Rasel sudah berada di dalam mobilnya. Dia terus memperhatikan layar ponselnya yang menunjukkan ke mana posisi Mayja bergerak. Tampaknya perempuan itu masih berlari karena simbol berwarna biru di dalam maps itu masih terus bergerak.Jantung Rasel seperti dipacu dengan kencang. Dia tidak tau bagaimana situasi Mayja sekarang, tapi yang jelas perempuan itu terdengar sedang dalam bahaya. Jadi jangan sampai Rasel terlambat untuk menyelamatkannya. Sampai akhirnya simbol biru itu berhenti, sepertinya Mayja berhenti karena jalanan di gang itu buntu. Tanpa menunggu lama, Rasel mengambil ponselnya dan segera keluar dari mobil. Dia berlari menuju lokasi di mana Mayja berada.“AKU BILANG LEPAS! TOLONG JANGAN GANGGU AKU!” teriak Mayja.“Dia terlalu banyak bicara. Buat tidak sadarkan diri saja biar lebih seru!”“Hahaha, kau benar!”Mereka berjalan mendekat, paham kalau perempuan di depannya sudah tidak ada pilihan lain untuk kabur. Bersiap untuk mengepung Mayja, seseorang berlari mendekat dari belak
“Kamu baik-baik saja?!”Devanda mencoba memeriksa kondisi Mayja. Dia dengar perempuan itu sedang dalam bahaya, jadi rasa cemas yang dimiliki Devanda sudah seperti seorang ibu kepada anaknya.“Saya aman, Nona. Nona tidak perlu khawatir,” ucap Mayja seraya memegang kedua lengan Devanda, berusaha untuk menenangkannya.Devanda lantas mengelus dadanya. Andriyan melirik ke arah Rasel untuk meminta penjelasan. “Jadi apa yang terjadi?”“Saat Mayja akan pulang, dia dihadang sejumlah preman tapi para preman itu memiliki maksud yang tidak baik sehingga Mayja kabur dari mereka dan segera menghubungi saya,” ucap Rasel yang menjelaskan.Sontak Andriyan menatap Mayja dengan kening berkerut. “Harusnya kamu menghubungi polisi, bukannya Rasel! Kalau Rasel gagal menemukanmu bagaimana? Kalau polisi, mereka kan lebih hapal daerah ini dan bisa melacakmu dengan mudah,” ucap Andriyan, berpikir bahwa tindakan Mayja sangat sembrono.Sepertinya hubungan Andriyan dan Mayja menjadi lebih dekat di luar sepengetahu
Tidak tahu harus bertingkah bagaimana, Mayja berjalan dengan canggung di sebelah Rasel. Padahal tadi niatnya adalah jalan-jalan di mall sebagai pengawal hari liburnya yang cerah, tapi terpaksa dia harus jalan bersama Rasel karena Senja menyudutkan keduanya bahwa mereka adalah sepasang suami istri sekarang sehingga harus keluar bersama.Padahal Mayja ingin menikmati liburannya. Dia jadi menghela napas berat. Kalau begini, dia tidak bisa keliling dengan nyaman. “Kenapa, Mayja? Apa kamu merasa tidak nyaman?”Sontak Mayja membulatkan matanya. Dia segera menggeleng. Bagaimana Rasel bisa tahu isi hatinya? Apa pria ini punya kemampuan menerawang isi hati? Aneh sekali! “Tidak, kok. Semuanya baik-baik saja.”Rasel pun mengangguk, dia menyapu pandangannya ke sekitar. “Mau ke mana kita sekarang?”“Aku mau belanja, tapi sebelum itu aku mau beli es krim oreo di depan,” kata Mayja. Dia sangat mencintai es krim. Karena tadi mereka habis makan, rasanya akan lebih dinetralisir dengan es krim.“Baiklah
Langkahnya semakin cepat dari biasanya. Dia tidak ingin menimbulkan masalah karena alkohol yang membuat kesadarannya menurun. Dia khawatir namanya dan nama keluarganya akan tercemar. Sehingga, dia memutuskan untuk menghindar dari keramaian dan mencari tempat sepi untuk menghirup udara segar."Tunggu! Tolong, tunggu sebentar, Pak! Tunggu!"Dia mendengar suara itu, tapi sengaja mengabaikannya dan terus berjalan."Andriyan Prakarsastra!"Dia terpaksa berhenti. Perempuan itu pasti sangat nekat sampai berani memanggil namanya."Maaf, bukannya saya bermaksud lancang, Pak Andriyan, tapi bisakah Anda membantu kami? Kami sudah mencari-cari orang yang lewat di lorong ini, tapi hanya menemukan Pak Andriyan," ucapnya.Dia menoleh dan melihat perempuan itu dengan wajah panik. Dia tidak menjawab apa-apa, hanya menatapnya dingin."Emm, nyonya saya mengeluh pusing dan tubuhnya lemas. Saya tidak tahu harus berbuat apa karena saya tidak kuat membopongnya sendirian. Saya sangat khawatir dengan keadaan b
