"Apa?! Apa yang akan kau lakukan pada diriku?!"
Helen kembali berbalik dan menatap Rey dengan ketakutan. Dia tahu bahwa Rey tidak pernah main-main dengan kata-katanya sendiri. Dan apa yang dikatakan oleh Rey tadi sudah cukup membuat Helen merasa takut.
"Kebanyakan wanita tidak akan kabur apabila dia sudah hamil, bukan? Aku dengar ada banyak wanita di luar sana yang dengan bodohnya mempertahankan rumah tangganya hanya demi anak."
Helen terpaku. Tentu saja dia sudah paham apa yang dimaksud oleh Rey. Rey berniat untuk menghamilinya agar dia tidak bisa kabur lagi karena memikirkan keadaan kandungannya nanti.
"Dan apa yang membuatmu berpikir bahwa aku akan melakukan hal yang sama dengan para wanita itu yang bertahan dalam hubungan yang tidak sehat hanya demi anak?"
Rey berjalan mendekat ke arah Helen. Helen kembali meringkuk di atas ranjang itu dengan takut sambil melindungi seluruh tubuhnya dengan selimut. Rey duduk tepat di samping ranjang dan memandangi Helen.
"Karena kau tidak akan bisa bertahan dalam keadaan seperti itu. Jika kau kabur dalam keadaan hamil dan tidak punya pekerjaan, jangan mengira kalau hidupmu akan serba mudah sebagaimana yang bisa kujamin padamu."
Helen menatap datar pada Rey. Bibirnya terbuka, hendak mengatakan sesuatu. Namun kalimat itu seakan terhenti di ujung lidahnya. Dia mengakui bahwa apa yang dikatakan Rey memang benar.
Tidak akan ada yang menolongnya di luar sana, termasuk ayahnya yang juga tidak lagi peduli padanya. Ayahnya hanya memikirkan perusahaan dan sudah terlanjur menganggap bahwa Helen sudah menjadi tanggung jawab Rey. Dia tidak akan bisa berharap pada siapa pun dan mungkin akan terlunta di tengah jalan.
"Ayahmu sudah melepaskanmu, Helen. Kita hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan. Jadi lebih baik kau duduk manis saja di kamar ini."
Setelah mengatakan itu, Rey pun keluar dari kamar. Namun entah kenapa, sekalipun Rey sudah menakutinya, Helen tetap saja tidak terima apabila harus menghabiskan seluruh hidupnya di apartemen itu. Masih ada niat untuk kabur sebelum Rey benar-benar menghamilinya.
Helen turun dari ranjang dan keluar dari kamar itu. Dia langsung melihat beberapa penjaga di sana. Rey sudah melaju ke kantor beberapa saat yang lalu.
"Aku mau ke dapur. Mau makan sesuatu," ucap Helen pada para penjaga itu. Berharap dalam hati mereka tidak perlu mengawasi Helen dalam hal ini.
"Perlu kami siapkan makananmu?" tanya salah satu penjaga berkepala botak.
"Tidak, aku akan membuatnya sendiri." Helen langsung berlalu dari sana. Cukup lega ketika menyadari bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang mengikuti Helen ke dapur.
Namun ketika dia sampai di dapur, ternyata ada beberapa koki di sana. Dapur itu tidak sepi seperti yang dia harapkan.
"Ada sesuatu yang bisa kami bantu, Nona?" tanya salah satu gadis remaja yang merupakan koki termuda di apartemen ini.
"Tidak, aku ingin memasak. Bisakah kalian tinggalkan saja ruangan ini? Aku sedikit tidak nyaman kalau ada banyak orang ketika aku membuat sesuatu."
"Tapi Tuan Rey meminta kami untuk memasak apa pun yang Nona butuhkan. Jadi lebih baik Nona tetap di kamar saja dan kami akan bawakan makanannya." Gadis remaja itu seperti memaksa, mungkin karena pernah mendapat amukan Rey sebelumnya.
"Tolong, ini bukan tentang makanan, tapi ini tentang hobi. Aku sangat hobi memasak dan aku sudah lama tidak melakukannya. Jadi aku ingin memasak sendiri hari ini."
Para koki itu saling berpandangan sejenak sebelum kemudian mereka membiarkan Helen memasak di dapur itu sendirian. Merasa tidak ada orang lain lagi yang mengawasinya, Helen secara perlahan berjalan menuju pintu apartemen paling belakang. Dia berusaha membukanya dengan cara apa pun, termasuk dengan cara merusak knop pintu itu.
