"Apa yang terjadi padamu?" tanya Gavin sambil mengelap wajah Helen dengan handuk kecil.
Helen menyapu pandangannya ke segala penjuru ruangan itu. Gavin membawanya menuju sebuah mini house. Helen menebak kalau mungkin rumah itu adalah milik Gavin sendiri.
"Dia menguburku hidup-hidup," jawab Helen. Gavin menghentikan gerakan tangannya. Helen melihat lelaki itu mengerutkan kening ke arahnya.
"Dia? Dia siapa? Apa dia berniat mencelakaimu?" tanya Gavin lagi sambil menyodorkan roti isi pada Helen. Karena memang merasa lapar, Helen langsung menghabiskan roti isi itu. Tidak sadar kalau Gavin menahan senyum ketika melihatnya yang begitu lahap menikmati roti itu.
"Rey. Dia tunanganku. Orang yang dijodohkan denganku. Sejak dulu dia terobsesi padaku dan mengurungku di dalam rumahnya. Aku tidak diperbolehkan bekerja dan beraktivitas di luar." Helen meminum segelas susu di sana. Merasa lega karena perutnya sudah terisi.
Gavin mengerutkan kening. Awalnya merasa heran, namun setelah mendengar kata "obsesi" dia pun bisa memahami hal itu.
"Dan apa yang kau lakukan sampai dia menguburmu hidup-hidup? Apa kau juga tidak punya teman atau orangtua yang bisa dimintai tolong?" Gavin mendadak tertarik dengan cerita Helen, meski Helen bukanlah siapa-siapa baginya.
"Aku berulangkali mencoba untuk kabur. Dia sepertinya sudah lelah dan memilih membunuhku daripada membiarkanku hidup bebas dan bertemu dengan orang lain. Dan soal keluarga... " Kalimat Helen menggantung. Dia tersenyum hambar. Dia juga bisa menebak kalau Gavin terlihat merasa bersalah sekarang.
"Tidak apa-apa. Kau tidak perlu menceritakannya kalau tidak mau."
Helen menggeleng lemah. Justru dia butuh teman bercerita di saat seperti ini. Mungkin memang inilah waktu yang tepat dan seharusnya dia bersyukur bisa bertemu dengan Gavin.
"Ibuku sudah meninggal karena kecelakaan pesawat. Ayahku bangkrut beberapa bulan yang lalu. Rey setuju untuk menanam saham di perusahaan kami dan membantu ayahku untuk kembali bangkit. Namun dia mengajukan syarat bahwa aku harus menikah dengannya. Ayahku hanya mementingkan bisnis dan langsung menyerahkan diriku pada Gavin, sekalipun kami belum menikah."
Helen memeluk lutut. Sekarang dia bingung harus pergi ke mana. Dia sangat berharap Gavin bisa memberikan kesempatan untuknya menginap selama beberapa hari di rumah kecil itu hingga dia mendapatkan pekerjaan.
"Namaku Gavin. Senang bertemu denganmu." Gavin memperkenalkan diri, dan Helen menyambut uluran tangan lelaki itu.
"Terima kasih sudah menolongku. Aku Helen. Helen Gabriella." Helen kembali menyapu seluruh kamar bernuansa gelap itu dengan matanya. Bahkan aroma yang tercium di sana juga sangat maskulin. Hanya ada satu lemari baju dan sebuah meja kecil. "Kau tinggal sendirian?"
Gavin tersenyum mendengar perkataan Helen. "Tidak, aku punya keluarga. Ini rumah pribadiku. Aku hanya kurang suka keramaian, apalagi setelah pulang kerja. Jadi ketika sedang ingin sendiri, aku biasa menghabiskan waktu di sini."
"Ada banyak orang dalam keluargamu?" tanya Helen.
"Sebenarnya tidak banyak, hanya ada kedua orangtua angkatku. Namun yang membuat mansion itu terasa berisik adalah para pelayannya yang menurutku terlalu banyak."
Helen mengerutkan kening. Dia beranjak dari ranjang itu dan melihat semua benda yang ada di sana. Sayangnya, sama sekali tidak ada foto keluarga atau semacamnya.
"Keluarga angkat? Jadi kau bukan anak kandung mereka?"
Gavin tersenyum lagi mendengar pertanyaan Helen. Dia membuka jendela dan membiarkan udara masuk. Terasa lebih nyaman daripada AC yang sudah dia matikan.
"Yah, begitulah. Mereka kehilangan anak satu-satunya, lahir dalam keadaan meninggal. Karena itulah mereka memilih untuk mengadopsi anak. Mereka mengambilku dari panti asuhan."
