"Apa yang terjadi pada Helen?" suara panik Gavin memecah keheningan lokasi syuting. Dia dengan cepat melangkah ke arah tubuh Helen yang tergeletak di tanah. Orang-orang di sekitarnya hanya bisa menatap tanpa melakukan apa pun, bahkan malah banyak orang yang merekamnya.Tanpa ragu, Gavin dengan cepat mengangkat tubuh Helen yang tidak sadarkan diri, mengangkatnya dengan hati-hati. Albert tentu saja juga khawatir, dia mengikuti Gavin yang membawa Helen ke mobil yang terparkir tidak jauh dari lokasi syuting. Gavin segera berlari ke sisi pengemudi dan menyalakan mesin mobil. Dengan cepat dan hati-hati, dia memacu mobil menuju rumah sakit terdekat. Gavin tidak tahu kalau Albert mengikutinya dari belakang.Sambil berkendara, Gavin terus mencoba membangunkan Helen. "Helen, bangunlah," bisiknya dengan suara lembut, namun tidak membuahkan hasil sama sekali. Di belakang mereka, Albert menjaga jarak, menngikuti setiap pergerakan mobil Gavin. Hatinya berdebar, terus berharap agar Helen baik-baik s
"Mohon maaf, dia keguguran." Gavin langsung terpaku di tempat ketika mendengar apa yang dikatakan oleh dokter itu. Butuh waktu beberapa lama baginya untuk mencerna makna dari kalimat singkat itu. Ada sesuatu yang ingin dia katakan, sesuatu yang menyampaikan segala kebingungannya, namun kalimat itu seakan berhenti di ujung lidah, tidak bisa keluar begitu saja. Di belakang Gavin, Albert juga berdiri kaku. Ada banyak hal yang menjejali kepala dua lelaki itu. Gavin merasa sangat terkejut setelah mengetahui bahwa ternyata selama ini Helen sedang hamil. Sedangkan Albert juga ingin menanyakan banyak hal kepada Gavin tentang kehamilan Helen. Koridor rumah sakit itu terasa lebih sepi daripada biasanya, padahal masih ada banyak dokter dan para perawat yang lalu lalang. Gavin merasakan seolah tak ada nyawa lagi di rumah sakit ini. Terasa hampa dan sangat hambar. Semua menguap karena rasa terkejut dari dalam hati kecilnya. "Maksud, Dokter? Maaf, saya tidak mengerti sama sekali," ucap Gavin ag
"Kenapa kau terlihat sangat marah? Kau marah karena kehilangan bayinya atau kau marah padaku?" Gavin menatap wajah Helen yang sejak tadi seakan tidak mau menatapnya balik.Kamar rumah sakit itu hening, suasana tegang menggantung seperti awan. Cahaya pucat dari lampu langit-langit menyinari ruangan, memantulkan kebisuan. Suara detak jam dinding terdengar seperti dentingan waktu, semakin menegaskan keheningan yang melingkupi mereka berdua. Di tengah ruangan, Helen dan Gavin saling diam setelah apa yang baru saja terjadi. Meskipun suara mereka rendah dan terkontrol, kemarahan itu terasa begitu kentara, seperti medan magnetik yang bertabrakan, menciptakan gelombang kemarahan yang tak terucapkan. Helen juga tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Ada suatu gejolak besar dari dalam hatinya yang sama sekali tidak bisa dia jelaskan di saat seperti ini. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan kepada Gavin. Helen beranjak dari kasur itu dan menatap mata Gavin. Kesunyian itu seakan membun
"Kau sudah baik-baik saja?" tanya Albert setelah kembali melihat Helen hari ini. Dari wajah Albert saja sudah bisa ditebak bahwa dia memikirkan banyak hal, terutama ketika mengingat bahwa Helen baru saja mengalami keguguran. Alisnya sedikit berkerut. Wajahnya yang biasanya tegar dan kuat sekarang terlihat was-was.Perasaan campur aduk terlihat jelas di dalam mata Albert. Dia mungkin merasa bersalah karena insiden tersebut, dan perasaannya terhadap Helen, yang juga merupakan teman dekatnya, terasa sangat salah. Helen tersenyum manis dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, merasa lebih lega sekarang. Dia seperti merasakan sesuatu yang jauh lebih bebas daripada hari sebelumnya. Dia tidak tahu perasaan semacam apa ini. Dia hanya merasa jauh lebih bahagia. Mungkin karena memang faktor hormon yang selalu berubah-ubah. "Yah, kau tidak perlu terlalu khawatir. Aku sudah baik-baik saja." Albert menghela napas lega. Dia menatap mata Helen yang sama sekali tidak balas menatapnya. "Aku me