“Panggil dia 'ayah' karena dia calon mertuamu,” ujar Andriyan, mengoreksi ucapan Devanda di lorong tadi. Devanda tampak tak peduli. “Kita belum menikah secara resmi. Dia juga belum resmi menjadi ayah mertuaku,” sahutnya dengan nada acuh tak acuh dan kaku. Andriyan pun menahan kekesalannya. Dia teringat dengan perkataan Agnes. Apakah benar Andriyan tidak akan tahan hidup selamanya bersama Devanda yang kaku dan membosankan itu jika menjadi istrinya? Bukankah kehidupan pernikahan mereka akan menjadi sangat membosankan?“Lihatlah penampilan tunangan Anda yang kaku dan membosankan itu.”“Dia juga anti sosial. Angkuh dan tidak bisa bergaul dengan orang lain.”“Lebih baik Anda cari perempuan lain sebelum terlambat dan menyesal, Pak.”Kalau bicara fakta, semua orang yang melihat Andriyan bersanding dengan Devanda pasti akan berkata bahwa Andriyan lebih pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik. Bahkan tanpa usaha, Andriyan pun bisa dengan mudah menaklukkan perempuan mana saja yang dia ma
“Apa?” Sakti merasa tidak percaya dengan permintaan anaknya. Pasti bukan itu yang Devanda maksud, kan?“Vanda ingin menikah dengannya,” ucap Devanda sambil menunjuk ke arah Andriyan.“Dia siapa?” Sakti menoleh ke arah Aji. “Om Aji?”Devanda melotot dan segera menggeleng. “Iyan. Andriyan Prakarsastra.”Andriyan yang sibuk mengedarkan pandang akhirnya kembali menatap Sakti, Aji, dan Devanda dengan tatapan bingung karena mereka memperhatikan dirinya bersamaan. “Saya?”Devanda mengangguk mantap. “Keputusan Vanda sudah bulat, Pa. Vanda harus menikah dengan Iyan.”Sakti masih bingung karena anak perempuannya yang masih bau kencur ini bahkan baru memperoleh KTP tahun ini. Kenapa jadi tiba-tiba sekali ingin menikah dengan laki-laki yang belum mapan maupun jelas masa depannya? Namun, sejak kecil sampai sekarang, Devanda bukan anak yang rewel. Bahkan belum pernah meminta apa pun padanya. Sehingga Sakti sangat terharu karena akhirnya anaknya mengajukan permintaan.“Boleh Papa tahu kenapa Vanda i
“Aku bisa menjelaskan semuanya--”“Saya tidak butuh penjelasan karena saya melihatnya langsung. Jadi, hal tersebut sama sekali tidak menjadi masalah. Kakak tenang saja,” ucap Devanda langsung.Entah mengapa ini membuat Andriyan semakin kesal pada Devanda.“Itu saja?”“Iya--”“KENAPA?!” Emosi Andriyan berhasil tersulut. “Kenapa tidak menjadi masalah? Kenapa aku harus tenang? Marahlah! Marahlah seperti yang seharusnya, kamu layak akan hal itu. Marahlah sepuasmu!”Ekspresi Devanda tidak berubah sedikit pun. Semuanya masih sangat datar dan stabil. Tidak ada yang berubah walau nada bicara Andriyan meninggi padanya. “Kakak, saya sama sekali tidak marah.”Tiba-tiba raut Andriyan berubah. Dia menepuk tangannya satu kali lalu berseru, “Ah, ya! Ini dia! Kamu marah!”“Seperti yang sudah saya katakan, saya tidak marah, Kak.”Andriyan menggeleng dengan mantap. “Nggak! Kamu marah, buktinya kamu nggak mau menemuiku selama 15 hari ini!”“Itu karena saya sakit dan saya tidak ingin Kakak tertular penya
Andriyan yang babak belur di tangan ajudan Jonathan itu menatap Jonathan dengan darah berlumuran di wajah dan tubuhnya. “Apa kamu begitu menyukainya, Kak?”Jonathan mengangkat kedua alisnya sembari menyilangkan kakinya. Pria itu memang sedang duduk santai di pinggir karena tidak ingin repot-repot terkena terik matahari. “Aku? Menyukai si kaku itu?”“Bukankah itu yang membuat Kakak sangat menginginkan Vanda? Hingga merasa sangat kesal karena saya telah merebutnya.”“Pffft!” Jonathan tak kuasa menahan tawa mendengar perkataan konyol adik sepupunya itu. “Hahahah! Menginginkan dan menyukai itu berbeda, Adikku Iyan. Aku memang ingin menikah dengan Devanda, tapi aku tidak mencintainya. Di antara para wanita yang bisa kita nikahi, tidak ada yang memiliki latar belakang dan garis keturunan sesempurna anak itu.”***Andriyan mengepalkan tangannya di tempat. Otomatis tubuhnya ikut berdiri dan menghadap Devanda. “Vanda, dari awal kamu itu aneh.”“Aku?”Entah mengapa, Andriyan merasa lebih nyaman