Berhasil membuka paksa pintu itu, dia pun segera keluar dan berlari menjauh dari apartemen. Tidak sadar kalau ada banyak CCTV yang terpasang di sana, termasuk di bagian dapur.
"Dia kabur. Cepat tangkap dia!" Penjaga berkepala botak yang sebenarnya sejak tadi mengawasi Helen dari rekaman CCTV langsung memerintahkan kepada para penjaga lainnya begitu mereka mendapati Helen sudah meninggalkan apartemen.
"Haruskah kita melaporkan hal ini pada Tuan Rey?" tanya salah satu penjaga.
"Tidak, jangan sekarang. Tangkap saja dia," ucap pria berkepala botak itu. Para penjaga itu pun segera keluar dari apartemen dan menangkap Helen yang belum terlalu jauh.
Sadar kalau aksinya diketahui oleh para penjaga, Helen berusaha berlari secepat mungkin dan mencari tempat yang cocok untuk bersembunyi. Dia berusaha bersembunyi di balik tong yang ada di sebuah gang sempit.
Sayangnya, Helen memang terlalu bodoh. Dia lupa kalau jumlah orang yang mengejarnya sekarang jauh lebih banyak sehingga dengan sangat mudah pula para penjaga itu menemukannya.
"Tidak, lepaskan aku!" Helen menjerit ketika beberapa lelaki kini menarik paksa tangannya. Dia belum terlalu jauh dari apartemen.
"Jangan membantah," ucap salah satu penjaga yang langsung mengangkat tubuh Helen bagai mengangkat karung di pundaknya.
Helen tidak bisa melepaskan diri karena tenaganya tidak sebanding dengan para lelaki itu. Pada akhirnya dia hanya bisa menangis ketika kembali ke kamar lamanya.
"Ini demi kebaikanmu, Nona. Kami tidak bisa melakukan apa pun apabila Tuan Rey memberikan hukuman padamu." Pria berkepala botak itu akhirnya menutup pintu kamar dan menguncinya dari luar.
Helen berteriak histeris karena usahanya kembali gagal. Dia melampiaskan amarahnya pada semua barang yang ada di sana. Tanpa ragu memecahkan barang itu dan tidak peduli berapa pun harganya. Dia tahu kalau Rey tidak akan memarahinya dalam hal ini.
"Brengsek kau, Rey!"
Helen duduk sejenak di tengah ruangan itu sampai tangisnya reda. Matanya terpaku pada jendela kaca besar itu. Terlintas ide gila untuk mengakhiri semuanya. Dia berpikir bahwa akan jauh lebih baik kalau dia segera mati daripada menghabiskan seumur hidup bersama Rey.
Helen mengambil kursi lantas memecahkan kaca jendela itu. Tanpa pikir panjang dia memanjat. Helen memejamkan mata sejenak ketika melihat ke bawah sana. Dia berada di lantai atas apartemen.
Dia tidak bisa membayangkan bagaimana tulang-tulangnya akan remuk setelah melompat dari jendela itu.
Namun Helen tetap pada tekadnya. Dengan hati berdebar, dia melepaskan pegangan lantas melompat. Suara itu menarik perhatian beberapa penjaga yang bertugas di luar apartemen. Tubuh Helen tergeletak begitu saja di sana. Helen sudah tidak sadarkan diri.
***Rey merogoh saku celana dan melihat kalau salah satu penjaganya menelepon. Dia mengangkat telepon itu sambil terus fokus ke arah laptop kerjanya."Halo, Tuan. Maafkan kami, tapi Nona Helen mencoba untuk bunuh diri."
