"Tidak perlu terlalu gugup seperti itu. Mereka tidak akan menggigitmu."
Helen berjalan mondar-mandir di kamar itu sambil meremas jemarinya. Dia terlalu terkejut ketika Gavin mengatakan bahwa kedua orangtua angkat lelaki itu akan datang besok dan menemuinya. Dia takut apabila dia melakukan kesalahan di hadapan kedua orangtua Gavin.
Dia memikirkan segala kemungkinan buruk. Bagaimana kalau kedua orang tua Gavin tidak menyukainya dan memecatnya dari rumah ini. Jika sampai itu terjadi, dia mungkin tidak akan punya harapan lagi karena tidak terlalu berani untuk bekerja di luar sana ketika modalnya belum cukup.
"Apa yang akan mereka katakan kalau mereka tahu bahwa aku sudah lama di sini dan bahwa kau membiarkanku tinggal di rumah ini sebelum kemudian kau jadikan sebagai koki?" Helen merasa cukup bingung harus mengatakan apa lagi. Dia mengambil segelas air putih dan meminumnya. Setidaknya cukup untuk membuatnya tenang beberapa saat.
"Sudah kukatakan kau tidak perlu terlalu khawatir. Mereka bukan orang yang jahat. Terutama ibuku, dia orang yang lembut sama seperti ibu yang lainnya di luar sana."
Helen pun berusaha menenangkan dirinya dan juga menepis semua pikiran buruk itu. Padahal tidak seharusnya dia berpikir seperti itu tentang orang tua Gavin. Helen duduk di sofa kamar tidur itu dan tepat di samping Gavin. Dia menghela napas panjang.
"Kuharap kau bisa memberiku beberapa saran tentang apa saja yang harus kulakukan nanti ketika bertemu dengan orang tuamu." Helen memandang dalam mata Gavin yang malah membuat Gavin tertawa karena merasa lucu dengan ekspresi Helen saat ini.
"Kau terlihat seperti akan bertemu presiden saja. Sudahlah, tidak perlu ada perlakuan yang terlalu istimewa ketika kau bertemu dengan mereka. Kau cukup berperilaku seperti biasa saja. Orangtuaku juga tidak terlalu suka dengan tipe pembicaraan atau pertemuan yang terlalu formal. Menurut mereka itu sangat kaku."
Helen mengangguk paham. Maka pada saat itu juga dia bahkan memilih pakaian terbaik untuk dia pakai besok. Helen merasa tidak bisa tidur karena terpikir akan hal itu. Dia terlalu gelisah entah bagaimanapun dia berusaha untuk berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ibu angkat Gavin yang pertama kali ditemui oleh Helen karena memang wanita itu yang lebih dulu masuk ke rumah daripada suaminya. Ibu angkat Gavin mungkin sudah berumur, namun wajahnya terlihat masih sangat cantik. Tubuhnya berisi dan rambutnya panjang terurai.
"Ternyata kau jauh lebih cantik daripada ketika Gavin memperlihatkan fotomu pada kami. Terima kasih sudah membantu Gavin di rumah ini. Namaku Gracia Lawrence." Gracia tersenyum dan mengulurkan tangan pada Helen. Helen pun membalas senyuman dan uluran tangannya. Ternyata memang benar bahwa orang tua Gavin tidak terlalu suka dengan pertemuan atau pembicaraan yang terlalu formal. Terlihat dari cara bicara Gracia yang santai.
"Nama saya Helen, Nyonya."
Helen melihat Gracia mengangkat alis ketika dia memperkenalkan diri. Seperti terkejut yang membuat Helen juga merasa bingung bahkan takut apabila dia mengatakan sesuatu yang salah.
"Santai saja. Tidak perlu panggil aku dengan sebutan nyonya. Panggil saja dengan sebutan ibu."
Helen tentu saja merasa ragu ketika harus langsung menyebut Gracia dengan sebutan ibu. Rasanya seperti ada sesuatu yang aneh dalam hatinya. Biar bagaimanapun dia tidak terlalu akrab dengan Gracia. Gracia juga bisa dibilang majikannya meskipun yang mempekerjakannya di sini adalah Gavin.
"Entahlah, aku ... "
"Aku tahu dan sangat mengerti. Kau tidak perlu terlalu sungkan. Anggap saja aku sebagai temanmu. Para pelayanku di rumah juga biasa melakukan hal itu. Kami juga sering berlibur bersama."
