"Kau punya pengalaman sebagai sekretaris?"
Helen menghela napas. Ternyata posisi yang ditawarkan oleh Gavin adalah sebagai sekretaris. Itu berarti kalau dia menerima tawaran pekerjaan itu, maka dia harus keluar rumah dan bekerja di kantor Gavin. Apakah itu aman baginya?
Helen masih sangat ragu. Tindakan Rey yang menguburnya hidup-hidup sudah cukup membuatnya sangat trauma. Dia tidak akan membiarkan dirinya bertemu lagi dengan Rey atau juga dengan salah satu penjaganya. Helen mungkin tidak akan keluar rumah sampai ada yang menjamin bahwa dia tidak akan bertemu dengan Rey selamanya.
"Aku tidak yakin kalau harus bekerja di kantor. Aku tidak punya pengalaman kerja apa pun. Aku takut seseorang yang berhubungan dengan Rey mengenaliku dan melaporkanku padanya." Helen mengusap wajah. Dia menghabiskan jus jeruk itu bahkan juga lanjut menghabiskan pizza di sana, padahal tadi dia sudah cukup kenyang.
Dia melihat Rey yang tampak juga ikut bingung dengan permasalahannya sekarang. Helen benar-benar merasa bahwa tak ada jalan keluar baginya. Tidak ada pekerjaan paling aman untuk saat ini selain pekerjaan remote. Itu pun pasti butuh waktu lama untuk mendapatkannya karena Helen sama sekali tidak punya pengalaman kerja. Rey tidak pernah membiarkannya keluar rumah setelah tamat kuliah.
"Jadi kau sama sekali tidak bisa mengambil pekerjaan yang satu ini? Kebetulan sekretarisku akan berhenti kerja dan aku harus mendapatkan sekretaris baru."
Helen menggeleng. Dia tidak peduli seberapa mahal bayaran yang ditawarkan Gavin padanya untuk menjadi sekretaris. Dia tidak akan mau mengorbankan dirinya lagi di sini.
"Aku minta maaf, Gavin. Aku terlalu takut untuk pergi ke luar. Aku lebih baik melakukan pekerjaan online saja, seandainya aku punya barang elektronik."
Helen melihat Gavin mengangguk. Dia malah tertunduk dan menyadari kalau Gavin sudah paham maksudnya. Sekali lagi dia merasa sangat merepotkan Gavin di sini.
"Ok, kalau begitu gunakan saja komputer milikku. Lagi pula aku juga sudah sangat jarang menggunakannya karena terlalu sibuk. Dulu aku menggunakannya untuk main game saja."
Helen akhirnya bisa tersenyum mendengar hal itu dari Gavin. Sesuatu yang memang sudah dia tunggu-tunggu sejak tadi. Gavin bisa peka dengan apa yang dia butuhkan.
"Sungguh, aku tidak tahu harus mengatakan apalagi. Aku merasa berhutang nyawa padamu."
Gavin hanya tersenyum. Dari sanalah Helen menghabiskan waktunya untuk mencari lowongan pekerjaan online. Gavin bekerja di pagi hingga sore hari. Di hari-hari tertentu dia lembur atau juga pulang ke rumah orangtuanya sehingga Helen harus sendirian di dalam mini house itu.
Awalnya Helen mengira bahwa ini akan mudah, namun yang dia dapati justru membuatnya kecewa. Dia tidak sadar kalau dia tidak membawa apa pun selama berada di rumah Gavin. Banyak dari perusahaan itu yang memintanya untuk mengirim CV atau juga ijazah yang saat ini berada di rumah ayahnya. Alhasil, hingga beberapa minggu berlalu dia gagal mengirimkan lamaran kerja. Helen juga sempat terpikir untuk menjadi pekerja lepas, namun terlalu banyak persaingan di luar sana.
Dia mematikan komputer itu. Merasa matanya mulai sakit dan berair karena seharian menatap layar komputer. Dia belum mendapatkan apa pun hingga saat ini.
Suara pintu terbuka membuat Helen menoleh. Ternyata Gavin pulang malam ini.
"Hai, bagaimana hari ini?" tanya Gavin sambil melepas jas kerjanya. Helen kembali menatap pemandangan luar dari jendela.
"Buruk. Ternyata sulit mendapatkan pekerjaan dengan cara semacam ini." Helen menghela napas dan bertopang dagu. Rasanya dia ingin menyerah dan memilih untuk melakukan apa saja agar tidak lagi menjadi beban Gavin. Mungkin dalam keadaan sekarang dia sudah bisa menerima penawaran kerja apa pun dari Gavin.