"Memangnya apa saja yang kalian lakukan?! Kenapa bisa seperti ini?" Rey bertanya dengan tegas, namun masih menjaga nada suaranya agar tidak mengganggu pasien lain di rumah sakit itu. Saat ini dia berada di lorong rumah sakit bersama beberapa penjaga di apartemennya. Beberapa penjaga itu hanya bisa tertunduk tanpa mengucapkan sepatah kata. Mereka tahu bahwa hanya keajaiban yang bisa menyelematkan mereka dari situasi seperti ini. Sementara itu, Helen yang sudah sadarkan diri bisa mendengar suara Rey dari balik pintu itu sebelum kemudian dia melihat Rey masih ke ruang tempat dia dirawat."Sampai seperti ini yang kau lakukan hanya demi bisa lepas dariku?" Rey bertanya sambil berjalan mendekat. Helen menatap pria itu dengan was-was. Dia merasa kalau tulang-tulangnya sudah remuk sekarang."Apa yang dikatakan dokter?" tanya Helen berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia belum siap menerima amukan Rey saat ini. "Tidak ada. Hanya ada beberapa bagian yang bermasalah, tapi tak sampai patah tula
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Gavin sambil mengelap wajah Helen dengan handuk kecil. Helen menyapu pandangannya ke segala penjuru ruangan itu. Gavin membawanya menuju sebuah mini house. Helen menebak kalau mungkin rumah itu adalah milik Gavin sendiri."Dia menguburku hidup-hidup," jawab Helen. Gavin menghentikan gerakan tangannya. Helen melihat lelaki itu mengerutkan kening ke arahnya."Dia? Dia siapa? Apa dia berniat mencelakaimu?" tanya Gavin lagi sambil menyodorkan roti isi pada Helen. Karena memang merasa lapar, Helen langsung menghabiskan roti isi itu. Tidak sadar kalau Gavin menahan senyum ketika melihatnya yang begitu lahap menikmati roti itu. "Rey. Dia tunanganku. Orang yang dijodohkan denganku. Sejak dulu dia terobsesi padaku dan mengurungku di dalam rumahnya. Aku tidak diperbolehkan bekerja dan beraktivitas di luar." Helen meminum segelas susu di sana. Merasa lega karena perutnya sudah terisi.Gavin mengerutkan kening. Awalnya merasa heran, namun setelah mendengar kata
"Kau punya pengalaman sebagai sekretaris?"Helen menghela napas. Ternyata posisi yang ditawarkan oleh Gavin adalah sebagai sekretaris. Itu berarti kalau dia menerima tawaran pekerjaan itu, maka dia harus keluar rumah dan bekerja di kantor Gavin. Apakah itu aman baginya?Helen masih sangat ragu. Tindakan Rey yang menguburnya hidup-hidup sudah cukup membuatnya sangat trauma. Dia tidak akan membiarkan dirinya bertemu lagi dengan Rey atau juga dengan salah satu penjaganya. Helen mungkin tidak akan keluar rumah sampai ada yang menjamin bahwa dia tidak akan bertemu dengan Rey selamanya."Aku tidak yakin kalau harus bekerja di kantor. Aku tidak punya pengalaman kerja apa pun. Aku takut seseorang yang berhubungan dengan Rey mengenaliku dan melaporkanku padanya." Helen mengusap wajah. Dia menghabiskan jus jeruk itu bahkan juga lanjut menghabiskan pizza di sana, padahal tadi dia sudah cukup kenyang.Dia melihat Rey yang tampak juga ikut bingung dengan permasalahannya sekarang. Helen benar-benar
"Tidak perlu terlalu gugup seperti itu. Mereka tidak akan menggigitmu." Helen berjalan mondar-mandir di kamar itu sambil meremas jemarinya. Dia terlalu terkejut ketika Gavin mengatakan bahwa kedua orangtua angkat lelaki itu akan datang besok dan menemuinya. Dia takut apabila dia melakukan kesalahan di hadapan kedua orangtua Gavin. Dia memikirkan segala kemungkinan buruk. Bagaimana kalau kedua orang tua Gavin tidak menyukainya dan memecatnya dari rumah ini. Jika sampai itu terjadi, dia mungkin tidak akan punya harapan lagi karena tidak terlalu berani untuk bekerja di luar sana ketika modalnya belum cukup. "Apa yang akan mereka katakan kalau mereka tahu bahwa aku sudah lama di sini dan bahwa kau membiarkanku tinggal di rumah ini sebelum kemudian kau jadikan sebagai koki?" Helen merasa cukup bingung harus mengatakan apa lagi. Dia mengambil segelas air putih dan meminumnya. Setidaknya cukup untuk membuatnya tenang beberapa saat. "Sudah kukatakan kau tidak perlu terlalu khawatir. Merek