Meski masih merasa ragu, namun karena Helen juga tidak mau membuat Gracia kecewa, akhirnya dia hanya bisa mengangguk setuju.
Ayah angkat Gavin akhirnya masuk setelah memarkirkan mobil. Dia memperkenalkan diri dengan nama Liam Lawrence. Liam bahkan membelikan pizza untuk Helen. Membuat Helen semakin mengerti bahwa memang benar apa yang dikatakan oleh Gavin. Kedua orangtua angkat lelaki itu memang sangat baik.
"Apa sebelumnya Gavin memang membuka lowongan kerja dan kau langsung melamar kerja setelah mengetahui informasi itu?"
Helen langsung terdiam mendengar pertanyaan Gracia. Mereka berada di meja makan saat ini dan menikmati beberapa kotak pizza itu. Dia merasa ragu untuk menceritakan tentang semua hal yang sudah terjadi sebelum kemudian dia bekerja sebagai koki di rumah itu. Helen melirik ke arah Gavin, berharap lelaki itu bisa sedikit membantunya karena memang dia merasa sangat bingung untuk menjelaskan semua itu pada kedua orang tua Gavin.
"Yah, aku memang membuka lowongan pada awalnya. Dia datang keesokan harinya. Langsung kuterima karena memang dia pandai memasak." Gavin yang menjawab. Sepertinya memang sudah sangat paham dengan kebingungan Helen saat ini. Diam-diam Helen menghela napas lega.
Helen juga merasa sangat bersyukur karena setelah itu Gracia ataupun Liam tidak lagi menanyakan sesuatu yang berurusan dengan kehidupan pribadinya. Gracia dan Liam memang sangat paham bahwa tidak sopan apabila menanyakan kehidupan pribadi orang lain yang baru saja dikenal. Gracia lebih memilih memberitahu Helen tentang masakan atau apa saja yang disukai oleh Gavin setelah mereka menikmati pizza itu, sedangkan Gavin dan juga ayahnya berada di kamar tidur untuk mendiskusikan pekerjaan.
"Dia sebenarnya suka masakan yang digoreng, walaupun hanya untuk sekadar cemilan. Dan aku selalu melarangnya untuk memakan gorengan terlalu banyak. Jadi mungkin kau masih boleh menyajikan masakan semacam itu padanya asalkan dalam porsi yang cukup. Aku takut apabila terlalu banyak minyak jadi tidak sehat untuknya."
Helen mengangguk paham dan melihat dengan seksama buku yang memperlihatkan berbagai jenis masakan itu. Dia juga menandai makanan apa saja yang disukai oleh Gavin. Selama ini dia tidak pernah memikirkan itu karena Gavin sendiri juga tidak pernah protes dengan masakannya, selalu memakan apa pun yang tersaji di meja makan.
"Oh, ya! Apa kau punya waktu besok malam?" tanya Gracia sambil menutup buku masakan itu. Helen menggeleng sambil mengerutkan kening. "Kalau begitu, kau mungkin bisa pergi bersama Gavin ke pesta yang diadakan oleh teman bisnisnya. Dia bilang dia butuh teman kencan untuk pergi ke pesta itu."
Helen tentu saja terkejut dan langsung membulatkan mata. Teman kencan? Dia bahkan tidak pernah berpikir tentang hal semacam itu, bahkan ketika dahulu dia masih kuliah. Sekarang Gracia mendadak saja memintanya untuk menemani Gavin ke sebuah pesta sebagai pasangan. Apakah dia harus menerimanya?
Bagaimana jika seandainya sesuatu yang tidak dia inginkan terjadi di pesta itu. Sudah bisa dipastikan bahwa itu adalah pesta yang akan dihadiri oleh para taipan kaya, tidak menutup kemungkinan bahwa Rey mungkin juga ada di sana.
"Bagaimana? Apa kau mau?" tanya Gracia lagi.