"Kau sudah mencoba di situs-situs freelance?" tanya Gavin sambil melepas sepatu.
Helen mengangguk. "Mereka tidak tertarik mempekerjakan seseorang yang belum punya pengalaman, terlebih lagi, aku juga tidak punya banyak portofolio."
Helen menatap Gavin. Rambut lelaki itu tampak berantakan setelah seharian bekerja. Rasa bersalah itu kembali menyeruak dalam dada Helen.
Selama berminggu-minggu ini, dia mendapatkan kehidupan yang nyaman di rumah kecil Gavin tanpa melakukan sesuatu yang berarti untuk membalas semuanya. Melihat Gavin yang kelelahan membuatnya merasa menjadi makhluk paling tidak berguna.
"Kalau begitu, kau tidak perlu cari kerja lagi."
Ucapan Gavin itu tentu saja membuat Helen terheran-heran. Dia tahu bagaimana kekayaan Gavin, namun dia juga berpikir bahwa tidak mungkin Gavin terus menampung orang tidak jelas seperti dirinya ini tanpa memberikan timbal balik.
"Lantas aku harus apa? Aku tidak mau jadi anak kecil yang tidak bisa melakukan apa pun untukmu. Kau sudah terlalu baik padaku selama ini."
"Bagaimana kalau kau bekerja sebagai koki pribadiku? Kau tidak perlu keluar rumah karena tugasmu hanya memasak di rumah ini. Kalau nanti orangtuaku melihatmu, mereka juga tidak akan terlalu heran."
Helen mengerutkan kening. Memang selama ini dia juga sering memasak dan menghidangkan makanan untuk Gavin. Terkadang juga Gavin yang memasak atau membeli makanan di luar. Apakah ini berarti Gavin menyukai masakannya atau hanya ingin menjadikan aktivitas itu sebagai pekerjaan Helen?
"Tapi aku tidak bisa tinggal di sini terus, Gavin."
"Setelah ini aku membayarmu dengan uang, bukan hanya membiarkanmu tinggal di sini. Kau bisa gunakan uang itu untuk apa saja."
Helen berpikir sejenak. Mungkin hanya ini satu-satunya cara. Dia tidak perlu keluar rumah dan bisa punya penghasilan nanti sebagai modal untuk digunakan lagi bila sudah sanggup tinggal terpisah dari Gavin. Dia mungkin bisa keluar kota atau keluar negeri dan mencari pekerjaan baru di sana.
"Itu berarti aku yang harus menghandle semua masakan di sini? Kau tidak mungkin memasak lagi atau membeli makanan luar, bukan?"
Gavin mengangguk. "Yah, itu akan lebih mudah. Aku juga sudah bosan menyantap menu restoran."
Akhirnya Helen menyetujui hal itu. Dia bahkan mengerjakan hal yang lebih dari sekadar memasak. Dia juga membersihkan rumah dan mengurus semua keperluan Gavin.
"Tinggal berdua dan dilayani seperti ini ternyata tidak terlalu buruk."
Helen tersenyum mendengar perkataan Gavin ketika mereka sedang makan malam.
"Kukira semua lelaki suka dilayani. Kenapa kau sempat berpikir kalau ini menjadi sesuatu yang membuatmu tidak nyaman?" tanya Helen.
"Entahlah, mungkin aku tipe pria introvert yang lebih suka sendiri dan mengurus semuanya sendiri. Tadinya aku berpikir kehadiran orang akan membuatku tertekan. Mungkin karena aku juga sudah terbiasa denganmu."
Helen tersenyum. Sedikit terkejut mendengar itu. Dia juga tidak pernah memikirkannya. Memikirkan tentang rasa nyaman yang dia rasakan di rumah itu.
Gavin berdeham setelah menghabiskan makanannya. Seperti biasa dia merapikan piring-piring kotor itu.
"Orangtuaku akan datang besok. Mereka ingin bertemu denganmu."
