"Kau yakin tidak pernah berkomunikasi dengan siapa pun selama kau tinggal di rumahku? Kau mungkin pernah mengenal seseorang di luar sana." Helen menggeleng dengan gelisah. Hanya dengan pesan singkat itu sudah cukup membuatnya merasa sangat panik. Dia tidak tahu siapa yang menghubunginya semalam, dia takut kalau itu adalah salah satu orang yang diperintahkan oleh Rey untuk mencarinya. Sebenarnya hingga saat ini dia juga tidak yakin kalau Rey sudah mengetahui bahwa dia tidak ada dalam kuburan itu. Namun entah kenapa kemungkinan terburuk itu selalu saja menghantuinya. Dia selalu berharap bahwa hingga saat ini Rey belum mengetahuinya. "Apa kau menimbun kuburan itu kembali setelah mengeluarkanku dari sana? Kau tidak mungkin membiarkan tanahnya terbuka begitu saja, bukan? Itu akan membuat Rey sangat mudah mengetahui bahwa aku sudah tidak ada dalam kuburan itu." Helen menatap dalam mata Gavin. Berharap bahwa Gavin tidak akan berbohong padanya hanya untuk menyenangkan dirinya. "Aku menyur
"Orang itu memata-mataiku, Gavin. Dia tahu apa yang aku lakukan. Aku harus apa?! Bagaimana kalau dia menculikku nanti?!" Helen melepaskan semua tangisnya. Dia merasa tidak bisa mengendalikan emosinya saat ini. Dia bahkan sudah tidak peduli ketika Gavin memeluknya sekarang. Helen meninggalkan pizza itu di depan rumah setelah melihat dan membaca secarik kertas kecil di sana. Dia terlalu ketakutan hingga kemudian Gavin pulang ke rumah dengan membawa dua kotak pizza untuk mereka nikmati malam ini. Hal yang tidak tahu apa yang dilakukan oleh Gavin dengan pizza yang ada di depan pintu. Entah Gavin membuangnya atau malah menyimpannya. "Tenanglah dulu. Kita akan mengatasinya bersama." Helen menggeleng, merasa kalau kalimat dari Gavin sama sekali tidak efektif untuk menenangkan dirinya saat ini. Dia masih terlalu takut membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini, terutama apabila Gavin benar-benar pergi meninggalkannya untuk urusan pekerjaan minggu depan. "Bagaimana mungkin
"Aku hanya asisten di rumahnya. Bagaimana mungkin kami saling jatuh cinta. Lagi pula aku sangat yakin kalau dia pasti punya perempuan yang jauh lebih berkelas daripada aku di luaran sana. Bukankah orang kaya memang seperti itu?" Helen cukup terkejut ketika Drew menanyakan pertanyaan semacam itu. Atau mungkin memang wajar saja, dia tidak terlalu tahu bagaimana cara lelaki berpikir. Jelas bisa dibilang sangat berbeda dari cara berpikir perempuan. Helen juga berpikir kalau selama ini barangkali Drew sangat peka melihat kedekatannya dengan Gavin. Biar bagaimanapun dia tidak tahu apa yang dibicarakan oleh dua sahabat itu di luar atau di tempat kerja mereka. "Bisa saja, bukan? Tidak mungkin Gavin tidak merasakan apa pun padamu ketika kalian tinggal bersama." Helen hanya tersenyum sambil menghabiskan jus jeruknya. Dia tidak pernah berpikir akan hal itu. Tidak pernah berharap juga untuk berada di posisi semacam itu. Untuk saat ini dia tidak tertarik menjalani hubungan romantis dengan siapa