"Aku tidak menyangka sama sekali ketika ibumu memintaku untuk menemanimu ke pesta itu. Aku tidak sampai hati apabila harus menolaknya, meskipun aku masih cukup takut untuk pergi keluar." Helen merasa sangat gelisah. Dia duduk di sofa, sedangkan Gavin saat ini mempersiapkan pakaian yang akan dia kenakan di pesta itu. Helen melihat Gavin hanya tersenyum menanggapi perkataannya tadi. "Dan aku juga tidak menyangka kau menyetujuinya. Kau tidak perlu terlalu khawatir, aku akan memastikan semuanya baik-baik saja." Helen menghela nafas. Itu sama sekali tidak cukup untuk menenangkan dirinya. Dia lebih mengenal Rey daripada Gavin. Dia juga tahu bahwa Rey begitu terkenal, dan mungkin tidak ada orang kaya di kota ini yang tidak bersahabat atau memiliki hubungan dengan Rey. "Masalahnya aku sangat takut apabila seandainya Rey ada di pesta itu. Dia jelas akan mengenaliku dan akan membawaku pulang." Helen menyadari kalau Gavin menatap kasihan padanya. Dia berharap Gavin memiliki solusi yang lebih
"Oh, Drew. Aku tidak menyangka kita bisa bertemu di sini," ucap Gavin yang berbalik menatap lelaki muda yang berada di belakangnya. Sedangkan Helen masih terpaku karena merasa takut apabila lelaki yang memanggil dirinya tadi adalah salah satu orang yang bekerja untuk Rey dan kebetulan mengenal Gavin. Dia masih tidak berani untuk berbalik. "Yah, aku juga tidak menyangka kalau kau akhirnya punya teman kencan malam ini." Helen mendengar kembali suara lelaki itu. Dia berbalik perlahan karena sadar kalau tindakannya ini tidaklah sopan. Dia pun menatap wajah lelaki yang dipanggil dengan nama Drew itu sambil tersenyum. "Namanya Helen," ucap Gavin memperkenalkan Helen pada Drew. "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?" tanya Gavin lagi pada Drew. Helen melihat Drew hanya tersenyum. Lelaki itu mengangkat bahu yang semakin membuat Helen was-was. Selama ini Helen memang tidak bisa menghafal siapa saja orang yang bekerja pada Rey. Rey selalu dan mempekerjakan banyak orang. "Ah, tidak. Kukira
"Kau yakin tidak pernah berkomunikasi dengan siapa pun selama kau tinggal di rumahku? Kau mungkin pernah mengenal seseorang di luar sana." Helen menggeleng dengan gelisah. Hanya dengan pesan singkat itu sudah cukup membuatnya merasa sangat panik. Dia tidak tahu siapa yang menghubunginya semalam, dia takut kalau itu adalah salah satu orang yang diperintahkan oleh Rey untuk mencarinya. Sebenarnya hingga saat ini dia juga tidak yakin kalau Rey sudah mengetahui bahwa dia tidak ada dalam kuburan itu. Namun entah kenapa kemungkinan terburuk itu selalu saja menghantuinya. Dia selalu berharap bahwa hingga saat ini Rey belum mengetahuinya. "Apa kau menimbun kuburan itu kembali setelah mengeluarkanku dari sana? Kau tidak mungkin membiarkan tanahnya terbuka begitu saja, bukan? Itu akan membuat Rey sangat mudah mengetahui bahwa aku sudah tidak ada dalam kuburan itu." Helen menatap dalam mata Gavin. Berharap bahwa Gavin tidak akan berbohong padanya hanya untuk menyenangkan dirinya. "Aku menyur
"Orang itu memata-mataiku, Gavin. Dia tahu apa yang aku lakukan. Aku harus apa?! Bagaimana kalau dia menculikku nanti?!" Helen melepaskan semua tangisnya. Dia merasa tidak bisa mengendalikan emosinya saat ini. Dia bahkan sudah tidak peduli ketika Gavin memeluknya sekarang. Helen meninggalkan pizza itu di depan rumah setelah melihat dan membaca secarik kertas kecil di sana. Dia terlalu ketakutan hingga kemudian Gavin pulang ke rumah dengan membawa dua kotak pizza untuk mereka nikmati malam ini. Hal yang tidak tahu apa yang dilakukan oleh Gavin dengan pizza yang ada di depan pintu. Entah Gavin membuangnya atau malah menyimpannya. "Tenanglah dulu. Kita akan mengatasinya bersama." Helen menggeleng, merasa kalau kalimat dari Gavin sama sekali tidak efektif untuk menenangkan dirinya saat ini. Dia masih terlalu takut membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini, terutama apabila Gavin benar-benar pergi meninggalkannya untuk urusan pekerjaan minggu depan. "Bagaimana mungkin