"Tidak perlu terlalu gugup seperti itu. Mereka tidak akan menggigitmu." Helen berjalan mondar-mandir di kamar itu sambil meremas jemarinya. Dia terlalu terkejut ketika Gavin mengatakan bahwa kedua orangtua angkat lelaki itu akan datang besok dan menemuinya. Dia takut apabila dia melakukan kesalahan di hadapan kedua orangtua Gavin. Dia memikirkan segala kemungkinan buruk. Bagaimana kalau kedua orang tua Gavin tidak menyukainya dan memecatnya dari rumah ini. Jika sampai itu terjadi, dia mungkin tidak akan punya harapan lagi karena tidak terlalu berani untuk bekerja di luar sana ketika modalnya belum cukup. "Apa yang akan mereka katakan kalau mereka tahu bahwa aku sudah lama di sini dan bahwa kau membiarkanku tinggal di rumah ini sebelum kemudian kau jadikan sebagai koki?" Helen merasa cukup bingung harus mengatakan apa lagi. Dia mengambil segelas air putih dan meminumnya. Setidaknya cukup untuk membuatnya tenang beberapa saat. "Sudah kukatakan kau tidak perlu terlalu khawatir. Merek
"Aku tidak menyangka sama sekali ketika ibumu memintaku untuk menemanimu ke pesta itu. Aku tidak sampai hati apabila harus menolaknya, meskipun aku masih cukup takut untuk pergi keluar." Helen merasa sangat gelisah. Dia duduk di sofa, sedangkan Gavin saat ini mempersiapkan pakaian yang akan dia kenakan di pesta itu. Helen melihat Gavin hanya tersenyum menanggapi perkataannya tadi. "Dan aku juga tidak menyangka kau menyetujuinya. Kau tidak perlu terlalu khawatir, aku akan memastikan semuanya baik-baik saja." Helen menghela nafas. Itu sama sekali tidak cukup untuk menenangkan dirinya. Dia lebih mengenal Rey daripada Gavin. Dia juga tahu bahwa Rey begitu terkenal, dan mungkin tidak ada orang kaya di kota ini yang tidak bersahabat atau memiliki hubungan dengan Rey. "Masalahnya aku sangat takut apabila seandainya Rey ada di pesta itu. Dia jelas akan mengenaliku dan akan membawaku pulang." Helen menyadari kalau Gavin menatap kasihan padanya. Dia berharap Gavin memiliki solusi yang lebih
"Oh, Drew. Aku tidak menyangka kita bisa bertemu di sini," ucap Gavin yang berbalik menatap lelaki muda yang berada di belakangnya. Sedangkan Helen masih terpaku karena merasa takut apabila lelaki yang memanggil dirinya tadi adalah salah satu orang yang bekerja untuk Rey dan kebetulan mengenal Gavin. Dia masih tidak berani untuk berbalik. "Yah, aku juga tidak menyangka kalau kau akhirnya punya teman kencan malam ini." Helen mendengar kembali suara lelaki itu. Dia berbalik perlahan karena sadar kalau tindakannya ini tidaklah sopan. Dia pun menatap wajah lelaki yang dipanggil dengan nama Drew itu sambil tersenyum. "Namanya Helen," ucap Gavin memperkenalkan Helen pada Drew. "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?" tanya Gavin lagi pada Drew. Helen melihat Drew hanya tersenyum. Lelaki itu mengangkat bahu yang semakin membuat Helen was-was. Selama ini Helen memang tidak bisa menghafal siapa saja orang yang bekerja pada Rey. Rey selalu dan mempekerjakan banyak orang. "Ah, tidak. Kukira
"Kau yakin tidak pernah berkomunikasi dengan siapa pun selama kau tinggal di rumahku? Kau mungkin pernah mengenal seseorang di luar sana." Helen menggeleng dengan gelisah. Hanya dengan pesan singkat itu sudah cukup membuatnya merasa sangat panik. Dia tidak tahu siapa yang menghubunginya semalam, dia takut kalau itu adalah salah satu orang yang diperintahkan oleh Rey untuk mencarinya. Sebenarnya hingga saat ini dia juga tidak yakin kalau Rey sudah mengetahui bahwa dia tidak ada dalam kuburan itu. Namun entah kenapa kemungkinan terburuk itu selalu saja menghantuinya. Dia selalu berharap bahwa hingga saat ini Rey belum mengetahuinya. "Apa kau menimbun kuburan itu kembali setelah mengeluarkanku dari sana? Kau tidak mungkin membiarkan tanahnya terbuka begitu saja, bukan? Itu akan membuat Rey sangat mudah mengetahui bahwa aku sudah tidak ada dalam kuburan itu." Helen menatap dalam mata Gavin. Berharap bahwa Gavin tidak akan berbohong padanya hanya untuk menyenangkan dirinya. "Aku menyur