"Aku sama sekali tidak pernah terpikir akan hal itu, Drew." Helen jelas sangat terkejut ketika Drew tiba-tiba saja menyatakan rasa tertariknya. Sesuatu yang terlalu cepat. Helen sama sekali tidak tahu apa yang membuat Drew begitu tertarik padanya. Dia bahkan berpikir bahwa ini sangat wajar ketika mengingat kalau dulu Gavin menyebut Drew sebagai lelaki playboy. Tidak mengherankan kalau Drew begitu cepat tertarik pada wanita. Paling nanti cepat atau lambat pada akhirnya Drew akan bosan padanya."Kenapa? Apa aku kurang menarik? Atau memang benar kau punya masalah percintaan yang membuatmu trauma?"Helen menggeleng. Dia selalu saja merasa khawatir bila ada yang menyinggung soal trauma, terlebih lagi tebakan orang itu memang benar. "Bukan begitu, Drew. Maaf kalau memang aku membuatmu kecewa. Aku hanya tidak tertarik untuk memulai hubungan semacam itu untuk saat ini. Aku ingin mengurus diriku sendiri. Aku ingin menyelamatkan diriku sendiri dulu."Helen tertunduk ketika menyadari ekspresi k
"Jangan berpikir kalau kau bisa menyakitinya hanya karena kau adalah temanku."Helen tak sempat menoleh sama sekali, namun dia bisa mengenali suara itu. Jelas yang berbicara itu adalah Gavin. Entah sejak kapan dan bagaimana caranya Gavin bisa tahu dan datang kemari menyelamatkannya.Helen merasakan lengan Drew sudah tidak melingkar di lehernya. Dia berhasil lepas dan tersedak karena sesaat sulit bernapas. Dia menjauh dari sana dan melihat Gavin kini berusaha menahan Drew.Orang-orang di sekitar hanya bisa melihat. Helen tahu kalau beberapa saat yang lalu, orang-orang itu hendak menolongnya. Namun karena sekarang sudah ada Gavin yang terlihat begitu marah pada Drew, orang-orang itu terlihat ketakutan untuk sekadar mendekat. Akan tetapi pada akhirnya Helen mendengar suara mobil polisi. "Tidak, jangan lakukan itu!" Helen berteriak dan berusaha mencegah para polisi yang kini hendak membawa Drew dan Gavin. Dia tentu saja khawatir apabila Gavin malah harus kena masalah karena dirinya. Sal
"Kuharap aku tidak menyakitimu."Helen menatap dalam mata Gavin yang berada di atasnya.Helen tidak menyangka kalau bisa-bisanya dia tidak bisa berpikir jernih karena hal ini. Kebutuhan biologisnya ternyata tidak bisa dia tahan sebagaimana ketika dia sedang lapar. Bahkan memang sudah berminggu-minggu dia tidak mendapatkannya. Padahal biasanya Rey akan senantiasa menyentuhnya dan itu bisa membuatnya merasa lega, walau terkadang juga merasa frustasi ketika Rey memaksakan kehendaknya saat Helen sedang tidak mau. Helen memutar mata dan menyapu seluruh ruangan dengan pandangannya ketika Gavin masih melanjutkan percintaan mereka. Dia hanya ingin memastikan bahwa memang tidak ada CCTV yang dipasang di sana. Dia mungkin akan merasa malu seumur hidup bila ada sebuah kamera yang merekam aktivitas intim mereka. "Terima kasih." Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Helen setelah mereka selesai. Dia memang sudah tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Mendadak saja merasa sangat ragu untuk sekadar me
"Aku tidak suka kalau kau bersikap seperti itu padaku. Anggap saja bahwa hal semacam ini sudah biasa." Helen hanya bisa tersenyum. Dia tidak bisa berpendapat bahwa itu adalah suatu hal yang biasa. Mungkin dalam budaya dan gaya hidup mereka di kota ini, seks sudah menjadi kebutuhan sama halnya seperti makanan. Ada banyak orang yang sangat bebas dalam hal semacam ini dan bangun keesokan harinya seolah tidak pernah terjadi apa pun. Bahkan mereka seperti tidak peduli siapa yang mereka tiduri. Sekarang Gavin mengajak Helen untuk pergi bersama. Helen tahu bahwa Gavin ingin mencairkan hubungan di antara mereka berdua. Helen juga tidak nyaman apabila hubungannya dengan Gavin malah terlihat sangat kaku setelah kejadian malam itu. "Aku minta maaf kalau itu membuatmu tidak nyaman sama sekali," ucap Helen yang malah membuat Gavin tertawa. Helen bisa merasakan pipinya memanas. Dia terlalu malu apabila harus membahasnya lagi. "Aku paham kenapa kau memintanya. Aku tidak keberatan kalau kau mau