Helen menggigit bibir. Dia mungkin merasa nyaman untuk bercerita pada Gavin, namun belum tentu Gavin merasakan hal yang sama. Karena itu, Helen memilih untuk tidak bertanya lagi. Tidak mau membuat Gavin merasa tidak nyaman.
"Itu berarti tidak setiap hari kau berada di rumah ini? Mungkin aku harus secepatnya mendapatkan pekerjaan agar tidak merepotkanmu," ucap Helen sambil memeluk dirinya. Merasa sedikit tidak nyaman karena belum berganti pakaian dan tubuhnya terasa sangat lengket bahkan bau tanah.
"Santai saja. Kau boleh tinggal di sini selama yang kau mau. Orangtuaku juga tidak terlalu mempermasalahkan kalau aku tidak pulang ke rumah mereka."
Meski memang begitu, Helen tetap saja merasa bersalah. Dia paling tidak suka merepotkan seseorang, apalagi orang yang baru dia kenal. Dalam hatinya dia bertekad untuk segera mendapatkan pekerjaan agar bisa hidup mandiri, walaupun di sebuah kontrakan kecil. Sudah tak ada sesuatu yang dia harapkan bila pulang ke rumah ayahnya. Rey akan kembali menangkapnya.
"Bolehkah aku mandi? Tubuhku terasa tidak nyaman."
Gavin mengangguk lantas menunjukkan kamar mandi pada Helen.
Helen berpikir keras sepanjang hari itu. Dia tidak tahu harus mencari pekerjaan dengan cara apa. Dia takut apabila ada seseorang yang mengenalinya ketika harus keluar rumah. Namun dia juga tidak memiliki barang elektronik yang bisa dimanfaatkan.
Helen menghela napas panjang di bawah pancuran air itu. Haruskah dia meminjam ponsel atau laptop milik Gavin.
Tok... tok... tok...
Helen tersentak ketika Gavin mengetuk pintu kamar mandi itu. Dia langsung mematikan shower lantas menutupi tubuhnya dengan handuk.
"Kau lama sekali. Kau baik-baik saja?" tanya Gavin dari luar.
"Yah, aku baik-baik saja." Helen menyahut sebelum kemudian keluar dari kamar mandi itu. Dia melihat ternyata makan malam sudah terhidang dengan rapi di meja makan. Beberapa menu makanan yang menggugah seleranya.
"Aku sudah membeli setelan pakaian untukmu. Pakailah, setelah itu kita makan malam."
Helen hanya bisa mengangguk lantas pergi ke kamar tidur dan melihat beberapa setelan pakaian yang masih terbungkus plastik itu ada di ranjang. Ukurannya sedikit kebesaran namun tetap nyaman di tubuh Helen. Dia kembali ke meja makan dan menikmati makan malam bersama Gavin.
Harus dia akui kalau makanan itu memang enak. Dia jadi penasaran apakah Gavin yang memasak semua itu ataukah Gavin membeli makanan dari luar.
Helen menghela napas dan meminum jus jeruk setelah merasa cukup kenyang. Dia kembali termenung memikirkan masalah pekerjaan. Merasa sedikit ragu kalau harus mengatakan bahwa dia ingin meminjam laptop milik Gavin untuk mencari lowongan pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah.
"Tentang pekerjaan, menurutmu apa yang harus kulakukan? Aku terlalu takut kalau harus pergi ke luar."
Gavin mengangkat alis, merapikan piring-piring kotor itu, dan terlihat berpikir sejenak.
Helen berharap Gavin bisa memahami maksudnya tanpa harus dia katakan.
"Well, kalau kau merasa nyaman, mungkin kau mau bekerja untukku. Itu pun kalau kau mau," ucap Gavin dengan senyum tipis di wajahnya yang langsung membuat Helen terdiam. Dia tidak tahu apakah ini kesempatan yang bagus atau tidak. Dia hanya belum mengetahui jenis pekerjaan macam apa yang ditawarkan Gavin padanya.
"Bekerja sebagai apa?"