"Orang itu memata-mataiku, Gavin. Dia tahu apa yang aku lakukan. Aku harus apa?! Bagaimana kalau dia menculikku nanti?!" Helen melepaskan semua tangisnya. Dia merasa tidak bisa mengendalikan emosinya saat ini. Dia bahkan sudah tidak peduli ketika Gavin memeluknya sekarang. Helen meninggalkan pizza itu di depan rumah setelah melihat dan membaca secarik kertas kecil di sana. Dia terlalu ketakutan hingga kemudian Gavin pulang ke rumah dengan membawa dua kotak pizza untuk mereka nikmati malam ini. Hal yang tidak tahu apa yang dilakukan oleh Gavin dengan pizza yang ada di depan pintu. Entah Gavin membuangnya atau malah menyimpannya. "Tenanglah dulu. Kita akan mengatasinya bersama." Helen menggeleng, merasa kalau kalimat dari Gavin sama sekali tidak efektif untuk menenangkan dirinya saat ini. Dia masih terlalu takut membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini, terutama apabila Gavin benar-benar pergi meninggalkannya untuk urusan pekerjaan minggu depan. "Bagaimana mungkin
"Aku hanya asisten di rumahnya. Bagaimana mungkin kami saling jatuh cinta. Lagi pula aku sangat yakin kalau dia pasti punya perempuan yang jauh lebih berkelas daripada aku di luaran sana. Bukankah orang kaya memang seperti itu?" Helen cukup terkejut ketika Drew menanyakan pertanyaan semacam itu. Atau mungkin memang wajar saja, dia tidak terlalu tahu bagaimana cara lelaki berpikir. Jelas bisa dibilang sangat berbeda dari cara berpikir perempuan. Helen juga berpikir kalau selama ini barangkali Drew sangat peka melihat kedekatannya dengan Gavin. Biar bagaimanapun dia tidak tahu apa yang dibicarakan oleh dua sahabat itu di luar atau di tempat kerja mereka. "Bisa saja, bukan? Tidak mungkin Gavin tidak merasakan apa pun padamu ketika kalian tinggal bersama." Helen hanya tersenyum sambil menghabiskan jus jeruknya. Dia tidak pernah berpikir akan hal itu. Tidak pernah berharap juga untuk berada di posisi semacam itu. Untuk saat ini dia tidak tertarik menjalani hubungan romantis dengan siapa
"Aku sama sekali tidak pernah terpikir akan hal itu, Drew." Helen jelas sangat terkejut ketika Drew tiba-tiba saja menyatakan rasa tertariknya. Sesuatu yang terlalu cepat. Helen sama sekali tidak tahu apa yang membuat Drew begitu tertarik padanya. Dia bahkan berpikir bahwa ini sangat wajar ketika mengingat kalau dulu Gavin menyebut Drew sebagai lelaki playboy. Tidak mengherankan kalau Drew begitu cepat tertarik pada wanita. Paling nanti cepat atau lambat pada akhirnya Drew akan bosan padanya."Kenapa? Apa aku kurang menarik? Atau memang benar kau punya masalah percintaan yang membuatmu trauma?"Helen menggeleng. Dia selalu saja merasa khawatir bila ada yang menyinggung soal trauma, terlebih lagi tebakan orang itu memang benar. "Bukan begitu, Drew. Maaf kalau memang aku membuatmu kecewa. Aku hanya tidak tertarik untuk memulai hubungan semacam itu untuk saat ini. Aku ingin mengurus diriku sendiri. Aku ingin menyelamatkan diriku sendiri dulu."Helen tertunduk ketika menyadari ekspresi k
"Jangan berpikir kalau kau bisa menyakitinya hanya karena kau adalah temanku."Helen tak sempat menoleh sama sekali, namun dia bisa mengenali suara itu. Jelas yang berbicara itu adalah Gavin. Entah sejak kapan dan bagaimana caranya Gavin bisa tahu dan datang kemari menyelamatkannya.Helen merasakan lengan Drew sudah tidak melingkar di lehernya. Dia berhasil lepas dan tersedak karena sesaat sulit bernapas. Dia menjauh dari sana dan melihat Gavin kini berusaha menahan Drew.Orang-orang di sekitar hanya bisa melihat. Helen tahu kalau beberapa saat yang lalu, orang-orang itu hendak menolongnya. Namun karena sekarang sudah ada Gavin yang terlihat begitu marah pada Drew, orang-orang itu terlihat ketakutan untuk sekadar mendekat. Akan tetapi pada akhirnya Helen mendengar suara mobil polisi. "Tidak, jangan lakukan itu!" Helen berteriak dan berusaha mencegah para polisi yang kini hendak membawa Drew dan Gavin. Dia tentu saja khawatir apabila Gavin malah harus kena masalah karena dirinya. Sal