"Kau ini kenapa? Sejak tadi tidak bicara sama sekali." Helen hanya bisa tersenyum dan menggeleng ketika Gavin bertanya kepadanya. Gavin akan pergi bersama Ella hari ini seperti yang dia katakan kemarin. Sesuatu yang juga membuat hati Helen jadi dongkol. Helen membuatkan bekal untuk Gavin karena memang beberapa saat yang lalu Gavin dan memintanya sendiri. Namun entah kenapa aktivitas memasak itu malah terasa tidak menyenangkan sama sekali. Dia juga tidak yakin kalau masakannya akan enak. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit meriang." Helen menyerahkan kotak bekal itu pada Gavin, kemudian berlalu begitu saja menuju kamar mandi. Entah kenapa dia malah malas menatap wajah Gavin sekarang. Gavin terlihat begitu senang, tapi itu membuat Helen merasa seperti ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Helen membiarkan air shower membasahi seluruh tubuhnya. Dia hanya berdiri mematung di sana dan mendengar Gavin sudah pergi. Dia bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa dia malah merasa seperti ini? M
"Kau sudah baik-baik saja?" tanya Albert setelah kembali melihat Helen hari ini. Dari wajah Albert saja sudah bisa ditebak bahwa dia memikirkan banyak hal, terutama ketika mengingat bahwa Helen baru saja mengalami keguguran. Alisnya sedikit berkerut. Wajahnya yang biasanya tegar dan kuat sekarang terlihat was-was.Perasaan campur aduk terlihat jelas di dalam mata Albert. Dia mungkin merasa bersalah karena insiden tersebut, dan perasaannya terhadap Helen, yang juga merupakan teman dekatnya, terasa sangat salah. Helen tersenyum manis dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, merasa lebih lega sekarang. Dia seperti merasakan sesuatu yang jauh lebih bebas daripada hari sebelumnya. Dia tidak tahu perasaan semacam apa ini. Dia hanya merasa jauh lebih bahagia. Mungkin karena memang faktor hormon yang selalu berubah-ubah. "Yah, kau tidak perlu terlalu khawatir. Aku sudah baik-baik saja." Albert menghela napas lega. Dia menatap mata Helen yang sama sekali tidak balas menatapnya. "Aku me
"Kenapa kau terlihat sangat marah? Kau marah karena kehilangan bayinya atau kau marah padaku?" Gavin menatap wajah Helen yang sejak tadi seakan tidak mau menatapnya balik.Kamar rumah sakit itu hening, suasana tegang menggantung seperti awan. Cahaya pucat dari lampu langit-langit menyinari ruangan, memantulkan kebisuan. Suara detak jam dinding terdengar seperti dentingan waktu, semakin menegaskan keheningan yang melingkupi mereka berdua. Di tengah ruangan, Helen dan Gavin saling diam setelah apa yang baru saja terjadi. Meskipun suara mereka rendah dan terkontrol, kemarahan itu terasa begitu kentara, seperti medan magnetik yang bertabrakan, menciptakan gelombang kemarahan yang tak terucapkan. Helen juga tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Ada suatu gejolak besar dari dalam hatinya yang sama sekali tidak bisa dia jelaskan di saat seperti ini. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan kepada Gavin. Helen beranjak dari kasur itu dan menatap mata Gavin. Kesunyian itu seakan membun