"Kau punya pengalaman sebagai sekretaris?"Helen menghela napas. Ternyata posisi yang ditawarkan oleh Gavin adalah sebagai sekretaris. Itu berarti kalau dia menerima tawaran pekerjaan itu, maka dia harus keluar rumah dan bekerja di kantor Gavin. Apakah itu aman baginya?Helen masih sangat ragu. Tindakan Rey yang menguburnya hidup-hidup sudah cukup membuatnya sangat trauma. Dia tidak akan membiarkan dirinya bertemu lagi dengan Rey atau juga dengan salah satu penjaganya. Helen mungkin tidak akan keluar rumah sampai ada yang menjamin bahwa dia tidak akan bertemu dengan Rey selamanya."Aku tidak yakin kalau harus bekerja di kantor. Aku tidak punya pengalaman kerja apa pun. Aku takut seseorang yang berhubungan dengan Rey mengenaliku dan melaporkanku padanya." Helen mengusap wajah. Dia menghabiskan jus jeruk itu bahkan juga lanjut menghabiskan pizza di sana, padahal tadi dia sudah cukup kenyang.Dia melihat Rey yang tampak juga ikut bingung dengan permasalahannya sekarang. Helen benar-benar
"Tidak perlu terlalu gugup seperti itu. Mereka tidak akan menggigitmu." Helen berjalan mondar-mandir di kamar itu sambil meremas jemarinya. Dia terlalu terkejut ketika Gavin mengatakan bahwa kedua orangtua angkat lelaki itu akan datang besok dan menemuinya. Dia takut apabila dia melakukan kesalahan di hadapan kedua orangtua Gavin. Dia memikirkan segala kemungkinan buruk. Bagaimana kalau kedua orang tua Gavin tidak menyukainya dan memecatnya dari rumah ini. Jika sampai itu terjadi, dia mungkin tidak akan punya harapan lagi karena tidak terlalu berani untuk bekerja di luar sana ketika modalnya belum cukup. "Apa yang akan mereka katakan kalau mereka tahu bahwa aku sudah lama di sini dan bahwa kau membiarkanku tinggal di rumah ini sebelum kemudian kau jadikan sebagai koki?" Helen merasa cukup bingung harus mengatakan apa lagi. Dia mengambil segelas air putih dan meminumnya. Setidaknya cukup untuk membuatnya tenang beberapa saat. "Sudah kukatakan kau tidak perlu terlalu khawatir. Merek
"Aku tidak menyangka sama sekali ketika ibumu memintaku untuk menemanimu ke pesta itu. Aku tidak sampai hati apabila harus menolaknya, meskipun aku masih cukup takut untuk pergi keluar." Helen merasa sangat gelisah. Dia duduk di sofa, sedangkan Gavin saat ini mempersiapkan pakaian yang akan dia kenakan di pesta itu. Helen melihat Gavin hanya tersenyum menanggapi perkataannya tadi. "Dan aku juga tidak menyangka kau menyetujuinya. Kau tidak perlu terlalu khawatir, aku akan memastikan semuanya baik-baik saja." Helen menghela nafas. Itu sama sekali tidak cukup untuk menenangkan dirinya. Dia lebih mengenal Rey daripada Gavin. Dia juga tahu bahwa Rey begitu terkenal, dan mungkin tidak ada orang kaya di kota ini yang tidak bersahabat atau memiliki hubungan dengan Rey. "Masalahnya aku sangat takut apabila seandainya Rey ada di pesta itu. Dia jelas akan mengenaliku dan akan membawaku pulang." Helen menyadari kalau Gavin menatap kasihan padanya. Dia berharap Gavin memiliki solusi yang lebih
"Oh, Drew. Aku tidak menyangka kita bisa bertemu di sini," ucap Gavin yang berbalik menatap lelaki muda yang berada di belakangnya. Sedangkan Helen masih terpaku karena merasa takut apabila lelaki yang memanggil dirinya tadi adalah salah satu orang yang bekerja untuk Rey dan kebetulan mengenal Gavin. Dia masih tidak berani untuk berbalik. "Yah, aku juga tidak menyangka kalau kau akhirnya punya teman kencan malam ini." Helen mendengar kembali suara lelaki itu. Dia berbalik perlahan karena sadar kalau tindakannya ini tidaklah sopan. Dia pun menatap wajah lelaki yang dipanggil dengan nama Drew itu sambil tersenyum. "Namanya Helen," ucap Gavin memperkenalkan Helen pada Drew. "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?" tanya Gavin lagi pada Drew. Helen melihat Drew hanya tersenyum. Lelaki itu mengangkat bahu yang semakin membuat Helen was-was. Selama ini Helen memang tidak bisa menghafal siapa saja orang yang bekerja pada Rey. Rey selalu dan mempekerjakan banyak orang. "Ah, tidak. Kukira
