dia melipat tangan di depan dada. Masih memandangi beranda apartemen mereka yang sudah sepi. Dia tidak sempat untuk mengajak lelaki itu untuk mengobrol tadi. Lelak
"Kuharap aku tidak mengganggumu. Kau sedang sibuk?"Helen tersenyum ketika menerima telepon dari Gavin. Dia sedang menghafal dialog sekarang. Gavin juga ada di tempat kerjanya. Mereka tetap berkabar. Gavin juga hanya ingin memastikan tidak ada sesuatu yang buruk pada Helen. Helen duduk di salah satu rumah pohon. Dia selalu suka dengan lantai rumah pohon itu. Terasa sangat hangat. Suhu di lokasi syuting mereka juga terasa sangat pas. Di luar sana, salju sudah tidak turun. Bukit salju di pinggir-pinggir jalan itu juga mulai mencair. Jalanan tidak lagi menjadi penghalang bagi mereka karena sudah tidak terlalu licin."Yah, lumayan." Helen menggigit bibirnya. Dialog itu cukup panjang. Dia juga masih punya waktu karena masih ada banyak adegan lain yang sedang diambil. Aktor lainnya juga ada di sana. Belum tiba gilirannya."Oh, apa aku cukup mengganggu? Kalau begitu, aku akan telepon nanti saja.""Eh, tidak. Kau tidak mengganggu sama sekali." Helen buru-buru menjawab agar Gavin tidak menutu