"Mohon maaf, dia keguguran." Gavin langsung terpaku di tempat ketika mendengar apa yang dikatakan oleh dokter itu. Butuh waktu beberapa lama baginya untuk mencerna makna dari kalimat singkat itu. Ada sesuatu yang ingin dia katakan, sesuatu yang menyampaikan segala kebingungannya, namun kalimat itu seakan berhenti di ujung lidah, tidak bisa keluar begitu saja. Di belakang Gavin, Albert juga berdiri kaku. Ada banyak hal yang menjejali kepala dua lelaki itu. Gavin merasa sangat terkejut setelah mengetahui bahwa ternyata selama ini Helen sedang hamil. Sedangkan Albert juga ingin menanyakan banyak hal kepada Gavin tentang kehamilan Helen. Koridor rumah sakit itu terasa lebih sepi daripada biasanya, padahal masih ada banyak dokter dan para perawat yang lalu lalang. Gavin merasakan seolah tak ada nyawa lagi di rumah sakit ini. Terasa hampa dan sangat hambar. Semua menguap karena rasa terkejut dari dalam hati kecilnya. "Maksud, Dokter? Maaf, saya tidak mengerti sama sekali," ucap Gavin ag
"Apa yang terjadi pada Helen?" suara panik Gavin memecah keheningan lokasi syuting. Dia dengan cepat melangkah ke arah tubuh Helen yang tergeletak di tanah. Orang-orang di sekitarnya hanya bisa menatap tanpa melakukan apa pun, bahkan malah banyak orang yang merekamnya.Tanpa ragu, Gavin dengan cepat mengangkat tubuh Helen yang tidak sadarkan diri, mengangkatnya dengan hati-hati. Albert tentu saja juga khawatir, dia mengikuti Gavin yang membawa Helen ke mobil yang terparkir tidak jauh dari lokasi syuting. Gavin segera berlari ke sisi pengemudi dan menyalakan mesin mobil. Dengan cepat dan hati-hati, dia memacu mobil menuju rumah sakit terdekat. Gavin tidak tahu kalau Albert mengikutinya dari belakang.Sambil berkendara, Gavin terus mencoba membangunkan Helen. "Helen, bangunlah," bisiknya dengan suara lembut, namun tidak membuahkan hasil sama sekali. Di belakang mereka, Albert menjaga jarak, menngikuti setiap pergerakan mobil Gavin. Hatinya berdebar, terus berharap agar Helen baik-baik s
"Aku akan membicarakannya dengan Albert," ucap Helen sebelum berangkat ke lokasi syuting. Dia tersenyum ke arah Gavin, membiarkan lelaki itu yang mengantarnya hari ini. Albert sebenarnya sudah mengirim pesan pada Helen agar mereka berangkat bersama pagi ini seperti biasa. Namun karena kejadian tadi malam, Helen tentu saja menolak tawaran dari Albert.Helen keluar dari mobil setelah mereka sampai. Dia melambaikan tangan ke arah Gavin sebelum kemudian lelaki itu pergi ke tempat kerjanya sendiri.Dia langsung menemui Albert di lokasi syuting itu. Melihat Albert duduk sendirian di salah satu kursi, tepat di samping para pemain lainnya. Dengan gugup Helen menghampiri lelaki itu. Berbisik sejenak pada Albert agar bisa sedikit menjauh dari para aktor lainnya dan mereka bisa berbicara berdua. Albert yang walaupun merasa heran, tetap mengusahakan untuk menuruti apa yang dikatakan Helen. Mereka duduk berdua, jauh dari orang-orang.Helen mengambil napas dalam-dalam, menatap ke arah Albert, mera
Helen hanya bisa menahan nafas ketika Gavin menggagahinya. Gavin tidak mungkin mabuk. Helen cukup tau bahwa seorang pria tidak akan bisa ereksi ketika sedang mabuk. Jangankan ereksi, untuk bangun dari tempat tidur saja rasanya sulit. Helen sudah tidak mengenakan pakaian apa pun. Gavin melemparnya ke tempat tidur begitu saja. Entah harus disebut apa, namun Helen sama sekali tidak merasa kalau Gavin memperkosanya, meskipun memang caranya cukup kasar, namun Helen cukup menikmatinya. Bahkan dia juga mendesah. "Gavin, aku lelah. Tolong, cepatlah keluar." Helen mengeluh karena merasa kalau sebentar lagi dia akan pingsan jika seandainya Gavin tetap melanjutkan permainan ini. Dia merasakan gairah dan juga kemarahanGavin dalam permainan ini. Helen tahu kalau Gavin sudah marah padanya, dia belum menyadari penyebab dari kemarahan lelaki itu. Helen tetap saja bergerak cepat di atasnya. Sedikit perih namun juga geli di bagian kemaluannya. Setelah beberapa menit akhirnya Gavin mengerang, tidak