"Kau yakin tidak pernah berkomunikasi dengan siapa pun selama kau tinggal di rumahku? Kau mungkin pernah mengenal seseorang di luar sana." Helen menggeleng dengan gelisah. Hanya dengan pesan singkat itu sudah cukup membuatnya merasa sangat panik. Dia tidak tahu siapa yang menghubunginya semalam, dia takut kalau itu adalah salah satu orang yang diperintahkan oleh Rey untuk mencarinya. Sebenarnya hingga saat ini dia juga tidak yakin kalau Rey sudah mengetahui bahwa dia tidak ada dalam kuburan itu. Namun entah kenapa kemungkinan terburuk itu selalu saja menghantuinya. Dia selalu berharap bahwa hingga saat ini Rey belum mengetahuinya. "Apa kau menimbun kuburan itu kembali setelah mengeluarkanku dari sana? Kau tidak mungkin membiarkan tanahnya terbuka begitu saja, bukan? Itu akan membuat Rey sangat mudah mengetahui bahwa aku sudah tidak ada dalam kuburan itu." Helen menatap dalam mata Gavin. Berharap bahwa Gavin tidak akan berbohong padanya hanya untuk menyenangkan dirinya. "Aku menyur
"Orang itu memata-mataiku, Gavin. Dia tahu apa yang aku lakukan. Aku harus apa?! Bagaimana kalau dia menculikku nanti?!" Helen melepaskan semua tangisnya. Dia merasa tidak bisa mengendalikan emosinya saat ini. Dia bahkan sudah tidak peduli ketika Gavin memeluknya sekarang. Helen meninggalkan pizza itu di depan rumah setelah melihat dan membaca secarik kertas kecil di sana. Dia terlalu ketakutan hingga kemudian Gavin pulang ke rumah dengan membawa dua kotak pizza untuk mereka nikmati malam ini. Hal yang tidak tahu apa yang dilakukan oleh Gavin dengan pizza yang ada di depan pintu. Entah Gavin membuangnya atau malah menyimpannya. "Tenanglah dulu. Kita akan mengatasinya bersama." Helen menggeleng, merasa kalau kalimat dari Gavin sama sekali tidak efektif untuk menenangkan dirinya saat ini. Dia masih terlalu takut membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini, terutama apabila Gavin benar-benar pergi meninggalkannya untuk urusan pekerjaan minggu depan. "Bagaimana mungkin
"Aku hanya asisten di rumahnya. Bagaimana mungkin kami saling jatuh cinta. Lagi pula aku sangat yakin kalau dia pasti punya perempuan yang jauh lebih berkelas daripada aku di luaran sana. Bukankah orang kaya memang seperti itu?" Helen cukup terkejut ketika Drew menanyakan pertanyaan semacam itu. Atau mungkin memang wajar saja, dia tidak terlalu tahu bagaimana cara lelaki berpikir. Jelas bisa dibilang sangat berbeda dari cara berpikir perempuan. Helen juga berpikir kalau selama ini barangkali Drew sangat peka melihat kedekatannya dengan Gavin. Biar bagaimanapun dia tidak tahu apa yang dibicarakan oleh dua sahabat itu di luar atau di tempat kerja mereka. "Bisa saja, bukan? Tidak mungkin Gavin tidak merasakan apa pun padamu ketika kalian tinggal bersama." Helen hanya tersenyum sambil menghabiskan jus jeruknya. Dia tidak pernah berpikir akan hal itu. Tidak pernah berharap juga untuk berada di posisi semacam itu. Untuk saat ini dia tidak tertarik menjalani hubungan romantis dengan siapa
"Aku sama sekali tidak pernah terpikir akan hal itu, Drew." Helen jelas sangat terkejut ketika Drew tiba-tiba saja menyatakan rasa tertariknya. Sesuatu yang terlalu cepat. Helen sama sekali tidak tahu apa yang membuat Drew begitu tertarik padanya. Dia bahkan berpikir bahwa ini sangat wajar ketika mengingat kalau dulu Gavin menyebut Drew sebagai lelaki playboy. Tidak mengherankan kalau Drew begitu cepat tertarik pada wanita. Paling nanti cepat atau lambat pada akhirnya Drew akan bosan padanya."Kenapa? Apa aku kurang menarik? Atau memang benar kau punya masalah percintaan yang membuatmu trauma?"Helen menggeleng. Dia selalu saja merasa khawatir bila ada yang menyinggung soal trauma, terlebih lagi tebakan orang itu memang benar. "Bukan begitu, Drew. Maaf kalau memang aku membuatmu kecewa. Aku hanya tidak tertarik untuk memulai hubungan semacam itu untuk saat ini. Aku ingin mengurus diriku sendiri. Aku ingin menyelamatkan diriku sendiri dulu."Helen tertunduk ketika menyadari ekspresi k