"Kejar dia!"Helen merasa sudah tidak sanggup melebarkan kaki untuk menjauh dari kejaran sekelompok lelaki itu. Dia tidak sanggup kalau harus kembali dibawa ke apartemen yang dia anggap jauh lebih mengerikan daripada neraka. Langkah kakinya terlalu kecil apabila dibandingkan dengan langkah kaki beberapa lelaki yang mengejarnya sekarang.Helen menjerit keras berharap ada orang yang bisa mendengar kemudian menolongnya. Namun jeritannya itu seakan tak ada bedanya dengan suara kucing liar. Dia merasakan seseorang menarik baju dan rambutnya dari belakang. Helen sampai meringis sakit ketika ketiga lelaki itu kini menyergap tubuhnya dan memasukkan ke mobil."Kami berhasil menangkap Nona Helen." Salah satu pria itu menelepon sang atasan. Orang yang mendengar hal itu pun tersenyum puas. Helen hanya bisa pasrah karena sebentar lagi dia akan kembali ke apartemen itu."Bagus, segera bawa dia kemari. Jangan sampai dia lepas lagi," ucap pria di seberang sana. Telepon itu pun terputus.Hanya butuh
"Apa?! Apa yang akan kau lakukan pada diriku?!"Helen kembali berbalik dan menatap Rey dengan ketakutan. Dia tahu bahwa Rey tidak pernah main-main dengan kata-katanya sendiri. Dan apa yang dikatakan oleh Rey tadi sudah cukup membuat Helen merasa takut. "Kebanyakan wanita tidak akan kabur apabila dia sudah hamil, bukan? Aku dengar ada banyak wanita di luar sana yang dengan bodohnya mempertahankan rumah tangganya hanya demi anak." Helen terpaku. Tentu saja dia sudah paham apa yang dimaksud oleh Rey. Rey berniat untuk menghamilinya agar dia tidak bisa kabur lagi karena memikirkan keadaan kandungannya nanti. "Dan apa yang membuatmu berpikir bahwa aku akan melakukan hal yang sama dengan para wanita itu yang bertahan dalam hubungan yang tidak sehat hanya demi anak?" Rey berjalan mendekat ke arah Helen. Helen kembali meringkuk di atas ranjang itu dengan takut sambil melindungi seluruh tubuhnya dengan selimut. Rey duduk tepat di samping ranjang dan memandangi Helen. "Karena kau tidak aka
"Memangnya apa saja yang kalian lakukan?! Kenapa bisa seperti ini?" Rey bertanya dengan tegas, namun masih menjaga nada suaranya agar tidak mengganggu pasien lain di rumah sakit itu. Saat ini dia berada di lorong rumah sakit bersama beberapa penjaga di apartemennya. Beberapa penjaga itu hanya bisa tertunduk tanpa mengucapkan sepatah kata. Mereka tahu bahwa hanya keajaiban yang bisa menyelematkan mereka dari situasi seperti ini. Sementara itu, Helen yang sudah sadarkan diri bisa mendengar suara Rey dari balik pintu itu sebelum kemudian dia melihat Rey masih ke ruang tempat dia dirawat."Sampai seperti ini yang kau lakukan hanya demi bisa lepas dariku?" Rey bertanya sambil berjalan mendekat. Helen menatap pria itu dengan was-was. Dia merasa kalau tulang-tulangnya sudah remuk sekarang."Apa yang dikatakan dokter?" tanya Helen berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia belum siap menerima amukan Rey saat ini. "Tidak ada. Hanya ada beberapa bagian yang bermasalah, tapi tak sampai patah tula
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Gavin sambil mengelap wajah Helen dengan handuk kecil. Helen menyapu pandangannya ke segala penjuru ruangan itu. Gavin membawanya menuju sebuah mini house. Helen menebak kalau mungkin rumah itu adalah milik Gavin sendiri."Dia menguburku hidup-hidup," jawab Helen. Gavin menghentikan gerakan tangannya. Helen melihat lelaki itu mengerutkan kening ke arahnya."Dia? Dia siapa? Apa dia berniat mencelakaimu?" tanya Gavin lagi sambil menyodorkan roti isi pada Helen. Karena memang merasa lapar, Helen langsung menghabiskan roti isi itu. Tidak sadar kalau Gavin menahan senyum ketika melihatnya yang begitu lahap menikmati roti itu. "Rey. Dia tunanganku. Orang yang dijodohkan denganku. Sejak dulu dia terobsesi padaku dan mengurungku di dalam rumahnya. Aku tidak diperbolehkan bekerja dan beraktivitas di luar." Helen meminum segelas susu di sana. Merasa lega karena perutnya sudah terisi.Gavin mengerutkan kening. Awalnya merasa heran, namun setelah mendengar kata