Helen sudah pasti salah sangka, namun dia tidak menyadarinya sama sekali. Selama proses syuting hari ini, Gavin sama sekali tidak menelepon walau hanya satu kali. Padahal biasanya Gavin selalu menyempatkan diri menelepon Helen minimal sekali untuk memastikan keadaannya.Dan karena hal ini juga Helen merasa gelisah karena takut terjadi sesuatu yang salah. Dia tidak mau kalau hubungannya dengan Gavin jadi renggang karena sesuatu yang dia sendiri tidak sadari."Ayolah, Gavin. Kenapa kau tidak mengangkat teleponnya?" Helen menempelkan smartphone itu ke telinganya. Dia merasa gelisah karena Gavin sejak tadi tidak mengangkat telepon darinya.Suara berisik di sekitar lokasi syuting semakin membuatnya merasa frustasi. Helen menutup kedua telinga. Panggilan itu masih berdering dan tidak digubris sama sekali oleh Gavin."Kau terlihat kesal sekali. Apa ada sesuatu yang terjadi hari ini? Atau mungkin kau sedang menstruasi?"Helen tersentak ketika seseorang mendadak duduk di sampingnya dan mengelap
"Siapa lelaki itu?" Helen mengangkat alis ketika Gavin bertanya dengan nada dingin. Dia memang baru saja pulang dari lokasi syuting. Kali ini dia pulang bukan dijemput oleh Gavin atau juga menaiki kendaraan umum, dia diantar oleh salah satu lawan mainnya. Helen menoleh ke belakang ketika orang yang mengantarnya tadi sudah berbalik dan siap untuk meninggalkan beranda apartemen mereka. Helen hanya tersenyum sambil mengangkat bahu ke arah Gavin. "Dia hanya temanku. Dia salah satu lawan mainku. Namanya Albert," jawab Helen dengan tenang sambil melemparkan ranselnya begitu saja ke atas sofa ruang tamu. Dia juga melepas ikat rambutnya, bersiap untuk mandi. Walau cuaca kali ini memang masih dingin, namun dia merasa kalau tubuhnya sangat lengket. Dia harus mandi dengan air hangat sekarang. "Oh, ternyata begitu." Gavin termenung. Dia melipat tangan di depan dada. Masih memandangi beranda apartemen mereka yang sudah sepi. Dia tidak sempat untuk mengajak lelaki itu untuk mengobrol tadi. Lelak
"Kuharap aku tidak mengganggumu. Kau sedang sibuk?"Helen tersenyum ketika menerima telepon dari Gavin. Dia sedang menghafal dialog sekarang. Gavin juga ada di tempat kerjanya. Mereka tetap berkabar. Gavin juga hanya ingin memastikan tidak ada sesuatu yang buruk pada Helen. Helen duduk di salah satu rumah pohon. Dia selalu suka dengan lantai rumah pohon itu. Terasa sangat hangat. Suhu di lokasi syuting mereka juga terasa sangat pas. Di luar sana, salju sudah tidak turun. Bukit salju di pinggir-pinggir jalan itu juga mulai mencair. Jalanan tidak lagi menjadi penghalang bagi mereka karena sudah tidak terlalu licin."Yah, lumayan." Helen menggigit bibirnya. Dialog itu cukup panjang. Dia juga masih punya waktu karena masih ada banyak adegan lain yang sedang diambil. Aktor lainnya juga ada di sana. Belum tiba gilirannya."Oh, apa aku cukup mengganggu? Kalau begitu, aku akan telepon nanti saja.""Eh, tidak. Kau tidak mengganggu sama sekali." Helen buru-buru menjawab agar Gavin tidak menutu