"Aku hanya asisten di rumahnya. Bagaimana mungkin kami saling jatuh cinta. Lagi pula aku sangat yakin kalau dia pasti punya perempuan yang jauh lebih berkelas daripada aku di luaran sana. Bukankah orang kaya memang seperti itu?" Helen cukup terkejut ketika Drew menanyakan pertanyaan semacam itu. Atau mungkin memang wajar saja, dia tidak terlalu tahu bagaimana cara lelaki berpikir. Jelas bisa dibilang sangat berbeda dari cara berpikir perempuan. Helen juga berpikir kalau selama ini barangkali Drew sangat peka melihat kedekatannya dengan Gavin. Biar bagaimanapun dia tidak tahu apa yang dibicarakan oleh dua sahabat itu di luar atau di tempat kerja mereka. "Bisa saja, bukan? Tidak mungkin Gavin tidak merasakan apa pun padamu ketika kalian tinggal bersama." Helen hanya tersenyum sambil menghabiskan jus jeruknya. Dia tidak pernah berpikir akan hal itu. Tidak pernah berharap juga untuk berada di posisi semacam itu. Untuk saat ini dia tidak tertarik menjalani hubungan romantis dengan siapa
"Aku sama sekali tidak pernah terpikir akan hal itu, Drew." Helen jelas sangat terkejut ketika Drew tiba-tiba saja menyatakan rasa tertariknya. Sesuatu yang terlalu cepat. Helen sama sekali tidak tahu apa yang membuat Drew begitu tertarik padanya. Dia bahkan berpikir bahwa ini sangat wajar ketika mengingat kalau dulu Gavin menyebut Drew sebagai lelaki playboy. Tidak mengherankan kalau Drew begitu cepat tertarik pada wanita. Paling nanti cepat atau lambat pada akhirnya Drew akan bosan padanya."Kenapa? Apa aku kurang menarik? Atau memang benar kau punya masalah percintaan yang membuatmu trauma?"Helen menggeleng. Dia selalu saja merasa khawatir bila ada yang menyinggung soal trauma, terlebih lagi tebakan orang itu memang benar. "Bukan begitu, Drew. Maaf kalau memang aku membuatmu kecewa. Aku hanya tidak tertarik untuk memulai hubungan semacam itu untuk saat ini. Aku ingin mengurus diriku sendiri. Aku ingin menyelamatkan diriku sendiri dulu."Helen tertunduk ketika menyadari ekspresi k
"Jangan berpikir kalau kau bisa menyakitinya hanya karena kau adalah temanku."Helen tak sempat menoleh sama sekali, namun dia bisa mengenali suara itu. Jelas yang berbicara itu adalah Gavin. Entah sejak kapan dan bagaimana caranya Gavin bisa tahu dan datang kemari menyelamatkannya.Helen merasakan lengan Drew sudah tidak melingkar di lehernya. Dia berhasil lepas dan tersedak karena sesaat sulit bernapas. Dia menjauh dari sana dan melihat Gavin kini berusaha menahan Drew.Orang-orang di sekitar hanya bisa melihat. Helen tahu kalau beberapa saat yang lalu, orang-orang itu hendak menolongnya. Namun karena sekarang sudah ada Gavin yang terlihat begitu marah pada Drew, orang-orang itu terlihat ketakutan untuk sekadar mendekat. Akan tetapi pada akhirnya Helen mendengar suara mobil polisi. "Tidak, jangan lakukan itu!" Helen berteriak dan berusaha mencegah para polisi yang kini hendak membawa Drew dan Gavin. Dia tentu saja khawatir apabila Gavin malah harus kena masalah karena dirinya. Sal
"Kuharap aku tidak menyakitimu."Helen menatap dalam mata Gavin yang berada di atasnya.Helen tidak menyangka kalau bisa-bisanya dia tidak bisa berpikir jernih karena hal ini. Kebutuhan biologisnya ternyata tidak bisa dia tahan sebagaimana ketika dia sedang lapar. Bahkan memang sudah berminggu-minggu dia tidak mendapatkannya. Padahal biasanya Rey akan senantiasa menyentuhnya dan itu bisa membuatnya merasa lega, walau terkadang juga merasa frustasi ketika Rey memaksakan kehendaknya saat Helen sedang tidak mau. Helen memutar mata dan menyapu seluruh ruangan dengan pandangannya ketika Gavin masih melanjutkan percintaan mereka. Dia hanya ingin memastikan bahwa memang tidak ada CCTV yang dipasang di sana. Dia mungkin akan merasa malu seumur hidup bila ada sebuah kamera yang merekam aktivitas intim mereka. "Terima kasih." Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Helen setelah mereka selesai. Dia memang sudah tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Mendadak saja merasa sangat ragu untuk sekadar me