"Aku tidak menyangka sama sekali ketika ibumu memintaku untuk menemanimu ke pesta itu. Aku tidak sampai hati apabila harus menolaknya, meskipun aku masih cukup takut untuk pergi keluar." Helen merasa sangat gelisah. Dia duduk di sofa, sedangkan Gavin saat ini mempersiapkan pakaian yang akan dia kenakan di pesta itu. Helen melihat Gavin hanya tersenyum menanggapi perkataannya tadi. "Dan aku juga tidak menyangka kau menyetujuinya. Kau tidak perlu terlalu khawatir, aku akan memastikan semuanya baik-baik saja." Helen menghela nafas. Itu sama sekali tidak cukup untuk menenangkan dirinya. Dia lebih mengenal Rey daripada Gavin. Dia juga tahu bahwa Rey begitu terkenal, dan mungkin tidak ada orang kaya di kota ini yang tidak bersahabat atau memiliki hubungan dengan Rey. "Masalahnya aku sangat takut apabila seandainya Rey ada di pesta itu. Dia jelas akan mengenaliku dan akan membawaku pulang." Helen menyadari kalau Gavin menatap kasihan padanya. Dia berharap Gavin memiliki solusi yang lebih
"Oh, Drew. Aku tidak menyangka kita bisa bertemu di sini," ucap Gavin yang berbalik menatap lelaki muda yang berada di belakangnya. Sedangkan Helen masih terpaku karena merasa takut apabila lelaki yang memanggil dirinya tadi adalah salah satu orang yang bekerja untuk Rey dan kebetulan mengenal Gavin. Dia masih tidak berani untuk berbalik. "Yah, aku juga tidak menyangka kalau kau akhirnya punya teman kencan malam ini." Helen mendengar kembali suara lelaki itu. Dia berbalik perlahan karena sadar kalau tindakannya ini tidaklah sopan. Dia pun menatap wajah lelaki yang dipanggil dengan nama Drew itu sambil tersenyum. "Namanya Helen," ucap Gavin memperkenalkan Helen pada Drew. "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?" tanya Gavin lagi pada Drew. Helen melihat Drew hanya tersenyum. Lelaki itu mengangkat bahu yang semakin membuat Helen was-was. Selama ini Helen memang tidak bisa menghafal siapa saja orang yang bekerja pada Rey. Rey selalu dan mempekerjakan banyak orang. "Ah, tidak. Kukira
"Kau yakin tidak pernah berkomunikasi dengan siapa pun selama kau tinggal di rumahku? Kau mungkin pernah mengenal seseorang di luar sana." Helen menggeleng dengan gelisah. Hanya dengan pesan singkat itu sudah cukup membuatnya merasa sangat panik. Dia tidak tahu siapa yang menghubunginya semalam, dia takut kalau itu adalah salah satu orang yang diperintahkan oleh Rey untuk mencarinya. Sebenarnya hingga saat ini dia juga tidak yakin kalau Rey sudah mengetahui bahwa dia tidak ada dalam kuburan itu. Namun entah kenapa kemungkinan terburuk itu selalu saja menghantuinya. Dia selalu berharap bahwa hingga saat ini Rey belum mengetahuinya. "Apa kau menimbun kuburan itu kembali setelah mengeluarkanku dari sana? Kau tidak mungkin membiarkan tanahnya terbuka begitu saja, bukan? Itu akan membuat Rey sangat mudah mengetahui bahwa aku sudah tidak ada dalam kuburan itu." Helen menatap dalam mata Gavin. Berharap bahwa Gavin tidak akan berbohong padanya hanya untuk menyenangkan dirinya. "Aku menyur
"Orang itu memata-mataiku, Gavin. Dia tahu apa yang aku lakukan. Aku harus apa?! Bagaimana kalau dia menculikku nanti?!" Helen melepaskan semua tangisnya. Dia merasa tidak bisa mengendalikan emosinya saat ini. Dia bahkan sudah tidak peduli ketika Gavin memeluknya sekarang. Helen meninggalkan pizza itu di depan rumah setelah melihat dan membaca secarik kertas kecil di sana. Dia terlalu ketakutan hingga kemudian Gavin pulang ke rumah dengan membawa dua kotak pizza untuk mereka nikmati malam ini. Hal yang tidak tahu apa yang dilakukan oleh Gavin dengan pizza yang ada di depan pintu. Entah Gavin membuangnya atau malah menyimpannya. "Tenanglah dulu. Kita akan mengatasinya bersama." Helen menggeleng, merasa kalau kalimat dari Gavin sama sekali tidak efektif untuk menenangkan dirinya saat ini. Dia masih terlalu takut membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini, terutama apabila Gavin benar-benar pergi meninggalkannya untuk urusan pekerjaan minggu depan. "Bagaimana mungkin